Thursday, August 19, 2021

PUISI-PUISI YANG BERSELIMUT TEBAL

Ragdi F. Daye
harianhaluan.com, 27 Maret 2011
 
Sebagai karya sastra, puisi mengekspresikan pengalaman hidup manusia dan pemahaman­nya tentang kehidupan melalui bahasa yang estetis. Berbeda dengan prosa yang mempunyai peluang menyampaikan maksud dengan kapasitas ruang ekspresi yang cukup luas, puisi memadat­kan gagasan dalam tubuh yang ramping. Konsekuensinya, puisi perlu menyaring dan memilah kata-kata secara lebih ekstrem untuk menghantarkan maksud pengarangnya. Bahasa dalam puisi merupakan kristalisasi atas bahasa yang biasa digunakan dalam keseharian. Inilah yang menim­bulkan aspek estetika di dalam tubuh unik puisi.
 
Aspek estetika tersebut me­mung­kinkan terjadinya komunikasi antara penyair sebagai pencipta puisi dan pembaca yang kelak merefleksikan dirinya pada teks. Apabila bahasa yang digunakan oleh penyair dapat dipahami secara seimbang oleh pembaca, komunikasi makna pun tercapai. Apa yang dimaksudkan penyair ikut dirasakan oleh pembaca. Kegelisahan dan keperihan penyair juga menimbulkan pembaca gelisah dan menderita perih. Namun, komunikasi tersebut tidak mudah karena dunia pengalaman sang penyair berbeda dengan pembaca. Di sanalah kekuatan refleksi bahasa memegang peranan penting, ketika dunia yang dialami oleh penyair dapat terhadirkan dan secara sejajar dapat diterima oleh pembacanya. Kalaupun sang pembaca tidak sepenuhnya mema­hami apa yang dimaksudkan penyair, namun bahasa yang membangun teks puisi memung­kinkan pembaca mendapatkan bias atau pantulan kehidupan dan pengalamannya pada teks tersebut, sehingga dia pun secara sadar atau tidak, secara memuaskan atau tidak, telah mencerap makna dari teks tersebut.
 
Rumit dan Sederhana
 
Memasuki puisi seperti beren­dam di kolam, tak akan terasa hangat atau sejuk airnya bila kita tidak masuk ke dalamnya. Dimu­lai dengan menyentuh air, mence­lupkan tangan atau kaki, dan mencebur ke dalamnya. Setelah berada di dalamnya, kita pun dapat membuka diri untuk mem­bi­arkan tubuh merasakan aliran sensasi yang meresap melalui pori-pori. Memang, menikmati kolam bisa juga dengan sekadar duduk-duduk di pinggirnya sambil membasuh muka dan tangan serta membasahkan kaki, namun rasa yang direguk tentu berbeda dibanding bila telah berendam dan berkecimpung di dalamnya.
 
Puisi-puisi Nirwan Dewanto dalam Buli-Buli Lima Kaki (GPU, 2010) ini bagi saya seperti kolam eksotis yang misterius. Saya begitu tergoda untuk mencebur ke dalamnya, namun remang kabut dan aneka makhluk-tak-dikenal yang menyesak di sekelilingnya membuat hati saya gugup untuk melompat masuk, mengukur kedalaman dan menikmati keinda­hannya. Hanya setelah mengum­pulkan segenap keberanian dan sedikit bekal, saya dapat memasu­kinya. Tapi entahlah, apa sudah sampai ke dasar paling dasar atau hanya permukaan dangkal.
 
Sebagian besar puisi dalam buku ini berbicara tentang hal-hal yang sebenarnya sederhana; tentang hewan, makanan, tumbu­han, tempat, orang-orang, peristi­wa, atau pun benda-benda yang ada atau dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Peoni, misalnya. Bagi orang Indonesia mungkin nama itu tidak akrab, namun ia merupakan bunga belaka. Ia adalah sejenis bunga rempah yang berasal dari Tiong­kok dan biasa dipakai sebagai hiasan ornamen keramik. Bentuk­nya seperti mawar, namun mempu­nyai mahkota yang agak luas. Perilaku bunga ini adalah setelah mekar di awal musim semi, ia perlahan-lahan melayu ke tanah dan mati. Puisi ini berbicara tentang lahir-hidup-mati melalui bunga yang tak sepopuler mawar.
 
Puisi-puisi Nirwan cenderung diselimuti oleh kata-kata dan frase yang terasa asing sehingga meman­cing saya untuk membuka kamus atau pun browsing di internet. Sering saya berhenti sebentar untuk mencari makna suatu kata atau mencari informasi tentang nama dan istilah tertentu. Memang melelahkan, namun membawa saya pada dunia baru yang belum saya kenal, lama-lama mengasyik­kan. Bila sedang tak serajin itu, saya akan mengacuhkan saja kata-kata referensial yang bertaburan dan memandang si puisi dengan sesederhana mungkin. Misalnya puisi “Asal Usul Kebahagiaan”, saya paham bahwa kebahagiaan itu akan dapat dirasakan ketika kita bisa menerima sesuatu dengan apa adanya, seiklas-iklasnya, dan merasakan pesonanya.
 
Sebagian besar puisi Nirwan ini dirangkai dengan nama-nama dan istilah dari berbagai bidang dan dari berbagai belahan bumi. Di antaranya bertuliskan nama tokoh di bawah judul yakni tokoh-tokoh dari bidang seni rupa dan puisi. Untuk lebih leluasa mema­suki puisinya, memang dibutuhkan penjelajahan mencari referensi. Terutama agar dapat memaknai secara pas. Walau tidak ada jaminan bahwa referensi tersebut memang menguatkan makna puisi atau nonsens.
 
Esha Tegar Putra telah melaku­kan penelusuran atas nama-nama tokoh di bawah judul sejumlah puisi. Hasilnya mengejutkan, ada beberapa puisi yang mempunyai hubungan erat dengan karya seni rupa yang dikerjakan oleh tokoh yang namanya tertulis itu, seperti Max Ernst pada puisi “Gajah Sulawesi” dan Anish Kapoor pada puisi “Telur Chicago”. Apakah Nirwan Dewanto menulis puisi dari karya rupa? Entahlah, yang jelas dia memang seseorang yang punya perhatian besar terhadap karya rupa dan sering menjadi kurator di bidang itu. Apabila benar bahwa ada puisi Nirwan yang diciptakan dengan sumber ide dunia dalam karya rupa, itu adalah suatu hal yang menarik. Pengarang atau penyair dapat memaknai alam semesta untuk menulis, termasuk alam di dalam lukisan, lebih-lebih bila menafsir­kannya melalui karya sastra. Karya rupa dapat menjadi sumber ide untuk menulis karya sastra, itu sebuah jalan yang unik. Hanya saja, apabila puisi memindahkan realitas dalam karya rupa secara ‘utuh’ begitu saja, puisi menjadi transformasi belaka. Nilainya bisa tak kalah menyedihkan dibanding novel-novel adaptasi dari film.
 
Perihal Erotika dan Parodi
 
Buli-buli merupakan sejenis guci atau botol kecil. Benda ini dapat digunakan untuk menyim­pan barang-barang kecil atau minyak wangi. Buli-buli juga dikaitkan dengan organ reproduk­si/ sekresi laki-laki yakni kantung kemih sehingga dapat dihubung­kan dengan alat kelamin. Di dalam ilmu kedokteran, salah satu jenis kanker prostat adalah kanker buli-buli atau kanker kantung kemih. Pada judul buku ini, buli-buli sepertinya mengacu pada guci kecil karena memiliki kaki. Namun, kandungan makna yang kedua sepertinya ikut mewakili isi buku ini.
 
Tidak satu-dua saya temukan puisi yang mengandung unsur erotika. Sebagian hanya berupa kilasan, namun ada juga yang cukup intens seperti dalam “Sapi Lada Hitam”, “Bulan Madu”, dan “Virgo”. Secara teori, istilah erotika berbeda dengan pronogra­fi. Menurut KBBI edisi ketiga, erotika adalah karya sastra yang tema atau sifatnya berkenaan dengan nafsu kelamin atau kebera­hian.
 
Di dalam puisi “Sapi Lada Hitam” (hal. 31-32) berulang kali muncul kata buli-buli yang mengacu pada pengertian kedua. Puisi bersubjudul Francis Bacon itu menceritakan dua orang yang menyembelih seekor sapi untuk hidangan mereka diselingi adegan persetubuhan. Mungkin puisi ini ada hubungannya dengan peristiwa pemancungan Pangeran Essex, sahabat Francis Bacon yang hendak mengkudeta Ratu Eliza­beth di abad ke-16, atau tentang cinta terlarang pelukis bernama sama di abad 20, atau bisa saja tak berhubungan sama sekali. Tapi beberapa bagian dalam puisi ini terdapat unsur erotisisme.
 
Selain erotika, saya juga menemukan kenakalan Nirwan dengan memarodikan sesuatu yang telah ada dan mapan. Seperti ‘mempermainkan’ peribahasa, doa, dan puisi terkenal.
 
Puisi “Belaka” (hal. 131-132) adalah ‘olok-olok’ atas puisi “Aku Ingin (Mencintaimu dengan Sederhana)” karya Sapardi Djoko Damano yang telah terkenal.
 
Puisi lain yang berisi parodi adalah “Doa Musim Gugur” (hal. 158-162) yang merupakan puisi terakhir dalam kumpulan ini. Puisi ini diawali dengan gaya pembuka surat (dalam Al Quran): “Demi waktu yang memisahkan nyanyi dari pahala, lemak dari susu, kau dari kulit, aku dari akar”, disertai ungkapan “Mahabenar majas dengan segala muslihatnya”, dan ditutup dengan “Aku berlindung kepada lidahmu dari godaan nahu yang terkutuk.”
 
Apa maksud Nirwan dengan berparodi begitu? Saya pikir, itu tak jauh berbeda dengan motif-motif puisinya: bereksperimen dengan bahasa yang membuat pembaca sesak napas untuk menunjukkan jalan puisinya, sekaligus bersenang-senang. Bu­kan­kah puisi juga media ekspresi menghibur diri?
 
Kampung dan Kosmopolitan
 
“Pengarang Telah Mati” demi­kian ungkapan yang biasa dimahf­umi ketika membaca karya sastra. Bicara karya sastra berarti murni membicarakan teks. Namun, karena di dalam teks banyak jejak-jejak ‘lekat tangan’ si pengarang yang memengaruhi karya cipta­annya, seolah ada sebagian jiwanya menyisip di dalam teks, maka saya merasa perlu mengenal penyairnya. Membaca puisi-puisi dalam buku Buli-Buli Lima Kaki ini, saya tidak bisa untuk tidak mengaitkan dengan sosok Nirwan Dewanto yang seorang kritikus sastra, kurator seni rupa, dan pernah hidup di negeri asing (luar Indo­nesia, terutama Amerika Serikat dan Eropa). Bila puisi-puisi Nirwan tampak ‘melenceng’ dari kecende­rungan puisi-puisi penyair Indo­nesia, ini disebabkan oleh dunia pengalaman yang mempengaruhi sudut pandangnya dalam memak­nai kehidupan, termasuk atas minat, pikiran, dan gaya bertutur­nya.
 
Semua itu malah memperkaya warna dalam puisinya. Saya menemukan nuansa kampung dalam alam kosmopolitan. Aneka bau bumbu dan rempah-rempah di dapur kampung berbaur dengan suasana negeri empat musim yang bersalju, musim semi, tumbuhan-tumbuhan berdaun jingga, dan lanskap kota yang asing. Mes­kipun bermain-main dengan hal-hal yang asing atau ganjil, Nirwan masih penyair Indonesia yang rajin dan ambisius dalam menggali khazanah bahasa Indonesia. Puisi-puisinya banyak memakai kata-kata yang terasa janggal bagi orang yang tak mengenalnya, seperti ‘semenjana’, ‘hujah’, ‘jirih’, ‘cerpelai’, ‘tarikh’, atau ‘padma’, serta menggunakan rangkaian kata (frase dan klausa) yang ganjil, namun itu memperkaya puisi. Buli-Buli Lima Kaki ini seperti menunjukkan bahwa Nirwan Dewanto masih ‘mengerjakan’ puisi.
***

*) Ragdi F. Daye, Pengarang tinggal di Padang. http://sastra-indonesia.com/2013/03/puisi-puisi-yang-berselimut-tebal/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar