harianhaluan.com, 27 Maret 2011
Sebagai karya sastra, puisi mengekspresikan pengalaman hidup manusia dan pemahamannya tentang kehidupan melalui bahasa yang estetis. Berbeda dengan prosa yang mempunyai peluang menyampaikan maksud dengan kapasitas ruang ekspresi yang cukup luas, puisi memadatkan gagasan dalam tubuh yang ramping. Konsekuensinya, puisi perlu menyaring dan memilah kata-kata secara lebih ekstrem untuk menghantarkan maksud pengarangnya. Bahasa dalam puisi merupakan kristalisasi atas bahasa yang biasa digunakan dalam keseharian. Inilah yang menimbulkan aspek estetika di dalam tubuh unik puisi.
Aspek estetika tersebut memungkinkan terjadinya komunikasi antara penyair sebagai pencipta puisi dan pembaca yang kelak merefleksikan dirinya pada teks. Apabila bahasa yang digunakan oleh penyair dapat dipahami secara seimbang oleh pembaca, komunikasi makna pun tercapai. Apa yang dimaksudkan penyair ikut dirasakan oleh pembaca. Kegelisahan dan keperihan penyair juga menimbulkan pembaca gelisah dan menderita perih. Namun, komunikasi tersebut tidak mudah karena dunia pengalaman sang penyair berbeda dengan pembaca. Di sanalah kekuatan refleksi bahasa memegang peranan penting, ketika dunia yang dialami oleh penyair dapat terhadirkan dan secara sejajar dapat diterima oleh pembacanya. Kalaupun sang pembaca tidak sepenuhnya memahami apa yang dimaksudkan penyair, namun bahasa yang membangun teks puisi memungkinkan pembaca mendapatkan bias atau pantulan kehidupan dan pengalamannya pada teks tersebut, sehingga dia pun secara sadar atau tidak, secara memuaskan atau tidak, telah mencerap makna dari teks tersebut.
Rumit dan Sederhana
Memasuki puisi seperti berendam di kolam, tak akan terasa hangat atau sejuk airnya bila kita tidak masuk ke dalamnya. Dimulai dengan menyentuh air, mencelupkan tangan atau kaki, dan mencebur ke dalamnya. Setelah berada di dalamnya, kita pun dapat membuka diri untuk membiarkan tubuh merasakan aliran sensasi yang meresap melalui pori-pori. Memang, menikmati kolam bisa juga dengan sekadar duduk-duduk di pinggirnya sambil membasuh muka dan tangan serta membasahkan kaki, namun rasa yang direguk tentu berbeda dibanding bila telah berendam dan berkecimpung di dalamnya.
Puisi-puisi Nirwan Dewanto dalam Buli-Buli Lima Kaki (GPU, 2010) ini bagi saya seperti kolam eksotis yang misterius. Saya begitu tergoda untuk mencebur ke dalamnya, namun remang kabut dan aneka makhluk-tak-dikenal yang menyesak di sekelilingnya membuat hati saya gugup untuk melompat masuk, mengukur kedalaman dan menikmati keindahannya. Hanya setelah mengumpulkan segenap keberanian dan sedikit bekal, saya dapat memasukinya. Tapi entahlah, apa sudah sampai ke dasar paling dasar atau hanya permukaan dangkal.
Sebagian besar puisi dalam buku ini berbicara tentang hal-hal yang sebenarnya sederhana; tentang hewan, makanan, tumbuhan, tempat, orang-orang, peristiwa, atau pun benda-benda yang ada atau dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Peoni, misalnya. Bagi orang Indonesia mungkin nama itu tidak akrab, namun ia merupakan bunga belaka. Ia adalah sejenis bunga rempah yang berasal dari Tiongkok dan biasa dipakai sebagai hiasan ornamen keramik. Bentuknya seperti mawar, namun mempunyai mahkota yang agak luas. Perilaku bunga ini adalah setelah mekar di awal musim semi, ia perlahan-lahan melayu ke tanah dan mati. Puisi ini berbicara tentang lahir-hidup-mati melalui bunga yang tak sepopuler mawar.
Puisi-puisi Nirwan cenderung diselimuti oleh kata-kata dan frase yang terasa asing sehingga memancing saya untuk membuka kamus atau pun browsing di internet. Sering saya berhenti sebentar untuk mencari makna suatu kata atau mencari informasi tentang nama dan istilah tertentu. Memang melelahkan, namun membawa saya pada dunia baru yang belum saya kenal, lama-lama mengasyikkan. Bila sedang tak serajin itu, saya akan mengacuhkan saja kata-kata referensial yang bertaburan dan memandang si puisi dengan sesederhana mungkin. Misalnya puisi “Asal Usul Kebahagiaan”, saya paham bahwa kebahagiaan itu akan dapat dirasakan ketika kita bisa menerima sesuatu dengan apa adanya, seiklas-iklasnya, dan merasakan pesonanya.
Sebagian besar puisi Nirwan ini dirangkai dengan nama-nama dan istilah dari berbagai bidang dan dari berbagai belahan bumi. Di antaranya bertuliskan nama tokoh di bawah judul yakni tokoh-tokoh dari bidang seni rupa dan puisi. Untuk lebih leluasa memasuki puisinya, memang dibutuhkan penjelajahan mencari referensi. Terutama agar dapat memaknai secara pas. Walau tidak ada jaminan bahwa referensi tersebut memang menguatkan makna puisi atau nonsens.
Esha Tegar Putra telah melakukan penelusuran atas nama-nama tokoh di bawah judul sejumlah puisi. Hasilnya mengejutkan, ada beberapa puisi yang mempunyai hubungan erat dengan karya seni rupa yang dikerjakan oleh tokoh yang namanya tertulis itu, seperti Max Ernst pada puisi “Gajah Sulawesi” dan Anish Kapoor pada puisi “Telur Chicago”. Apakah Nirwan Dewanto menulis puisi dari karya rupa? Entahlah, yang jelas dia memang seseorang yang punya perhatian besar terhadap karya rupa dan sering menjadi kurator di bidang itu. Apabila benar bahwa ada puisi Nirwan yang diciptakan dengan sumber ide dunia dalam karya rupa, itu adalah suatu hal yang menarik. Pengarang atau penyair dapat memaknai alam semesta untuk menulis, termasuk alam di dalam lukisan, lebih-lebih bila menafsirkannya melalui karya sastra. Karya rupa dapat menjadi sumber ide untuk menulis karya sastra, itu sebuah jalan yang unik. Hanya saja, apabila puisi memindahkan realitas dalam karya rupa secara ‘utuh’ begitu saja, puisi menjadi transformasi belaka. Nilainya bisa tak kalah menyedihkan dibanding novel-novel adaptasi dari film.
Perihal Erotika dan Parodi
Buli-buli merupakan sejenis guci atau botol kecil. Benda ini dapat digunakan untuk menyimpan barang-barang kecil atau minyak wangi. Buli-buli juga dikaitkan dengan organ reproduksi/ sekresi laki-laki yakni kantung kemih sehingga dapat dihubungkan dengan alat kelamin. Di dalam ilmu kedokteran, salah satu jenis kanker prostat adalah kanker buli-buli atau kanker kantung kemih. Pada judul buku ini, buli-buli sepertinya mengacu pada guci kecil karena memiliki kaki. Namun, kandungan makna yang kedua sepertinya ikut mewakili isi buku ini.
Tidak satu-dua saya temukan puisi yang mengandung unsur erotika. Sebagian hanya berupa kilasan, namun ada juga yang cukup intens seperti dalam “Sapi Lada Hitam”, “Bulan Madu”, dan “Virgo”. Secara teori, istilah erotika berbeda dengan pronografi. Menurut KBBI edisi ketiga, erotika adalah karya sastra yang tema atau sifatnya berkenaan dengan nafsu kelamin atau keberahian.
Di dalam puisi “Sapi Lada Hitam” (hal. 31-32) berulang kali muncul kata buli-buli yang mengacu pada pengertian kedua. Puisi bersubjudul Francis Bacon itu menceritakan dua orang yang menyembelih seekor sapi untuk hidangan mereka diselingi adegan persetubuhan. Mungkin puisi ini ada hubungannya dengan peristiwa pemancungan Pangeran Essex, sahabat Francis Bacon yang hendak mengkudeta Ratu Elizabeth di abad ke-16, atau tentang cinta terlarang pelukis bernama sama di abad 20, atau bisa saja tak berhubungan sama sekali. Tapi beberapa bagian dalam puisi ini terdapat unsur erotisisme.
Selain erotika, saya juga menemukan kenakalan Nirwan dengan memarodikan sesuatu yang telah ada dan mapan. Seperti ‘mempermainkan’ peribahasa, doa, dan puisi terkenal.
Puisi “Belaka” (hal. 131-132) adalah ‘olok-olok’ atas puisi “Aku Ingin (Mencintaimu dengan Sederhana)” karya Sapardi Djoko Damano yang telah terkenal.
Puisi lain yang berisi parodi adalah “Doa Musim Gugur” (hal. 158-162) yang merupakan puisi terakhir dalam kumpulan ini. Puisi ini diawali dengan gaya pembuka surat (dalam Al Quran): “Demi waktu yang memisahkan nyanyi dari pahala, lemak dari susu, kau dari kulit, aku dari akar”, disertai ungkapan “Mahabenar majas dengan segala muslihatnya”, dan ditutup dengan “Aku berlindung kepada lidahmu dari godaan nahu yang terkutuk.”
Apa maksud Nirwan dengan berparodi begitu? Saya pikir, itu tak jauh berbeda dengan motif-motif puisinya: bereksperimen dengan bahasa yang membuat pembaca sesak napas untuk menunjukkan jalan puisinya, sekaligus bersenang-senang. Bukankah puisi juga media ekspresi menghibur diri?
Kampung dan Kosmopolitan
“Pengarang Telah Mati” demikian ungkapan yang biasa dimahfumi ketika membaca karya sastra. Bicara karya sastra berarti murni membicarakan teks. Namun, karena di dalam teks banyak jejak-jejak ‘lekat tangan’ si pengarang yang memengaruhi karya ciptaannya, seolah ada sebagian jiwanya menyisip di dalam teks, maka saya merasa perlu mengenal penyairnya. Membaca puisi-puisi dalam buku Buli-Buli Lima Kaki ini, saya tidak bisa untuk tidak mengaitkan dengan sosok Nirwan Dewanto yang seorang kritikus sastra, kurator seni rupa, dan pernah hidup di negeri asing (luar Indonesia, terutama Amerika Serikat dan Eropa). Bila puisi-puisi Nirwan tampak ‘melenceng’ dari kecenderungan puisi-puisi penyair Indonesia, ini disebabkan oleh dunia pengalaman yang mempengaruhi sudut pandangnya dalam memaknai kehidupan, termasuk atas minat, pikiran, dan gaya bertuturnya.
Semua itu malah memperkaya warna dalam puisinya. Saya menemukan nuansa kampung dalam alam kosmopolitan. Aneka bau bumbu dan rempah-rempah di dapur kampung berbaur dengan suasana negeri empat musim yang bersalju, musim semi, tumbuhan-tumbuhan berdaun jingga, dan lanskap kota yang asing. Meskipun bermain-main dengan hal-hal yang asing atau ganjil, Nirwan masih penyair Indonesia yang rajin dan ambisius dalam menggali khazanah bahasa Indonesia. Puisi-puisinya banyak memakai kata-kata yang terasa janggal bagi orang yang tak mengenalnya, seperti ‘semenjana’, ‘hujah’, ‘jirih’, ‘cerpelai’, ‘tarikh’, atau ‘padma’, serta menggunakan rangkaian kata (frase dan klausa) yang ganjil, namun itu memperkaya puisi. Buli-Buli Lima Kaki ini seperti menunjukkan bahwa Nirwan Dewanto masih ‘mengerjakan’ puisi.
***
*) Ragdi F. Daye, Pengarang tinggal di Padang. http://sastra-indonesia.com/2013/03/puisi-puisi-yang-berselimut-tebal/
No comments:
Post a Comment