Monday, June 21, 2021

Pantun dan Pencerahan Budaya Melayu

Leon Agusta *
Harian Republika
 
Inilah kami. Kami ada dan mengada di Negeri Pantun, Kota Gurindam. Di negeri kami telah lahir Raja Ali Haji, pendekar gurindam yang melegenda. Juga, Raja Mantara, Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri. Suaranya serak nyaring menggelegar di panggung-panggung para penyair dunia dan nusantara.
 
Kami juga punya Raja Pantun, Tengku Nasyaruddin S Effendy, terkenal sebagai Tenas Effendy, yang telah menulis sekitar 65 buku tentang bahasa, seni dan budaya serta sejarah Melayu, 45 naskah ceramah dan diskusi. Ia Doktor Honorus Causa Universitas Kebangsaan Malaysia.
 
Kami juga punya Ratu Pantun, Hj Suryatati A Manan, walikota Tanjungpinang. Pemimpin yang menaburkan cinta terhadap pantun, pusat pesona dan semangat hidupnya. Anak-anak muda berada dalam rangkum pelukannya penuh kebanggaan.
 
Kami masih punya banyak nama, para pakar dan pencipta pantun. Karya mereka adalah buah dari pohon budaya kami yang bernama Bahasa Melayu — bahasa yang kini menjadi karunia peradaban bangsa Indonesia.
 
Begitulah, kurang lebih, yang tertangkap dari Festival Pantun Serumpun, 25-29 April 2008, di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, yang diselenggarakan oleh Yayasan Panggung Melayu (YPM) atas dukungan pemerintah Kota Tanjungpinang. Oleh sang walikota, Tanjungpinang pun dideklarasikan sebagai Negeri Pantun.
 
Tak kurang dari peserta Malaysia dan Brunei Darussalam pun ikut berpartisipasi. Ada pula opera pantun yang disutradarai Asrizal Nur, dan pantun majelis yang menampilkan Deputi I Menpora Sahyan Asmara, beberapa walikota serta Dubes Malaysia. Ini merupakan festival pantun pertama dengan partisipasi yang sedemikian luas.
 
Bicara tentang budaya Melayu akan selalu disusul dengan kata serumpun: Melayu Serumpun. Ini menunjukkan kawasan budaya Melayu begitu luas. Bukan sebatas kepulauan Riau. Tetapi, juga warga Minangkabau, Jambi, Palembang, Lampung, Deli Serdang, Malaysia, Brunei Darussalam, Kalimantan dan bagian selatan Thailand.
 
Bahkan, lebih luas lagi sampai beberapa kawasan Asia Tenggara seperti Kamboja dan Vietnam. Untuk mencakup semua maka disebut Serumpun Melayu. Dalam peta politik pemerintahan masa kini simpul-simpull keserumpunan itu sama sekali tidak terlihat. Diabaikan.
 
Budaya Melayu memperlihatkan keragaman sekaligus kekhasannya masing-masing. Ada masyarakat matrilineal Minangkabau, yang tradisi pantunnya juga kuat, dan punya tari serampang dua belas Melayu Deli, dan zapin. Ada juga Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji yang sangat dibanggakan.
 
Ketika kita hendak mencari sebuah ikon yang dapat dianggap merepresentasikan ruh kebudayaan Melayu, boleh jadi kita akan sampai kepada pantun (Maman S Mahayana, 2008). Suatu hal yang cukup terpercaya, mengingat kenyataan pantun tersebar di seluruh kawasan negeri Melayu Serantau.
 
Masyarakat Melayu zaman dulu tidak meninggalkan jejak sejarah yang memadai untuk dijadikan rujukan. Bila ada yang bertanya sejak kapan budaya pantun lahir dan tumbuh dalam budaya Melayu, pasti tidak ditemukan jawaban. Kecuali jawaban: pantun sudah ada sejak nenek moyang kita.
 
Menurut Hoesein Djajadiningrat, pantun sudah menarik perhatian para peneliti Barat sejak tahun 1688 (Poejangga Baroe, No 6, Th 1, November 1933). Artinya, pantun sudah terkenal sejak sebelum itu. Setidaknya ada 20 tulisan yang dibahasnya dan dia berhasil menunjukkan adanya kecenderungan yang keliru dalam pemahaman pantun karena ukuran yang dipakai tidak lain dari persajakan Barat.
 
Beberapa penulis lain juga menunjukkan pandangan yang kurang lebih sama. Mereka menolak anggapan Barat bahwa pantun tidak lebih dari hasil improvisasi (karangan dadakan) dan isinya amoreus (berhubungan dengan percintaan).
 
Ahli sastra (pantun), Hasan Junus, makin menekankan bahwa usaha untuk memahami pantun mestinya berdasarkan pemikiran, ukuran dan sudut pandang pantun itu sendiri, tidak terlepas dari lingkungan sosial budaya yang melahirkannya.
 
Sejak 1688, saat buku Studies on Malay Pantun karya Francois-Rene Daillie hingga saat ini sudah lahir satu deretan panjang buku yang merupakan hasil studi para peneliti asing dan dari kawasan Melayu tentang pantun. Ini menunjukkan, bahwa pesona pantun kian meluas, khususnya di kalangan peneliti bukan Melayu.
 
Pantun menjadi ikon, menurut Maman S Mahayana, karena pantun tidak terikat oleh batasan tempat, usia, jenis kelamin, stratifikasi sosial, dan hubungan darah. Pantun juga dapat digunakan di sembarang tempat, waktu dan suasana. Seorang pejabat negara dalam pidato resminya atau seorang khatib selagi berkhotbah elok saja menyelipkan pantun di dalamnya.
 
Dalam pengertian umum pantun merupakan salah satu bentuk sastra rakyat yang menyuarakan nilai-nilai dan kritik budaya masyarakat. Biasa digunakan dalam fokslore yang bersifat lisan sebagaimana terlihat dalam dendang yang diiringi berbagai alat musik seperti salung dan rebab di Minanghkabau atau gendang dan kecapi serta berbagai alat musik tradisional Melayu lainnya.
 
Pantun juga digunakan dalam upacara adat atau dalam berbagai dialog dengan ciri masing-masing, seperti pantun percintaan, pantun nasehat, pantun bercanda tau pantun jenaka (lelucon), dan pantun teka-teki.
 
Pantun juga digunakan untuk menyampikan pesan-pesan sosial secara sederhna seperti Keluarga Berencana, modernisasasi secara sekilas. Tidak mendalam. Terakhir sekali, pantun bahkan juga dimamfaatkan untuk kampanye pemilihan kepala daerah.
 
Hal itu menunjukkan bahwa pantun memang merupakan satu bentuk seni sastra rakyat yang bukan saja tekstual tetapi juga kontekstual, dan fleksibel, hingga selalu mampu mengikuti perkembangan zaman dan menghibur:
 
Pengamat Barat cenderung mengatakan dua baris awal dari pantun (sampiran) sebagai nonsens semata. Sementara dalam budaya Melayu sampiran itu menyimpan kekuatan estetik bahkan juga kerifan dan keterampilan dalam berbahasa dan berkomunikasi.
 
Para petinggi adat di Minangkabau, misalnya, beranggapan bahwa sampiran merupakan bahasa cerdik pandai atau cendekiawan, sementar isi adalah bahasa untuk orang kebanyakan. Penciptaan yang sesungguhnya berlangsung waktu sampiran dibuat. Sementara isi hanya mengikuti pola sampiran dengan muatan yang disesuaikan. Kata-kata pada sampiran sangat kaya dengan tanda-tanda budaya, flora dan fauna yang merupakan bagian kehidupan masyarakat.
 
Dalam artikel Revitalisasi Tradisi Perpantun (Negeri Pantun, 2008), Ahmadun Yosi Herfanda melihat kuatnya semangat kebangkitan budaya Melayu saat ini karena masyarakat Melayu memiliki daya resistensi yang cukup tinggi terhadap ancaman budaya global. Kesadaranan ini pulalah yang menghidupkan proses revitalisasi tradisi dimaksud.
 
Spirit kultural masyarakat Melayu tampaknya sedang mengalami pencerahan dan dengan lantang menyatakan jati dirinya di hadapan sejarah zaman ini.
***

*) Leon Agusta (Ridwan Ilyas) lahir di Desa Sigiran, daerah pinggiran Danau Maninjau, 1938. Pernah mengikuti International Writing Program di Iowa University, tahun 1976 dan 1978. Karya-karyanya, berupa puisi, cerpen, esei, dan novel, dimuat di berbagai media massa, termasuk Horison, dan diterbitkan dalam sejumlah buku antologi. Walaupun usianya sudah kepala enam, Leon masih aktif menulis puisi, dan mengikuti berbagai forum sastra di dalam dan luar negeri. http://sastra-indonesia.com/2009/04/pantun-dan-pencerahan-budaya-melayu/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar