Monday, June 21, 2021

Mempersoalkan Legitimasi Puisi-Esai

Leon Agusta *
Kompas, 13 Jan 2013
 
TAK ada yang baru di bawah langit. Begitu sering kita dengar banyak orang mengatakan. Namun, selalu ada cara pandang yang baru tentang apa atau bagaimana adanya sesuatu di bawah langit. Selalu pula ada cara pendekatan baru terhadap sesuatu yang sudah berlalu—terhadap sesuatu—misalnya karya dari masa silam. Dari segala sesuatu yang ada sebagian elemen sudah dieksplorasi, tetapi ini tidak berarti bahwa tidak mungkin ada elemen lain yang dapat dieksplorasi.
 
Setiap generasi baru dalam seni selalu melihat atau menyiasati apa yang sudah dilakukan oleh seniman generasi sebelumnya dengan cara pandang yang berbeda. Perbedaan konteks dan pengalaman akan melahirkan berbagai pertanyaan baru dengan fokus pada elemen-elemen tertentu. Semuanya ini mendorong mereka untuk melahirkan sesuatu yang baru di luar paradigma dan wacana lama. Hasilnya, adakalanya melahirkan paradigma baru yang pada gilirannya akan menghasilkan karya yang baru pula.
 
Dari eksplorasi semacam ini, lahirlah karya Denny JA, Atas Nama Cinta, yang disebutnya sebagai puisi-esai. Lalu, dari sebutan puisi-esai muncul pertanyaan: bagaimana mendefinisikan esai untuk membedakannya dengan puisi? Apakah perbedaannya terletak pada isi, bentuk, persepsi, atau perspektif? Kemudian muncul sebuah pertanyaan lagi: apakah puisi dapat berfungsi sebagai pemicu pemikiran rasional untuk menggerakkan lahirnya sebuah puisi-esai?
 
Jurnalisme dan statistik serta analisis mampu menghadirkan fakta atau kenyataan dari suatu situasi dan kondisi suatu kehidupan masyarakat di suatu waktu dan tempat tertentu. Hal ini tecermin pada bentuk tulisan yang didefinisikan sebagai esai. Adapun estetika memiliki potensi untuk mengungkapkan sensitivitas kemanusiaan, kedalaman perasaan, intuisi, dan imajinasi sehingga menghadirkan kesan mendalam terhadap pembaca bagaimana wajah nasib dan penderitaan manusia ke dalam rasionalitas melalui empati pada bentuk tulisan yang didefinisikan sebagai puisi. Jadi, apakah mungkin puisi-esai dapat mengantarkan pembaca pada penghayatan dengan warna perasaan yang kaya nuansa?
 
Dalam konteks di atas, puisi esai Denny JA berakar pada realitas masyarakat berupa kejadian dan peristiwa dalam berbagai kategori analisis dengan fokus tunggal pada problematik diskriminasi di Indonesia. Sejak awal, bentuk, konteks, dan isi karya Denny JA adalah esai dalam format puisi.
 
Bukan baru
 
Sebenarnya, dalam sejarah sastra Indonesia, upaya mempertemukan atau menggabungkan bentuk-bentuk tulisan yang berbeda dalam satu karya bukan sesuatu yang baru. Dalam hal ini mungkin sebaiknya ada sedikit perbandingan dengan karya Rendra. ”Si Burung Merak” ini menulis puisinya, seperti diakuinya sendiri, dalam bahasa pamflet. Ini dilakukannya untuk merespons kenyataan sosial politik pada waktu itu. Ungkapan-ungkapannya lugas, sama sekali tidak rumit. Begitu mendengar, maksudnya langsung bisa ditangkap. Pesan politiknya tampak lebih diutamakan ketimbang estetika puisi.
 
Denny menggali sumber kekuatan estetik jauh lebih dalam pada buku puisi-esainya Atas Nama Cinta yang merupakan gugatan terhadap isu sosial dalam bingkai diskriminasi. Dalam konteks ini, kekuatan estetika dalam narasi akan merupakan jembatan emas untuk menyampaikan pengalaman emosional, sedangkan catatan kaki memperkuatnya dengan pengalaman intelektual. Dengan demikian, ditemukan satu titik temu untuk mencapai keseimbangan antara penghayatan dan pengertian.
 
Dalam hal ini, pendekatan puisi-esai Denny, yang merupakan upaya menyatukan pengalaman emosional dan rasional dalam sebuah karya, mungkin bisa dikatakan lebih dekat dengan teknik penyair Toeti Heraty dalam Calon Arang (Yayasan Obor Indonesia Tahun 2000).
 
Seperti yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma dalam pengantar buku ini, yang disebut karya ”prosa lirik” oleh penulisnya sendiri, tak pelak lagi, ini adalah karya seorang pejuang feminisme. Di awal pengantarnya Seno menulis, ”...setidaknya terdapat dua jalan menuju buku ini. Jalan pertama adalah tradisi Calon Arang. Jalan kedua, tentu kedudukan perempuan dalam puisipuisi Toeti Heraty.”
 
Jadi, prosa lirik Calon Arang karya Toeti Heraty dapat dimasuki melalui pintu dunia kepenyairan Toeti Heraty sendiri yang sikap dan pandangannya sudah diungkapkan, misalnya pada kumpulan puisi Sajak-Sajak 33 and Mimpi dan Pretensi.
 
Dalam buku Calon Arang, Toeti Heraty tidak memakai catatan kaki dalam memunculkan unsur rasional untuk mengimbangi narasi emosional. Dia lebih memilih mengarahkan kesadaran pembaca melalui anak judul ”Kisah Perempuan Korban Patriarki” dan mendedikasikan karyanya kepada ”setiap perempuan yang meredam kemarahan”. Dengan demikian Toeti Heraty menerapkan bingkai yang kuat dan ketat untuk menjaga agar fokus pembacaan sesuai dengan teks.
 
Dalam buku Atas Nama Cinta, Denny JA juga memberi petunjuk mengenai isi intelektualnya dengan anak judul ”Sebuah Puisi Esai: Isu Diskriminasi dalam Untaian Kisah Cinta yang Menggetarkan Hati”. Dengan demikian, isu sentral yang diajukan melalui lima kisah cinta pada buku ini disampaikan sekaligus dengan kriteria puisi esai.
 
Pemahaman tentang pendekatan dan alasan seorang penyair menulis puisi pamflet, puisi esai, prosa lirik, atau apa pun namanya, memang diperlukan. Pemahaman tentang keanekaragaman alasan para penyair dalam menulis puisi dapat membantu kita dalam upaya memahami keberagaman karya yang dihasilkan para penyair dari masa ke masa. Dengan ini, jika ada perbincangan, kita akan berada dalam jalur yang mengasyikkan. Konteks zamannya terjaga. Begitu pula dengan otentisitas masing-masing penyair.
 
Jika terjadi pencampuradukan dalam membandingkan, misalnya karena mengabaikan konteks zamannya atau otentisitas seorang penyair tak diindahkan, perbincangan takkan mengasyikkan lagi.
 
Penamaan puisi-esai, menurut Denny JA, adalah karena kebutuhan ekspresi kisah-kisahnya. Wujudnya adalah puisi dengan cita rasa esai, esai tentang isu sosial yang diungkapkan secara puitis.
 
Cita rasa
 
Untuk lebih mengesankan cita rasa esai, Denny JA juga secara sadar membutuhkan pencantuman catatan kaki, di antaranya ada yang sangat mengejutkan. Misalnya, catatan kaki (4) halaman 164 mengenai ”Tafsir Baru atas Nikah Beda Agama” tentang pernikahan Nabi Muhammad SAW dan beberapa sahabat dengan perempuan yang bukan panganut agama Islam (http//icrp-online.org/o82008/post-17.htmi). Ada banyak informasi ataupun pengetahuan berharga dari catatan kaki yang dapat mengantarkan pembaca pada pemahaman lebih mendalam tentang puisi esai. Catatan kaki ini berperan bagaikan paru-paru bagi kisah-kisah yang disajikan sehingga puisi esai hidup dan bernapas bukan hanya sebatas lingkungan masyarakat sastra, melainkan menerobos ke tengah masyarakat luas.
 
Semua topik yang disajikan Atas Nama Cinta jelas sekali lebih merupakan bahan baku untuk penulisan esai, yakni isu-isu sosial yang relevan dan aktual. Denny JA ingin menyajikannya dalam format sebuah esai yang lazim untuk mengisi otak. Dia juga memiliki dorongan kuat untuk memanfaatkan estetika bahasa yang mampu membuat pembacanya masuk ke dunia nyata melalui penghayatan seni.
 
Dengan demikian, Denny JA mempunyai pengalaman dan pandangan yang khas terhadap kehidupan sosial, terutama sastra. Mungkin ia merasa terhina jika dikatakan menjadi sekadar peniru atau seorang murid penurut terhadap fatwa-fatwa para guru. Penulis yakin, Denny JA sama sekali tidak merasa terlalu penting untuk dibandingkan kehadirannya dengan para penyair terdahulu.
 
Dengan puisi esai yang disajikannya, Denny JA sudah membuka jendela baru bagi masyarakat sastra Indonesia untuk melihat kenyataan sejarah peradaban dengan cara yang baru pula, kemudian mengungkapkannya dengan pendekatan yang juga baru. Masalah kemanusiaan dan ketidakadilan membelenggu masyarakat kita di mana-mana. Kreativitas seni berupaya membebaskan belenggu itu dengan memberikan pencerahan kesadaran terhadap kompleksitas kondisi zamannya. Di sinilah peranan puisi esai yang dilahirkan Denny JA.
 
Dalam konteks ini, tampaknya Maman S Mahayana (MSM) tidak terkesan dengan kehadiran puisi esai Atas Nama Cinta.
 
Kritik MSM dalam artikel ”Posisi Puisi, Posisi Esai” (Kompas, Minggu, 30 Desember 2012, halaman 20) ada satu pertanyaan menarik seputar perbincangan puisi esai Denny JA: ”Lalu bagaimana dengan catatan Ignas Kleden, Sapardi Djoko Damono dan Sutardji Calzoum Bachri dalam antologi itu? Apakah itu sebagai stempel legitimasi tentang konsep puisi esai?”
 
Pertanyaan ini langsung dijawabnya sendiri berupa kesimpulan dengan nada yang terkesan merendahkan: ”Catatan mereka adalah bentuk apresiasi yang tentu saja berbeda dengan legitimasi”.
 
Penulis jadi bertanya-tanya: apakah kehadiran puisi esai harus dilegitimasi? Apakah puisi esai mengganggu dunia kelangenan para penyair yang secara kultural harus memelihara tatanan, hierarki, ketertiban, dan kepatuhan?
 
Sekarang pertanyaan yang perlu ditambahkan adalah: legitimasi dari siapa? Siapa sesungguhnya yang berhak memberikan ”stempel legitimasi” terhadap konsep puisi esai atau konsep puisi penyair mana pun? Dari mana seseorang mendapatkan hak sedemikian? Apakah Denny JA memerlukan legitimasi seperti yang dipahamkan MSM? Sejauh pengenalan saya tentang cara berpikir dan sepak terjang Denny JA dalam dunia perpuisian yang dibangunnya, cara berpikir, pertanyaan, dan kesimpulan MSM sepertinya sudah jauh ketinggalan zaman.
 
Pertanyaan dan kesimpulan MSM itu membuat penulis terkenang pada satu komentar penyair yang menetap di Padang, Rusli Marzuki Saria (75), dalam satu perbincangan santai di sela-sela Pertemuan Sastrawan Indonesia 2012 di Makassar, akhir November lalu. Ia mensinyalir adanya ”budaya feodalisme yang menguasai dunia sastra kita”.
***
 
*) Leon Agusta (Ridwan Ilyas) lahir di Desa Sigiran, daerah pinggiran Danau Maninjau, 1938. Pernah mengikuti International Writing Program di Iowa University, tahun 1976 dan 1978. Karya-karyanya, berupa puisi, cerpen, esei, dan novel, dimuat di berbagai media massa, termasuk Horison, dan diterbitkan dalam sejumlah buku antologi. Walaupun usianya sudah kepala enam, Leon masih aktif menulis puisi, dan mengikuti berbagai forum sastra di dalam dan luar negeri.
http://sastra-indonesia.com/2021/06/mempersoalkan-legitimasi-puisi-esai/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar