Edy Firmansyah
suarakarya-online.com
Sejak Pramodya Ananta Toer meninggal 30 April 2006 silam, kegalauan banyak
sastrawan negeri ini hingga sekarang adalah belum adanya sastrawan Indonesia
yang menerima hadiah nobel. Meski setiap tahun ada ratusan sastrawan dari
seluruh dunia yang diunggulkan mendapatkan Nobel untuk Sastra meski akhirnya
yang terpilih hanya satu orang tetapi tak satupun sastrawan Indonesia yang
disebut-sebut sebagai calon kandidat.
Memang semasa Pramodya Ananta Toer masih hidup, Indonesia boleh berbangga.
Sebab dialah satu-satunya sastrawan Indonesia yang berkali-kali dicalonkan
untuk mendapatkan hadiah bergengsi dibidang sastra itu. Tapi Pram keburu
meninggal. Dan kesempatan seorang putra Indonesia untuk mendapatkan hadih Nobel
pun lewat.
Pertanyaan mendasar adalah benarkah ini petunjuk bahwa kualitas manusia
Indonesia, terutama yang menjadi sastrawan, atau setidaknya karya-karya mereka
masih sangat rendah? Mengapa hanya Pramoedya Ananta Toer yang selalu menjadi
wakil Indonesia dalam kandidat peraih Nobel Sastra?
Adalah HB. Jassin, sang Paus Sastra Indonesia, yang mengakui bahwa
sastrawan kita harus merasa “rendah” diri dihadapan “sastra(wan)” dunia.
Pasalnya, kita masih kekurangan makanan yang bergizi untuk dapat bersaing dalam
perebutan hadiah Nobel itu. Apa makanan bergizi itu? Budaya.
Hingga saat ini masih sedikit sastrawan Indonesia yang menggarap keunikan
budaya sebagai bahan dasar karya-karya mereka. Budaya yang dimaksud adalah
keragaman berbagai kebudayaan nusantara yang jumlahnya mencapai ribuan
kebudayaan itu yang melebur menjadi satu sebagai budaya Indonesia. Dalam
peleburan itu sejatinya budaya Indonesia mampu melahirkan sastra tinggi, yakni
sastra mampu menegosiasikan beragam budaya dalam di masyarakat. Sastra yang
demikian adalah sastra yang mampu mendongrak hegemoni dan menjadi corong bagi
masyarakat yang terpinggirkan.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Kebudayaan Indonesia yang unik itu
dimarjinalkan. Para sastrawan dan budayawan justru lebih memilih budaya eropa
sebagai bahan dasar kesusastraan Indonesia. Sastra Indonesia diarahkan untuk
publik kelas menengah. Jika ditarik ke belakang akar dari itu semua adalah
pengaruh politik kolonial yang berhasil menumpas tumbuhnya kesusastraan
nasional yang berbicara tentang kemerdekaan bangsa pada saat itu.
Sebagai gantinya, ditumbuhkan kesusastraan berorientasi barat, yang
menghembuskan keuniversalan nilai-nilai sastra, sehingga sastra alpa untuk
berbicara tentang kemerdekaan dan pembebasan. Pada saat itulah muncul sastra
Angkatan Balai Pustaka, yang merupakan cikal bakal kesusastraan Indonesia
modern yang sekarang (Arif Budiman, 1985;104)
Padahal berdasarkan pantauan Ajip Rosidi, setiap pengarang dengan latar
budaya yang besar pada waktunya secara bergiliran mendapat hadiah Nobel.
Demikianlah kita lihat pengarang dengan latar budaya Jepang (Kawabata
Yasunari, 1968; Oe Kenzaburo, 1994), dengan latar belakang Arab Islam (Nadjib
Mahfudz, 1988), dengan latar belakang budaya Hitam Afrika (Wole Soyinka, 1986),
latar belakang budaya Cina (Gao Xingjian), sedangkan dari latar belakang budaya
India adalah sastrawan Asia pertama yang memperoleh hadiah Nobel (Rabindranath
Tagore, 1913).(Horison XXXXI, 2006;16)
Memang pengarang dari latar belakang budaya Melayu belum ada yang
mendapatkan hadiah tersebut. Tapi beberapa sastrawan yang berlatar belakang
budaya kerap menjadi kandidat. Pertama, Pram yang menulis dengan bahasa
nasionalnya, Indonesia. Kemudian, Frankie Sionik Jose dari Filipina yang menulis
dalam bahasa Inggris.
Mengapa Pram? Karena Pram mampu membebaskan diri dan hegemoni kuasa dalam
teks-teks sastra. Yakni sastra yang hanya mengagung-agungkan kelas klas atau
kasta satria, sedang klas-klas atau kasta-kasta dibawahnya tidak punya peran
sama sekali.
Dalam pidato tertulisnya menerima penghargaan Magsaysay, di Manila, Pram
mengatakan bahwa sastra yang dilahirkan dalam pangkuan kekuasaan dan berfungsi
memangku kekuasaan semacam itu, langsung menggiring pembaca pada sastra
hiburan, memberikan umpan pada impian-impian naluri purba pada pembacanya.
Sejalan dengan Machiavelli, sastra demikian menjadi bagian alat tak langsung
kekuasaan agar masyarakat tak punya perhatian pada kekuasaan negara.
Singkatnya, agar masyarakat tidak berpolitik, tidak mengindahkan politik.
Sastra dari kelompok kedua ini membawa pembacanya berhenti di tempat. Dan Pram
memilih untuk tidak berpihak pada sastra seamcam itu.
Sehingga tak heran jika Pramoedya Ananta Toer Sarat meski sarat kritik
terutama terhadap budaya Jawa yang dominan tapi nuansa humanisme menjalar
disetiap halaman-halamannya lengkap dengan berbagai kompeksitas nation pada
zamannya.
Dengan kata lain, sastra Pram adalah sastra yang menghadirkan kenyataan
sejarah. Dan apa yang disebut kenyataan di Indonesia, memang cukup memojokkan
kelas menengah. Sebab mereka mapan diatas penderitaan.(Seno Gumira Adjidarma,
2005;24). Makanya jangan heran jika karya Pram di Indonesia justru dilarang
dibaca khalayak.
Karenanya selama sastra Indonesia masih mengelus-elus pantat kelas menengah
dan kaum mapan, Sehingga karya yang lahir bagaikan operasi sabun dan hiruk
pikuk cinta yang tidak masuk akal, jangan harap Sastra(wan) Indonesia mampu
meraih Nobel.
***
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Rifqi Hidayat
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Hopid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Acep Zamzam Noor
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agusri Junaidi
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Andhika Mappasomba
Andi Achdian
Andrenaline Katarsis
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Aprinus Salam
Arafat Nur
Ardy Kresna Crenata
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Wibowo
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Aryadi Mellas
Aryo Bhawono
Asap Studio
Asarpin
Asep Rahmat Hidayat
Asep Sambodja
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
B Kunto Wibisono
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Kempling
Bambang Soebendo
Banjir Bandang
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Boy Mihaballo
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Gibran Ramadhan
D. Zawawi Imron
D.N. Aidit
Daisy Priyanti
Dandy Bayu Bramasta
Daniel Dhakidae
Dareen Tatour
Dea Anugrah
Dedy Sufriadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Desti Fatin Fauziyyah
Dewi Sartika
Dhanu Priyo Prabowo
Dharmadi
Diah Budiana
Dian Hartati
Didin Tulus
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Pranoto
Echa Panrita Lopi
Eddi Koben
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Faizin
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Erlina P. Lestari
Erwin Dariyanto
Esai
Esti Ambirati
Evi Idawati
Evi Sefiani
F. Daus AR
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fandy Hutari
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Faza Bina Al-Alim
Felix K. Nesi
Ferdian Ananda Majni
Fian Firatmaja
Gampang Prawoto
Gema Erika Nugroho
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gombloh
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Gus Noy
H.B. Jassin
Hairus Salim
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hari Murti
Haris Firdaus
Harry Aveling
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HE. Benyamine
Hendri Yetus Siswono
Herman Syahara
Hermien Y. Kleden
Holy Adib
Huda S Noor
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Humam S Chudori
Husni Hamisi
I G.G. Maha Adi
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
Idealisa Masyrafina
Idrus
Ignas Kleden
Ikarisma Kusmalina
Ike Ayuwandari
Ilham
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Irfan Sholeh Fauzi
Isbedy Stiawan Z.S.
J.J. Kusni
Jadid Al Farisy
Jajang R Kawentar
Jakob Oetama
Jalaluddin Rakhmat
Jansen H. Sinamo
Joni Ariadinata
K.H. Bisri Syansuri
K.H. M. Najib Muhammad
Kahfi Ananda Giatama
Kahfie Nazaruddin
Kho Ping Hoo
Kika Dhersy Putri
Kitab Para Malaikat
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kuswinarto
L.K. Ara
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Leon Agusta
Lesbumi Yogyakarta
Lily Yulianti Farid
Linda Christanty
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
Luwu Utara
M. Aan Mansyur
M. Faizi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M.D. Atmaja
M’Shoe
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majene
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mamasa
Mamuju
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maroeli Simbolon
Martin Aleida
Masamba
Mashuri
Media KAMA_PO
Melani Budianta
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Afifi
Mohammad Yamin
Much. Khoiri
Muhammad Fauzi
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Ridwan
Muhammad Subarkah
Muhammad Walidin
Muhammad Yasir
Muhyiddin
Mukhsin Amar
Munawir Aziz
Musa Ismail
Mustamin Almandary
N Teguh Prasetyo
Nadine Gordimer
Nara Ahirullah
Nelson Alwi
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nugroho Sukmanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Asyhadie
Nurul Komariyah
Ocehan
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pamela Allen
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pelukis
Pendidikan
Penggalangan Dana
Peta Provinsi Sulawesi Barat
Polewali
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Salafiyah Karossa
Pramoedya Ananta Toer
Pramuka
Prasetyo Agung
Pringadi AS
Pringgo HR
Priska
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puput Amiranti N
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Ragdi F. Daye
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ratnani Latifah
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Riadi Ngasiran
Rian Harahap
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Riki Fernando
Rofiqi Hasan
Ronny Agustinus
Rozi Kembara
Rusydi Zamzami
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Saini K.M.
Sajak
Salman Rusydie Anwar
Salman S Yoga
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Sapto Hoedojo
Sasti Gotama
Sastra
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Seni Rupa
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sirajudin
Siswoyo
Sitok Srengenge
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sonia
Sosiawan Leak
Sukitman
Sulawesi Selatan
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suriali Andi Kustomo
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Syamsudin Noer Moenadi
Syihabuddin Qalyubi
Syu’bah Asa
Tari Bamba Manurung
Tari Bulu Londong
Tari Ma’Bundu
Tari Mappande Banua
Tari Patuddu
Tari Salabose Daeng Poralle
Tari Sayyang Pattuqduq
Tari Toerang Batu
Tata Chacha
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater
Teddi Muhtadin
Teguh Setiawan Pinang
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tito Sianipar
Tjahjono Widijanto
Toeti Heraty
Tosiani
Tri Wahono
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
UU Hamidy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wan Anwar
Wawancara
Wayan Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono
Wicaksono Adi
Wilson Nadeak
Wisata
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yopie Setia Umbara
Yosephine Maryati
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yurnaldi
Zamakhsyari Abrar
No comments:
Post a Comment