Thursday, June 24, 2021

Menulis Puisi Itu Sangat Mahal

Acep Zamzam Noor
Pewawancara: Erwin Dariyanto
Koran Tempo, 27 Jan 2008
 
Acep Zamzam Noor pantas berbahagia. Penyair kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, ini dinobatkan sebagai peraih Khatulistiwa Literary Award 2007 untuk kategori puisi pada 18 Januari lalu. Acep meraih penghargaan itu melalui buku kumpulan puisi Menjadi Penyair Lagi (2007).
 
Ini penghargaan kedua dalam karier kepenyairan lelaki yang bulan depan berusia 48 tahun ini. Pada 2005 penyair yang tumbuh di lingkungan pesantren di kota kelahirannya ini menerima South East Asian Write Award dari Kerajaan Thailand.
 
Kemenangan di Khatulistiwa Literary Award membuat kantongnya kian tebal. Ia berhak atas hadiah uang Rp 100 juta. “Lumayan, uang ini menjadi honor setelah 20 tahun menjadi penyair,” ucapnya di atas panggung ketika menerima penghargaan itu di Atrium Plaza Senayan, Jakarta.
 
Acep adalah salah satu penyair Indonesia yang bertahan cukup lama mencurahkan dedikasinya pada perpuisian Indonesia. Menulis puisi sejak sekolah menengah pertama, hingga saat ini ia telah menerbitkan delapan buku kumpulan puisi, antara lain Tamparlah Mukaku (1982), Aku Kini Doa (1986), dan Jalan Menuju Rumahmu (2004).
 
Banyak karyanya yang dijadikan kajian oleh kalangan akademisi sastra di Tanah Air. Lulusan Jurusan Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung ini pernah mendapat beasiswa untuk kuliah di Universitas Italiana, Italia, selama dua tahun.
 
Sepulang dari Italia, suami Euis Nurhayati dan ayah empat anak ini memilih tinggal di Tasikmalaya. “Dengan saya tinggal di daerah, saya bisa hidup apa adanya, sederhana, sehingga masih bisa bertahan menulis puisi hingga sekarang,” ujarnya. Selain menulis puisi, ia melukis. Acep aktif berpameran, antara lain di Bandung, Yogyakarta, Bali, Jakarta, Filipina, Singapura, Malaysia, dan Belanda.
 
Selasa lalu, Acep menerima wartawan Tempo, Erwin Dariyanto, dan fotografer Santirta untuk sebuah wawancara di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Berikut ini petikannya.
 
Apa arti penghargaan Khatulistiwa Literary Award ini bagi Anda?
 
Sebenarnya, penghargaan semacam ini bagi penyair bukanlah target. Bagi penyair, menulis puisi itu bukanlah penghargaan semacam ini yang terpikirkan. Tapi Khatulistiwa ini, menurut saya, juga penting bagi dunia kepenyairan di Indonesia. Bagi saya, ini hanya sebagai proses. Saya menulis puisi sudah 20 tahunan. Beberapa penghargaan yang saya terima menggambarkan bahwa saya bekerja dan orang memperhatikan.
 
Anda sudah puas dengan mendapat penghargaan ini?
 
Saya belum puas. Saya mungkin hanya bisa mengucapkan terima kasih. Kerja saya selama ini dihargai. Tapi kerja saya akan berjalan terus. Saya tetap berproses tanpa atau dengan penghargaan sekalipun.
 
Apa Anda merasa sudah pantas mendapat penghargaan ini?
 
Kalau soal itu, orang lain yang menilai.
 
Beberapa kalangan menilai proses seleksi dan penjurian Khatulistiwa Literary Award tidak fair, bagaimana menurut Anda?
 
Ini begini, saya juga kurang tahu prosesnya seperti apa. Saya memang mendengar bahwa penjurian di KLA ini lain dari penjurian-penjurian yang lain. Bahwa ini tidak ada diskusi, tapi tiap juri memberikan angka atau apa, tapi ini juga melibatkan banyak sekali juri. Saya tidak tahu ini fair atau tidak. Tapi katanya ini proses penjurian yang lain. Alasan mereka, kalau lewat diskusi, akan ada yang dominan, sementara ini kan tidak ada, semua sama. Cuma, menurut saya, ini adalah sebuah versi KLA ini, ya, seperti ini.
 
Dengan sistem penjurian seperti itu, apakah penjurian Khatulistiwa Literary Award sudah ideal?
 
Mungkin kalau ideal belum. Sistem seperti ini, menurut saya, masih bisa dilakukan, tapi dengan kualitas juri yang semuanya mengerti puisi. Sistem seperti ini, menurut saya, bisa menjadi alternatif, dengan catatan jurinya yang benar-benar paham tentang sastra.
 
Apakah para juri Khatulistiwa Literary Award saat ini belum memahami sastra?
 
Jadi ini kan ada tiga tahapan. Saya kurang tahu siapa saja jurinya pada tahap pertama dan kedua. Tapi kayaknya ini jurinya dari berbagai kalangan, tidak khusus yang berlatar belakang sastra, ada filosofnya, ada juga sosiolognya. Juri di tahap terakhir ini agak komplet, ada akademisi, ada penyair, ada ahli puisi, ada redaktur koran. Cuma, apakah reputasi mereka pas atau tidak, itu juga mungkin dikaji lagi.
 
Penjurian yang ideal itu seperti apa?
 
Saya rasa, cara seperti itu ideal kalau orang-orangnya benar-benar mantap dan paham benar soal puisi.
 
Buku puisi Menjadi Penyair Lagi memiliki tren romantis. Apa keistimewaan puisi-puisi Anda dalam buku itu?
 
Jadi memang buku ini adalah kumpulan puisi liris dengan tema romantis. Di sini sebenarnya saya lebih menekankan masalah-masalah bahasa, bahasa dengan ungkapan yang sederhana, tapi juga mungkin bersih dan bening. Itu yang ingin saya tampilkan dari buku ini. Ini berbeda dengan kumpulan-kumpulan puisi saya sebelumnya. Isinya lebih ke puisi-puisi yang temanya sederhana, isinya juga sederhana, tapi saya ingin menghadirkan puisi dalam kesederhanaan itu.
 
Yang menjadi unggulan dalam buku itu puisi apa?
 
Saya kurang tahu. Akhirnya juga selera pembaca yang berbicara. Selera pembaca kan berbeda-beda. Ada beberapa memang yang saya sukai secara pribadi, yang kemudian saya jadikan judul buku itu, “Menjadi Penyair Lagi”.
 
Kenapa memilih judul “Menjadi Penyair Lagi”?
 
Itu secara subyektif, karena saya menyukai sajak itu, dan itu saya kira mewakili keseluruhan dari puisi-puisi itu.
 
Bagaimana proses kreatif Anda membuat puisi?
 
Jadi itu (proses kreatif Menjadi Penyair Lagi) sebenarnya (berdasarkan) pengalaman teman-teman, hasil pengamatan sosial saya. Banyak sekali wanita muda yang ingin menjadi artis, penyanyi, dan semacam itu. Saya terilhami oleh mereka, anak-anak muda yang ingin menjadi artis.
 
Proses (kreatif) secara keseluruhan, pertama, saya menyukai jalan-jalan. Dalam satu bulan, setengah bulan lebih saya gunakan untuk jalan-jalan, entah ada acara entah tidak. Itu bagian dari proses kreatif saya. Saya sangat menikmati semua itu: bagaimana perjalanan saya di kereta, bus, saya melihat sekeliling saya. Juga ketika saya memasuki sebuah kota, apakah kota itu sudah lama saya kenal atau belum. Itu juga menjadi masukan-masukan bagi diri saya dan tersimpan dalam memori saya. Nah, hal-hal itu menjadi inspirasi bagi saya.
 
Tempat favorit yang menjadi sumber inspirasi Anda?
 
Nah, kalau kota, itu Yogya. Dan saya mencari pasar tradisional, terutama pasar di Bali. Saya pernah ke sebuah pasar di Bali, yaitu Pasar Kumbasari, dan membuat sebuah puisi berjudul “Kumbasari”. Dan puisi itu sering dijadikan puisi wajib dalam lomba-lomba baca puisi di sana. Ini juga salah satu yang saya kunjungi. Saya tidak secara sengaja mencari puisi dengan mengunjungi pasar-pasar itu. Tapi sekadar jalan-jalan menikmati suasana, mengalir begitu saja. Tapi itu menjadi bahan bagi saya.
 
Jadi semua tempat bisa menjadi sumber inspirasi?
 
Saya sering mengatakan kepada teman-teman di komunitas bahwa pekerjaan seorang penyair itu sangat berat. Waktunya 24 jam, tidak dibatasi jam kerja dan libur nasional, libur kejepit, atau libur apa pun. Jadi ritmenya harus tetap terjaga selama 24 jam. Lalu menulis puisi itu sangat mahal biayanya. Saya bisa katakan bagaimana mahalnya biaya perjalanan, bagaimana biaya duduk di kafe memesan cappuccino atau bir. Ini tidak sebanding dengan honor yang diberikan majalah. Tapi ketika orang menulis puisi, honor dan hal-hal lainnya bukan menjadi yang utama.
 
Kepuasan apa yang Anda dapat dari menulis puisi?
 
Nah, ini kepuasan yang sulit dijelaskan. Ada kenikmatan-kenikmatan tertentu yang mungkin juga hanya bisa dicapai oleh orang dengan hobi tertentu. Misalnya, orang bisa membeli bunga dengan harga ratusan juta sekadar untuk kenikmatan. Mungkin seperti itu juga saya mendapat kenikmatan dari menulis puisi. Ada kenikmatan batin ketika puisi selesai ditulis. Semacam orgasme begitu, agak sulit dijelaskan bagaimana kepuasan seorang penyair.
 
Puisi-puisi Anda sebelumnya mengusung tema religius, apakah ini karena Anda pernah tinggal di pesantren?
 
Ya, mungkin itu juga ada pengaruh. Tapi mungkin saja ketika orang memulai menulis puisi, dia akan mengalami perjalanan sendiri, perjalanan spiritual. Saya kira itu hal yang wajar. Sebuah fase dari setiap penyair akan mencapai tema-tema khusus, misalnya religius, dan itu saya lakukan sudah cukup lama, sekitar 1980. Saya menulis tema-tema religius dengan metafora persoalan-persoalan alam. Tapi di situ mulai masuk persoalan-persoalan sosial dan persoalan yang agak erotis juga masuk dalam buku saya.
 
Hanya sedikit penyair yang mempertahankan kepenyairannya. Apa yang membuat Anda bertahan sebagai penyair?
 
Ini hal yang sangat wajar saja. Orang, ketika mahasiswa, senang menulis puisi, kemudian setelah lulus, tidak lagi menulis puisi adalah hal yang sangat normal, dan itu akan terjadi pada setiap orang. Tapi yang bertahan itu yang luar biasa. Karena begini, mungkin mereka, menurut saya, salah niat. Ketika kepenyairan dianggap profesi, menurut saya, itu salah, paling bertahan selama lima tahun saja. Kalau kepenyairan dianggap sebagai profesi, berarti dia harus hidup dari puisi. Ini sesuatu yang tidak mungkin di Indonesia. Saya bisa bertahan karena tidak menganggap penyair ini sebagai profesi saya. Saya menganggap ini sebagai kesenangan saja, semacam hobi. Justru karena saya menganggapnya sebagai hobi, saya bisa bertahan lama. Dan hobi bukan hal yang main-main. Bisa juga serius tanpa perhitungan untung-rugi.
 
Apakah dengan menulis puisi ini, bisa memenuhi kebutuhan hidup?
 
Itu tidak mungkin. Saya pikir, tidak ada buku yang diterbitkan kemudian memberikan penghasilan bagi penyairnya. Itu tidak mungkin. Itu selalu rugi. Dari honor di koran, itu sangat kecil. Tidak mungkin bisa untuk hidup.
 
Dari menulis buku, berapa royalti yang Anda terima?
 
Nyaris tidak ada. Itu mungkin umumnya buku sastra yang bestseller.
 
Lalu bagaimana Anda bisa hidup?
 
Saya mungkin hidup dari keajaiban, ya. Selesai kuliah, saya nikah. Waktu itu saya sempat hidup dari menjual lukisan. Kemudian saya ke luar negeri selama dua tahun. Pulang dari sana tiba-tiba saya memutuskan tinggal di daerah. Ini juga mengagetkan teman-teman. Karena tinggal di daerah tidak menguntungkan bagi kelangsungan karier kepenyairan. Tapi, dengan tinggal di daerah, mungkin saya lebih tenang dalam menulis puisi. Pertama, mungkin kalau saya di kota, saya punya pekerjaan dan punya majikan, dan itu bagi saya adalah musuh dalam penulisan buku. Dengan mempunyai pekerjaan tetap, jadwal tetap itu akan mengganggu proses kreatif. Begitu juga dengan punya majikan.
Dengan saya tinggal di daerah, saya bisa hidup apa adanya, sederhana, sehingga masih bisa bertahan menulis puisi hingga sekarang.
 
Mengapa peminat puisi lebih sedikit ketimbang peminat prosa?
 
Ini tidak aneh. Jenis-jenis kesenian tertentu yang dianggap serius pasti mempunyai minat yang terbatas.
 
Apakah melalui puisi Anda bisa menyalurkan aspirasi politik Anda?
 
Ya, kebetulan karena saya di daerah, ternyata aspirasi politik saya sangat efektif disampaikan melalui puisi. Misalnya, protes-protes saya mengenai kebijakan pemerintahan daerah di DPRD. Kebetulan saya di daerah sering diundang ke berbagai forum entah untuk membaca puisi entah sekadar berbicara, sehingga saya mempunyai kesempatan luas untuk menyampaikan aspirasi saya.
 
Bagaimana pandangan Anda mengenai masyarakat puisi Indonesia?
 
Jadi saya tidak terlalu pesimistis, ya, masyarakat puisi Indonesia itu mempunyai masyarakat sendiri. Dibanding negara lain di dunia, di Indonesia ini lebih semarak. Lomba-lomba baca puisi yang diadakan di daerah selalu diikuti minimal 300 peserta. Itu juga salah satu yang menandakan bahwa puisi punya salah satu kesemarakan sendiri.
 
Bagaimana pendidikan puisi di sekolah?
 
Nah, itu salah satunya lewat lomba-lomba. Semakin sering saja mengadakan lomba-lomba. Dan ini yang menyelenggarakan adalah komunitas, bukan pemerintah.
 
Kenapa bukan pemerintah yang turun tangan? Apa masalahnya?
 
Nah, itu selalu begitu. Sebenarnya pemerintah punya program. Namun, selalu saja tidak sukses karena pemerintah tidak serius menggarapnya, tapi malas bekerja sama dengan komunitas.
 
Bagaimana peran pemerintah dalam memajukan puisi?
 
Sangat kecil perannya karena hanya memberi waktu dua jam untuk pelajaran bahasa Indonesia, bukan sastra, lo. Hanya ada beberapa menit untuk sastra ini. Ini sangat kurang. Idealnya, harus dipisahkan antara pelajaran bahasa Indonesia dan sastra Indonesia.
 
Bagaimana pelajaran sastra di negara lain?
 
Bisa jadi lebih bagus karena di Malaysia itu, tingkat SMA saja sudah bikin skripsi kecil yang membahas karya sastra, dan kebanyakan yang dibahas karya sastra Indonesia.
 
Apa yang harus dibenahi dalam pengajaran sastra di Indonesia?
 
Pertama, kurikulum. Ada memang beberapa sekolah yang guru-gurunya punya kesenangan pada sastra atau mempunyai hubungan dengan komunitas-komunitas, dia bikin kegiatan di luar kegiatan sekolah, ekstrakurikuler. Tapi kan tidak semua sekolah seperti itu.
 
Mengapa di Indonesia sangat sedikit kalangan bisnis yang menyukai puisi?
 
Nah, itulah, di Indonesia ini spesialisasi itu ketat sekali. Seorang dokter itu menjadi aneh ketika menyukai lukisan atau puisi. Padahal semestinya kesenian itu bisa memberikan pencerahan bagi semua kalangan.
 
Karya puisi yang paling berkesan bagi Anda?
 
Salah satunya yang judulnya “Cipasung”, karena banyak orang yang menyukai puisi itu, dan itu puisi saya yang paling berhasil, dan berbicara tentang saya waktu kecil.
 
Apakah keluarga juga mendukung kegiatan Anda?
 
Saya hidup di kalangan pesantren. Sama sekali tidak ada kaitannya dengan sastra, kecuali ibu saya. Mereka tidak mendukung dan tidak melarang.
 
BIODATA
Nama: Acep Zamzam Noor
Lahir: Tasikmalaya, 28 Februari 1960
Istri: Euis Nurhayati
Anak: 1. Rebana Adawiyah 2. Imana Tahira 3. Diwan Masnawi 4. Abraham Kindi
Pendidikan:
# Jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung
# Universitas Italiana, Italia (1991-1993)
 
Pekerjaan:
# Penyair, Pengelola Sanggar Sastra Tasik
 
Penghargaan:
# South East Asian Write Award dari Kerajaan Thailand (2005)
# Khatulistiwa Literary Award 2007
 
Buku Kumpulan Puisi:
# Tamparlah Mukaku (1982), Aku Kini Doa (1986), Kasidah Sunyi (1989), Di Luar Kata (1996), Dari Kota Hujan (1996), Di Atas Umbria (1999), Jalan Menuju Rumahmu (2004), dan Menjadi Penyair Lagi (2007).

http://sastra-indonesia.com/2008/09/menulis-puisi-itu-sangat-mahal/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar