Monday, June 21, 2021

Bahasa dan Sastra Indonesia; Objek dan Subjek Globalisasi

Anjrah Lelono Broto *
 
Sebuah Awalan
 
Proses globalisasi merupakan fenomena yang paling menyita perhatian dan menimbulkan efek yang besar dalam kurun waktu terakhir ini. Memasuki millenium ketiga, masyarakat di berbagai belahan dunia dihadapkan pada satu persoalan yang seragam yang memiliki keterkaitan besar dengan struktur ekonomi, struktur kekuasaan, dan struktur kebudayaan. Proses perubahan yang mengerucut kepada globalisasi inilah yang disebut Alvin Toffler sebagai gelombang ketiga, pasca agrikultur (gelombang pertama) dan industrialialisasi (gelombang kedua). Perubahan ini mengakibatkan pergeseran fokus ekonomi dan kekuasaan yang pengaruhnya didominasi oleh tanah, kemudian bergeser kepada kapital, dan selanjutnya mengarah kepada penguasaan terhadap informasi dan komunikasi.
 
Kecemasan memandang performa proses globalisasi sebagai produk gelombang ketiga menciptakan ketakutan sehingga mempengaruhi pola pikir dan wacana publik secara holistik. Kecemasan dan ketakutan ini menjadi latar belakang langkah-langkah antisipatif yang dilakukan masyarakat dan decision maker, mereka cenderung bersifat defensif dengan membangun benteng-benteng pertahanan guna membendung arus proses globalisasi yang mengalir bagai air bah, sejalan dengan perkembangan teknologi informasi dank komunikasi.
 
Di masa pemerintahan Soeharto, negara ataupun kalangan intelektual lebih dulu menempatkan diri sebagai objek dan menjustifikasi globalisasi sebagai arus budaya asing yang menenggelamkan budaya dan tradisi Indonesia. Pemerintah menyibukkan diri dengan melancarkan seruan-seruan defensif seperti penempatan kebudayaan Indonesia sebagai filter masuknya kebudayaan asing, hingga upaya memperkenalkan kebudayaan Indonesia ke luar negeri. Namun, sayang usaha yang terakhir tersebut lebih nampak sebagai promosi wisata daripada promosi keadiluhungan budaya. Hal ini berangkat dari pemahaman parsial terhadap budaya Indonesia, masyarakat maupun pemerintah terjebak dalam pemahaman kulit bukan pemahaman esensi budaya itu sendiri. Pemahaman seni tradisi berhenti pada tataran pertunjukkan (show), dan cenderung mengabaikan pesan dan simbol di balik idiomatikal yang melekat di dalamnya.
 
Taruhlah seni tari tradisional seperti Jaipong (Sunda), Kecak (Bali), atau Remo (Jawa Timur). Pemahamannya berhenti pada tataran pertunjukkan semata, sedangkan pesan moral, pendidikan, serta ke-khas-an etnikalnya cenderung diabaikan. Sehingga, ketika muncul trend seni pertunjukkan yang lebih menarik perhatian (termasuk yang berasal dari budaya luar), nafas kehidupan seni tari tradisional ini mengalami degradasi dari generasi ke generasi.
 
Lalu, apa yang terjadi dengan bahasa dan sastra Indonesia? Apakah yang terjadi dengan dirinya di tengah kederasan arus proses globalisasi? Apakah yang harus dilakukan masyarakat Indonesia sebagai pemilik?
 
Globalisasi; The Mithy
 
Mitos yang telanjur mewacana dalam masyarakat Indonesia selama ini tentang globalisasi adalah bahwa proses globalisasi akan menyeragamkan dunia. Proses globalisasi akan menghapus identitas dan jati diri kebangsaan, hingga kebudayaan lokal dan etnis. Proses globalisasi akan mengaburkan kesejarahan kolektif sehingga ikatan dalam sebuah bangsa akan mengalami perenggangan bahkan keterpecahan.
 
Benarkah?
 
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi serta informasi memang mampu menghilangkan sekat-sekat geografis maupun demografis. Jarak dan ruang budaya sebagai sekat pembatas telah hilang dan tidak bergaung. Kemajuan ini telah mengurangi hegemoni kekuasaan ideologi dan kekuasaan negara pada ruang publik. Kepemilikan suatu ikatan kolektif seperti bangsa, etnik budaya, organisasi, hingga hubungan darah luntur diterjang kederasan gelombang globalisasi. Namun, Jhon Naisbitt dalam bukunya Global Paradox justru memaparkan paradoks dari tema keseragaman globalisasi. Di dalam bidang ekonomi, misalnya, Naisbitt mengatakan “Semakin besar dan semakin terbuka ekonomi dunia, semakin perusahaan-perusahaan kecil dan sedang akan mendominasi”. Naisbitt juga memaparkan gagasan-gagasan yang paradoks sehubungan dengan permasalahan ini. “Semakin kita menjadi universal, tindakan kita semakin bersifat kesukuan”, “berfikir lokal, bertindak global.” Bahasa Inggris hanya menempati posisi sebagai bahasa kedua, sedangkan bahasa ibunya adalah bahasa masing-masing kewilayahan dan kebangsaan.
 
Jikalau kita mengamini pemikiran dan gagasan Naisbitt di atas, maka proses globalisasi tetap menempatkan perspektif lokal ataupun perspektif etnik (tribe) sebagai perspektif dalam menyikapi semua fenomena problematika masyarakat ataupun negara. Dalam “Megatrends 2000”, Naisbitt juga mengatakan bahwa masa-masa yang akan datang adalah zaman perikles bagi kesenian dan pariwisata. Masyarakat akan menemukan keindahan dan rekreasi bathiniah dengan menikmati aktifitas berkesenian dan berkebudayaan yang bersifat lokal; sebagai bagian dari proses memanusiakan kembali humanitas masing-masing individu. Peristiwa-peristiwa kesenian dan kebudayaan akan menyita perhatian publik dan mengundang simpati dibandingkan peristiwa-peristiwa olahraga dan politik yang sebelumnya “sempat” lebih mendominasi.
 
“Berpikir lokal, bertindak global”, seperti yang dikemukakan Naisbitt itu, dengan sendirinya akan menempatkan bahasa dan sastra, khususnya bahasa dan sastra Indonesia, sebagai sesuatu yang urgen di dalam proses globalisasi. Bahasa menjadi media untuk menyampaikan dan memahami sebuah gagasan hasil proses berpikir. Bahasa yang “dekat” dengan masyarakat Indonesia, secara lokalitas, adalah bahasa Indonesia. Proses berpikir yang kemudian dilanjutkan dengan proses kreatif (pengendapan), proses ekspresi, akan melahirkan karya-karya sastra, yakni karya sastra Indonesia.
 
Bahasa dan Sastra Indonesia; Sebuah Perjalanan
 
Sejarah perjalanan bahasa Indonesia telah melewati masa-masa progresivitas yang cukup menarik. Bahasa Indonesia berangkat dari identitas bahasa Melayu-Riau dengan masyarakat pengguna yang relatif kecil. Namun, dewasa ini mampu berkembang menjadi bahasa Indonesia dengan masyarakat pengguna yang besar, tersebar Sabang hingga Merauke. Bahasa Indonesia telah menjelma menjadi bahasa nasional dan menjadi bahasa komunikasi formal dan nonformal lintas wilayah budaya. Bahasa Indonesia yang sebelumnya berakar pada tradisi budaya Melayu-Riau ini telah sukses melakukan “penggusuran” sejumlah bahasa etnik-budaya lokal seperti Bahasa Jawa, Bahasa Sunda, Bahasa Bali, Bahasa Dayak, dan sebagainya.
 
Bahasa Indonesia telah menempati posisi sebagai identitas dari masyarakat baru yang bernama masyarakat Indonesia. Di dalam perkembangannya, bahasa Indonesia juga tidak bisa melepaskan diri dari gejala-gejala transformasi bahasa seperti alih kode maupun campur kode. Tercatat, beragam idiomatika dan susunan gramatikal bahasa-bahasa daerah hingga bahasa Arab, bahasa Belanda, Bahasa Inggris, dan lain-lain mewarnai dan memperkaya perbendaharaan Bahasa Indonesia. Perkembangan ini menampakkan perwajahan bahwa bahasa Indonesia mampu mengikuti perkembangan budaya, informasi, dan teknologi komunikasi sehingga senantiasa dibutuh-gunakan oleh masyarakat Indonesia.
 
Berpijak pada melemahnya hegemoni Barat dan perkembangan membanggakan Bahasa Indonesia maka Indonesia diramalkan akan mengambil alih posisi subjek-objek dalam proses globalisasi. Ke depan, perkembangan Bahasa Indonesia akan makin banyak ditentukan oleh tingkat kemajuan dan peranan yang strategis dari masyarakat maupun kawasan strategis Indonesia. Diramalkan bahwa masyarakat di wilayah regional Asia Tenggara, yaitu Indonesia, Malaisya, Thailand, Vietnam, Brunei Darussalam, dan Filipina akan menjadi salah satu global-tribe yang penting di dunia. Jika itu terjadi, bahasa Indonesia (lebih jauh lagi bahasa Melayu) juga akan menjadi bahasa yang lebih bersifat global. Proses globalisasi bahasa Melayu (baru) untuk kawasan Nusantara, dan bahasa-bahasa Melayu untuk kawasan Asia Tenggara menjadi perkembangan tak terelakkan yang membanggakan. Peran besar masyarakat dan kawasan Asia Tenggara ini sebagai kekuatan ekonomi, industri dan ilmu pengetahuan yang baru di dunia, akan menentukan pula bagaimana perkembangan bahasa Indonesia (dan atau bahasa Melayu) modern.
 
Bahasa dan sastra Indonesia telah lama memiliki tradisi kosmopolitan. Sastra modern Indonesia telah menggeser dan menggusur sastra tradisi yang ada di pelbagai etnik budaya Nusantara. Perubahan yang terjadi itu tidak hanya menyangkut masalah struktur dan bahasa, tetapi lebih jauh mengungkapkan konflik tema manusia baru (manusia marginal dan tradisional) yang dialami manusia di dalam sebuah proses perubahan. Diawali dengan kekuatan Abdullah Bin Abdulkadir Munsyi, Nuruddin Ar-Raniri, Syamsudin Asy-Samatrani, Abdur Rauf Ibn Singkli, dan lain-lain, sastra Indonesia (Melayu) menancapkan akar perkembangannya di wilayah Asia Tenggara.
 
Mari kita cermati tema, konflik, maupun tokoh-tokoh dalam karya sastra Indonesia. Tokoh Siti Nurbaya di dalam roman Siti Nurbaya, tokoh Zainudin di dalam roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, tokoh Hanafi di dalam roman Salah Asuhan, tokoh Tini, dan Tono di dalam novel Belenggu, sampai kepada tokoh Lantip di dalam roman Priyayi. Mereka adalah tokoh-tokoh yang berusaha masuk ke dunia yang baru, dunia yang global, dengan tertatih-tatih. Ataupun tokoh-tokoh yang dihadirkan Pramoedya Ananta Toer dalam roman-romannya, yang sempat membawa pulang Ramon Magsaysay Award, tokoh-tokoh tersebut sedikit lebih gentle dalam membaca perubahan ke arah dunia baru. Belum lagi tokoh-tokoh dalam kontroversial dalam genre sastra biru yang juga kontroversial, Ayu Utami, Dee, Oka Rusmini, Djenar Mahesa Ayu, dan lain-lain menghadirkan konstruksi tokoh perempuan yang lebih ?menepuk dada? dalam menyikapi perubahan dan masuk ke dalam tatanan dunia baru, dunia globalisme.
 
Sejatinya, sastra Indonesia (dan Melayu) modern adalah sastra yang mampu mengambil tempat di dalam jalan tol globalisasi. Sebagaimana dengan perkembangan bahasa Indonesia, sastra Indonesia tidak menemukan permasalahan dengan arus proses globalisasi. Masalahnya adalah bagaimana menjadikan bahasa dan sastra Indonesia tersebut memiliki posisi yang kuat di tengah-tengah masyarakatnya? Atau lebih jauh, bagaimana langkah untuk menjadikan masyarakatnya memiliki posisi kuat di tengah-tengah masyarakat dunia? Sehingga Indonesia mampu melepaskan diri dari status objeknya dalam proses globalisasi, dan justru mampu mengambil posisi sebagai subjek.
 
Jika kita cermati gagasan-gagasan Alvin Toffler atau John Naisbitt di atas, maka bahasa dan sastra Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi bahasa (dan sastra) yang mengglobal di dunia.
 
Mekanisme Politik Bahasa dan Sastra
 
Evolusi kebudayaan Indonesia yang dilatarbelakangi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi mengakibatkan pergeseran paradigma (mindset) tentang “pembinaan” dan “pengembangan” bahasa. Di masa-masa yang akan datang, Bahasa Indonesia berpotensi melebarkan status; bukan hanya menjadi bahasa negara, melainkan juga menjadi bahasa dari suatu tribe yang mengglobal. Bahasa tersebut harus mampu mengakomodasi perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian yang mungkin seringkali akan dihadapi. Perubahan dan penyesuaian berkaitan erat dengan pola komunikasi yang kian mengglobal dengan menggunakan teknologi yang lebih kekinian seperti email, tele-conference, friendster, facebook, dan sebagainya.
 
Mekanisme pembinaan dan pengembangan bahasa tidak layak lagi menjadi monopoli suatu lembaga, seperti Pusat Bahasa, dll. Tetapi akan sangat ditentukan oleh mekanisme “pasar”. Pusat Bahasa akan kehilangan peran vital dengan vonis “bahasa Indonesia yang baik dan benar”, digantikan pola komunikasi nir kebakuan yang cenderung berpijak pada “saling pemahaman”. Indonesia sudah selayaknya meninggalkan Politik bahasa yang terlalu bersifat defensif.
 
Politik kehidupan sastra hendaknya dikelola dengan manajemen kebangsaan yang mengacu pada globalisasi Sastra Indonesia harus lebih memasyarakat dan membumi, tidak semata bagi bangsa dan masyarakat Indonesia, tetapi juga bagi masyarakat dunia. Penerbitan karya-karya sastra harus dilakukan dalam kuantitas dan kualitas yang besar. Lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah, pesantren, maupun perguruan tinggi seyogyanya menjadi tempat indah untuk membaca dan memahami karya-karya sastra. Pengajaran sastra hendaknya berhenti sebagai materi hafalan melainkan penempatan karya-karya sastra sebagai sumber pengajaran, baik moral, etika, kebangsaan, humanisme, hingga religius. Fenomena penggusuran dan pengalihfungsian sanggar Teater Sansesus di SMAN 2 Jombang baru-baru ini merupakan sebuah langkah mundur dalam proses pendidikan dan pengajaran memasyarakatkan sastra Indonesia. Kehilangan investasi ini akan menjumpai tebusan yang mahal, yaitu fenomena lebih memasyarakatnya Shakespeare, Max Gogol, Anton Chekov, dll daripada Arifin C. Noer, Putu Wijaya, Rendra, Suyatna Anirun, dsb.
 
Di dalam proses globalisasi, Bahasa Indonesia hendaknya mampu mengambil posisi sebagai subjek perubahan, bukan objek perubahan. Bahasa dan sastra Indonesia berpotensi menjadi bahasa dan sastra yang “berbicara” di dunia.
 
Jika masyarakat Indonesia mampu hadir sebagai salah satu global-tribe di dunia, bahasa dan sastranya seyogyanya mampu seiring-sejalan dengan arah perkembangan itu. Bahasa Indonesia harus siap menerima posisi dan peran yang lebih. Bahasa dan Sastra Indonesia harus mampu menjadikan kekuatan budaya (global-trible) yang baru. Untuk itu, diperlukan suatu mekanisme politik bahasa dan sastra yang “openhartig” (meminjam kosakata Idrus dalam cerpen “Open”), bukan bersifat defensif.
 
Memperkuat akar kemasyarakatan Bahasa dan Sastra Indonesia sekarang atau tidak sama sekali, karena (mungkin) telah terbunuh oleh air bah globalisasi.
***

*) Hanya seseorang mencintai membaca dan menulis, di tengah deras lunturnya budaya literasi. Penulis lepas dan mengabdikan diri di lembaga pendidikan, seni, dan budaya (Lembaga Baca-Tulis Indonesia). http://sastra-indonesia.com/2010/06/bahasa-dan-sastra-indonesia-objek-dan-subjek-globalisasi/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar