Monday, June 21, 2021

Mitologi Melayu dan Sastrawan Riau

Agus Sri Danardana *
Riau Pos, 4 Nov 2012
 
TANPA harus menyangkal bahwa lahirnya kesusastraan (puisi) Indonesia modern banyak dipengaruhi oleh kesusastraan (poetika) Barat, kita pun harus mengakui bahwa sebelum berkenalan dengan kesusastraan Barat, sebenarnya kita sudah punya konvensi sastra sendiri. Konvensi sastra itu, dalam kenyataannya, tak dapat dengan begitu saja ditinggalkan oleh para sastrawan kita. Dari segi bentuk, misalnya, kita masih dengan agak mudah menemukan puisi-puisi yang ditulis ala pantun, syair, gurindam ataupun mantra. Sementara itu, dari segi isi atau bahan-bahannya, kita pun masih banyak menemukan puisi yang ditulis berdasar mitologi-mitologi tertentu. Sekadar contoh dapat disebut di sini puisi Amir Hamzah yang berjudul ‘’Batu Belah’’ dan ‘’Hang Tuah’’ (masing-masing berdasarkan dongeng Batu Belah dan Hikayat Hang Tuah); puisi Chairil Anwar, ‘’Diponegoro’’ (diilhami dari sejarah perjuangan Diponegoro) dan ‘’Cerita Buat Dien Tamaela’’ (didasarkan kepercayaan orang Maluku); serta puisi Gunawan Mohammad, ‘’Gatoloco’’, yang diolah dari buku Gatoloco, sebuah kitab yang berisi ajaran mistik (Jawa).
 
Sedikit beda dengan judulnya, tulisan ini hendak melihat mitologi Melayu dalam karya sastra. Lihatan akan berfokus pada ‘pemanfaatan’ mitologi Melayu oleh sastrawan Riau dalam beberapa karyanya yang sempat penulis amati.
 
Mitologi: Untung-rugi Pemanfaatannya
 
Dalam salah satu tulisannya, Budi Darma (2004:130) berpendapat, sastra adalah kepanjangan dari mitologi. Seperti halnya dalam sastra, di dalam mitologi terdapat tokoh-tokoh yang mengalami konflik kejiwaan/masalah psikologis sehingga antara sastra, mitologi dan psikologi sesungguhnya saling terkait dan tak dapat dipisahkan.
 
Untuk mendukung pendapatnya itu, Budi Darma mencontohkan asal-usul istilah histeria dan narsisme. Konon, kedua istilah itu diambil dari dua nama tokoh dalam mitologi Yunani Kuno yang mengalami masalah psikologi: Histeria dan Narcissus. Histeria adalah tokoh wanita yang mengalami ketidakberesan pada rahimnya. Setiap kali ketidakberesan itu muncul, Histeria selalu berteriak-teriak, kadang menangis, kadang tertawa dan kadang marah-marah tak dapat lagi mengendalikan emosinya. Sementara itu, Narcissus adalah tokoh pria (?) yang mencintai dan mengagumi diri sendiri secara berlebihan. Kini, keduanya: histeria dan narsisme digunakan untuk setiap orang (baik pria maupun wanita) yang mengalami gangguan kejiwaan seperti itu.
 
Sebagai produk budaya, idealnya, mitos akan selalu hidup dan memberi pengaruh terhadap perilaku dan pandangan hidup masyarakat. Mitos bukan sekadar sebuah konsep/gagasan, melainkan suatu lambang dalam bentuk wacana. Mitos, dengan demikian, selalu menghadirkan sebuah sistem komunikasi yang menawarkan pesan masa lalu: ide, ingatan, kenangan dan bahkan keputusan yang diyakini masyarakatnya (Barthes, 1981:193). Karena itu, dalam kondisi yang benar, mitos dapat mengembangkan integritas masyarakat: memadukan kekuatan kebersamaan yang terpecah serta dapat membentuk solidaritas, identitas kelompok dan harmonisasi komunal.
 
Berkaitan dengan itu, Subagio Satrowardojo berpendapat (baca: mengaku) bahwa dirinya (juga sastrawan lain) memanfaatkan mitologi dalam berkarya karena tokoh-tokoh di dalam kisah demikian tetap dekat pada sumber kehidupan yang purba, manusia yang masih bebas tiada halangan-halangan batin, prasangka-prasangka, tanggapan-tanggapan rasional dan pertimbangan-pertimbangan yang membingungkan seperti yang terdapat di dalam masyarakat modern. Mereka berbicara dan berlaku sesuai dengan desakan yang sejati yang lurus datang dari perasaan serta bayangan batinnya.
 
Dan, penyair menemukan pada tokoh-tokoh itu jenis sesamanya yang lebih mula dan tua, yang seperti dia hendak menyaksikan dunia dalam keperawanannya, sebelum diwarnai pandangannya oleh kategori dan metode berpikir yang kini ada. Tokoh-tokoh itu dengan langsung menyentuh hakikat yang ada. (dalam Keroncong Motinggo, 1975:109).
 
Apa yang diungkapkan Subagio Sastrowardojo itu, rasa-rasanya, memang patut kita terima. Mengapa? Karena karya (puisi-puisi mitologis) yang sepintas lalu tampak seperti puisi naratif itu, jika kita amati sungguh-sungguh, ternyata merupakan puisi lirik. Mari kita lihat puisi Rida K Liamsi, ‘’Jebat’’, berikut ini.
 
Telah kau hunus keris
telah kau tusuk dendam
telah kau bunuh dengki tetapi, siapakah yang telah mengalahkan mu
Kami hanya menyaksikan luluh rasa murka mu
celup cuka cemburu mu
kubur rasa cinta mu
di bayang-bayang hari mu
 
Kami hanya menyaksikan waktu menghapus jejak darah mu
angin menerbangkan setanggi mimpimu
ombak menelan jejak nisan mu
di balik cadar mimpi-mimpi mu
 
Kami semua telah mengasah keris
telah menusuk dendam
membunuh dengki
meruntuhkan tirani
 
Tapi siapa yang telah mengalahkan kami
menumbuhkan khianat
melumatkan sesahabat
mempusarakan sesaudara
 
Kami hanya menyaksikan waktu yang berhenti bertanya
sejarah yang berhenti ditulis
kita hanya membangun sebuah arca
 
Sepintas puisi itu tampak sebagai puisi naratif karena mengambil salah satu peristiwa dalam Hikayat Hang Tuah, yakni kematian (Hang) Jebat oleh sahabat karibnya sendiri, (Hang) Tuah. Namun, jika diamati sungguh-sungguh, puisi itu adalah puisi lirik: Si aku lirik diobjektifkan menjadi mu, Jebat, yang sedang dan telah gugur dalam berperang. Dengan demikian yang dipentingkan bukanlah tokoh Jebat atau peristiwanya itu, melainkan penghayatan Rida K Liamsi terhadap tokoh dan peristiwa tersebut. Tokoh dan peristiwa hanya menjadi sarana untuk ikut serta dalam pengamalan batin si aku lirik (Teeuw, Tergantung pada Kata, 1980:48). Atau dengan kata lain, tokoh dan peristiwa hanya suatu alegori atau metafora untuk mengutarakan pikiran penyair yang bersifat personal tentang kehidupan.
 
Begitulah, dengan pemanfaatan mitologi dalam karya sastra, sesungguhnya sastrawan dan masyakarat/pembaca sama-sama dapat keuntungan. Setidaknya, sastrawan terbebas dari kewajiban untuk menerang-jelaskan sarana/peranti pengucapannya. Sementara itu, di samping memperoleh kemudahan dalam pemaknaan (karena sudah mengenal), masyarakat/pembaca juga memperoleh kesempatan mengeksplorasikan pemaknaannya.
 
Dalam ‘’Jebat’’, misalnya, Rida K Liamsi tak perlu lagi memberi penjelasan tentang ihwal Jebat. Sebagai tokoh yang sudah menjadi mitos, ihwal Jebat diasumsikan (dan seharusnya) sudah jadi pengetahuan umum bagi masyarakat (Melayu). Bahkan, adanya tanggapan beragam di kalangan masyarakat (Melayu) tentang etos kepahlawan Jebat (dan Tuah) pun tak perlu dikemukakan. Berkembangnya dua pendapat di kalangan masyarakat tentang etos kepahlawan Jebat dan Tuah itu (sebagian menganggap bahwa Tuah lah yang pantas disebut pahlawan karena berhasil mengembalikan ketenteraman kerajaan dan sebagian lainnya menganggap bahwa Jebat lah yang pantas disebut pahlawan karena gigih membela kebenaran) justru membuka kesempatan masyarakat/pembaca untuk memperkaya pemaknaan puisinya.
 
Pertanyaannya sekarang adalah seberapa tinggi tingkat apresiasi masyarakat Melayu terhadap mitologinya. Jawaban atas pertanyaan itu menjadi penting karena akan menjadi penentu kebermaknaan karya sastra yang memanfaatkannya. Jika tingkat apresiasi masyarakat rendah, pemanfaatan mitologi dalam karya sastra justru akan mendatangkan kesulitan tersendiri. Masyarakat yang tidak mengetahui ihwal keris tameng sari, syair ‘’Perahu’’ (Hamzah Fansuri) dan Hang Tuah, misalnya, akan mengalami kesulitan memahami puisi Taufik Ikram Jamil (‘’Tameng Sari Kuserahkan Kembali’’), puisi Idrus Tintin (‘’Perahu’’) dan puisi Kunni Masrohanti (‘’Lancang Tuah’’). Begitu pula orang akan kesulitan memahami cerpen Marhalim Zaini (‘’Amuk Tun Teja’’) dan cerpen Fedli Azis (‘’Nol Besar’’) jika tak memiliki apresiasi yang baik terhadap Hikayat Hang Tuah. Pendek kata, tanpa memiliki apresiasi mitologi Melayu yang baik, hampir dapat dipastikan masyarakat/pembaca takkan dapat menikmati kegamangan dan/atau keparodian dalam karya keenam sastrawan yang sudah disebutkan di muka.
 
Betapa tidak? Melalui ‘’Tameng Sari Kuserahkan Kembali’’, Taufik Ikram Jamil menampilkan kegamangannya atas eksistensi (keris) tameng sari; Idrus Tintin memperlihatkan kegamangannya atas karyanya sendiri, ‘’Perahu’’; Kunni Masrohanti memamerkan kegamangannya atas eksistensi Tuah (sebagai simbol Melayu) dalam ‘’Lancang Tuah’’; Rida K Liamsi (melalui ‘’Jebat’’) dan Fedli Azis (melalui ‘’Nol Besar’’) sama-sama gamang terhadap eksistensi Jebat: Rida gamang karena takut, jika waktu berhenti bertanya dan sejarah berhenti ditulis, Jebat justru akan menjelma menjadi arca. Sementara itu, Fedli gamang karena khawatir Jebat telah ter(di)lupakan oleh banyak orang; serta Marhalim Zaini meluapkan kegamangannya atas eksistensi Tun Teja melalui ‘’Amuk Tun Teja’’. Dalam cerpennya itu, secara simbolik, Marhalim bahkan telah memvonis bahwa Tun Teja tidak dikenal lagi oleh masyarakatnya (Riau).
 
Nah, apakah karya-karya mitologis seperti itu mendapat apresiasi yang baik dari masyarakat? Sejarah yang akan membuktikannya. Setidaknya kita masih bisa berlega hati setelah membaca tulisan W Halim, ‘’Teater, Tiga Karya Satu Cinta’’, di harian ini pada 28 Oktober lalu. Menurut catatannya, pementasan tiga lakon Melayu: Hikayat Puteri Puyu-Puyu (Hang Kafrawi), Melodi Pengakuan (Rina N Entin) dan Peri Bunian (Kunni Masrohanti) yang dibicarakannya itu mampu menyedot banyak penonton. Atas dasar itu, di tengah kegalauan era globalisasi, kita pun masih bisa berharap agar karya-karya mitologis terus ditulis. Jika harapan itu terwujud, kita pun akan semakin yakin bahwa pengembangan integritas masyarakat Riau untuk memadukan kekuatan kebersamaan dalam membentuk solidaritas, identitas kelompok dan harmonisasi komunal akan semakin mudah dilakukan. Semoga.
***

*) Agus Sri Danardana, Kepala Balai Bahasa Riau yang aktif mengamati dan menuliskan pemikirannya, terutama tentang karya-karya Melayu Riau. Bermastautin di Pekanbaru. http://sastra-indonesia.com/2021/06/mitologi-melayu-dan-sastrawan-riau/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar