Saturday, July 10, 2021

PARA AMATIR YANG PEMBERANI (I – II)

Untuk Penulis Pemula Juga Diriku Sendiri
 
Nurel Javissyarqi
 
(I)
Yang tampak di hadapan kita, bisa ditulis bercorak bobot termiliki. Realitas angan, kejadian sekitar pun pengandaian tak masuk akal, dapat dirumuskan sesuai nalar perasaan. Analisa pendek pula diberangkatkan, sebelum badai kelupaan, hantu keputusasaan.
 
Inilah kesederhanaan hidup. Semua boleh menulis, asal tak bertolak hati nurani. Kegunaan nalar kalbu dijalankan. Menulis juga bermakna membaca, mengkaji diri, menyimak gejolak emosi. Setidaknya tak menghantam lewat tangan, tetapi berani menulis kejujuran.
 
Tak usah canangkan cita terlalu dini, kegiatan menulis tak mengganggu pekerjaan lain yang telah digeluti. Daripada bengong ngelamun, menangis tanpa juntrung. Ambillah selembar kertas demi kesejatian nafas. Sebaiknya kita percepat pemberangkatan ini.
 
Menulis hal mudah, karena telah mengenal huruf, tanda baca dan paham rangkaian kata menjelma pengertian. Tak usah menyelidik terlalu, yang tertulis sudah ditulis orang atau belum. Menulis tidak lebih melukis memuntahkan emosi dan pertimbangan dari pantulan penalaran. Anggaplah sebagai kegiatan pemberitaan, bahwa di sekitar kita ada kejadian yang tak patut dilewatkan.
 
Tak mungkin kita merekam seluruh peristiwa bergumul dalam kehidupan dengan merawat ingan terus-menerus. Alangkah sia-sia jikalau tak menulis seumur hidupnya, meski di buku harian. Sebab keluhan hidup terhadapati akan kental mewarnai kelak. Jikalau ditulis, kalimat itu yang merawat kepribadian.
 
Ini sekadar berani, tiada takut dicemooh bermutu atau tidak. Yang jelas, setiap gurat memutiara patut dihargai. Jangan sekali-kali menganggap remeh tulis sendiri meski pun buruk, itulah tangga mengingat kebodohan. Dengan berjalannya waktu bersungguh, sedikit demi sedikit kita pelajari kejiwaan diri.
 
Kala mulai menulis, itulah sejarah awal, kejiwaan pertama dan kita menjadi peramal bagi diri sendiri. Olehnya, rawatlah karya pertama bertinta emas. Agar menghargai kebodohan muasal bagi kecerdasan tak terduga, tidak tersangka sebelumnya.
 
Aku tak miliki bahan ketika menulis ini. Nyata mengalir, padahal bermodal berani. Mari perturuti jemari agar kenang memutiara, yang kelak semua membaca dengan kekhusyukan, seperti kita dalam kepungan keheningan. Usah bernalar jauh, gelas di dekat menceritakan kegunaanya. Kursi, lantai, langit-langit dan buku-buku berserak bisa diajak bicara. Ketika dialog bermunculan, itulah diri sesungguhnya dan besok lebih jernih dari hari ini.
 
Kejadian sekitar ialah informasi berharga, maka tulislah. Sebab ingatan kita tak sanggup mencatat seluruh. Dengan menulis kita dapati yang jadi keinginan, harapan niscaya cemerlang jika dituangkan. Alangkah lebih baik berani menulis, daripada sang cerdas yang ngoceh, tapi ditinggal tidur pendengar muak.
 
Menulis itu realitas kecerdasan kita yang bodoh, maka bersungguhlah agar tak jadi bahan tertawaan langsung. Simpan-koreksi berulang sebelum dipublikasikan. Jika sekiranya berani menampilkan meski bobrok, kemukakan. Sebab malu sesal awal, guru paling keras mengajarkan bahwa kesungguhan hidup ialah niscaya.
 
Kita sulit menulis sebab tidak banyak rekaman kata di batok kepala, tidak ingat semua dalam kamus. Di sini tak menganjurkan menyuntuki kamus, bacalah buku apa saja. Kata-kata luwes kegunaanya, jikalau merasakan makna kata yang sedang tertulis. Penghayatan kata antara kita mungkin beda, maka jangan khawatir perbedaan makna. Sejati itu milik kita, dan para peneliti kita biarkan bekerja dengan daya tangkapnya yang indah.
 
Camkan, kadang lebih baik pemula daripada lihai menulis. Karena kelihaiannya, tidak memunculkan kejujuran karakter. Melupakan kesejatian, sebab perturuti kelincahan. Lantas pengendapan berkurang dari kepribadiannya paling intim. Sedang pemula, tidak punyai warna selain corak termiliki. Langkah kita kesadaran tapak demi tapak. Yang melesat di kedalaman angan impian, kekal dalam sanubari.
 
Jika mereka membaca karya kita dengan seleranya, kita juga punya kesenangan beda. Atau memang cara pandang berbeda, maka tak usah hawatir perbedaan. Yang dibilang baik orang lain, belum tentu bermutu di hadapan kita. Setiap insan miliki timbangan disaat melangkah di alam penulisan. Olehnya, ayo berangkat menulis, agar memiliki penilaian lebih baik untuk diri sendiri, daripada ‘nyadong’ pandangan orang lain.
 
Kita bisa tulis puisi, prosa, novel, balada, hikayat, sejarah, filsafat, psikologi, musik, matematika dan sebagianya. Tidakkah ilmu bisa dipelajari, ‘ilmu katon’ istilah orang Jawa. Dengan logika dasar yang ada, kita berangkatkan pemahaman hidup dengan apa yang dituliskan. Usah khawatir dianggap amatir. Sejatinya semua insan amatir, ketika jiwanya menyadari kerentahan, kekurangan. Seperti disaat-saat mencret, tentara gagah berani sekali pun, tak bisa berbuat apa-apa ketika sakit perut.
 
Usah cemas berbeda paham. Lebih baik para amatir yang menggenggam kejujuran, daripada yang lincah menulis, tapi telah tergadai logikanya dengan yang tiada kaitannya nurani, sebagai landasan pemberangkatan menjadi manusia beradab.
 
(II)
Percaya tidak, pendahulu kita pernah bilang menulis itu mahal. Tiba-tiba lainnya bicara, mengarang itu gampang (bersenyum sinis). Yang lain menganggap kita instan. Padahal sebelumnya menakut-nakuti kita para pemula. Memangnya hanyalah mereka yang memahami kata bekerja. Di sini suntuk masing-masing, bersayap pengetahuan diberikan tuhan. Jika ada menghalangi, anggap sebagai penutup rahmat.
 
Mereka ternyata ragu, sejarah waktu dapat menentukan nasib karya. Olehnya, jangan dengar ocean yang menjegal langkah. Marilah bersungguh bahwa tidak mereka saja pemampu. Jangan tertunduk yang suka dibesarkan, kita sama bernyawa. Ingatlah, kesuntukan dua tahun, melebihi yang berleha sepuluh tahun, perkalikan itu. Dan jangan biarkan tersita perkataan merongrong. Yakinlah mampu, teruslah berkarya!
 
Bagaimana gelapnya sejarah sastra indonesia dengan Pram yang kurang diperhitungkan. Namun sebab kegigihannya, orang luar menerima dan sastra kita baru melek membaca karyanya. Sekali-kali, jangan mengemis, kita bisa bikin sejarah, mencipta dunia yang di dalamnya tiada penjegalan pun hantu-hantu tak masuk akal.
 
Kesungguhan timbangan amal, menggoyang takdir tak mapan batinnya. Niat ibarat magnit menyedot jarum di dekatnya, mampu menggetarkan lempeng besi walau mata tak melihatnya. Tancapkan niat, getarkan bumi berkeyakinan melampaui. Keyakinan kita melesakkan wajah-wajah buram.
 
Sastra bukan hanya milik mereka, kita lahir di bencah nusantara untuk memperkaya khasana dunia. Ayo beramai-ramai menabur bebijian pendapat, hanya penaburlah yang kelak mendapatkan. Tidakkah waktu kekinian lebih purna serta luas jangkauannya, inilah keniscayaan sekarang!
 
Bacalah buku-buku guna tidak dipermainkan pendapat, terutama sejarah dunia dan teorinya. Agar tidak dipandang remeh orang-orang yang duduk dikursi goyang. Jangan lelap sebelum tancapkan keyakinan di kedalaman karya. Bacalah, biar sanggup tertawa atas bukit yang memberi petuah.
 
Sejarah tidak berdialog pada kita kecuali berkarya. Biar mereka anggap remeh, teruslah bersungguh. Kita diberikan tuhan nyawa, dengan itu seimbangkan tanah air tercinta, bahwa bukan mereka saja. Marilah lahap keilmuan dari segenap penjuru sekuat daya, agar tahu sudut mereka duduk berlantang mengeluarkan pandapat. Amini saja, namun jangan luma kewajiban berkarya. Terus sampai mereka muak melihat langkah-langkah kita.
 
Di sini bukan merendahkan kerjanya, sebab meremehkan seperti sundel bolong. Mudah ditujah lewat pintu kapan saja, arah mana pun. Kita mantabkan langkah, agar tak tersendat pendapat sekilas, dari sehabis pulas mendengkur kekeyangan.
 
Tidakkah tuhan menganugerahi nyawa sekali. Saat tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya, akan dipolitisir waktu-waktu pembodohan. Sebenarnya kita punya nyawa rangkap, tetapi wujudnya berbeda. Itulah kesungguhan, kegigihan pantang mundur meski api melumat, walau hujan banjir menenggelamkan simpanan.
 
Harta paling nyata hanyalah ilmu, dengannya dunia hancur lebur dapat dibangun kembali. Nyali tidak lekang nyawa bersarungkan badan. Jangan terkecoh jembatan layang ciptaan. Marilah membaca filsafat ilmu, agar batin tegak sentausa.
 
Meyakini hasil penelitian, percaya sehabis mempelajari, terus menyelami identitas, agar tidak mudah mengamini pendapat lain. Sebab kebenaran kerap dimanipulasi, ketika tiada aliran pemahaman lebih. Seair kali mandek, warnanya berubah keruh.
 
Sekali menjawab pertanyaan, di sutu terbaca. Maka jangan sering menuruti, kalau iseng tidak masalah demi mengecoh menyenangkan. Sebab tampang dunia kelihatan di jaman kekinian. Bacalah berbatin dan selidiki penuh kewaspadaan. Mengamati ucapan yang meremehkan sepertinya lupa pernah muda. Pun lalai kalau energi pemuda lebih daripada yang cepat lelah sebab usia. Kelemahan kita hanyalah keraguan. Janganlah ragu hidup sekali dan mati itu pasti. Bukankah keyakinan percepat segalanya?
 
Terus membaca dan menulis sampai teler mendekati gila berkali-kali. Di sana temukan manfaat, dari teknik hingga menimbang ruh karya. Pecahnya isi kepala melancarkan berkata-kata dalam penalaran batin. Dalam  istilah jawa “wes ngerti padange ndonyo” atau sudah faham terangnya dunia.
 
Ketika kandungan otak membuyar, pemahaman awal sepasir berserakan. Dengan sekop sungguh diangkut, lalu direkatkan bersemen niat bersama baja keyakinan. Peristiwa pecahnya sarang nalar hampir mendekati turunnya ilmu laduni.
 
Kurangi tidur sedapat mungkin, membasuh muka berkali-kali. Kasih mata ini sedikit garam kalau berani. Atau incipi asam Jawa biar jika diserang kantung membuta, bisa mengelak. Terus membaca meski kantuk, sebab alam kantuk sanggup menancapkan ingatan sedalam sukma. Jangan sering pakai bantal, itu mengurangi daya ingatan.
 
Itu sekadar contoh, aku yakin kita miliki kegilaan masing-masing untuk melahirkan karya. Ini tegur sapaan amatir pemberani. Untuk akhiri ocean, mari perbaharui niat kesungguhan pagi. Anggap belum mengerjakan apa-apa, sehingga tak sungkan menghadapi situasi apa pun. Tergerus hasrat tumpul dan kesumat menjelma kasih. Keputusasaan pada yang tidak pernah terbentur. Rasakanlah kegagalan secorengan muka atas belati sendiri.
 
Semakin mengalami, kian kuat menahan apa saja. Singsingkan rasa malu, sebab separuh kesalahan dihasilkan dari situ. Alangkah indahnya dianggap remeh. Lewat ini darah kebodohan menggejolak. Tanah kehadiran butuhkan pengorbanan, darah juang tumbal semangat. Yang menyerahkan nyawa demi ilmu, merdekalah pemahamannya.
 
***
https://sastra-indonesia.com/2008/09/para-amatir-yang-pemberani-i-ii/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar