Sunaryono Basuki Ks
sinarharapan.co.id
Pada ulang tahunku yang ke tujuh puluh dua, saat musim dingin belum juga
pergi, aku menerima bingkisan dari seorang teman lama, yang syukur berusia
panjang pula seperti diriku. Sebuah bungkusan kertas kado sederhana berwarna
hijau tua berhiaskan kembang-kembang berwarna putih bagaikan untaian melati. Di
luar bungkusan menempel sebuah amplop, dilekatkan dengan selotip tipis. Amplop
itu lebih dulu aku buka. Isinya sebaris puisi:
Di hari bahagia ini/Kenanglah kami/Yang jauh/Namun tetap terengkuh/Oleh
jiwamu/ Kenanglah tanah/ tempat darah tumpah/tempat kita/kan bertemu kembali.
Aku tersenyum. Pasti dia tak pernah berhasil menjadi seorang penyair, namun
semangatnya yang menggebu untuk menjadi penyair membuatnya mampu menghafalkan
sajak-sajak karya Asrul Sani, seperti “Surat Dari Ibu” atau seluruh sajak Sitor
Situmorang yang terkumpul dalam “Surat Kertas Hijau”: lonceng gereja bukit
Itali. Atau: cherchez la femme, cherchez la femme. Atau: bunga di atas
batu/dibakar sepi/mengatas indera/dia menanti/bunga di atas batu/dibakar sepi.
Dia tentu saja tidak setua diriku. Mungkin delapan atau tujuh tahun lebih
muda. Namun, karena aku lebih dulu menjadi cerpenis terkenal, maka dia sering
datang ke rumah atau bersurat, sebab aku tinggal di Surabaya dan dia di Malang.
Banyak yang dia tanyakan sampai kadang aku kewalahan menjawabnya. Dia mencoba
menulis cerpen atau puisi namun tetap saja karyanya membuat aku tertawa dalam
hati. Tampaknya dia tak pernah putus asa. Dia juga dengan bersemangat
mengirimkan lewat pos buku tulis penuh dengan puisi yang ditulis dengan tulisan
tangannya yang indah.
“Ini, Mas. Saya serahkan sajak-sajakku, siapa tahu bisa dimuat,” begitu
bunyi suratnya, seolah menyala di tanganku.
Dia masih duduk di kelas satu SMA Bagian Sastra. Itu pilihannya sendiri,
tidak dipaksa siapa-siapa, padahal dia berasal dari SMP Bagian B dan nilai
ujian akhirnya rata-rata delapan seperdelapan, tertinggi di kelas III B/1. Toh
dia memaksa masuk SMA Jurusan sastra. Saat dia mendaftarkan diri, loket kosong,
dan petugas yang menerimanya setelah memeriksa berkasnya mengatakan:
“Bukan di sini, Dik. Di situ SMA III.”
“Saya memang melamar ke sini, Mas.”
“Tapi SMA Pasti di situ. Gedungnya memang satu kompleks di sini.”
***
Salju tiba-tiba turun, namun aku tak harus bergegas ke tempat kerja.
Tempatku bekerja sekarang adalah ruang kecil yang jendelanya menghadap ke
sebuah tanah lapang kecil yang ditumbuhi rerumputan. Dan kali ini rerumputan
itu diselimuti salju seluruhnya. Salju yang jatuh ditiup angin, kembali
melayang ke udara lalu seolah mencari-cari di sela-sela gedung, tempat untuk
menjatuhkan diri ke tanah atau menubruk tembok bangunan di seberang.
Di jendela istriku meletakkan pot bunga dari plastik yang ditumbuhi bunga
berwarna merah menyala, tentu kesukaan istriku. Kalau bunga itu sudah layu,
maka pot itu harus dibuang dan istriku akan menggantinya dengan pot bunga
berwarna kuning kesukaanku.
Musim dingin selalu membawa keindahannya tersendiri. Pertama aku
merasakannya justru di negeri Cina, saat ketenteraman hati dan harapan ke masa
depan gelap bagai malam-malam musim dingin itu. Aku menggigil sendirian.
Teman-teman juga. Seperti diriku, mereka tidak pernah bepergian ke luar negeri,
dan berita-berita di radio mewartakan harapan yang putus untuk kembali ke tanah
air. Aku tahu bahwa musim dingin akan berganti dengan musim semi, musim harapan
dengan bunga-bunga yang mulai kuncup. Hal itu mungkin terjadi di alam lain,
tidak di negeri asing ini, negeri asing pertama yang aku injak, bersama-sama
rekan wartawan yang semuanya harus menerima kemandegan perjalanan hidup
masing-masing. Kapan kami bisa pulang, tak seorang pun yang tahu.
“Sebaiknya kita tidak pulang,” pemimpin rombongan memberi saran. Dia bukan
menghibur kami, sebab dia juga tak mampu menghibur dirinya sendiri. Baginya
urat nadi kehidupan juga sudah putus, seperti urat nadi kami. Kami benar-benar
tak tahu apa yang harus diperbuat.
Kami harus tunduk kepada hukum lokal, dan sering mendapat caci-maki sebab
sudah berbuat kesalahan. Tetapi, apakah itu memang salah kami? Kami tidak tahu
apa-apa. Ketika kami berangkat, semua baik-baik saja Tidak ada tanda-tanda yang
mengkhawatirkan. Memang, beberapa bulan sebelumnya koran kami mendapat surat
edaran, yang menyatakan bahwa kami harus berafiliasi dengan partai atau ormas
tertentu. Menurut perasaanku, surat itu biasa saja. Sudah semestinya kami
meletakkan diri di mana. Dan tanpa kecurigaan, Pemimpin Perusahaan kami
mengirim keputusan rapat yang menyatakan bahwa kami berafiliasi dengan sebuah
ormas tertentu. Itulah ujungnya.
***
Sudah lama berlalu. Dari satu negeri ke negeri lain, bertemu dengan
teman-teman lain yang semuanya merindukan gudeg Yogya, atau rujak cingur, atau
rendang, atau empek-empek Palembang, atau?..
Namun, tetap saja kami terlunta-lunta. Untung aku mendapat pekerjaan
mengajar di universitas setelah berpindah-pindah dari satu negara ke negara
lain. Dan istri serta anakku menyusul, hampir sewindu kemudian. Aneh memang,
dalam ketiadaan harapan, istriku bertahan hidup, dan justru menyusulku ke
negeri orang, bukan memutuskan untuk menikah lagi dan melupakan masa lalu. Masa
lalu adalah masa kami berdua, dan itulah kunci ketulusan hati istriku.
***
Kubuka bungkusan kertas hijau itu. Di dalamnya ada selembar kain batik.
Kain batik sidomukti. Dan masih ada sebaris puisi:
Mukti di usia senja
Aku tiba-tiba teringat ibu. Ibu pernah bercerita, bahkan ketika aku
dilahirkan, ibu meminta nenek membungkusku dalam kain batik sidomukti. Katanya,
aku tidur dengan tenang setiap saat, hanya terbangun ketika minta minum serta
kencing. Kata ibu:
Lahir mukti
Aku benar-benar dilahirkan mukti. Di Pare, Kediri, bapakku yang guru tak
kekurangan apa. Gajinya uang gulden dan ibu pandai mengatur rumah tangga.
Sampai Jepang datang ketika aku berusia sembilan tahun lebih dua bulan, hidup
kami memang sejahtera. Lalu saudara tua mempropagandakan kemakmuran Asia Timur
Raya dan kami mulai tergencet dalam keseharian antara makan dan tidak makan.
Banyak yang jatuh sakit dan meninggal, banyak yang dikirim kerja paksa demi
membela tanah air.
Ketika zaman susah aku menikah dengan Jeng Retnowulan, kami mengenakan kain
batik sidomukti. Ibuku, juga ibu mertuaku mengatakan:
Hidup mukti.
Jangan sampai mengenakan kain batik dengan corak parang rusak, sebab
segalanya akan hancur berantakan. Kado yang kami terima cuma gelas minum
beberapa biji. Tidak ada kado kain sutera atau cangkir keramik yang bagus. Tapi
mertuaku menghidangkan nasi rawon dengan daging pilihan pada resepsi pernikahan
yang meriah.
Aku bekerja sebagai guru di sebuah SMA Swasta dan juga sebagai wartawan
budaya di sebuah koran yang cukup besar untuk ukuran saat itu, sementara aku
juga menulis cerita pendek yang diterbitklan di dalam majalah Sastra. Tapi
kehidupan pengarang saat itu sangat memprihatinkan, sebab honor mengarang
sangat kecil. Hanya satu koran Berita Minggu yang berani membayar mahal, sampai
Rp 500,- satu cerita pendek, padahal gajiku sebagai wartawan tak sampai Rp
2000,-
Toh kami bertahan hidup. Orang lain makan bulgur, kami masih sanggup makan
nasi bercampur ketela. Kami masih mampu memelihara kelinci dan istriku kadang
memasak sate kelinci.
Hidup mukti.
Sampai berita gembira itu tiba. Aku dan beberapa orang teman wartawan dari
seluruh Indonesia akan diberangkatkan ke luar negeri. Istriku mulai mencari
hutangan buat membeli kain bahan jas yang akan kukenakan. Kain mohair warna
coklat yang tak begitu bermutu, tapi aku harus punya sepasang jas untuk sebuah
pertemuan internasional. Dan dengan menenteng kopor seng peninggalan ayahku,
aku diantar ke stasiun kereta api menuju Jakarta. Dari Jakarta rombongan akan
berangkat bersama.
“Mas, semoga selamat kembali ke rumah.”
“Doakan Jeng Retno.”
Dan itu hanyalah sepotong harapan dan sebisik doa. Kami harus berpisah
sewindu lamanya.
***
Salju masih turun, namun musim dingin sebentar lagi berlalu. Tanganku sudah
lama terasa ngilu bila musim dingin tiba. Bila musim berganti, bukan harapan
baru yang muncul. Sebelas hari lagi anak-anak muda yang penuh rasa cinta
merayakan Valentine Day, hari kasih sayang. Adakah kasih sayang ketika
teman-temanku menghilang dari peredaran, sebagian konon sudah menjadi korban
kemarahan rakyat? Dengan perih Eliot menyitir keyakinan orang Hindu:
“April is the cruellest month?”1
Dan kain sidomukti yang aku terima dititipkan Gede Budasi, anak dari bekas
murid temanku yang datang ke negeri ini untuk mengkonsultasikan disertasinya
tentang sistem kekerabatan bahasa Sumba, salah satu bagian dari bahasa besar
bahasa Austronesia, bidang linguistik historis komparatif. Dosen pembimbingnya
di UGM Dr Inyo Fernandes pernah dikirim ke Leiden. Profesor Northofer yang ahli
bahasa-bahasa Austronesia itu memang mengajar di Universitas negeri ini.
Di usia baruku nanti, di kedatangan musim semi, apakah siklus sedih akan
kumulai? Aku tidak tahu. Dan aku juga tak tahu makna kado istimewa untuk ulang
tahunku yang ke tujuh puluh dua ini. Siapakah yang dapat meramalkan kehidupan
seseorang? Siapakah yang dapat mengatakan padaku bahwa sudah hampir empat puluh
tahun meninggalkan Kediri, meninggalkan tahu yang kurindukan, dan apa yang akan
terjadi?
Aku teringat ibu, teringat mertuaku, dan teringat temanku:
Lahir mukti
Hidup mukti
Mati pun mukti.
Benarkah? Salju makin deras menerpa jendela, melayang seolah ingin menyapu
dinding dengan kuas raksasanya. Salju telah turun, dan musim semi akan segera
tiba. Musim yang paling kejam, yang justru tampak memunculkan bunga-bunga aneka
warna, warna-warna semu dari sela-sela tanah yang sebelumnya diselimuti salju.
Dan tanganku makin terasa ngilu.
Lahir mukti, hidup mukti, mati mukti
Shantih, shantih, shantih2
Tergetar giring-giring berdenting jauh ke dinding hati: shantih, shantih,
shantih. Damai di dunia. Mukti saat mati.
***
Singaraja, Dua minggu pertama September 2004
1 Larik pertama puisi panjang The WasteLand karangan TS Eliot
2 Shantih, shantih, shantih= larik terakhir sajak The Waste Land.
http://sastra-indonesia.com/2010/10/kain-batik-sidomukti/
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Rifqi Hidayat
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Hopid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Acep Zamzam Noor
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agusri Junaidi
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Andhika Mappasomba
Andi Achdian
Andrenaline Katarsis
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Aprinus Salam
Arafat Nur
Ardy Kresna Crenata
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Wibowo
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Aryadi Mellas
Aryo Bhawono
Asap Studio
Asarpin
Asep Rahmat Hidayat
Asep Sambodja
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
B Kunto Wibisono
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Kempling
Bambang Soebendo
Banjir Bandang
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Boy Mihaballo
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Gibran Ramadhan
D. Zawawi Imron
D.N. Aidit
Daisy Priyanti
Dandy Bayu Bramasta
Daniel Dhakidae
Dareen Tatour
Dea Anugrah
Dedy Sufriadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Desti Fatin Fauziyyah
Dewi Sartika
Dhanu Priyo Prabowo
Dharmadi
Diah Budiana
Dian Hartati
Didin Tulus
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Pranoto
Echa Panrita Lopi
Eddi Koben
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Faizin
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Erlina P. Lestari
Erwin Dariyanto
Esai
Esti Ambirati
Evi Idawati
Evi Sefiani
F. Daus AR
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fandy Hutari
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Faza Bina Al-Alim
Felix K. Nesi
Ferdian Ananda Majni
Fian Firatmaja
Gampang Prawoto
Gema Erika Nugroho
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gombloh
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Gus Noy
H.B. Jassin
Hairus Salim
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hari Murti
Haris Firdaus
Harry Aveling
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HE. Benyamine
Hendri Yetus Siswono
Herman Syahara
Hermien Y. Kleden
Holy Adib
Huda S Noor
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Humam S Chudori
Husni Hamisi
I G.G. Maha Adi
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
Idealisa Masyrafina
Idrus
Ignas Kleden
Ikarisma Kusmalina
Ike Ayuwandari
Ilham
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Irfan Sholeh Fauzi
Isbedy Stiawan Z.S.
J.J. Kusni
Jadid Al Farisy
Jajang R Kawentar
Jakob Oetama
Jalaluddin Rakhmat
Jansen H. Sinamo
Joni Ariadinata
K.H. Bisri Syansuri
K.H. M. Najib Muhammad
Kahfi Ananda Giatama
Kahfie Nazaruddin
Kho Ping Hoo
Kika Dhersy Putri
Kitab Para Malaikat
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kuswinarto
L.K. Ara
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Leon Agusta
Lesbumi Yogyakarta
Lily Yulianti Farid
Linda Christanty
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
Luwu Utara
M. Aan Mansyur
M. Faizi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M.D. Atmaja
M’Shoe
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majene
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mamasa
Mamuju
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maroeli Simbolon
Martin Aleida
Masamba
Mashuri
Media KAMA_PO
Melani Budianta
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Afifi
Mohammad Yamin
Much. Khoiri
Muhammad Fauzi
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Ridwan
Muhammad Subarkah
Muhammad Walidin
Muhammad Yasir
Muhyiddin
Mukhsin Amar
Munawir Aziz
Musa Ismail
Mustamin Almandary
N Teguh Prasetyo
Nadine Gordimer
Nara Ahirullah
Nelson Alwi
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nugroho Sukmanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Asyhadie
Nurul Komariyah
Ocehan
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pamela Allen
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pelukis
Pendidikan
Penggalangan Dana
Peta Provinsi Sulawesi Barat
Polewali
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Salafiyah Karossa
Pramoedya Ananta Toer
Pramuka
Prasetyo Agung
Pringadi AS
Pringgo HR
Priska
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puput Amiranti N
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Ragdi F. Daye
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ratnani Latifah
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Riadi Ngasiran
Rian Harahap
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Riki Fernando
Rofiqi Hasan
Ronny Agustinus
Rozi Kembara
Rusydi Zamzami
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Saini K.M.
Sajak
Salman Rusydie Anwar
Salman S Yoga
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Sapto Hoedojo
Sasti Gotama
Sastra
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Seni Rupa
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sirajudin
Siswoyo
Sitok Srengenge
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sonia
Sosiawan Leak
Sukitman
Sulawesi Selatan
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suriali Andi Kustomo
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Syamsudin Noer Moenadi
Syihabuddin Qalyubi
Syu’bah Asa
Tari Bamba Manurung
Tari Bulu Londong
Tari Ma’Bundu
Tari Mappande Banua
Tari Patuddu
Tari Salabose Daeng Poralle
Tari Sayyang Pattuqduq
Tari Toerang Batu
Tata Chacha
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater
Teddi Muhtadin
Teguh Setiawan Pinang
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tito Sianipar
Tjahjono Widijanto
Toeti Heraty
Tosiani
Tri Wahono
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
UU Hamidy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wan Anwar
Wawancara
Wayan Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono
Wicaksono Adi
Wilson Nadeak
Wisata
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yopie Setia Umbara
Yosephine Maryati
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yurnaldi
Zamakhsyari Abrar
No comments:
Post a Comment