Asep Sambodja
kompas.co.id
Pada 20 September 2008, saya mendapat email (dari milis Apresiasi Sastra),
yang berisi pengumuman hasil seleksi tahap pertama (Longlist) Khatulistiwa
Literary Award 2008 dari Panitia KLA 2008. Ada 10 nomine di bidang prosa dan 10
nomine di bidang puisi.
Kesepuluh nomine di bidang prosa adalah Danarto (Kacapiring), Junaedi
Setiyono (Glonggong), Dyah Merta (Peri Kecil di Sungai Nipah), Ayu Utami
(Bilangan Fu), Mohamad Sobary (Sang Musafir), Mashuri (Hubbu), Lan Fang
(Lelakon), E.S. Ito (Rahasia Meede), Helvy Tiana Rosa (Bukavu), dan Arswendo
Atmowiloto (Blakanis).
Sementara 10 nomine di bidang puisi adalah Saut Situmorang (Otobiografi),
Oka Rusmini (Pandora), Afrizal Malna (Teman-temanku dari Atap Bahasa), Sutardji
Calzoum Bachri (Atau Ngit Cari Agar), M. Aan Mansyur (Aku Hendak Pindah Rumah),
Binhad Nurrohmat (Demonstran Sexy), Nirwan Dewanto (Jantung Lebah Ratu), Hasan
Aspahani (Orgasmaya), Wendoko (Sajak-sajak Menjelang Tidur), dan trio Maulana
Achmad, Inez Dikara, Dedy T. Riyadi (antologi puisi Sepasang Sepatu Sendiri
dalam Hujan). Pemenang utama masing-masing genre yang akan menerima uang Rp 150
juta itu akan diumumkan di Atrium Plaza Senayan, Jakarta Selatan, pada 13
November 2008.
Pada keesokan harinya, 21 September 2008, saya mendapat email (dari milis
Penyair), yang berupa press release yang berisi penolakan Saut Situmorang atas
Khatulistiwa Literary Award. Yang menarik dari rilis itu adalah, pertama, Saut
Situmorang memperlihatkan sikapnya yang tegas, apa yang dilakukannya sesuai
dengan ucapannya. Artinya, manusia ini tidak mencla-mencle. Jelas dan tegas.
Kedua, penolakan itu disertai alasan-alasan yang cukup kritis, bahkan cenderung
tajam.
Sebelumnya, melalui short message service (SMS), Saut Situmorang juga
mengkritik tajam Sutardji Calzoum Bachri yang menerima penghargaan Ahmad Bakrie
Award 2008 dan mengantongi uang Rp150 juta. Saya kira kenapa Saut Situmorang
mengkritik Sutardji demikian keras cukup jelas alasannya, yakni penyandang dana
Ahmad Bakrie Award adalah Aburizal Bakrie, pemilik PT Lapindo Brantas Inc.,
sebuah perusahaan yang kini menyengsarakan ribuan warga Sidoarjo, Jawa Timur, karena
tiga desa dan 15 pabrik tertutup lumpur- yang kini dinamai Lumpur Lapindo.
Uang dan idealisme. Itulah persoalan utamanya. Apakah kita akan memilih
uang dengan mengabaikan idealisme? Atau kita akan mempertahankan idealisme
dengan risiko miskin karena tak punya uang? Setiap manusia memiliki kebebasan
untuk memilih dua pilihan ekstrem itu. Tapi, dunia tidak hitam putih. Manusia
bahkan memiliki kebebasan untuk tidak memilih pilihan itu, meskipun pilihannya
hanya dua.
Ada enam sastrawan yang telah menerima Ahmad Bakrie Award sejak penghargaan
itu diberikan pada 2003, yakni Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Budi
Darma, Rendra, Putu Wijaya, dan Sutardji Calzoum Bachri. Ketika kasus Lumpur
Lapindo mencuat pada 2006, kegamangan antara menerima atau tidak menerima
penghargaan berupa uang Rp 150 juta dari keluarga Bakrie itu mulai terjadi. Hal
ini dirasakan Putu Wijaya dan juga Rendra, yang dalam pidato penganugerahannya
tetap mengkritik tajam keluarga Bakrie agar bertanggung jawab atas kelalaian
yang dilakukan PT Lapindo Brantas Inc. di Sidoarjo. Sementara Sutardji Calzoum
Bachri, yang pada tahun yang sama juga menerima penghargaan dari Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono berupa Bintang Budaya Parama, menerima penghargaan itu
dengan alasan ia tidak bisa menolak apresiasi yang diberikan oleh orang lain
atau oleh suatu institusi.
Saya bersimpati dan mungkin juga berempati kepada para sastrawan yang
menerima penghargaan Ahmad Bakrie Award, karena sejauh ini nyaris tidak ada
lembaga resmi yang memperhatikan nasib dan kehidupan sastrawan. Karya besar
Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Budi Darma, Rendra, Putu Wijaya, dan
Sutardji Calzoum Bachri mungkin hanya menghiasi ruang perpustakaan semata.
Mereka tidak diperhatikan nasibnya oleh Negara, meskipun jasa mereka dalam
memperkaya kebudayaan Indonesia demikian besar. Ketika ada lembaga yang memberi
penghargaan dengan jumlah materi yang besar, dalam hati saya bersyukur, masih
ada yang memperhatikan karya dan nasib sastrawan.
Sutardji berpegang pada apresiasi. Ya, apresiasi. Sastrawan tidak bisa
menolak apresiasi yang diberikan oleh pembaca, siapa pun pembaca itu. Apakah
dicaci-maki atau diberi uang jutaan rupiah. Keduanya merupakan ujud dari
apresiasi.
Tapi, dunia ini tidak akan menjadi indah kalau tidak ada orang seperti Romo
Frans Magnis-Suseno. Siapa pun yang memiliki hati nurani, pasti akan memberi
hormat yang luar biasa pada Romo Magnis. Saya pun menaruh hormat yang dalam
pada Romo Magnis, yang sama tingginya dengan hormat saya pada Romo Y.B.
Mangunwijaya, penulis Burung-burung Manyar yang membela masyarakat girli di
Kali Code Yogyakarta dan masyarakat korban pembangunan Waduk Kedungombo.
Kepada Sutardji, saya berempati, karena saya sadar, bahwa nama besar tidak
selamanya diikuti dengan kemakmuran. Memilih penyair, sastrawan, dramawan, atau
seniman sebagai profesi merupakan pilihan gila, karena dilihat dari perspektif
ekonomi sama sekali tidak produktif. Jasa sastrawan besar, tapi tidak diberi
reward yang besar pula. Itulah yang saya katakan nasib. Kalau sekarang Sutardji
dapat Rp150 juta, artinya nasib baik sedang berpihak kepada penyair. Mungkin
dia bisa hidup 100 bulan lagi.
Kepada Romo Magnis, saya bersimpati, karena pelajaran yang Romo Magnis dan
Romo Mangun berikan kepada saya itu sangat mahal harganya. Sama sekali tidak
terukur dengan uang. Jauh lebih tinggi nilainya dari Rp 150 juta.
Saya sebenarnya juga bersimpati pada KLA (yang mulai hadir pada 2001). Apa
dasarnya? Karena penghargaan yang diberikan lembaga yang dikomandoi Richard Oh
ini memberikan penghargaan yang demikian cukup besar kepada sastrawan. Dari
semula Rp30 juta sekarang melambung menjadi Rp 150 juta.
Dan saya pernah tiga kali menjadi juri tahap pertama KLA, yakni pada 2003,
2005, dan 2007. Dari tiga kali menjadi juri tahap pertama, baru sekali saya
menggolkan “jagoan” saya, yakni pada 2005, ketika Seno Gumira Ajidarma mendapat
penghargaan Rp 100 juta dari KLA berkat novel Kitab Omong Kosong. Pada 2007,
saya sekali lagi menjagokan Seno melalui novel Kalatidha, namun tidak lolos ke
tahap berikutnya. Tapi, ketika majalah Tempo melakukan survey tentang buku
fiksi dan nonfiksi terbaik pada 2007, saya tetap pada keyakinan saya, bahwa
novel Kalatidha merupakan novel terbaik pada 2007.
Kalau saya dipilih panitia KLA menjadi juri tahap pertama pada 2008 ini,
saya akan memasukkan Otobiografi karya Saut Situmorang sebagai nomine pertama
untuk kategori puisi, terlepas apakah buku itu ada di list yang diberikan
panitia atau tidak. Setelah itu diikuti Nirwan Dewanto, Hasan Aspahani, Oka
Rusmini, dan Afrizal Malna. Karena apa? Alasan utama saya karena puisi-puisi
Saut Situmorang itu sangat bergizi. Sebenarnya pula saya ingin melihat
“pertarungan” antara Saut “the drunker master” Situmorang melawan Nirwan “the
monkey king” Dewanto seperti dalam film The Forbidden Kingdom di mata para juri
tahap kedua dan ketiga. Mungkin tidak ada pemenangnya, karena keduanya
sama-sama jago, sama-sama memiliki ilmu kanuragan tinggi, tapi beda gaya.
Sayangnya saya tidak menjadi juri tahap pertama lagi, ya, sudah, tidak
apa-apa. Itu artinya saya juga tidak dapat honor Rp1 juta. Artinya lagi, itu
bukan rezeki saya.
Terlepas dari itu, saya ingin memberi masukan, bahwa menilai novel maupun
cerpen relatif mudah, karena novel yang ditulis sastrawan dalam satu tahun
periode penilaian juri KLA, tidak akan muncul lagi pada tahun berikutnya.
Demikian pula dengan kumpulan cerpen. Meskipun pengulangan munculnya cerpen
yang sama dalam kumpulan cerpen di tahun berikutnya masih memungkinkan.
Nah, untuk menilai kumpulan puisi, ada pengecualian. Saya, misalnya,
memiliki semua kumpulan puisi karya Saut Situmorang. Tapi, bisa jadi ada juri
yang tidak memiliki buku Catatan Subversif atau Saut Kecil Bicara dengan Tuhan.
Hal semacam ini bisa saja terjadi, apalagi kalau kumpulan puisi pertama dan kedua
diterbitkan oleh penerbit indie dan tidak didistribusikan melalui jalur
distribusi yang diatur dan didominasi oleh Toko Buku Gramedia. Contoh buku Saut
memang masih bisa ditemui di Gramedia. Tapi, bagaimana dengan buku-buku yang
diterbitkan oleh penerbit indie dan kemudian puisi-puisi yang ada di buku itu
diterbitkan ulang ke dalam buku kumpulan puisi yang lebih komplet dan
diterbitkan Grasindo, misalnya?
Dengan kata lain, harus fleksibel dalam menilai buku kumpulan puisi. Untuk
diketahui, sayalah yang mengusulkan atau menominasikan buku Warna Kita karya
Oka Rusmini pada 2007 dengan alasan mutu sajaknya yang bagus. Saya pula yang
memasukkan buku Guru Matahari Abdurrahman Faiz ke dalam longlist pada 2005
karena memang tidak ada kriteria usia penyair. Ketika saya menganggap puisi
Abdurrahman Faiz bagus, ya, saya nilai bagus, tanpa melihat usianya. Toh, ada
penyair tua (maaf tidak saya sebutkan namanya) yang puisinya kurang bagus.
Kepada Saut, saya salut. Di mata saya, Saut adalah penyair besar Indonesia.
Tapi, izinkan saya tetap bersimpati pada KLA yang memberi penghargaan cukup
besar kepada sastrawan. Biarkan KLA menggunakan sistem penilaiannya sendiri.
Biarkan pula Pena Kencana menggunakan sistem penilaian seperti Indonesian Idol,
yang menggunakan SMS. Biarkan pula Yayasan Ramon Magsaysay menggunakan kriteria
dan sistem penilaiannya sendiri. Sehingga, ketika Pramoedya Ananta Toer
mendapatkan penghargaan Magsaysay pada 1995, kita tidak usah menandatangani
surat pernyataan penolakan pemberian hadiah Magsaysay kepada Pram, seperti yang
dilakukan Taufik Ismail, Mochtar Lubis, dan kawan-kawannya itu. Saya setuju
dengan KH A Mustofa Bisri yang menolak ajakan Taufik Ismail untuk
menandatangani surat pernyataan penolakan pemberian penghargaan hadiah
Magsaysay kepada Pramoedya Ananta Toer. Padahal saya tahu, Gus Mus adalah
sahabat baik Taufik Ismail.
Sastra Indonesia, insyaallah, akan sehat walafiat.
***
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Rifqi Hidayat
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Hopid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Acep Zamzam Noor
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agusri Junaidi
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Andhika Mappasomba
Andi Achdian
Andrenaline Katarsis
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Aprinus Salam
Arafat Nur
Ardy Kresna Crenata
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Wibowo
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Aryadi Mellas
Aryo Bhawono
Asap Studio
Asarpin
Asep Rahmat Hidayat
Asep Sambodja
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
B Kunto Wibisono
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Kempling
Bambang Soebendo
Banjir Bandang
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Boy Mihaballo
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Gibran Ramadhan
D. Zawawi Imron
D.N. Aidit
Daisy Priyanti
Dandy Bayu Bramasta
Daniel Dhakidae
Dareen Tatour
Dea Anugrah
Dedy Sufriadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Desti Fatin Fauziyyah
Dewi Sartika
Dhanu Priyo Prabowo
Dharmadi
Diah Budiana
Dian Hartati
Didin Tulus
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Pranoto
Echa Panrita Lopi
Eddi Koben
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Faizin
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Erlina P. Lestari
Erwin Dariyanto
Esai
Esti Ambirati
Evi Idawati
Evi Sefiani
F. Daus AR
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fandy Hutari
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Faza Bina Al-Alim
Felix K. Nesi
Ferdian Ananda Majni
Fian Firatmaja
Gampang Prawoto
Gema Erika Nugroho
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gombloh
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Gus Noy
H.B. Jassin
Hairus Salim
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hari Murti
Haris Firdaus
Harry Aveling
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HE. Benyamine
Hendri Yetus Siswono
Herman Syahara
Hermien Y. Kleden
Holy Adib
Huda S Noor
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Humam S Chudori
Husni Hamisi
I G.G. Maha Adi
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
Idealisa Masyrafina
Idrus
Ignas Kleden
Ikarisma Kusmalina
Ike Ayuwandari
Ilham
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Irfan Sholeh Fauzi
Isbedy Stiawan Z.S.
J.J. Kusni
Jadid Al Farisy
Jajang R Kawentar
Jakob Oetama
Jalaluddin Rakhmat
Jansen H. Sinamo
Joni Ariadinata
K.H. Bisri Syansuri
K.H. M. Najib Muhammad
Kahfi Ananda Giatama
Kahfie Nazaruddin
Kho Ping Hoo
Kika Dhersy Putri
Kitab Para Malaikat
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kuswinarto
L.K. Ara
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Leon Agusta
Lesbumi Yogyakarta
Lily Yulianti Farid
Linda Christanty
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
Luwu Utara
M. Aan Mansyur
M. Faizi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M.D. Atmaja
M’Shoe
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majene
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mamasa
Mamuju
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maroeli Simbolon
Martin Aleida
Masamba
Mashuri
Media KAMA_PO
Melani Budianta
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Afifi
Mohammad Yamin
Much. Khoiri
Muhammad Fauzi
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Ridwan
Muhammad Subarkah
Muhammad Walidin
Muhammad Yasir
Muhyiddin
Mukhsin Amar
Munawir Aziz
Musa Ismail
Mustamin Almandary
N Teguh Prasetyo
Nadine Gordimer
Nara Ahirullah
Nelson Alwi
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nugroho Sukmanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Asyhadie
Nurul Komariyah
Ocehan
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pamela Allen
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pelukis
Pendidikan
Penggalangan Dana
Peta Provinsi Sulawesi Barat
Polewali
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Salafiyah Karossa
Pramoedya Ananta Toer
Pramuka
Prasetyo Agung
Pringadi AS
Pringgo HR
Priska
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puput Amiranti N
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Ragdi F. Daye
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ratnani Latifah
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Riadi Ngasiran
Rian Harahap
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Riki Fernando
Rofiqi Hasan
Ronny Agustinus
Rozi Kembara
Rusydi Zamzami
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Saini K.M.
Sajak
Salman Rusydie Anwar
Salman S Yoga
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Sapto Hoedojo
Sasti Gotama
Sastra
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Seni Rupa
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sirajudin
Siswoyo
Sitok Srengenge
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sonia
Sosiawan Leak
Sukitman
Sulawesi Selatan
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suriali Andi Kustomo
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Syamsudin Noer Moenadi
Syihabuddin Qalyubi
Syu’bah Asa
Tari Bamba Manurung
Tari Bulu Londong
Tari Ma’Bundu
Tari Mappande Banua
Tari Patuddu
Tari Salabose Daeng Poralle
Tari Sayyang Pattuqduq
Tari Toerang Batu
Tata Chacha
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater
Teddi Muhtadin
Teguh Setiawan Pinang
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tito Sianipar
Tjahjono Widijanto
Toeti Heraty
Tosiani
Tri Wahono
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
UU Hamidy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wan Anwar
Wawancara
Wayan Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono
Wicaksono Adi
Wilson Nadeak
Wisata
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yopie Setia Umbara
Yosephine Maryati
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yurnaldi
Zamakhsyari Abrar
No comments:
Post a Comment