Monday, July 19, 2021

Prosa-Puisi Kartini

Asarpin
lampungpost.com
 
“Segala yang murni dan indah dalam kehidupan manusia adalah puisi”. Kata-kata ini diucapkan Kartini (kepada Stella–nama panggilan Kartini kepada Estella Zeehandelaar, feminis sosialis yang membuka diskusi pertama kali dengan Kartini melalui surat-menyurat–sebagai bukti bahwa ia mencintai puisi. Bagi Kartini, puisi atau seni pada umumnya adalah jiwa bangsa Bumiputera. Dari mulut anak-anak sampai orang jompo, senantiasa melahirkan puisi.
 
Namun, tak setiap puisi menggoda imajinya. Salah satu yang memancing dahaga seninya adalah tatkala ia mendengar denting gamelan yang disebutnya ginonjing. Alunan suaranya, denting liriknya, tak ayal membetot pikiran dan jiwanya. Ketika diajak membicarakan soal seni dengan sahabat-sahabatnya di Eropa, Kartini menegaskan bahwa seni yang memikat hatinya adalah yang di dalamnya mengandung keindahan sekaligus pembebasan.
 
Seni baginya adalah alat untuk mewujudkan cita-cita pembebasan rakyat pribumi dari penjajahan dan keterbelengguan oleh adat-istiadat yang sangat feodalistik. Baginya, tali peranti yang mengikat rakyat Jawa sudah semestinya diputus dengan seni pembebasan. “Roman bertendensi dalam segala hal harus lebih tinggi. Dia sempurna dan sama sekali tanpa cacat,” katanya kepada Stella 12 Januari 1900.
 
Kedalaman karya seni akan tercapai bila dilakukan dengan penuh penghayatan dan seintens mungkin oleh senimannya. Tak ada seni yang berjiwa dan berwatak tanpa pergulatan pengarangnya terhadap realitas, baik yang dirasakan dalam jiwanya maupun yang tengah dirasakan bangsanya. “Kedalaman hanya bisa didapatkan dengan penggalian,” kata Kartini dalam surat bertanggal 11 Oktober 1901.
 
Kartini mencintai seni yang berwatak, berkepribadian, bukan seni mesum atau anggur kolesum. Salah satu yang diusulkan Kartini untuk menemukan kedalaman puisi atau prosa adalah dengan cara masuk ke dalam kesunyian diri, semacam meditasi atau kontemplasi. “Kesunyian adalah jalan ke arah pemikiran,” tulisnya dalam surat 15 Agustus 1902. Dan “pemikiran adalah jalan ke arah perjuangan”.
 
Prosais yang Piawai Bertutur
 
Kelebihan Kartini terletak pada bahasa prosanya yang kaya dengan ungkapan renungan. Prosanya ditulis dalam bentuk surat dengan menampilkan cerita dan kisah-kisah yang kaya dengan ilustrasi dan imajinasi. Bentuk surat memang memiliki kelebihan sendiri dalam mengungkapkan cerita. Salah satu cerpen terbaik Seno Gumira Ajidarma adalah cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku dan Jawaban Alina. Kedua cerpen ini ditulis dalam bentuk surat-menyurat, tak ubahnya dengan apa yang dilakukan Kartini.
 
Tengok misalnya gaya prosa dalam fragmen surat Kartini bertanggal 15 Agustus 1902: “malam waktu itu; jendela dan pintu-pintu terbuka. Bunga cempaka berkembang di lebuh kamar kami, dan bersama dengan puputan angin segar, berdesah dengan dedaunnya serta mengirimkan kepada kami ucapan selamanya dalam bentuk bau harumnya. Aku duduk di lantai, sebagaimana sekarang ini, pada sebuah meja rendah, di kiriku Dik Rukmini yang sedang menulis”.
 
Surat di atas cukup panjang dengan gaya prosa yang unik. Mengomentari surat ini, Pramoedya Ananta Toer dalam Panggil Aku Kartini Saja menegaskan bahwa kecintaan Kartini pada seni rakyat bukan sebagai cinta platonik, tapi cinta seniwati dari darah dan daging. Dan ini memang ditegaskan Kartini sendiri dalam surat 11 Oktober 1901: “kukatakan itu untuk menyatakan kepadamu, untuk menunjukkan, betapa nilai pena itu meningkat kalau orang mempergunakan tinta sebagai darah jantungnya sendiri”.
 
Banyak contoh prosa terbaik dalam surat Kartini dengan gaya bertutur yang masih segar hingga kini, seperti contoh fragmen-fragmen berikut ini: “kucing-kucing dekil itu, para tamu, seniman-seniman mendatang. Lihat, tanah bekas kaki mereka mengandung bukti-bukti bakat mereka. Ah, ah, dari mana kau datangkan keindahan? Dengan bersemangat seorang pengagum bertanya, laksana mimpi, ke mana pun pandang ditebarkan, tertatap juga semburan cahaya, hijau dedaunan dan bunga-bungaan, kilau emas dan perak, satin dan sutra”.
 
Puisi dari Bentuk dan Isi
 
Kartini pernah bertanya soal bentuk dan isi dalam salah satu pembelaannya terhadap tuduhan Belanda kepada kaum pribumi yang ditujukan kepada Nyonya Abandenon 27 Oktober 1902. “Terang yang Bunda sinarkan kepada kami membuat kami melihat dan juga bertanya: apakah makna bentuk tanpa isi?”
 
Bagi Kartini, tak ada puisi jika hanya isi, sebagaimana juga apalah artinya puisi jika hanya bentuk. Sesuatu disebut puisi jika di dalamnya mengandung bentuk sekaligus isi. Apakah ini anakronis? Bagi Kartini tak, karena hakikat seni adalah perpaduan isi dan bentuk. Salah satu puisi Kartini yang tidak dimuat dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang terjemahan Armijn Pane (Balai Pustaka, 1951) tapi dimuat dalam karya Pram, sebuah puisi panjang bertajuk Manusia dan Hatinya, seperti dalam fragmen ini: Dan bila jiwa seia, retak tidak, tali abadi, Mengikat erat, setia arungi segala, rasa, jarak dan masa. Tunggal dalam suka, satu dalam duka, seluruh hidup gagah ditempuh, Oi, bahagia dia si penemu jiwa seia, Yang Mahakudus dia suntingkan.
 
Selera puitik Kartini banyak dipengaruhi selera pencerahan Eropa. Ini sulit dimungkiri. Revolusi Prancis pada abad ke-16 telah mengilhami jiwa Kartini dalam hal memilih selera puitik. “Pikiran adalah puisi, pelaksanaannya seni! Tapi di mana bisa ada seni tanpa puisi? Segala yang baik, yang luhur, yang keramat, pendekanya segala yang indah di dalam hidup ini adalah puisi,” tulisnya dalam surat 2 April 1902.
 
Kartini ingin mendekatkan puisi ke hati rakyat. Caranya memandang puisi pun berbeda dengan kaum bangsawan. Pernah dalam sebuah suratnya ia melakukan monolog batin yang menghasilkan sejenis renungan prose-poem (puisi-prosa): “Orang sederhana, yang menggelesot dina di atas tanah, mengangkat pandang takzimnya, sekejap, dan menjawab sederhana: “Dari hati hamba, bendoro!”
 
Tak ada amanah di situ. Renungan yang ditampilkan sangat menohok dan mengejutkan. Gayanya sederhana dan tak hendak berfilsafat. Walau demikian, betapa sulit puisi itu bisa dijangkau rakyat kebanyakan. Apa pun dalih dan dalil Kartini, renungan-renungan puisinya tetap miliknya sendiri. Sudah tabiat puisi jika hanya bisa dipahami oleh si penyairnya sendiri.
 
Bahasa puisi Kartini sangat dekat dengan liris, bahkan sangat posesif. Dalam larik lain, Kartini pernah juga menulis begini: “Betapa ini jiwa, Dalam sorai melanglang, Jantung pun gelegak berdenyar, Bila itu mata sepasang, Rumah pandang menatap, Jabat tangan hangat diulurkan. Tahu kau, samudra biru, Menderai dari pantai ke pantai? Di mana, bisikan padaku, Di mana, mukjizat bersemai?”
 
Puisi itu bicara soal jiwa puisi Eropa yang sorak-sorai, sementara bagi Kartini yang diilhami oleh alunan ginonjing, puisi pribumi tak demikian adanya: “gamelan tak pernah bersorak-sorai, kendati di dalam pesta yang paling gila sekali pun, dia terdengar sayu dalam nyanyinya, mungkin begitulah seharusnya. Kesayuan itulah hidup, bukan nyanyi bersorak-sorai!”
 
Ketika Kartini sedang duduk termangu di lantai, tiba-tiba ia mendengar peting ginonjing yang diiringi suara nyanyian perempuan, dan ia pun melukiskan dalam surat 15 Agustus 1902: “Di kananku Annie Glaser, yang juga di lantai sedang menjahit, dan di hadapanku seorang perempuan, yang menyanyikan kami sebuah cerita. Betapa indahnya! Suatu impian yang mengalun dalam suara-suara indah, kudus, jernih dan bening, yang mengangkat roh kami, yang menggeletar-membubung ke atas ke dalam kerajaan makhluk-makhluk berbahagia”.
 
Di sini Kartini menunjukkan jati dirinya sebagai seniwati yang tangguh. Terlepas banyak hal yang paradoks dalam prosa-puisi kartini, setidaknya ia telah mengawali hidup dengan puisi dan prosa sebagai bagian dari menegakkan martabat dan harga diri bangsa pribumi. Dan upaya menghadirkan nilai sastrawi dalam karya Kartini yang serba-selintas ini, semoga apa yang pernah dikatakan Ruth Indiah Rahayu sebelas tahun lalu, kita telah “mengangkat Kartini ke tempat yang pantas dia terima daripada sekedar menjadikannya relikwi menghormati raga dan memuja peninggalan busana putri suci masa lampau”. Selamat Hari Kartini!
***
 
*) Pembaca sastra, tinggal di Bandar Lampung. http://sastra-indonesia.com/2009/01/prosa-puisi-kartini/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar