Thursday, August 19, 2021

Puisi dan Kabar dari Lautan

Misbahus Surur *
lampungpost.com
 
LAUT adalah metafora sekaligus sebuah “dunia”. Sebagai sebuah dunia, laut menjadi loka, atau setidaknya pintu gerbang, bagi sang tualang melabuhkan diri ke negeri-negeri yang tak diketahui. Guna menambatkan harapan-harapan baru yang (tak) terkonsep sebelumnya. Tempat si pengembara melupakan kegamangan dan kejumudan-kejumudan di daerah asal.
 
Dalam perjalanan ke laut yang sering tanpa (per)hitungan itu, si pengembara berharap menemukan kejutan-kejutan hidup yang tak terduga. Yang dapat merekahkan pandangan yang lebih bergairah, luas lagi cemerlang. Sedang sebagai metafora, laut adalah sebuah kesan (mungkin juga pesan) yang tertinggal, dari penemuan dunia dan semangat baru tadi. Yang dituang dalam berbagai imaji serta catatan-catatan. Karena itu, laut sering jadi pilihan juga alternatif pembebasan. Sebuah upaya memerdekakan diri dari simpul yang mengikat seraya meluaskan pikiran yang dipenjara batas dan sekat. Dalam ranah sastra, khususnya puisi, laut pada satu kutub merupakan simbol kebebasan dan kedalaman. Sedang pada kutub lain, adalah penanda untuk mengatasi instrumen (yang dianggap) dangkal dan terkungkung—untuk menyebut sedikit di antaranya. Meski begitu, di tangan penyair yang diselimuti enigma, metafora laut kerap tak mudah diduga.
 
Chairil Anwar, misalnya, dalam Kabar dari Laut, pernah menuliskan sesuatu yang patetis. Pada bait-bait awal puisi, ada sejenis penyesalan sekaligus ungkapan kekecewaan yang disulut oleh sebuah hubungan (dengan seorang wanita). Rasa bersalah itu dinyatakan dengan diksi “laut” yang menyiratkan perasaan tolol dan sesal tapi begitu puitik: Aku memang benar tolol ketika itu,/mau pula membikin hubungan dengan kau;/lupa kelasi tiba-tiba bisa sendiri di laut pilu,/berujuk kembali dengan tujuan biru. Sebuah takdir kepiluan di laut, tapi pada saat yang sama, secara tersirat, tak ditolaknya. Keadaan tolol juga begitu lemah yang tak berdaya dengan cium nafsu tersebut, kini telah jadi luka yang—sekali lagi—juga diingini.
 
Dan pada saat itu, dengan sadar, Charil menjadi tahu, dalam hidup, batas antara cium nafsu dan luka, umpama perjalanan buritan dan kemudi. Di mana titik pembatasan cuma tambah menyatukan kenang. Dalam puisi ini, pengalaman hidup yang didapat serasa begitu berdarah-darah. Namun sejak dari darat hingga laut, dari buritan sampai kemudi, pengalaman yang berharga itu, pada akhirnya membikin tenang dan tentram si penyair: Dan tawa gila pada whisky tercermin tenang, begitu kata Chairil. Sebuah kemabukan yang diingini setelah pengalaman hidup yang pahit kembali terkendali.
 
Adapun dalam Senja di Pelabuhan Kecil, idiom laut beserta segenap elemen-elemen yang terpancang kukuh di sana, seakan cuma tempat berhenti dan hening. Semua diksi dan idiom pada puisi itu, seolah jadi penyangga bagi sepi dan sendiri yang teguh. Tanah dan air tidur, ombak hilang, perahu tiada berlaut, desir hari lari berenang adalah senarai idiom yang menguatkan sebuah momen “kebersendirian” penyair. Kesendirian yang sadar diri namun begitu disesaki harap yang serasa (masih) jauh. Pun dalam Cintaku Jauh di Pulau, meski mula-mula nuansa kegembiraan tersembul, begitu sedikit dan serasa tarik-ulur. Lantas seperti ada yang begitu saja terputus di tengah jalan. Hal tersebut bisa kita rasakan pada kalimat dan metafora ini: perahu melancar, bulan memancar,/ di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar./ angin membantu, laut terang, tapi terasa/ aku tidak ‘kan sampai padanya. Harapan yang dibelai kemuraman itu dilanjutkan dengan dua baris—sebelum dua bait terakhir—yang kian mempertegas pasase di atas: Mengapa Ajal memanggil dulu/ Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?. Sebuah “ajal” yang disesali—dengan huruf pertama yang sengaja di-kapital-kan—tapi tetap tak dapat ditolak.
 
Wan Anwar, yang hidup jauh setelah Chairil, pada salah satu puisinya, juga mengabadikan metafora lautan. Dalam puisi yang berjudul Kau, Laut, dan Kata, penyair yang tutup usia akhir 2009 lalu ini, menulis: di geladak sudah tercium kata-kata/anyir seperti bangkai, di antara bayang-bayang/ kau sebut hidup adalah perjudian dan entah siapa/entah di mana seseorang mengangguk/untuk yang tak terbaca// … di dasar laut takdir bisa saja semacam gurita/ke mana kau berlayar, ia akan mengantar/setia bersama waktu yang tak letih berkibar/ … dan aku –tahukah kamu?- akulah gurita itu/senja dan waktu yang kau sebut kepulangan.
 
Jika setumpuk kata-kata di geladak anyir, bukankah “yang tertera” sudah tak indah lagi? Bukankah kata-kata “anyir seperti bangkai” yang sinis adalah paradoks bagi puisi indah dan manis. Lalu, apa gerangan yang terjadi dengan kata-kata? Tak ayal, idiom-idiom pembuka puisi tersebut, ternyata memetaforkan hidup yang seperti perjudian. Sebab watak hidup memang tak pasti, sebagaimana frase “yang tak terbaca” juga kata ”perjudian”. Dalam hidup seperti itu, tentu saja tak ada ketenteraman, alih-alih hidup kian sesak diimpit pertaruhan.
 
Dan metafor seseorang yang mengangguk bagi keadaan adalah mereka yang menyerah atau setuju pada nasib. Adapun diksi dan metafor gurita, di sini, barangkali bisa kita maknai sebagai usia dan kesempatan. Bisa juga kiasan bagi durasi kehidupan, yakni jatah hidup tiap orang yang melulu dikepung takdir. Sebuah takdir yang teramat setia menyelam ke dasar laut kehidupan, di mana sang penyair hidup bersama kata-katanya. Dengan begitu, selain sebagai monster yang ditakuti, diksi gurita dengan sadar juga didekati; ”akulah gurita itu”, kata si penyair untuk menunjukkan betapa dekatnya ia. Meski akhirnya makhluk itu akan melenyapkan usia dan kata-kata. Dengan demikian, senja dan waktu yang kau sebut kepulangan, adalah kesetiaan usia untuk menemani masa tua (baca: jatah hidup) dan mengantarnya menuju tempat berpulang.
 
Ungkapan-ungkapan lain yang direguk dari lautan, juga ditatah secara beda dan kuat oleh Iswadi Pratama. Dalam sajak yang berjudul Aku dan Ibu, Iswadi seolah menemukan laut lain dengan sebenar-benar laut: di atas kapal/ dari sebuah jendela/ibu menatap laut lepas//aku memandang ibu/ingin terjun ke dalam matanya/di mana laut lebih luas//tetapi mata ibu sudah kering/hanya batu-batu terkubur di situ//ibu menyaksikan laut tanpa batas/berenang menggantang gelombang/menuju pantai./aku melihat ibu dari atas kapal/menyimpan kedua matanya/dalam pelayaran tak pernah usai.
 
Air mata ibu bagi Iswadi adalah laut yang kerap dilupa. Bagi penyair yang juga seorang aktor ini, air di kantung mata itu seolah jenis laut dengan segala kedalaman yang bagi saya melebihi kedalaman laut ala Chairil. Tangis bahagia juga linangan kesedihan ibu adalah tanda kasih dan ikatan batin yang kuat antara ia dengan anaknya. Di sana, di ceruk mata itu, tersimpan luasnya ketulusan. Namun serasa ada sesuatu yang begitu pribadi ketika mata itu tiba-tiba kering. Entah karena bengkak untuk menangisi kepergian si anak, ataukah ada ihwal lain?
 
Lepas dari itu, kasih ibu tetap saja tulus, kendati sang anak melanglang entah ke mana. Sebab, sejauh manapun anaknya berlayar, mata ibu akan selalu di situ, senantiasa disimpan untuk anaknya. Demikianlah sedikit kabar yang dapat kita petik dari beberapa puisi yang mengharu-birukan lautan. Semoga laut masih akan biru dan sampai pada kita dengan rupa-rupa kabar yang lain.
***
 
*) Penyuka sastra, kuliah S-2 di UIN Maliki Malang. http://sastra-indonesia.com/2011/02/puisi-dan-kabar-dari-lautan/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar