Monday, June 21, 2021

Menuju Sastra Nobel

Edy Firmansyah
suarakarya-online.com
 
Sejak Pramodya Ananta Toer meninggal 30 April 2006 silam, kegalauan banyak sastrawan negeri ini hingga sekarang adalah belum adanya sastrawan Indonesia yang menerima hadiah nobel. Meski setiap tahun ada ratusan sastrawan dari seluruh dunia yang diunggulkan mendapatkan Nobel untuk Sastra meski akhirnya yang terpilih hanya satu orang tetapi tak satupun sastrawan Indonesia yang disebut-sebut sebagai calon kandidat.
 
Memang semasa Pramodya Ananta Toer masih hidup, Indonesia boleh berbangga. Sebab dialah satu-satunya sastrawan Indonesia yang berkali-kali dicalonkan untuk mendapatkan hadiah bergengsi dibidang sastra itu. Tapi Pram keburu meninggal. Dan kesempatan seorang putra Indonesia untuk mendapatkan hadih Nobel pun lewat.
 
Pertanyaan mendasar adalah benarkah ini petunjuk bahwa kualitas manusia Indonesia, terutama yang menjadi sastrawan, atau setidaknya karya-karya mereka masih sangat rendah? Mengapa hanya Pramoedya Ananta Toer yang selalu menjadi wakil Indonesia dalam kandidat peraih Nobel Sastra?
 
Adalah HB. Jassin, sang Paus Sastra Indonesia, yang mengakui bahwa sastrawan kita harus merasa “rendah” diri dihadapan “sastra(wan)” dunia. Pasalnya, kita masih kekurangan makanan yang bergizi untuk dapat bersaing dalam perebutan hadiah Nobel itu. Apa makanan bergizi itu? Budaya.
 
Hingga saat ini masih sedikit sastrawan Indonesia yang menggarap keunikan budaya sebagai bahan dasar karya-karya mereka. Budaya yang dimaksud adalah keragaman berbagai kebudayaan nusantara yang jumlahnya mencapai ribuan kebudayaan itu yang melebur menjadi satu sebagai budaya Indonesia. Dalam peleburan itu sejatinya budaya Indonesia mampu melahirkan sastra tinggi, yakni sastra mampu menegosiasikan beragam budaya dalam di masyarakat. Sastra yang demikian adalah sastra yang mampu mendongrak hegemoni dan menjadi corong bagi masyarakat yang terpinggirkan.
 
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Kebudayaan Indonesia yang unik itu dimarjinalkan. Para sastrawan dan budayawan justru lebih memilih budaya eropa sebagai bahan dasar kesusastraan Indonesia. Sastra Indonesia diarahkan untuk publik kelas menengah. Jika ditarik ke belakang akar dari itu semua adalah pengaruh politik kolonial yang berhasil menumpas tumbuhnya kesusastraan nasional yang berbicara tentang kemerdekaan bangsa pada saat itu.
 
Sebagai gantinya, ditumbuhkan kesusastraan berorientasi barat, yang menghembuskan keuniversalan nilai-nilai sastra, sehingga sastra alpa untuk berbicara tentang kemerdekaan dan pembebasan. Pada saat itulah muncul sastra Angkatan Balai Pustaka, yang merupakan cikal bakal kesusastraan Indonesia modern yang sekarang (Arif Budiman, 1985;104)
 
Padahal berdasarkan pantauan Ajip Rosidi, setiap pengarang dengan latar budaya yang besar pada waktunya secara bergiliran mendapat hadiah Nobel.
 
Demikianlah kita lihat pengarang dengan latar budaya Jepang (Kawabata Yasunari, 1968; Oe Kenzaburo, 1994), dengan latar belakang Arab Islam (Nadjib Mahfudz, 1988), dengan latar belakang budaya Hitam Afrika (Wole Soyinka, 1986), latar belakang budaya Cina (Gao Xingjian), sedangkan dari latar belakang budaya India adalah sastrawan Asia pertama yang memperoleh hadiah Nobel (Rabindranath Tagore, 1913).(Horison XXXXI, 2006;16)
 
Memang pengarang dari latar belakang budaya Melayu belum ada yang mendapatkan hadiah tersebut. Tapi beberapa sastrawan yang berlatar belakang budaya kerap menjadi kandidat. Pertama, Pram yang menulis dengan bahasa nasionalnya, Indonesia. Kemudian, Frankie Sionik Jose dari Filipina yang menulis dalam bahasa Inggris.
 
Mengapa Pram? Karena Pram mampu membebaskan diri dan hegemoni kuasa dalam teks-teks sastra. Yakni sastra yang hanya mengagung-agungkan kelas klas atau kasta satria, sedang klas-klas atau kasta-kasta dibawahnya tidak punya peran sama sekali.
 
Dalam pidato tertulisnya menerima penghargaan Magsaysay, di Manila, Pram mengatakan bahwa sastra yang dilahirkan dalam pangkuan kekuasaan dan berfungsi memangku kekuasaan semacam itu, langsung menggiring pembaca pada sastra hiburan, memberikan umpan pada impian-impian naluri purba pada pembacanya. Sejalan dengan Machiavelli, sastra demikian menjadi bagian alat tak langsung kekuasaan agar masyarakat tak punya perhatian pada kekuasaan negara.
 
Singkatnya, agar masyarakat tidak berpolitik, tidak mengindahkan politik. Sastra dari kelompok kedua ini membawa pembacanya berhenti di tempat. Dan Pram memilih untuk tidak berpihak pada sastra seamcam itu.
 
Sehingga tak heran jika Pramoedya Ananta Toer Sarat meski sarat kritik terutama terhadap budaya Jawa yang dominan tapi nuansa humanisme menjalar disetiap halaman-halamannya lengkap dengan berbagai kompeksitas nation pada zamannya.
 
Dengan kata lain, sastra Pram adalah sastra yang menghadirkan kenyataan sejarah. Dan apa yang disebut kenyataan di Indonesia, memang cukup memojokkan kelas menengah. Sebab mereka mapan diatas penderitaan.(Seno Gumira Adjidarma, 2005;24). Makanya jangan heran jika karya Pram di Indonesia justru dilarang dibaca khalayak.
 
Karenanya selama sastra Indonesia masih mengelus-elus pantat kelas menengah dan kaum mapan, Sehingga karya yang lahir bagaikan operasi sabun dan hiruk pikuk cinta yang tidak masuk akal, jangan harap Sastra(wan) Indonesia mampu meraih Nobel.
***

http://sastra-indonesia.com/2009/01/menuju-sastra-nobel/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar