Grathia Pitaloka
jurnalnasional.com
Tema kedaerahan pernah mendapatkan tempat penting dalam dunia prosa
Indonesia. Karya-karya prosa Indonesia pernah begitu bergairah menjadikan warna
lokal sebagai tema besar. Tengok saja, Upacara (1978) karya Korrie Layun
Rampan, Makrifat Daun, Daun Makrifat (1977) karya Kuntowijoyo, Tetralogi Pulau
Buru karya Pramoedya Ananta Toer, Burung-burung Manyar (1981), dan Ikan-ikan
Hiu, Ido, Homa (1983) karya Y.B. Mangunwijaya, Bako (1983) karya Darman Moenir,
Ronggeng Dukuh Paruk (1982) karya Ahmad Tohari, dll.
Pada karya-karya ini warna lokal yang diusung bukan hanya aspek
sosial-budayanya, melainkan menjadi media ekspresi atau jadi idiom-idiom
estetika di dalamnya. Bukan hanya warna subkultur yang kuat, tapi juga
berkembang menjadi eksplorasi bahasa dan style mencapai nilai estetis.
Pengertian lokal di sini tentu bukan hanya berkutat pada dimensi keruangan
atau batas-batas geografis, melainkan diterjemahkan secara luas melalui
setting, bahasa, serta penokohan yang kental dengan atmosfer dan ciri-ciri
kultural setempat.
Beberapa sastrawan mencoba menyandingkan warna lokal dengan hiruk-pikuk
nuansa urban. Kekontrasan yang tercipta memberikan nuansa baru pada
perkembangan sastra Indonesia. Korrie Layun Rampan merupakan salah satu
sastrawan yang berhasil memadukan dua warna kehidupan yang bertolakbelakang
itu. Novelnya, Upacara berhasil mengantarkan Korrie sebagai pemenang Sayembara
Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta tahun 1976.
Novel Upacara bercerita tentang keberadaan etnis Dayak di pedalaman
Kalimantan serta permasalahan sosial berupa penebangan hutan yang terjadi di
sana. “Ketika itu belum ada yang mengangkat persoalan Kalimantan sebagai sebuah
cerita,” kata Korrie kepada Jurnal Nasional, Selasa (21/10).
Kepiawaian Korrie mengemas “tabrakan” antara warna lokal dan nuansa urban
sebagai sebuah daya tarik pantas diacungi jempol. Pertentangan nilai antara
masyarakat Dayak dan Jakarta digambarkan lewat cara pandang mereka terhadap
upacara adat. “Upacara adat yang dipandang penting oleh masyarakat Dayak,
diabaikan dan dianggap sebelah mata oleh orang Jakarta,” ujar penulis novel Api
Awan Asap ini.
Pertentangan nilai antara Jakarta dan daerah juga terasa kental pada Novel
Warisan karya Chairul Harun. Karya yang mendapat penghargaan Yayasan Buku Utama
dari Depar-temen Pendidikan dan Kebudayaan (1979) ini bercerita mengenai
perbedaan cara pandang antara Rafilus yang bekerja di Jakarta dengan keluarga
ayahnya di Kurai Taji, Pariaman.
Konflik antarkeluarga ini bermula ketika Rafilus berniat membawa ayahnya
yang sedang sakit keras berobat ke Jakarta. Ia berpikir teknologi serta tenaga
medis di ibu kota pastilah lebih memadai ketimbang di kampungnya. Tapi sanak
keluarga Rafilus menolak mentah-mentah keinginan itu. Mereka khawatir niat
pemindahan pengobatan semata-mata hanya cara Rafilus untuk menguasai seluruh
harta ayahnya. Mereka lebih mempercayakan kesembuhan ayah Rafilus kepada dukun
kampung bernama Tun Rudin.
Pertentangan nilai juga terasa ketika Rafilus terpaksa menikahi kerabatnya
yang bernama Rekana, untuk memenuhi keinginan ayahnya dan menjaga tali
silaturahmi. Padahal hati Rafilus telah terpaut pada seorang janda bernama
Maemunah. Masyarakat kampung Rafilus cenderung berpersepsi negatif terhadap
perempuan yang berstatus janda. Namun tidak bagi Rafilus, yang terbiasa dengan
nilai-nilai masyarakat kota besar.
Perbedaan Karakter
Korrie mengatakan, setiap daerah di Indonesia memiliki kekhasan yang
berbeda satu sama lain. Sebagai contoh, realitas yang terjadi di Kalimantan
belum tentu dapat ditemukan di daerah lain. Pria yang kini menjabat sebagai
anggota DPRD Kabupaten Kutai Barat ini menuturkan, para pengarang yang ingin
mengangkat warna lokal dalam karya-karyanya harus mengenal betul budaya serta karakteristik
masyarakatnya. “Karakteristik masyarakat Kalimantan akan kehilangan makna, bila
diangkat dalam karya yang berlatarbelakang budaya Minang,” ujar Korrie.
Senada dengan Korrie, sastrawan Darman Moenir mengatakan, warna lokal yang
diusung akan terasa hambar apabila penulis tidak memahami seluk beluk budaya
daerah tersebut. “Dalam melukiskan persoalan perempuan dan seks, misalnya,
karya cerpenis yang tinggal di Pontianak atau penyair yang tinggal di Kendari,
tak ada bedanya dengan karya mereka yang tinggal di Jakarta,” kata Darman.
Ia memaparkan, mungkin saja permasalahan yang sama dapat ditemui di Jakarta
atau kota besar lainnya. Namun konteks lokal yang berbeda, akan melahirkan
warna yang berbeda pula. “Bukan sekadar setting dan cara pengucapan, tetapi
cara pandang yang menggambarkan konteks kultur dan etos tradisi yang diikuti
dengan berbagai respons dan perubahan yang terjadi di dalamnya,” ujar Darman.
Pemenang kedua Sayembara Novel Kartini 1987 ini mengatakan, pemahaman
terhadap budaya suatu daerah bisa terjadi karena memang yang bersangkutan
dibesarkan oleh latar belakang budaya itu atau melalui proses penelitian
mendalam.
Lelaki kelahiran Batusangkar, 27 Juli 1952 ini memberikan contoh, Novel
Para Priyayi karya Umar Kayam yang menyajikan daerah sebagai suatu latar solid
tak terganti. “Latar menjadi warna lokal, kemudian lokalitas menjadi acuan
peristiwa serta melahirkan peristiwa,” ujar penulis Novel Bako yang memenangkan
hadiah utama Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1980.
Hal serupa juga terjadi pada Novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis.
Harimau sebagai metafor hasrat liar dan ganas manusia mungkin dapat ditemui di
daerah lain, tetapi permainan antara harimau sebagai binatang buas serta
harimau yang bermain di sudut hati tokoh-tokohnya hanya mungkin disajikan
dengan latar belantara Sumatera.
Dari segi penokohan, menurut Korrie, karakter pada novel dengan warna lokal
merupakan manusia dalam arti komunitas. Hal ini berbeda dengan novel yang
mengangkat tema realisme sosial atau nuansa urban, di mana karakter menjadi
cermin pribadi tunggal. “Novel dengan warna lokal biasanya tidak menggambarkan
tokoh sentral melainkan tokoh jamak, sehingga satu sama lain memiliki persepsi
yang berbeda-beda, contohnya Aku dalam Novel Upacara,” kata Korrie.
Ia mengatakan, fungsi pengarang dalam menyajikan warna lokal tidak hanya
sebagai penulis melainkan melakukan eksplorasi budaya. “Ia harus menyampaikan
aspirasi masyarakat di mana peristiwa itu berlangsung, sehingga karakter tidak
hanya hadir sebagai boneka bagi pengarangnya,” ujar Korrie.
Medan Nilai Sosial
Haris Effendi Thahar mengatakan, karya sastra yang mengangkat warna lokal
merupakan sarana tepat untuk menyampaikan nilai-nilai sosial yang terjadi di
daerah tersebut. “Sejauh mana ia bisa mengemas warna lokal tetapi dapat
menimbulkan dampak global,” kata Penulis Kumpulan Cerpen Si Padang.
Ia mencontohkan, cerita yang bertutur tentang anak yang hidup di pedalaman
Kalimantan dan hidup dalam keterbatasan. “Tentu penekanannya bukan pada pedalamannya,
tetapi bagaimana nilai kemanusiaan manusia Kalimantan tersebut dapat dirasakan
oleh pembaca yang berasal dari Amerika atau Eropa,” ujar Harris.
Selain itu, karya sastra berwarna lokal juga bermanfaat untuk
memperkenalkan khazanah budaya Indonesia, sehingga masyarakat sadar bahwa
negara ini terdiri dari bermacam suku dan tradisi. Sayangnya, tak banyak
pengarang yang berhasil mengemas warna lokal menjadi sajian bercitarasa global.
“Hanya segelintir yang berhasil, rata-rata hanya menggunakan warna lokal
sebagai pembungkus tetapi tidak memiliki makna mendalam,” kata penulis buku
Anjing Bagus.
Warna lokal tak hanya menarik perhatian para sastrawan dunia ketiga. Teks
sastra dari Jepang, Daerah Salju dan kumpulan cerpen Penari-penari Jepang karya
Yasunari Kawabata merupakan salah satu karya yang berhasil mengangkat kearifan
lokal, menjadi teks sastra yang bermuatan nilai estetis.
Begitu pula dengan sastrawan Mesir, Naguib Mahfouz, dengan novelnya Lorong
Midaq. Mahfouz berhasil menghadirkan kearifan lokal untuk mencapai nilai
estetis dalam teks sastranya. “Kualitas sastrawan Indonesia sebenarnya tidak
kalah dengan sastrawan dari negara lain,” kata Darman.
Mengingat pentingnya warna lokal dalam khazanah sastra Tanah Air, Dosen
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Melanie Budianta menyayangkan
kondisi aliran ini yang semakin tersisih dan tergerus oleh-oleh tema realisme
sosial dan nuansa urban.
Mengangkat realisme sosial sebagai latar belakang karya sastra bukanlah
suatu hal yang buruk, tetapi pengayaan karya serasa mandek ketika tidak ada
eksplorasi terhadap nuansa lokal. Karya-karya yang terlalu didominasi nuansa
urban, kemudian melahirkan produksi massal tanpa dilengkapi identitas
tersendiri.
Estetika lokal merupakan mazhab tersendiri dalam dunia sastra Indonesia.
Tidak salah jika kemudian muncul mazhab lain. Akan tampak tidak berimbang
ketika semua hanya menoleh pada satu sisi, sisi urban misalnya. Hal tersebut
amat disayangkan, karena akan memunculkan hiperbola penggambaran yang terkadang
memuakkan.
Menurut Melani, daerah-daerah di Indonesia sangat kaya akan keragaman
budaya, tetapi sayangnya masih sedikit pengarang sastra yang menuliskan
kekayaan tersebut. Padahal sastra subkultur dapat mulai dikembangkan dalam
komunitas-komunitas sastra.
Kurang diangkatnya warna lokal dalam karya sastra Indonesia, bisa jadi
disebabkan oleh kondisi pasar yang tidak responsif. Padahal, dukungan pasar
terhadap sastra subkultur turut memengaruhi perkembangannya.
***
http://sastra-indonesia.com/2008/10/menggali-lagi-warna-lokal/
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Rifqi Hidayat
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Hopid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Acep Zamzam Noor
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agusri Junaidi
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Andhika Mappasomba
Andi Achdian
Andrenaline Katarsis
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Aprinus Salam
Arafat Nur
Ardy Kresna Crenata
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Wibowo
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Aryadi Mellas
Aryo Bhawono
Asap Studio
Asarpin
Asep Rahmat Hidayat
Asep Sambodja
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
B Kunto Wibisono
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Kempling
Bambang Soebendo
Banjir Bandang
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Boy Mihaballo
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Gibran Ramadhan
D. Zawawi Imron
D.N. Aidit
Daisy Priyanti
Dandy Bayu Bramasta
Daniel Dhakidae
Dareen Tatour
Dea Anugrah
Dedy Sufriadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Desti Fatin Fauziyyah
Dewi Sartika
Dhanu Priyo Prabowo
Dharmadi
Diah Budiana
Dian Hartati
Didin Tulus
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Pranoto
Echa Panrita Lopi
Eddi Koben
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Faizin
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Erlina P. Lestari
Erwin Dariyanto
Esai
Esti Ambirati
Evi Idawati
Evi Sefiani
F. Daus AR
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fandy Hutari
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Faza Bina Al-Alim
Felix K. Nesi
Ferdian Ananda Majni
Fian Firatmaja
Gampang Prawoto
Gema Erika Nugroho
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gombloh
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Gus Noy
H.B. Jassin
Hairus Salim
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hari Murti
Haris Firdaus
Harry Aveling
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HE. Benyamine
Hendri Yetus Siswono
Herman Syahara
Hermien Y. Kleden
Holy Adib
Huda S Noor
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Humam S Chudori
Husni Hamisi
I G.G. Maha Adi
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
Idealisa Masyrafina
Idrus
Ignas Kleden
Ikarisma Kusmalina
Ike Ayuwandari
Ilham
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Irfan Sholeh Fauzi
Isbedy Stiawan Z.S.
J.J. Kusni
Jadid Al Farisy
Jajang R Kawentar
Jakob Oetama
Jalaluddin Rakhmat
Jansen H. Sinamo
Joni Ariadinata
K.H. Bisri Syansuri
K.H. M. Najib Muhammad
Kahfi Ananda Giatama
Kahfie Nazaruddin
Kho Ping Hoo
Kika Dhersy Putri
Kitab Para Malaikat
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kuswinarto
L.K. Ara
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Leon Agusta
Lesbumi Yogyakarta
Lily Yulianti Farid
Linda Christanty
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
Luwu Utara
M. Aan Mansyur
M. Faizi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M.D. Atmaja
M’Shoe
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majene
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mamasa
Mamuju
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maroeli Simbolon
Martin Aleida
Masamba
Mashuri
Media KAMA_PO
Melani Budianta
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Afifi
Mohammad Yamin
Much. Khoiri
Muhammad Fauzi
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Ridwan
Muhammad Subarkah
Muhammad Walidin
Muhammad Yasir
Muhyiddin
Mukhsin Amar
Munawir Aziz
Musa Ismail
Mustamin Almandary
N Teguh Prasetyo
Nadine Gordimer
Nara Ahirullah
Nelson Alwi
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nugroho Sukmanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Asyhadie
Nurul Komariyah
Ocehan
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pamela Allen
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pelukis
Pendidikan
Penggalangan Dana
Peta Provinsi Sulawesi Barat
Polewali
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Salafiyah Karossa
Pramoedya Ananta Toer
Pramuka
Prasetyo Agung
Pringadi AS
Pringgo HR
Priska
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puput Amiranti N
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Ragdi F. Daye
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ratnani Latifah
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Riadi Ngasiran
Rian Harahap
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Riki Fernando
Rofiqi Hasan
Ronny Agustinus
Rozi Kembara
Rusydi Zamzami
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Saini K.M.
Sajak
Salman Rusydie Anwar
Salman S Yoga
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Sapto Hoedojo
Sasti Gotama
Sastra
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Seni Rupa
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sirajudin
Siswoyo
Sitok Srengenge
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sonia
Sosiawan Leak
Sukitman
Sulawesi Selatan
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suriali Andi Kustomo
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Syamsudin Noer Moenadi
Syihabuddin Qalyubi
Syu’bah Asa
Tari Bamba Manurung
Tari Bulu Londong
Tari Ma’Bundu
Tari Mappande Banua
Tari Patuddu
Tari Salabose Daeng Poralle
Tari Sayyang Pattuqduq
Tari Toerang Batu
Tata Chacha
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater
Teddi Muhtadin
Teguh Setiawan Pinang
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tito Sianipar
Tjahjono Widijanto
Toeti Heraty
Tosiani
Tri Wahono
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
UU Hamidy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wan Anwar
Wawancara
Wayan Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono
Wicaksono Adi
Wilson Nadeak
Wisata
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yopie Setia Umbara
Yosephine Maryati
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yurnaldi
Zamakhsyari Abrar
No comments:
Post a Comment