Monday, June 21, 2021

PENANTIAN DAN HUJAN YANG PANJANG

Taufiq Wr. Hidayat *
 
"Tunggulah aku di ujung jalan itu," kata seseorang pada kekasihnya.
 
Alangkah dalam suatu penantian. Dan kenapa seseorang harus menanti? Mungkin di situ bersama hujan, lampu-lampu malam, rumah yang jauh. Dan hujan yang terasa panjang. Seseorang merindukan pulang. Pada ibunya. Ingin kembali berbaring di kasur masa kecilnya, membayangkan wajah entah siapa. Dingin. Malam yang sampai di pedalaman kenangan. Kesendirian yang tak terpecahkan. Waktu mendetak. Segalanya terus menerus berubah, berganti, bertukar keadaan. Tetapi kenapa seseorang harus menanti janji, meski merasa itu mustahil? Lalu harapan? Janji pun disimpan dalam ingatan, dibungkus di dalam waktu. Hidup terus dijalankan.
 
Perihal janji dan penantian, percintaan dan absurditas, Iwan Simatupang menulis cerita "Tunggu Aku di Pojok Jalan Itu". Cerita tersebut termuat dalam Majalah Sastra 1/7 1961. Sahdan seorang suami membeli rokok pada sebuah warung. Dia meminta sang istri menunggu di pojok jalan itu. Tetapi sejak detik itu, sang suami tak pernah kembali. Ia menghilang sampai 10 tahun! Tanpa kabar. Lenyap!
 
10 tahun kemudian, seorang suami dalam kisah Iwan Simatupang tersebut kembali datang ke pojok jalan itu menemui istrinya. Dan ganjil, sang istri tetap menunggu seperti sedia kala di pojok jalan itu, seperti saat ditinggalkan pada 10 tahun yang lalu! Ia tetap di sana bagai seorang pertapa. Apakah ia menanti? Dan apakah penantian yang barangkali dipenuhi kegelisahan dan kecemasan yang tak terjelaskan selama 10 tahun itu wujud kesetiaan cinta?
 
Tapi perempuan itu bukanlah seorang pertapa yang diam saja bagai batu di hantam segala keadaan. Ia manusia yang wajar, yang bergerak, dan hidup. Bukan batu. Keduanya yang telah terpisah 10 tahun lamanya itu pun bermesra-mesra, melepas rindu. Dan masih seperti dulu. Tapi saat sang suami mengajak istrinya tidur, si istri memasang tarif! Dia bukan lagi "tubuh gratis" bagi suaminya. Dia telah menjadi perempuan malam yang dapat ditiduri siapa saja dengan tarif yang diukur dengan durasi waktu.
 
Apakah kesetiaan? Tanya seseorang entah siapa. Tatkala kesetiaan itu tak dirawat dengan tanggungjawab terhadap kehidupan, apakah kesetiaan masih bernama kesetiaan atau janji masih bernama janji? Apakah perempuan yang menunggu dalam cerita Iwan dapat dikutuk pengkhianat?
 
Bagi Lenin, manusia butuh baju penutup tubuhnya, roti pengisi perutnya, dan tempat tinggal yang layak. Baru setelah itu, ia dapat berenang dalam politik, filsafat, dan agama. Apa yang Lenin sabdakan tak sepenuhnya benar. Meski tak seluruhnya salah. Pengertian "sandang" (baju), "pangan" (roti), dan "papan" (tempat tinggal) dalam kearifan Jawa adalah keharusan dasar, keniscayaan hidup yang wajar. Tetapi ada sisi lain dalam diri manusia yang melampaui kebutuhan dasar yang niscaya tersebut: harapan. Ada ketakpastian yang dijaga dalam kepastian-kepastian. Bukan belaka kesediaan untuk mencintai dan menjaga cinta dengan kesetiaan, tetapi di situ ada penerimaan. Penerimaan atas segala kemungkinan dalam diri manusia, meneguhkan diri menjaga kokohnya kesetiaan. Tanpa itu, atas alasan apa manusia harus memperjuangkan apa yang dicintainya? Orang bersimpati pada penderitaan adalah wajar. Tetapi jika simpati itu hanya sebatas pengungkapan-pengungkapan tanpa kebersediaan menerima penderitaan dalam kebersediaan berbagi atau “menjadi kami” yang melahirkan rasa senasib, simpati hanya omong kosong. Orang dijanjikan surga, beriman padanya, tetapi tak pernah berupaya merawat kehidupan dalam penjagaan. Maka janji surga yang diucapkan para pengkhotbah atau keimanan atasnya tak punya makna dan kepastian bagi yang berharap. Apa gunanya sebuah ikatan, jika ikatan itu hanya diikat oleh kepentingan yang hanya menguntungkan salah satu pihak saja?
 
Pada laut yang menyimpan ikan, kedalaman selalu tak terduga. Manusia---bagi Nietzsche, mengarungi samudera tanpa batas. Dan ia mengarungi samudera ganas tanpa batas itu dengan sebuah perahu. Agar ia tak dihancurkan keadaan, ia harus terus menerus memperbaharui perahunya. Perubahan terus menerus itu tak lain demi kekokohan untuk menetap pada pelayaran yang tak pernah memiliki tepian. Dalil Nietzsche itu, dalam kearifan Jawa disebutkan: “Samudro agung tanpo tepi angrambahi endi kang aran Gusti,” katanya. Bahwa kehidupan sehari-hari ibaratnya lautan tanpa tepian. Di dalam kerja dan upaya-upaya memenuhi nafkah hidup sehari-hari dengan kerja keras dan cara yang jujur, tak lain melayari samudera dengan segala keganasan dan kedalamannya yang tak terduga. Ia tak perlu menjadi apa-apa, tetapi pengabdiannya pada hidup yang membuatnya menjadi apa-apa. Tidak perlu menjadi orang pintar agama atau menjadi orang yang bangga dengan gelar keagamaan atau bentuk pengakuan apa pun untuk menjadi seorang hamba yang baik. Lantaran upaya mengarungi samudera hidup sehari-hari dengan kejujuran dan pemeliharaan terhadap kehidupan yang wajar, menegakkan cinta dengan kesetiaan, dan merawat kesetiaan itu dengan penerimaan dan tanggungjawab hidup tak lain adalah pengabdian sejati. “Sembahyang ngiras nyambut damel, lenggah sinambi lumampah, lumajeng salebeting kendel, ambisu kaliyan wicanten, kesahan kaliyan tilem, tilem kaliyan melek,” ujar kearifan Jawa. Ada sembahyang yang didirikan sambil bekerja, katanya. Ada yang duduk sambil berjalan. Namun ada yang berjalan di dalam diam, yang membisu sembari bicara, bepergian dengan tidur. Yang tidur namun terjaga.
 
Dan pada hujan yang panjang, penantian berkaca di balik jendela. Ia bagai al-Masih yang menahan kepedihan dunia ke dalam dirinya sendiri. “Ely, lamma sabkhtani?” teriaknya. “Kenapa Kau tinggalkan aku?” tanyanya. Namun pertanyaan agung dalam sejarah itu, seringkali hilang dari dada manusia. Ia tak dapat mendengar jeritan penderitaan di pedalaman-pedalaman keterasingan. Tetapi Neruda tak peduli. Cinta baginya adalah kesetiaan dan penerimaan yang tak selalu terjelaskan oleh kebisingan dunia. Dalam “Soneta XVII”, Pablo Neruda menulisnya.
 
aku tak mencintaimu seolah-olah kau adalah serbuk mawar, atau batu topas,
atau panah anyelir yang menyalakan api.
Aku mencintaimu seperti sesuatu dalam kegelapan yang harus dicintai,
secara rahasia, di antara bayangan dan jiwa.
 
Begitu katanya.
 
Tetapi perempuan yang menanti di ujung jalan itu, dalam kegelisahan panjang Iwan Simatupang, tak pernah membaca puisi Neruda di atas. Ia hanya melanjutkan pelayaran dalam samudera hidup sehari-hari. Ia boleh jadi benar pada satu sudut, dan salah pada sudut lain. Selalu begitulah manusia. Dan ia hanya manusia. Manusia yang dalam “Orang-orang Bloomington”-nya Budi Darma, ganjil dalam kewajarannya. Tetapi yang wajar dalam keganjilan-keganjilannya.
 
Gumuk Angin,Tembokrejo, 2021

*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi. http://sastra-indonesia.com/2021/06/penantian-dan-hujan-yang-panjang/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar