Tuesday, August 3, 2021

Bait–Bait Hujan

Pringadi AS
oase.kompas.com
 
Kamu seperti hujan. Yang datang menghapus bau-bau kematian, di hatiku yang telah gersang oleh kemarau. Padahal kamu pernah menciptakan mendung, di awan awan yang putih, di hamparan langit yang biru. Tapi secepatnya aku lupa. Sebab kamu segera menggantinya dengan hujan. Yang merontokkan segenap kerinduan.
 
Melihat hujan hari ini, aku teringat kamu. Kamu yang hadir dengan manis di setiap hujan. Menggenggam sebelah tanganku—menarikku ke arah hujan. Bermain dengan hujan. Dan ketika kita telah begitu basah, kamu membelai rambutku yang penuh hujan. Menggerainya, hingga tak menghalangi wajahku yang pernah kamu sebut sebagai karya seni terindah Tuhan.
 
“Nggi, tidak bawa payung?”
 
Aku menggeleng.
 
Ardi. Aku tahu, sudah sebulan ini dia memberikan perhatian lebih kepadaku. Mungkin sebentar lagi dia akan mengatakan cinta. Aku yakin itu. Tapi tidak mungkin kuterima, sebaik dan seperhatian apapun dirinya. Sebab hatiku telah kamu. Rinduku pun telah kamu.
 
“Nanti sakit lho, Nggi?” bujuknya sambil membuka payungnya yang berwarna biru muda bermotif bunga. Ciri khas laki-laki bertipe lembut, mudah terluka. Mungkin.
 
“Di, Anggi suka hujan.”
 
Ardi diam, menatapku penuh rasa keingintahuan.
 
Aku menjulurkan tangan kananku ke rintik-rintiknya, mencuri segenang hujan. “Lihat, hujan adalah kehidupan.”
Dia diam. Masih menatapku dengan sedikit heran. Lalu ia pun ikut mengulurkan tangannya ke arah hujan.
 
“Aku tak pernah suka hujan,” diam sejenak sebelum ia melanjutkan, “kau tahu, Nggi? Dari kecil aku selalu dilarang main hujan-hujanan. Aku hanya bisa melihat teman-temanku bermain dengan riangnya dari balik jendela kamarku. Aku ingin… ingin sekali bisa bermain dengan hujan. Tapi aku tahu, aku tak boleh. Karena fisikku, Nggi… aku alergi hujan.”
 
Aku menatapnya yang masih menatap ke arah hujan. Menyunggingkan senyuman yang lebih dari kerinduan.
 
“Sulfat.” Aku memecah keheningan.
 
“Maksudmu?”
 
“Sekarang aku juga tidak akan main hujan-hujanan lagi.”
 
“Karena aku?”
 
“Enak saja. GR kamu.”
 
“Lalu?”
 
“Sulfat. Bukannya sudah kukatakan tadi?”
***
 
Tentang kamu, yang pernah kulihat berdiri menunggu hujan reda di pintu gerbang sekolah. Kamu mengenakan kemeja berwarna hitam dengan rambut acak-acakan, seperti tak disisir. Kamu memakai tas punggung yang juga berwarna hitam, yang tampak penuh menggelembung. Tak tahu apa isinya. Sesekali kamu melirik tangan kananmu, melihat waktu di arlojimu. Ah aku jatuh cinta padamu, pada ekspresi wajahmu yang waktu itu seperti terburu-buru.
 
Aku tergoda untuk mendekatimu. Berdiri di sampingmu.
 
“Payung?”
 
Kamu menatapku sekilas. Lalu menggeleng.
 
“Anggi. Kamu?”
 
“Pring.”
 
“Kenapa ketawa? Ada yang lucu?”
 
“Nggak…”
 
“Ah pasti karena namaku kan?”
 
Dan kamu diam. Diam yang begitu aku suka. Bisa kuhitung berapa kalimat yang kamu ucapkan di tiap kita bertemu. Seperti pertemuan pertama kita ini, kamu diam dan aku memayungimu. Kamu tidak menolak. Aneh. Padahal kita baru saling mengenal nama. Tetapi aku merasa begitu dekat kepadamu. Merasa seakan kamulah orang yang tepat untukku.
***
 
Kamu tidak begitu tampan. Ardi jelas jauh lebih tampan. Tapi garis mukamu begitu tegas. Begitu lugas. Kamu adalah tipe orang yang tahu dan paham apa yang harus dan boleh dilkakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Dan kamu seperti menemukan alasan, di pertemuan kita yang bahkan belum menginjak angka belasan, untuk mengatakan perasaanmu kepadaku.
 
Hari itu memang hujan.
 
“Momen yang sama, kan?” Aku kaget. Tidak biasanya kamu memulai pembicaraan. Belum aku menjawab, kamu sudah melanjutkan pertanyaanmu, “Payung?” Dan aku hanya bisa menatapmu. Kamu benar-benar aneh hari ini.
 
“Katakan saja apa maumu? Tidak biasanya kamu seperti ini.”
 
“Sudah kubilang kan? Momen yang sama.”
 
“Maksudmu?”
 
“Saat kita pertama kali bertemu.”
 
Kamu menatapku. Menatapku dengan pandangan yang di malam kesendirianku tidak dapat terhapus dari bayangan. Dan perkataanmu selanjutnya adalah sesuatu yang mungkin menjadi hal terindah dalam hidupku. Meski kamu tidak bertanya bagaimana perasaanku dan tidak memintaku untuk menjadi pacarmu. Tidak memintaku untuk selalu berada di sisimu. Tapi ya, kau dengan tegas mengucapkan itu, bahwa kamu suka aku. Cukup. Dan aku seperti tersihir atau terhipnotis oleh pernyataanmu itu. Tanpa bisa berkata-kata.
***
 
“Apa kamu suka sama orang lain, Nggi?” Ardi bertanya. Aku diam.
 
Bahasa terbaik adalah diam. Itu adalah ucapanmu. Aku tidak mengerti kenapa kamu lebih suka diam dan tersenyum. Sampai pembicaraan-pembicaraan kita seringkali semata lewat kertas atau SMS, padahal kita sedang duduk bersebelahan.
 
“Pring, bicaralah…”
 
“Ehmm, tidakkah ini romantis?”
 
“Old school…”
 
“Kamu mau aku cium?”
 
Giliranku yang terdiam. Kamu bilang ingin menciumku. Aku memejamkan mata. Beberapa detik kutunggu, kamu malah menjitak kepalaku. “Nanti, kalau kita sudah menikah…” lanjutmu sambil tersenyum.
 
Tetapi, kamu tidak ada di depanku kini. Malah Ardi. Dia masih menatapku dengan tanda tanya. Lama-lama aku jadi kasihan padanya. Maksudku, tidak baik untuk terus membiarkan seseorang mencintai sementara hati sudah milik orang lain. Ya, meski, kebanyakan perempuan begitu. Menebar kail di dua ikan. Menunggu sampai mendapatkan ikan yang paling besar. Aku tentu berbeda. Jika sudah ada satu ikan, ya cukup satu saja. Menunggu terlalu lama beresiko sia-sia.
 
“Kalau iya, kenapa?” Aku malah balik bertanya.
 
“Apa dia juga menyukaimu?”
 
“Ya, katanya begitu, tapi…”
 
“Tapi?”
 
“Kenapa kamu mau tahu?”
 
“Karena aku suka kamu!” Ardi menjawab dengan tegas.
 
“Sudahlah, Di… aku minta maaf, aku sudah terlanjur menyukainya.”
 
“Siapa dia… kelas berapa?”
 
Tiba-tiba aku terdiam. Pringadi. Kelas berapa ya? Sekolahku memang besar dan luas. Satu angkatan saja terdiri dari 12 kelas dan masing-masing kelas bersiswa 45 orang. Aku tidak pernah bertanya dia kelas berapa. Aku memang jarang melihatnya. Bahkan pertemuan pertama kami di gerbang sekolah itu pun adalah memang pertama kali aku melihatnya.
 
“Nggi… kok diam?” tanya Ardi lagi.
 
“Pringadi, kamu kenal?”
 
Ardi mengerutkan keningnya. “Rasanya tidak ada nama seaneh itu di sekolah kita.”
***
 
Bisa kuhitung jari berapa kali aku bertemu denganmu. Pertama, di gerbang sekolah, dan hari itu hujan. Kedua, di depan ruang guru, sore-sore saat aku baru selesai ekskul, dan hari itu hujan. Ketiga, di kantin, saat aku membolos karena bosan, hari itu kamu menyatakan suka aku, dan hari itu juga hujan. Keempat, di belakang sekolah, saat aku membeli beberapa alat tulis, kamu menghampiriku dan mengirim SMS, berkata ingin menciumku. Sebelum akhirnya, aku sudah berbulan-bulan tidak melihatmu.
 
Aku ingat sekarang, aku belum pernah memberikan nomor handphoneku ke kamu.
***
 
“Tidak ada yang namanya Pringadi di sekolah ini.”
“Tidak mungkin.”
“Sudah kuselidiki, Nggi. Sudah kutanyakan ke administrasi.”
“Aku pernah bertemu dengannya. Aku pernah berSMSan dengannya. Aku pernah bertulis kata-kata dengannya. Kamu hanya tidak suka kalau aku menyukai orang lain, Di!”
“Aku cuma tidak suka kamu tersesat dalam rasa sukamu, Nggi.”
“Masa bodoh!”
“Aku peduli padamu. Apa kau bisa menunjukkan semua bukti keberadaannya, Nggi?”
Aku masuk ke dalam kelas. Kuambil tas. Kutunjukkan SMS-SMS dari Pringadi. Pun kertas-kertas yang berisikan dialog kami berdua. Ardi mulai membacanya satu per satu. “Sekarang kamu percaya?”
Hari ini hujan lebih deras dari biasanya. Aku juga tidak menyangka Ardi bisa senekat ini menyelidiki apa-apa yang pernah kuceritakan kepadanya. Murid-murid lain sudah pulang dengan jemputan-jemputan mereka yang beragam. Kami berdua di pojok sekolah. Ardi masih mengamati semua kata-kata itu. Aku mengetuk-ngetukkan sepatu ke lantai. Tiba-tiba di pojok lain, akhirnya, aku melihatmu lagi. Kamu tersenyum. Hatiku berteriak. Segera aku lari menghambur ke arahmu, melewati hujan. Melewati genangan-genangan. Hujan menyamarkan airmataku. Aku memelukmu.
***
 
Hari itu, Ardi melihatku berlari tiba-tiba. Tasku jatuh dan berhamburan isinya. Ardi tidak pernah mengejarku. Pandangannya teralihkan pada sebuah handphone lain di tasku itu. Ia memungutnya. Ketika kembali memandangiku, ia tahu aku sedang mengejar sesuatu. Tetapi, satu yang tidak aku tahu, Ardi tidak melihat siapa-siapa di sana. Ardi melihatku seperti sedang memeluk seseorang. Tetapi, tidak pernah benar-benar ada orang dalam pandangannya. Ketika ia mulai membuka handphone itu, ia temukan SMS yang sama seperti di handphone sebelumnya. Pun ketika ia membongkar isi tas itu, ia temukan catatan-catatan dengan tulisan tangan yang sama dengan kertas-kertas dari Pringadi. Catatanku sendiri. Tulisanku sendiri.

(Palembang, 2010) http://sastra-indonesia.com/2011/01/bait-bait-hujan/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar