Imamuddin SA
Tak ada salahnya jika hari ini aku menghampiri adikku. Aku yang kebetulan
baru pulang dari pasar menemui sahabat karibku. Ah tidak, aku lupa. Ia bukan
sekedar sahabat karib. Tetapi saudara abadi. Saudara yang akan bersatu di
kehdupan esok hari.
Ini sudah jadi kebiasaanku. Setiap pasar Pahing dan Wage, aku kerap
menemuinya. Itu jika aku tidak ada aktifitas lain di rumah. Biasalah, ada saja
yang aku omongkan dengannya di pasar. Dari masalah pribadi. Dagangan.
Pergolakan hidup. Agama. Dan bahkan ketauhidan. Yang paling senang adalah
ketika aku memperhatikan karakter pembeli yang cukup variatif. Aku bisa
mempelajari psikologi seseorang dari caranya membeli dan menawar barang
dagangan.
Aku yang masih awam akan hal itu, mencoba menimba darinya. Meskipun aku
sudah lulusan S1, tapi aku masih membutuhkan pengetahuan lain yang belum pernah
aku dapatkan di bangku perkuliahan. Dan belajarku hanya pada seorang lulusan
SMA. Atau bahkan tidak jarang aku belajar pada orang yang tidak pernah sekolah.
Toh pada dasarnya tidak hanya kampus atau sekolah saja tempat menimba
pengetahuan. Pasar pun bisa jadi. Atau lokalisasi juga bisa. Tinggal aku, bisa
tidak memanfaatkannya dengan sebaik mungkin? Aku juga yakin, orang pandai itu
tidak hanya dosen. Tidak hanya guru di sekolah. Orang pandai itu relatif.
Tentunya disesuaikan dengan bidangnya masing-masing.
Dalam hati kecilku, aku tidak ingin menimba pengetahuan dari orang pandai.
Sebab aku takut dipinteri mereka. Aku sudah bosan. Aku telah nekek dipinteri
orang. Meski aku waktu kuliah kerap menimba pengetahuan dari dosen-dosenku yang
pandai. Tapi tidak usa dibahas, kenapa aku kok tetap kuliah? Aku ingin menimba
ilmu dari orang yang mengerti saja. Biar aku tak dipinteri orang lagi. Dan aku
telah menemukan orangnya. Sahabat karibku. Eat…maaf lupa. Saudara abadiku. Ia
terlalu sempurna di mata hatiku. Ia tak pernah membohongiku. Apalagi minteri
aku. Tentu tidak. Yang aku herankan adalah kata-katanya. Semua yang diujarkanya
benar. Tak pernah meleset dari kejujuran realitas.
Saat itu matahari berada tepat di atas ubun-ubunku. Bayangan tubuhku pun
tidak terlukis olehnya. Aku berhentikan motor bututku di depan sebuah sekolah
yang cukup besar di daerahku. Di bawah rindang pohon yang sesekali dihempas
angin yang cukup kencang. Aku silakan kaki kiriku di jok motorku. Dan yang
satunya aku tambatkan di tanah. Kuambil hand phoneku dari saku celana. Kubuka.
Ku cari nama adikku. Pun kukirimkan pesan untuknya.
“Apa pean mau pulang sekolah bareng aku? Pean dimana? Aku tunggu di sebelah
barat kantor. Di tepi jalan raya.”
Dasar sial. Aku sudah cukup lama menunggu adikku tapi belum juga ada kabar
darinya. Aku perhatikan hand phoneku berkali-kali tetap juga tidak ada pesan
masuk untukku darinya. Aku sempat mengeluh. Dan ingin meninggalnya pulang. Tapi
beberapa saat kemudian, tubuhnya mengisi kehampaan kedua mataku. Ia perlahan
mendekatiku.
Aku sedikit heran dan aneh saat melihat raut mukanya. Tidak seperti
biasanya yang selalu menunjukkan keceriaan. Ia kecut dan berlukiskan kesedihan.
Dari jarak yang cukup dekat ia mengeluh padaku.
“Cak, hand phonku disita guruku!” berat terbata tuturnya.
“Kok bisa begitu? Memangnya kamu pakai hand phone di kelas?” tanyaku dengan
pelan. Aku tak mau menambahi kesedihanya saat itu.
“Tadi aku pas buka pesan dari pean. Dan ingin membalasnya. Cak, bagaimana
nih?” rengeknya manja.
“Kamu temui saja guru yang merampas hand phonemu sekarang juga. Coba kamu
sedikit mengiba kepadanya. Barangkali akan lain ceritanya.”
“Aku tidak berani Cak, Takut!”
“Memangnya apa yang mesti kamu takutkan? Lekas masuk kantor. Dan temui
dia!” desakku tegas.
Memang hal itu segaja aku lakukan kepada adikku. Karena aku punya tujuan
lain di balik semua itu. Aku ingin adikku berani menghadapi siapa pun demi
pemecahan masalah. Harapanku adikku agar bisa membebaskan jiwanya dari segala
tekanan ketakutan dalam diri pribadinya. Paling tidak dia bisa menuangkan
aspirasinya. Adapun hasilnya belakangan. Entah berhasil mengambil hand phone
atau tidak? Yang penting keberanian harus tumbuh di dalam dirinya.
Dan itu benar. Atas desakku, ia memberanikan diri menghadap guru itu.
Meskipun dengan perasaan gontai. Laksana nyiur melambai. Sejenak kuperhatikan
langkah kaki adikku. Aku pun merasa iba padanya. Aku merasa semua ini juga
tidak lepas dari kesalahanku. Mengapa aku menghubunginya saat itu? Kenapa tidak
aku tunggu saja ia sampai keluar dari lokasi sekolah? Ah semuanya tidak perlu
ada penyesalan. Sesuatu yang telah terjadi biarlah terjadi. Biar jadi kenangan
yang patut dipelajari. Berorientasi saja kedepan. Semoga adikku mengantongi
keberhasilan.
Dari kaca jendela yang putih bening, kuterawang adikku dari luar. Ia
terlihat gugup menyampaikan maksudnya kepada guru itu. Sesekali ia mendongakkan
wajahnya ke arahku yang berada di motor. Sungguh tak kuasa aku melihatnya.
Entah, di dalam kantor itu dia ngomong apa saja. Aku tidak terdengar. Yang
jelas adikku terlihat begitu mengiba. Dan guru itu bersikap masa bodoh.
Adikku keluar dari kantor itu membawa hasil yang hampa. Ia tidak dapat
mengambil hand phonenya kembali. Wajahnya terlihat semakin muram. Purnamanya
tak lagi mempesona. Ia semakin bingung di buatnya.
“Bagaimana, dapat hand phonenya?”
“Tidak Cak! Tetap tidak boleh. Aku bingung.” lirih keluhnya.
“Tadi dirampasnya di mana?”
“Di jalanan. Tepatnya di depan kelas. Waktu itu buyaran sekolah. Dan tema-temanku
sudah pulang semua. Tinggal beberapa orang saja. Aku berjalan dengan tiga orang
temanku yang lain dan mencoba mebalas pean. Tapi tiba-tiba……? Aku takut
dimarahi bapak dan ibu di rumah! Bagaimana Cak?”
“Ya sudah. Aku coba memintanya kembali. Barangkali bisa. Tapi tidak janji.
Sekarang kamu tunggu saja di sini.”
Hatiku tak kuasa melihat adikku yang terus mengiba kepadaku. Aku pun
menurunkan kakiku. Dan beranjak dari motorku. Namun aku juga tahu jika itu
sulit buatku. Aku harus berusaha demi adikku. Hasilnya terserah. Nihil atau………!
Yang penting berusaha dulu.
Aku masuk ke kantor. Menemui guru itu. Aku mengutarakan tujuanku menghadap
padanya. Aku mengulas kembali perkataan adikku beberapa waktu yang lalu yang
sempat terujar kepadanya.
“Pak, maaf. Saya sejenak mengganggu istirahat siang Bapak kali ini.”
“Ya, tidak apa-apa.” jawabnya ketus seolah telah tahu maksud kedatanganku.
Mungkin saja ia telah tahu keberadaanku sebelumnya.
“Saya ingin konsultasi masalah hand phone adik saya yang bapak sita beberapa
saat yang lalu.”
“Benar, hand phonenya memang saya sita. Memangnya kenapa?” sekali lagi
ketus jawabnya.
“Saya mohon dengan amat sangat kepada bapak, agar bapak berkenan
memberikanya kembali.” ibaku padanya.
“Tidak bisa Mas. hand phone yang sudah disita tidak bisa di kembalikan. Ini
sudah jadi kesepakatan dalam rapat wali murid.”
“Memangnya kesepakatanya bagaimana?” tanyaku mendesak.
“Setiap siswa tidak diperkenankan membawa hand phone ke sekolah. Sebab
mampu mengganggu konsentrasi belajarnya. Dan ini sudah kami sosialisasikan
kepada siswa juga” jawab tegasnya.
“Maaf Pak, saya kurang paham jika ada kesepakatan semacam itu. Tapi saya
mohon belas kasih Bapak untuk kali ini saja, Bapak berkenan memberikan hand
phone itu.” ujarku semakin merendahkan diri.
“Tidak bisa. Ini sudah paten dalam keputusan rapat.”
“Saya mohon Pak. Saya bertanggung jawab atas semuanya. Saya jamin adik saya
tidak akan membawa hand phone ke sekolah lagi. Jika adik saya melanggar untuk
yang kedua kalinya, semuanya terserah Bapak. Lagi pula adik saya masih baru di
sekolah ini. Saya mohon kali ini beri kesempatan.”
“Tetap tidak bisa!” bentaknya keras.
“Tolong beri keringanan untuk adik saya yang masih baru di sini.”
“Masih baru saja sudah berani melanggar peraturan. Apalagi kelak!” sekali
lagi ia membentak dengan keras. Penuh emosi.
“Justru masih baru itu Pak, dia belum paham akan adanya peraturan semacam
itu. Saya berharap ada sedikit toleransi dan belas kasih dari Bapak.”
“Tidak bisa! Sekali kesepakatan tetap kesepakatan. Semuanya harus
dijalankan dengan seksama. Tidak ada toleransi. Setiap hand phone yang telah
disita akan dihancurkan. Titik!”
Aku yang dulu juga alumni sekolah itu, telah sedikit banyak paham karakter
guru tersebut. Ia memang keras kepala. Kadang juga egois. Dan suka memaksakan
kehendak pribadinya. Ia tidak bisa menempatkan porsi yang pas dengan situasi
dan kondisi siswanya. Ia seolah berpandangan bahwa konsepnyalah yang paling
benar. Dan paling berhasil jika diterapkan kepada semua siswa.
Pernah suatu ketika ia menyumpah teman sekelasku. Menyumpah agar temanku
itu setiap harinya wajib belajar tidak kurang dari empat jam. Sementara ia
sendiri tidak tahu, bagaimana kondisi keluarga temanku. Sungguh memprihatinkan.
Semua kebutuhan keluarga harus ia sendiri yang menanggungnya. Begitu juga biaya
sekolah adik-adiknya. Sehabis sekolah ia bekerja bangunan paruh waktu. Dan
kalau malam ia juga sempatkan diri untuk ikut bekerja di penggiligan padi.
Bagaimana bisa belajar……?
Anehnya, meski sudah dijelaskan kondisi temanku saat itu, guru tersebut
tetap saja memaksakan kehendaknya. Wajib belajar empat jam. Padahal tidak
didoktrin semacam itu pun temanku setiap hariya sudah meluangkan diri untuk
belajar. Walau hanya sebentar. Namun hari itu memang naas baginya sehingga ia
disumpah sedemikian rupa. Kesalahanya hanya sederhana, ia ngantuk waktu jam
pelajaran. karena semalam suntuk ia bekerja di penggilingan padi. Dan pas
ditanya masalah belajar, ia jawab; “Semalam saya tidak belajar Pak!”.
Itulah sedikit kesalahan temanku. Tiap pelajaran guru itu, temanku ditanya
terus masalah sumpah belajar empat jam. Temanku memang polos. Ia tidak bisa
mendustai diri sendiri. Apalagi orang lain. Untuk menghindari hukuman atas
pertanyaan itu, ia membuat tulisan dalam buku pelajaranya; ”Aku sudah belajar
empat jam”. Pas ditanya; “Apa kau kemarin sudah belajar empat jam penuh”? Ia
selalu membaca tulisan dalam bukunya itu. Dan menjawab; “Sungguh Pak, aku sudah
belajar empat jam. Ini benar”.
Sungguh ia sangat cerdik. Maksudnya “ini benar” adalah benar menurut
tulisan yang ada di bukunya. “Aku sudah belajar empat jam”. Bukan benar secara
realiats. Ia belajar empat jam dalam keseharianya. Ia memang tidak bohong. Yang
salah gurunya. Ia salah tangkap dan salah paham akan maksudnya. Ia pun lolos
dari hukuman yang lebih berat dari guru itu. Guru yang sejak kecil selalu dalam
kecukupan dan kemewahan. Tak pernah merasakan kesusahan. Waktu itu aku juga
sempat mengumpat dalam batinku. Andai saja Tuhan suatu saat menjadikanya susah
dan hidup dalam kekurangan, mungkin ia baru sadar akan realitas kehidupan ini.
Kembali pada persoalan hand phone adikku. Guru itu omonganya sombong benar.
Baginya hand phone seolah-ilah tak berharga. Mentang-mentang kaya, ia main
hancurkan saja. Melihat gaya bicaranya yang semakin congkak, hatiku tergigit.
Darahku mendidih. Detak jantungku mengeras. Dan mataku memerah. Aku larut dalam
emosiku. Aku terpancing dengan nada bicara yang sedikit keras.
“Jika keputusan Bapak demikian, tidak apalah. Saya tidak akan menuntut
banyak dari bapak. Tapi perlu Bapak ketahui bahwa adik saya tidak mengaktifkan
hand phone dalam ruang kelas. Toh itu dilakukanya ketika jam sekolah sudah
usai. Dan semua siswa sudah pada pulang. Jadi, seharusnya dia sudah terlepas
dari aturan tersebut. Saya juga lulusan sekolah ini pak. Dulu sewaktu sekolah
saya sempat dibilang oleh salah seorang guru bahwa saya adalah orang bodoh dan
katrok. Sebab saya pada waktu itu diperintahkan mengaktifkan hand phone di kelas,
saya tidak bisa. Katanya saya tolol. Dalam era global mengoperasionalkan hand
phone saja tidak bisa. Tapi nyatanya sekarang bagaimana. Hand phone sudah
menjamur dan menjadi salah satu kebutuhan pokok hidup manusia, malah dikekang
pemakainya. Ini sungguh perbuatan munafik. Ini perbuatan orang tolol.”
“Tapi ini beda mas. ini sudah permasalahan lain.” selanya membela.
“Saya tahu pak tujuannya. Sekolahan ini tidak ingin siswanya membudidayakan
pornografi dalam hand phonenya bukan? Lihat Pak, hand phone adik saya. Mana
bisa mengakses gambar-gambar porno. Harga hand phonenya saja tidak lebih dari
dua ratus ribu perak Pak. Coba pikir! Dan lain kali kalau menentukan sanksi itu
seharusnya disesuaikan dengan permasalahanya Pak. Tidak main pukul rata seperti
ini.”
“Bukan itu masalahnya Mas. Tapi ini demi lancarnya proses pembelajaran di
kelas.” jelasnya lirih.
“Apalagi hal itu Pak. Itu sungguh imposibel. Bisakah bapak menjamin, dengan
tidak berhand phone siswa menjadi pandai? Tidak mungkin bukan? Sebab semuanya
itu bertumpu pada pola pikirnya. Serta bagaimana cara pengolahanya dalam
realitas kehidupanya. Kapasitas otak manusia itu tidak sama Pak. Di dalamnya
tertanam bakat-bakat yang berbeda-beda dalam setiap individu. Tugas guru adalah
mengantarkan anak didiknya menggapai cita yang sesuai dengan bakatnya. Guru
adalah sugestor. Adik saya juga tidak mengaktifkan hand phonenya saat proses
belajar mengajar. Bapak tadi kan menyitanya saat ia dalam perjalanan pulang,
bukan? Jadi apanya yang harus dikekang dalam pribadi adik saya? Apanya Pak? Toh
membuat aturan itu seharusnya tidak serta merta langsung difonis dihancurkan
seperti itu Pak. Tentunya harus melalui tahap peringatan terlebih dahulu.”
desakku bertubi-tubi.
“Apapun alasanya, Mas tidak bisa mengambil kembali hand phone adik Mas.
Hand phone harus dihancurkan. Ini sudah aturan. Dan saya konsekuen dengan
aturan yang telah disepakati. Ini tidak bisa dimanipulasi.”
“Tidak bisa dimanipulasi kata Bapak?”
“Ya, benar!”
“Dulu Pak, ketika saya dan teman-teman yang lain, Bapak perintahkan
mengerjakan tugas pribadi Bapak di ruang ini. Tepatnya di meja itu. Bapak malah
menyediakan kami sebungkus rokok. Padahal Bapak tahu bukan, larangan merokok
telah tergantung di papan atas dalam aturan sekolah untuk siswa. Bapak juga
sempat bilang kalau rokok itu Bapak sediakan biar menggarap tugasnya lebih
bersemangat. Ini aneh dan munafik bukan? Ini hanya manipulasi belaka bukan? Ini
aturan yang mana Pak?”
“Tapi……” sedikit menyela.
“Aturan mana yang harus dipegang Pak? Jika dibandingkan dengan kesalahan
adik saya, ini tidak sebanding dengan apa yang Bapak terapkan kepada saya dan
teman-teman waktu itu. Justru Bapak yang seharusnya dikenakan sanksi yang lebih
berat.”
“Kau………!”
“Saya sudah memohon belas kasih Bapak. Dan mengiba dengan begitu rendah
diri. Tapi bentakan yang justru Bapak berikan. Ingat Pak, Tuhan saja pasti
memberi cinta kasih-Nya kepada hamba-Nya yang telah memohon dengan penuh
hikmat. Dan rendah diri. Tetapi mengapa tidak dengan Bapak? Kecongkakan diri
yang Bapak berikan.”
“Apa maksudmu? Kau mengataiku congkak? Jangan bandingkan masalah ini dengan
Tuhan. Ini urusan kemanusiaan. Ini urusan siswa dengan pihak sekolah.” tanyanya
kaget.
“Tuhan memerintahkan agar manusia senantiasa memberi cinta kasih,
kemurahan, dan pintu maaf kepada sesamanya. Tuhan yang maha segala-galanya saja
tidak pernah menunjukkan kecongkakannya. Mengapa manusia yang hanya sedikit
dikaruniai cahayanya saja sudah berani menunjukkan kecongkakannya? Dan mengapa
hal ini juga tidak boleh disangkut-pautkan dengan Tuhan, Pak? Jangan-jangan
dalam diri Bapak sudah tidak ada lagi nama Tuhan! Dengan sejenak mengatakan hal
itu, Bapak telah melupakan perintah agama. Dan bahkan nama Tuhan.”
“Coba kau ulangi sekali lagi kata-katamu.”
“Tentunya sebagai guru agama, Bapak juga tahu bahwa Tuhan mempunyai sifat
Welas Asih. Pemurah. Pemaaf. Pengasih. Dan Penyayang. Semua sifat itu ternyata
tidak ada dalam diri Bapak. Berarti eksistensi Tuhan tidak hadir dalam diri
Bapak. Benar bukan? Dengan menanggalkan sifat-sifat itu, sama halnya Bapak
dengan meninggalkan Tuhan. Bapak telah lalai dengan Tuhan. Tuhan tidak hadir
dalam diri Bapak. Dan Bapak pasti juga tahu jabatan apa yang disandang bagi
orang yang semacam itu……”
“Kau berarti mengataiku kafir? Atheis? Kau yang kafir.” bentaknya penuh
dengan emosi.
“Tidak Pak. Aku tidak mengatai Bapak demikian. Ini sebatas wacana. Tidak
berhak seseorang mengafirkan sesamanya. Bapak pikirkan saja. Instropeksi diri
lebih utama. Renungkan dengan baik Pak! Menudinglah pada diri sendiri jangan
kepada orang lain. Pasti ketemu jawabannya. Dan bukannya saya mendurhakai Bapak
sebagai guru saya. Apalagi menggurui. Saya hanya meluruskan permasalahan Pak.”
“Aku setiap hari sholat. Atheis itu orang yang tidak sholat! Karena tidak
sholat berarti dia tidak ingat dan tidak pernah menghadapkan diri kepada Tuhan.
Jadi ya……”
“Bapak salah besar kalau begitu. Toh nyatanya Bapak juga belum melaksanakan
sholat dengan hakekat sholat yang sebenarnya. Ritual sholat yang Bapak lakukan
hanya sebatas kulitnya saja. Mana eksistensi sholat Bapak yang bisa mencegah
perbuatan keji dan munkar? Mana kerendahan hati yang merupakan buah dari
pelaksanaan sholat? Sholat itu menghadapkan diri dengan sepenuh hati kepada
Tuhan, Pak. Bukan sekedar jungkir balik gerakan tanpa makna. Dengan melakukan
itu, Bapak samahalnya dengan menipu Tuhan. Bapak hanya sekedar pura-pura ingat
Tuhan. Dan pura-pura menghadap Tuhan. Ini bisa jadi manipulasi manusianya
sendiri dengan jalan pembodohan terhadap diri sendiri dan juga Tuhan. Tapi
ingat Pak, Tuhan tidak dapat dibodohi.” potongku dengan tegas.
“………” ia diam terpaku.
“Maaf Pak, jika Bapak benar-benar telah menghadapkan diri kepada Tuhan,
kemana letak posisi penghadapan diri Bapak yang sebenarnya kepada-Nya?” sedikit
tanyaku.
“Ke kiblat!” jawabnya tegas dan pasti.
“Di mana kiblat Bapak?” tanyaku memburu.
“Di………” ia tidak meneruskan jawabanya. Diam memikirkannya.
“Meski tidak Bapak ungkapkan, saya tahu jawaban Bapak. Itu hanya simbol
kesatuan dan kebersamaan lahiriah manusia. Tuhan tidak ada di tempat itu.
Begitu juga dengan gerakan sholat Pak. Itu juga hanya sebatas simbol untuk
kerukunan dan kebersamaan antar manusia. Simbol itu aktualisasinya lewat
penerapan perilaku sehari-hari dalam lingkungan bermasyarakat. Sebenarnya
simbol lewat gerakan dan bentuk fisik itu penerapannya pada ruhaniah manusia.
Itu hanya sebatas pengingat laku batin. Selaraskan antara yang lahir dan yang
batin.”
“Simbol katamu! Lantas bagaimana pemaknahannya?”
“Bapak renungkan saja tiap gerakan itu. Saya tidak banyak waktu untuk
mengungkapnya. Lagipula Bapak guru saya. Tentunya Bapak lebih pintar dari saya.
Apalagi agama adalah bidang Bapak yang selama ini telah tertekuni. Maaf Pak,
saya pamit. Terima kasih atas penjelasan dan sambutan Bapak. ” jelasku
mengakhiri pembicaraan.
Amarah lahan-perlahan aku redam. Aku berpaling dari guru itu. berjalan
menuju pintu. Lantas beranjak menghampiri adikku yang telah lama menunggu di
motorku. Sungguh, tidak ada ramah-tamah yang mengenakkan kepadaku. Saat menemui
guru itu tadi, aku tidak dipersilahkan duduk di kursi. Aku berdiri sampai
pembicaraan usai. Padahal semua tempat duduk di ruang guru itu kosong. Ah, itu
bagiku tidak masalah.
Adikku memandangi langkahku yang semakin mendekatinya. Hatinya penuh dengan
tanya. Jantungnya bergemuruh menyesakkan jiwanya. Sayu sapanya hinggap di
telingaku.
“Bagaimana Cak, dapat hand phonenya?”
“Tidak bisa diambil!”
“Lantas bagaimana Cak? Aku pasti dimarahi bapak di rumah. Cak……?” ujarnya terbata.
Hampir meneteskan air mata.
“Ya, kita pulang saja. Paling-paling dimarahi hanya beberapa menit saja.
Paling lama ya sehirian lah.”
“Cak……!” ungkapnya penuh ketakutan.
Kunaiki motor bututku. Sambil meghimbau adikku agar segera naik. Dan
menabahkan hati. Menegarkan jiwa untuk menghadapi amarah bapak di rumah. Naik
lah ia. Aku pun memacu motorku. Aku beranjak pulang.
Kehawatiran adikku ternyata benar terjadi. Sesampainya di rumah, aku
ditanya orang tuaku masalah perangai adikku yang sedikit aneh. Dan menunjukkan
kesedihan yang begitu kuat. Aku yang tidak bisa membohongi diri sendiri, pun
menceritakan kejadian yang sebenarnya menimpa adikku. Awalnya orang tuaku
mengira, adikku mengalami kecelakaan. Mereka hawatir betul kepadanya. Tapi
setelah aku jelaskan semuanya, kehawatira itu seketika berubah menjadi amarah
yang luar biasa. Mereka menumpukkan semua kesalahan kepada adikku. Maklum,
orang tuaku marah karena hand phone yang disita itu bukan milik pribadi adikku.
Hand phone itu milik pamanku yang beberapa hari lalu dipinjam adikku. Sebab
baru beberapa hari ini, adikku bisa mengoperasionalkan hand phone. Wajar kalau
orang tuaku sedikit emosi. Dan naik darah.
Adikku matanya nanar. Dan lari ke kamarnya. Melinangkan air mata.
Menghujankan kesedihanya.
Lamongan, Jawa Timur.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Rifqi Hidayat
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Hopid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Acep Zamzam Noor
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agusri Junaidi
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Andhika Mappasomba
Andi Achdian
Andrenaline Katarsis
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Aprinus Salam
Arafat Nur
Ardy Kresna Crenata
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Wibowo
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Aryadi Mellas
Aryo Bhawono
Asap Studio
Asarpin
Asep Rahmat Hidayat
Asep Sambodja
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
B Kunto Wibisono
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Kempling
Bambang Soebendo
Banjir Bandang
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Boy Mihaballo
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Gibran Ramadhan
D. Zawawi Imron
D.N. Aidit
Daisy Priyanti
Dandy Bayu Bramasta
Daniel Dhakidae
Dareen Tatour
Dea Anugrah
Dedy Sufriadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Desti Fatin Fauziyyah
Dewi Sartika
Dhanu Priyo Prabowo
Dharmadi
Diah Budiana
Dian Hartati
Didin Tulus
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Pranoto
Echa Panrita Lopi
Eddi Koben
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Faizin
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Erlina P. Lestari
Erwin Dariyanto
Esai
Esti Ambirati
Evi Idawati
Evi Sefiani
F. Daus AR
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fandy Hutari
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Faza Bina Al-Alim
Felix K. Nesi
Ferdian Ananda Majni
Fian Firatmaja
Gampang Prawoto
Gema Erika Nugroho
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gombloh
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Gus Noy
H.B. Jassin
Hairus Salim
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hari Murti
Haris Firdaus
Harry Aveling
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HE. Benyamine
Hendri Yetus Siswono
Herman Syahara
Hermien Y. Kleden
Holy Adib
Huda S Noor
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Humam S Chudori
Husni Hamisi
I G.G. Maha Adi
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
Idealisa Masyrafina
Idrus
Ignas Kleden
Ikarisma Kusmalina
Ike Ayuwandari
Ilham
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Irfan Sholeh Fauzi
Isbedy Stiawan Z.S.
J.J. Kusni
Jadid Al Farisy
Jajang R Kawentar
Jakob Oetama
Jalaluddin Rakhmat
Jansen H. Sinamo
Joni Ariadinata
K.H. Bisri Syansuri
K.H. M. Najib Muhammad
Kahfi Ananda Giatama
Kahfie Nazaruddin
Kho Ping Hoo
Kika Dhersy Putri
Kitab Para Malaikat
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kuswinarto
L.K. Ara
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Leon Agusta
Lesbumi Yogyakarta
Lily Yulianti Farid
Linda Christanty
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
Luwu Utara
M. Aan Mansyur
M. Faizi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M.D. Atmaja
M’Shoe
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majene
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mamasa
Mamuju
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maroeli Simbolon
Martin Aleida
Masamba
Mashuri
Media KAMA_PO
Melani Budianta
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Afifi
Mohammad Yamin
Much. Khoiri
Muhammad Fauzi
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Ridwan
Muhammad Subarkah
Muhammad Walidin
Muhammad Yasir
Muhyiddin
Mukhsin Amar
Munawir Aziz
Musa Ismail
Mustamin Almandary
N Teguh Prasetyo
Nadine Gordimer
Nara Ahirullah
Nelson Alwi
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nugroho Sukmanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Asyhadie
Nurul Komariyah
Ocehan
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pamela Allen
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pelukis
Pendidikan
Penggalangan Dana
Peta Provinsi Sulawesi Barat
Polewali
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Salafiyah Karossa
Pramoedya Ananta Toer
Pramuka
Prasetyo Agung
Pringadi AS
Pringgo HR
Priska
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puput Amiranti N
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Ragdi F. Daye
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ratnani Latifah
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Riadi Ngasiran
Rian Harahap
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Riki Fernando
Rofiqi Hasan
Ronny Agustinus
Rozi Kembara
Rusydi Zamzami
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Saini K.M.
Sajak
Salman Rusydie Anwar
Salman S Yoga
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Sapto Hoedojo
Sasti Gotama
Sastra
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Seni Rupa
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sirajudin
Siswoyo
Sitok Srengenge
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sonia
Sosiawan Leak
Sukitman
Sulawesi Selatan
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suriali Andi Kustomo
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Syamsudin Noer Moenadi
Syihabuddin Qalyubi
Syu’bah Asa
Tari Bamba Manurung
Tari Bulu Londong
Tari Ma’Bundu
Tari Mappande Banua
Tari Patuddu
Tari Salabose Daeng Poralle
Tari Sayyang Pattuqduq
Tari Toerang Batu
Tata Chacha
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater
Teddi Muhtadin
Teguh Setiawan Pinang
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tito Sianipar
Tjahjono Widijanto
Toeti Heraty
Tosiani
Tri Wahono
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
UU Hamidy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wan Anwar
Wawancara
Wayan Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono
Wicaksono Adi
Wilson Nadeak
Wisata
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yopie Setia Umbara
Yosephine Maryati
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yurnaldi
Zamakhsyari Abrar
No comments:
Post a Comment