Humam S Chudori
suarakarya-online.com
“Kamu ngomong apa Dik? Apa saya tidak salah dengar?” tanya Tardi kepada
istrinya. Ia seperti tidak percaya dengan pernyataan yang baru saja dilontarkan
Asfina. Betapa tidak, tanpa prolog terlebih dulu, tiba-tiba perempuan berhidung
mancung itu mengatakan ingin berhenti kerja.
“Benar, Mas. Saya sungguh-sungguh.”
“Kenapa?”
Asfina diam.
“Apa kamu takut kita tidak segera punya momongan?” desak Tardi.
Lelaki itu bertanya demikian, lantaran Asfina belum memberikan tanda-tanda
akan mempunyai keturunan. Padahal ia sudah sangat merindukan segera datangnya
sang buah hati. Sementara itu, usia perkawinan mereka sudah tiga tahun lebih.
Memang. Tardi sempat beberapa kali menyatakan keinginannya untuk segera
punya keturunan. Itulah sebabnya mereka tidak ber-KB. Ia pernah merasa khawatir
jika seorang perempuan sibuk tidak akan segera bisa hamil. Dua orang teman
kerja Tardi – Ririn dan Ika – yang sudah cukup lama menikah belum juga punya
keturunan. Memang. Ika baru empat tahun menikah. Tetapi, Ririn yang sudah enam
tahun menikah belum juga memberi tanda-tanda akan hamil.
Ririn adalah atasan Tardi di tempat kerjanya. Tak jarang perempuan ini
pulang paling akhir. Sering bekerja lembur. Ya, jika Ririn menyuruh anak
buahnya bekerja lembur – tidak bisa tidak – ia pun akan ikut bekerja lembur.
Kesibukan inilah yang dipercaya teman-teman kantor Tardi sebagai penyebab Ririn
tidak kunjung hamil. Tardi pernah menceritakan hal ini kepada Asfina.
“Ya, sangat mungkin sekali hal itu terjadi,” demikian komentar Asfina, tatkala
Tardi menceritakan keadaan Ririn yang tak kunjung hamil, “Perempuan kalau
terlalu sibuk bisa jadi akan mengalami hambatan untuk hamil. Masalahnya akan
lain jika Bu Ririn ikut kabe. Tetapi, Mas bilang kalau Bu Ririn ….”
“Saya bingung ngomongnya, Mas,” ujar Asfina membuyarkan lamunan suaminya.
“Bingung bagaimana?” tanya Tardi, “Tetapi, apa kamu takut tidak segera bisa
hamil kalau masih bekerja. Saya tidak akan …”
“Saya tidak berpikir sejauh itu Mas,” potong Asfina, “Siapa bilang orang
yang bekerja dapat memengaruhi kehamilan. Lha wong, mBok-mbok tukang gendong di
pasar tetap bisa hamil. Bahkan di antara mereka ada yang anaknya banyak.”
Tardi diam kembali. Mungkinkah Asfina sudah berubah pemikiran? tanyanya
dalam batin. Atau barangkali ia tak ingin saya kecewa andaikata dirinya tak
kunjung hamil.
“Masalahnya kalau kamu berhenti kerja, tidak mudah untuk mendapat pekerjaan
lagi,” kata Tardi, setelah agak lama diam, “Cari kerja sekarang ini susah,
Dik.”
Asfina bergeming. Ia masih belum tahu bagaimana menjelaskan permasalahan
yang sedang dihadapi di tempat kerjanya kepada suami sendiri. Sebab khawatir
akan dianggap membuka aib korp.
“Apa kamu diteror seseorang?”
Asfina diam.
Asfina pernah menceritakan ada seorang bapak yang tidak terima karena
anaknya dipulangkan. Gara-garanya anak itu menunggak iuran bulanan. Lelaki itu
datang ke sekolah dengan membawa golok. Ia marah-marah di sana.
“Siapa yang telah menyuruh anak saya pulang? Siapa yang tidak mengizinkan
Sani mengikuti pelajaran?” kata lelaki itu setengah berteriak, di depan pintu
ruang guru.
Para guru yang tengah duduk di sana tidak ada yang melayani lelaki itu.
Para tenaga pendidik yang sedang beristirahat di ruangan itu tampak tegang.
Waw-was. Takut. Ngeri. Mereka tidak ada yang mencoba mendekati lelaki yang
tengah dikuasai rasa marah itu.
“Siapa yang menyuruh anak saya pulang?” ulangnya, setengah berteriak.
Lelaki itu datang ke sekolah bukan semata-mata disebabkan anaknya disuruh
pulang. Melainkan sesungguhnya ia masih belum rela melepas tanah warisan yang
telah dijadikan sekolah. Ia memang salah seorang pemilik sebagian lahan yang
kini sudah menjadi kompleks perumahan, dan salah satunya dijadikan bangunan
sekolah. Meskipun ia sudah menerima ganti rugi dari pihak pengembang. Tetapi,
Marsam – demikian nama lelaki itu – seperti kebanyakan pemilik tanah lainnya
yang sudah dijadikan kompleks perumahan, masih belum sepenuhnya rela melepas
tanahnya menjadi kompleks perumahan.
Untungnya, tidak lama kemudian ada seorang tentara yang anaknya juga
bersekolah di tempat itu datang. Aparat berpakaian seragam loreng-loreng itu
turun tangan menghadapi Marsam.
“Atau ada anak brengsek yang bikin kamu….”
“Tidak ada, Mas,” kembali Asfina memotong kalimat yang belum usai
disampaikan suaminya.
“Nah, kalau begitu sebetulnya tidak ada masalah. Kenapa kamu ingin
berhenti?”
Asfina diam.
Tardi kembali diam. Ia benar-benar merasa bingung dengan permintaan
istrinya yang dianggap tidak masuk akal. Aneh. Janggal. Betapa tidak, di saat
orang susah mendapatkan pekerjaan Asfina justru ingin berhenti kerja.
“Apa karena pendapatan kamu tidak sesuai dengan yang kita harapkan?” Tardi
kembali melontarkan pertanyaan, setelah cukup lama ia menunggu reaksi dari
istrinya. Namun, Asfina tetap bergeming.
Pertanyaan ini dilontarkan Tardi, lantaran istrinya pernah melontarkan
kekecewaannya dengan besarnya gaji yang ia terima setiap bulan. Memang. Gaji
yang diterima Asfina setiap bulan nyaris pas-pasan. Apalagi jika Asfina,
misalnya, terpaksa menggunakan jasa ojek ketika berangkat kerja. Tak heran bila
Asfina pernah beberapa kali melontarkan kekecewaannya.
“Jika dihitung-hitung saya ini jadi seperti orang kerja bakti, Mas,” kata
Asfina.
“Kalau memang begitu, ya lebih baik kamu tidak usah kerja saja, Dik,”
komentar Tardi, setelah berkali-kali istrinya melontarkan kalimat yang sama,
ketika itu.
“Toh kamu kerja atau tidak, penghasilan kamu tidak pernah bisa ditabung.
Jadi, buat apa kerja kalau tidak ada hasilnya,” lanjut Tardi memancing reaksi
istrinya.
“Ya, bukan tidak ada hasilnya Mas,” ujar Asfina.
“Tadi kamu bilang kerja bakti. Lalu kenapa ….”
“Maksud saya bukan itu hasilnya.”
“Lantas?”
“Saya merasa senang apabila ada murid yang berprestasi. Bangga bila apa
yang saya ajarkan dapat bermanfaat bagi mereka. Jadi, bukan materi yang saya
peroleh Mas. Melainkan kepuasan batin.”
Tardi menganggukkan kepalanya beberapa kali. Tardi merasa aneh lantaran di
satu sisi istrinya mengeluh tetapi di sisi lain ia memperoleh kepuasan batin.
Padahal kepuasan batin tak bisa diukur dengan materi. Bahkan seringkali orang
yang ingin mendapat kepuasan batin harus berkorban materi. Ketika ia masih
bujangan, misalnya. Kegemaran Tardi memancing – tidak bisa tidak – memerlukan
pengorbanan materi yang tidak sedikit. Namun, ia memperoleh kepuasan batin
ketika kailnya dimakan ikan. Kepuasan ini dirasakan ketika ia menarik senar
pancing. Bukan semata-mata banyaknya ikan yang berhasil ia peroleh. Sebab jika
ia mendapat ikan acapkali hasilnya justru diberikan kepada tetangga.
Sementara itu, Asfina mendapat kepuasan batin dengan pekerjaan yang
ditekuninya. Mendapat kepuasan batin tanpa harus mengeluarkan biaya. Tidak
merasa sia-sia menuntut ilmu hingga perguruan tinggi. Lalu kenapa mesti
mengatakan kerja bakti? Tardi membatin.
“Ada kebanggaan yang tidak bisa dijelaskan bila anak didik saya nanti ada
yang jadi orang. Ya, misalnya di antara anak didik saya nanti ….”
“Saya ingin berhenti bukan karena gaji, Mas,” Asfina membuyarkan pikiran
Tardi.
“Ya, bagus kalau kamu tidak mempersoalkan gaji. Toh, saya pernah bilang
pekerjaan kamu itu mulia. Pekerjaan mendidik generasi penerus bangsa tak bisa
dinilai dengan apa pun. Jadi, …”
“Kenyataannya tidak demikian, Mas,” potong Asfina.
“Maksudnya?”
“Saya merasa mendidik ketidakjujuran mereka.”
Tardi diam. Ia terkejut mendengar kalimat istrinya. Meskipun demikian ia
tidak ingin menunjukkan rasa kaget itu di depan Asfina.
Selanjutnya Asfina menceritakan konflik yang terjadi dalam batinnya selama
ini. Ya, lantaran setiap menjelang UN semua guru di sekolahnya – termasuk
Asfina, tentunya – harus membantu murid-muridnya agar mereka lulus. Caranya
dengan memberikan contekan kepada peserta UN. Jika tidak demikian, bisa
dipastikan, yang lulus tidak sampai separuhnya. Apalagi standar kelulusan makin
ditingkatkan. Padahal jumlah siswa yang lulus sangat memengaruhi penilaian
terhadap pendidik di sekolah.
“Bukankah ini artinya guru mendidik anak menjadi manusia yang tidak jujur,”
lanjut Asfina.
“Apa pengawas independen….”
“Pengawas independen juga manusia. Kalau mereka diajak damai dalam tanda
kutip juga mau. Nonsense! Jika mereka benar-benar mengawasi pelaksanaan UN. Itu
sebabnya saya selalu dihantui rasa bersalah, Mas.”
Pantas banyak orang tidak jujur. Rupa-rupanya mereka salah didik, pikir
Tardi. Kalau begitu tak heran jika ada politisi tidak jujur dengan istrinya –
melakukan perselingkuhan. Ada yang tidak jujur dengan negara dan bangsa,
melakukan tindak korupsi. Ada yang tidak jujur dengan rakyat, mengingkari janji
terhadap rakyat. Ada yang tidak jujur dengan keadilan yang harus ditegakkan,
seperti yang dilakukan aparat …..
“Mas Tardi pasti tidak akan percaya kenyataan di lapangan tidak sama dengan
teori para pejabat tinggi negara,” untuk ke sekian kalinya Asfina menghentikan
pertanyaan yang bergejolak dalam batin Tardi.
Tardi masih tetap diam.
“Bagaimana pendapat Mas Tardi kalau saya berhenti?”
“Sudahlah nanti kita pikirkan lagi bagaimana baiknya. Sekarang kita tidur
dulu. Sudah malam Dik,” kata Tardi. br
Lalu Tardi ke kamar tidur diikuti istrinya, setelah sebelumnya mematikan
lampu yang sudah tak terpakai.
Di tempat tidur Tardi langsung merebahkan diri. Memejamkan mata. Namun,
pikiran- nya masih dipenuhi setumpuk pertanyaan mengenai istrinya. Sebab ia tak
pernah menduga Asfina masih punya idealisme ketika sudah banyak orang yang
kehilangan nilai-nilai luhur ini. Istrinya menjadi guru sebuah sltp bukan
karena agar tidak menganggur lantaran ia seorang sarjana. Asfina menjadi guru
karena panggilan hati nurani. Andaikata semua guru seperti istri saya
mungkinkah peserta UN yang lulus tidak akan sampai separuhnya? tanyanya dalam
batin. Meskipun demikian Tardi tak ingin melontarkan pertanyaan ini. Entah
sampai kapan Tardi tak bisa memejamkan mata. Yang jelas, ia baru benar-benar
tertidur setelah seluruh tubuhnya terasa lemas.
***
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Rifqi Hidayat
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Hopid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Acep Zamzam Noor
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agusri Junaidi
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Andhika Mappasomba
Andi Achdian
Andrenaline Katarsis
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Aprinus Salam
Arafat Nur
Ardy Kresna Crenata
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Wibowo
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Aryadi Mellas
Aryo Bhawono
Asap Studio
Asarpin
Asep Rahmat Hidayat
Asep Sambodja
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
B Kunto Wibisono
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Kempling
Bambang Soebendo
Banjir Bandang
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Boy Mihaballo
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Gibran Ramadhan
D. Zawawi Imron
D.N. Aidit
Daisy Priyanti
Dandy Bayu Bramasta
Daniel Dhakidae
Dareen Tatour
Dea Anugrah
Dedy Sufriadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Desti Fatin Fauziyyah
Dewi Sartika
Dhanu Priyo Prabowo
Dharmadi
Diah Budiana
Dian Hartati
Didin Tulus
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Pranoto
Echa Panrita Lopi
Eddi Koben
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Faizin
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Erlina P. Lestari
Erwin Dariyanto
Esai
Esti Ambirati
Evi Idawati
Evi Sefiani
F. Daus AR
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fandy Hutari
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Faza Bina Al-Alim
Felix K. Nesi
Ferdian Ananda Majni
Fian Firatmaja
Gampang Prawoto
Gema Erika Nugroho
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gombloh
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Gus Noy
H.B. Jassin
Hairus Salim
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hari Murti
Haris Firdaus
Harry Aveling
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HE. Benyamine
Hendri Yetus Siswono
Herman Syahara
Hermien Y. Kleden
Holy Adib
Huda S Noor
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Humam S Chudori
Husni Hamisi
I G.G. Maha Adi
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
Idealisa Masyrafina
Idrus
Ignas Kleden
Ikarisma Kusmalina
Ike Ayuwandari
Ilham
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Irfan Sholeh Fauzi
Isbedy Stiawan Z.S.
J.J. Kusni
Jadid Al Farisy
Jajang R Kawentar
Jakob Oetama
Jalaluddin Rakhmat
Jansen H. Sinamo
Joni Ariadinata
K.H. Bisri Syansuri
K.H. M. Najib Muhammad
Kahfi Ananda Giatama
Kahfie Nazaruddin
Kho Ping Hoo
Kika Dhersy Putri
Kitab Para Malaikat
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kuswinarto
L.K. Ara
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Leon Agusta
Lesbumi Yogyakarta
Lily Yulianti Farid
Linda Christanty
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
Luwu Utara
M. Aan Mansyur
M. Faizi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M.D. Atmaja
M’Shoe
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majene
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mamasa
Mamuju
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maroeli Simbolon
Martin Aleida
Masamba
Mashuri
Media KAMA_PO
Melani Budianta
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Afifi
Mohammad Yamin
Much. Khoiri
Muhammad Fauzi
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Ridwan
Muhammad Subarkah
Muhammad Walidin
Muhammad Yasir
Muhyiddin
Mukhsin Amar
Munawir Aziz
Musa Ismail
Mustamin Almandary
N Teguh Prasetyo
Nadine Gordimer
Nara Ahirullah
Nelson Alwi
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nugroho Sukmanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Asyhadie
Nurul Komariyah
Ocehan
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pamela Allen
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pelukis
Pendidikan
Penggalangan Dana
Peta Provinsi Sulawesi Barat
Polewali
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Salafiyah Karossa
Pramoedya Ananta Toer
Pramuka
Prasetyo Agung
Pringadi AS
Pringgo HR
Priska
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puput Amiranti N
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Ragdi F. Daye
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ratnani Latifah
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Riadi Ngasiran
Rian Harahap
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Riki Fernando
Rofiqi Hasan
Ronny Agustinus
Rozi Kembara
Rusydi Zamzami
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Saini K.M.
Sajak
Salman Rusydie Anwar
Salman S Yoga
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Sapto Hoedojo
Sasti Gotama
Sastra
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Seni Rupa
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sirajudin
Siswoyo
Sitok Srengenge
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sonia
Sosiawan Leak
Sukitman
Sulawesi Selatan
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suriali Andi Kustomo
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Syamsudin Noer Moenadi
Syihabuddin Qalyubi
Syu’bah Asa
Tari Bamba Manurung
Tari Bulu Londong
Tari Ma’Bundu
Tari Mappande Banua
Tari Patuddu
Tari Salabose Daeng Poralle
Tari Sayyang Pattuqduq
Tari Toerang Batu
Tata Chacha
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater
Teddi Muhtadin
Teguh Setiawan Pinang
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tito Sianipar
Tjahjono Widijanto
Toeti Heraty
Tosiani
Tri Wahono
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
UU Hamidy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wan Anwar
Wawancara
Wayan Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono
Wicaksono Adi
Wilson Nadeak
Wisata
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yopie Setia Umbara
Yosephine Maryati
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yurnaldi
Zamakhsyari Abrar
No comments:
Post a Comment