Misbahus Surur *
lampungpost.com
LAUT adalah metafora sekaligus sebuah “dunia”. Sebagai sebuah dunia, laut
menjadi loka, atau setidaknya pintu gerbang, bagi sang tualang melabuhkan diri
ke negeri-negeri yang tak diketahui. Guna menambatkan harapan-harapan baru yang
(tak) terkonsep sebelumnya. Tempat si pengembara melupakan kegamangan dan
kejumudan-kejumudan di daerah asal.
Dalam perjalanan ke laut yang sering tanpa (per)hitungan itu, si pengembara
berharap menemukan kejutan-kejutan hidup yang tak terduga. Yang dapat
merekahkan pandangan yang lebih bergairah, luas lagi cemerlang. Sedang sebagai
metafora, laut adalah sebuah kesan (mungkin juga pesan) yang tertinggal, dari
penemuan dunia dan semangat baru tadi. Yang dituang dalam berbagai imaji serta
catatan-catatan. Karena itu, laut sering jadi pilihan juga alternatif
pembebasan. Sebuah upaya memerdekakan diri dari simpul yang mengikat seraya
meluaskan pikiran yang dipenjara batas dan sekat. Dalam ranah sastra, khususnya
puisi, laut pada satu kutub merupakan simbol kebebasan dan kedalaman. Sedang
pada kutub lain, adalah penanda untuk mengatasi instrumen (yang dianggap)
dangkal dan terkungkung—untuk menyebut sedikit di antaranya. Meski begitu, di
tangan penyair yang diselimuti enigma, metafora laut kerap tak mudah diduga.
Chairil Anwar, misalnya, dalam Kabar dari Laut, pernah menuliskan sesuatu
yang patetis. Pada bait-bait awal puisi, ada sejenis penyesalan sekaligus
ungkapan kekecewaan yang disulut oleh sebuah hubungan (dengan seorang wanita).
Rasa bersalah itu dinyatakan dengan diksi “laut” yang menyiratkan perasaan
tolol dan sesal tapi begitu puitik: Aku memang benar tolol ketika itu,/mau pula
membikin hubungan dengan kau;/lupa kelasi tiba-tiba bisa sendiri di laut
pilu,/berujuk kembali dengan tujuan biru. Sebuah takdir kepiluan di laut, tapi
pada saat yang sama, secara tersirat, tak ditolaknya. Keadaan tolol juga begitu
lemah yang tak berdaya dengan cium nafsu tersebut, kini telah jadi luka
yang—sekali lagi—juga diingini.
Dan pada saat itu, dengan sadar, Charil menjadi tahu, dalam hidup, batas
antara cium nafsu dan luka, umpama perjalanan buritan dan kemudi. Di mana titik
pembatasan cuma tambah menyatukan kenang. Dalam puisi ini, pengalaman hidup
yang didapat serasa begitu berdarah-darah. Namun sejak dari darat hingga laut,
dari buritan sampai kemudi, pengalaman yang berharga itu, pada akhirnya
membikin tenang dan tentram si penyair: Dan tawa gila pada whisky tercermin
tenang, begitu kata Chairil. Sebuah kemabukan yang diingini setelah pengalaman
hidup yang pahit kembali terkendali.
Adapun dalam Senja di Pelabuhan Kecil, idiom laut beserta segenap
elemen-elemen yang terpancang kukuh di sana, seakan cuma tempat berhenti dan
hening. Semua diksi dan idiom pada puisi itu, seolah jadi penyangga bagi sepi
dan sendiri yang teguh. Tanah dan air tidur, ombak hilang, perahu tiada
berlaut, desir hari lari berenang adalah senarai idiom yang menguatkan sebuah
momen “kebersendirian” penyair. Kesendirian yang sadar diri namun begitu
disesaki harap yang serasa (masih) jauh. Pun dalam Cintaku Jauh di Pulau, meski
mula-mula nuansa kegembiraan tersembul, begitu sedikit dan serasa tarik-ulur.
Lantas seperti ada yang begitu saja terputus di tengah jalan. Hal tersebut bisa
kita rasakan pada kalimat dan metafora ini: perahu melancar, bulan memancar,/
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar./ angin membantu, laut terang, tapi
terasa/ aku tidak ‘kan sampai padanya. Harapan yang dibelai kemuraman itu
dilanjutkan dengan dua baris—sebelum dua bait terakhir—yang kian mempertegas
pasase di atas: Mengapa Ajal memanggil dulu/ Sebelum sempat berpeluk dengan
cintaku?. Sebuah “ajal” yang disesali—dengan huruf pertama yang sengaja di-kapital-kan—tapi
tetap tak dapat ditolak.
Wan Anwar, yang hidup jauh setelah Chairil, pada salah satu puisinya, juga
mengabadikan metafora lautan. Dalam puisi yang berjudul Kau, Laut, dan Kata,
penyair yang tutup usia akhir 2009 lalu ini, menulis: di geladak sudah tercium
kata-kata/anyir seperti bangkai, di antara bayang-bayang/ kau sebut hidup
adalah perjudian dan entah siapa/entah di mana seseorang mengangguk/untuk yang
tak terbaca// … di dasar laut takdir bisa saja semacam gurita/ke mana kau
berlayar, ia akan mengantar/setia bersama waktu yang tak letih berkibar/ … dan
aku –tahukah kamu?- akulah gurita itu/senja dan waktu yang kau sebut
kepulangan.
Jika setumpuk kata-kata di geladak anyir, bukankah “yang tertera” sudah tak
indah lagi? Bukankah kata-kata “anyir seperti bangkai” yang sinis adalah
paradoks bagi puisi indah dan manis. Lalu, apa gerangan yang terjadi dengan
kata-kata? Tak ayal, idiom-idiom pembuka puisi tersebut, ternyata memetaforkan
hidup yang seperti perjudian. Sebab watak hidup memang tak pasti, sebagaimana
frase “yang tak terbaca” juga kata ”perjudian”. Dalam hidup seperti itu, tentu
saja tak ada ketenteraman, alih-alih hidup kian sesak diimpit pertaruhan.
Dan metafor seseorang yang mengangguk bagi keadaan adalah mereka yang
menyerah atau setuju pada nasib. Adapun diksi dan metafor gurita, di sini,
barangkali bisa kita maknai sebagai usia dan kesempatan. Bisa juga kiasan bagi
durasi kehidupan, yakni jatah hidup tiap orang yang melulu dikepung takdir.
Sebuah takdir yang teramat setia menyelam ke dasar laut kehidupan, di mana sang
penyair hidup bersama kata-katanya. Dengan begitu, selain sebagai monster yang
ditakuti, diksi gurita dengan sadar juga didekati; ”akulah gurita itu”, kata si
penyair untuk menunjukkan betapa dekatnya ia. Meski akhirnya makhluk itu akan
melenyapkan usia dan kata-kata. Dengan demikian, senja dan waktu yang kau sebut
kepulangan, adalah kesetiaan usia untuk menemani masa tua (baca: jatah hidup)
dan mengantarnya menuju tempat berpulang.
Ungkapan-ungkapan lain yang direguk dari lautan, juga ditatah secara beda
dan kuat oleh Iswadi Pratama. Dalam sajak yang berjudul Aku dan Ibu, Iswadi
seolah menemukan laut lain dengan sebenar-benar laut: di atas kapal/ dari
sebuah jendela/ibu menatap laut lepas//aku memandang ibu/ingin terjun ke dalam
matanya/di mana laut lebih luas//tetapi mata ibu sudah kering/hanya batu-batu
terkubur di situ//ibu menyaksikan laut tanpa batas/berenang menggantang
gelombang/menuju pantai./aku melihat ibu dari atas kapal/menyimpan kedua
matanya/dalam pelayaran tak pernah usai.
Air mata ibu bagi Iswadi adalah laut yang kerap dilupa. Bagi penyair yang
juga seorang aktor ini, air di kantung mata itu seolah jenis laut dengan segala
kedalaman yang bagi saya melebihi kedalaman laut ala Chairil. Tangis bahagia
juga linangan kesedihan ibu adalah tanda kasih dan ikatan batin yang kuat
antara ia dengan anaknya. Di sana, di ceruk mata itu, tersimpan luasnya
ketulusan. Namun serasa ada sesuatu yang begitu pribadi ketika mata itu
tiba-tiba kering. Entah karena bengkak untuk menangisi kepergian si anak,
ataukah ada ihwal lain?
Lepas dari itu, kasih ibu tetap saja tulus, kendati sang anak melanglang
entah ke mana. Sebab, sejauh manapun anaknya berlayar, mata ibu akan selalu di
situ, senantiasa disimpan untuk anaknya. Demikianlah sedikit kabar yang dapat
kita petik dari beberapa puisi yang mengharu-birukan lautan. Semoga laut masih
akan biru dan sampai pada kita dengan rupa-rupa kabar yang lain.
***
*) Penyuka sastra, kuliah S-2 di UIN Maliki Malang. http://sastra-indonesia.com/2011/02/puisi-dan-kabar-dari-lautan/
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Rifqi Hidayat
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Hopid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Acep Zamzam Noor
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agusri Junaidi
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Andhika Mappasomba
Andi Achdian
Andrenaline Katarsis
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Aprinus Salam
Arafat Nur
Ardy Kresna Crenata
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Wibowo
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Aryadi Mellas
Aryo Bhawono
Asap Studio
Asarpin
Asep Rahmat Hidayat
Asep Sambodja
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
B Kunto Wibisono
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Kempling
Bambang Soebendo
Banjir Bandang
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Boy Mihaballo
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Gibran Ramadhan
D. Zawawi Imron
D.N. Aidit
Daisy Priyanti
Dandy Bayu Bramasta
Daniel Dhakidae
Dareen Tatour
Dea Anugrah
Dedy Sufriadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Desti Fatin Fauziyyah
Dewi Sartika
Dhanu Priyo Prabowo
Dharmadi
Diah Budiana
Dian Hartati
Didin Tulus
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Pranoto
Echa Panrita Lopi
Eddi Koben
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Faizin
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Erlina P. Lestari
Erwin Dariyanto
Esai
Esti Ambirati
Evi Idawati
Evi Sefiani
F. Daus AR
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fandy Hutari
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Faza Bina Al-Alim
Felix K. Nesi
Ferdian Ananda Majni
Fian Firatmaja
Gampang Prawoto
Gema Erika Nugroho
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gombloh
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Gus Noy
H.B. Jassin
Hairus Salim
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hari Murti
Haris Firdaus
Harry Aveling
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HE. Benyamine
Hendri Yetus Siswono
Herman Syahara
Hermien Y. Kleden
Holy Adib
Huda S Noor
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Humam S Chudori
Husni Hamisi
I G.G. Maha Adi
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
Idealisa Masyrafina
Idrus
Ignas Kleden
Ikarisma Kusmalina
Ike Ayuwandari
Ilham
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Irfan Sholeh Fauzi
Isbedy Stiawan Z.S.
J.J. Kusni
Jadid Al Farisy
Jajang R Kawentar
Jakob Oetama
Jalaluddin Rakhmat
Jansen H. Sinamo
Joni Ariadinata
K.H. Bisri Syansuri
K.H. M. Najib Muhammad
Kahfi Ananda Giatama
Kahfie Nazaruddin
Kho Ping Hoo
Kika Dhersy Putri
Kitab Para Malaikat
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kuswinarto
L.K. Ara
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Leon Agusta
Lesbumi Yogyakarta
Lily Yulianti Farid
Linda Christanty
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
Luwu Utara
M. Aan Mansyur
M. Faizi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M.D. Atmaja
M’Shoe
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majene
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mamasa
Mamuju
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maroeli Simbolon
Martin Aleida
Masamba
Mashuri
Media KAMA_PO
Melani Budianta
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Afifi
Mohammad Yamin
Much. Khoiri
Muhammad Fauzi
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Ridwan
Muhammad Subarkah
Muhammad Walidin
Muhammad Yasir
Muhyiddin
Mukhsin Amar
Munawir Aziz
Musa Ismail
Mustamin Almandary
N Teguh Prasetyo
Nadine Gordimer
Nara Ahirullah
Nelson Alwi
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nugroho Sukmanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Asyhadie
Nurul Komariyah
Ocehan
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pamela Allen
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pelukis
Pendidikan
Penggalangan Dana
Peta Provinsi Sulawesi Barat
Polewali
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Salafiyah Karossa
Pramoedya Ananta Toer
Pramuka
Prasetyo Agung
Pringadi AS
Pringgo HR
Priska
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puput Amiranti N
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Ragdi F. Daye
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ratnani Latifah
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Riadi Ngasiran
Rian Harahap
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Riki Fernando
Rofiqi Hasan
Ronny Agustinus
Rozi Kembara
Rusydi Zamzami
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Saini K.M.
Sajak
Salman Rusydie Anwar
Salman S Yoga
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Sapto Hoedojo
Sasti Gotama
Sastra
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Seni Rupa
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sirajudin
Siswoyo
Sitok Srengenge
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sonia
Sosiawan Leak
Sukitman
Sulawesi Selatan
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suriali Andi Kustomo
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Syamsudin Noer Moenadi
Syihabuddin Qalyubi
Syu’bah Asa
Tari Bamba Manurung
Tari Bulu Londong
Tari Ma’Bundu
Tari Mappande Banua
Tari Patuddu
Tari Salabose Daeng Poralle
Tari Sayyang Pattuqduq
Tari Toerang Batu
Tata Chacha
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater
Teddi Muhtadin
Teguh Setiawan Pinang
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tito Sianipar
Tjahjono Widijanto
Toeti Heraty
Tosiani
Tri Wahono
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
UU Hamidy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wan Anwar
Wawancara
Wayan Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono
Wicaksono Adi
Wilson Nadeak
Wisata
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yopie Setia Umbara
Yosephine Maryati
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yurnaldi
Zamakhsyari Abrar
No comments:
Post a Comment