Monday, June 21, 2021

Dari Tamasya Bahasa ke Refleksi Intelektual

Tjahjono Widijanto
Suara Karya, 9 Mar 2013
 
Penyair Sutardji Cazloum Bachri pada sebuah tulisan Catatan Kebudayaan di Majalah Horison berjudul "Rasa Hormat Maksimal Terhadap Puisi" berseloroh bahwa sastrawan dan karya sastranya bisa dikelompokkan sebagai olahragawan, karena olahraga disamping menyehatkan badan juga bisa menghibur dan menyegarkan jiwa.
 
Sutardji dengan guyon (namun dengan nada serius) juga mengatakan, sebagai sesuatu yang dapat menyegarkan jiwa, puisi (penyair) dapat dikelompok dengan dagelan atau pelawak di samping sebagai tukang kritik dan "kaum pembangkang". Tentu saja guyonan Tardji tinggalah sebagai guyonan karena pada kenyataannya meski membaca bisa menyegarkan dan menghibur tidak pernah ada orang yang memasukkan sastrawan/penulis dalam kelompok olahragawan karena mungkin biasanya sastrawan, penulis, penyair atau novelis hanya kuat imajinasi dan pikirannya sedangkan ototnya seringkali lebih lembek bila disandingkan dengan seorang atlet.
 
Guyonan Tardji itu bisa saja membekas dan meninggalkan pertanyaan yang menyoal kembali tentang keberadaan membaca, keberadaan sastrawan (baca: penulis) dan fungsinya. Terlebih lagi bila orang mendengar cerita nyata yang terjadi pada abad akhir abad XIX, saat seorang anggota parlemen Inggris bernama John Ruskin berkata: "Shakespeare bagi Inggris jauh lebih penting dari India. Inggris tanpa India tetap Inggris. Namun Inggris tanpa Shakespeare akan kehilangan citranya!" Apa yang terdapat pada Shakespeare dan apa pula yang dibuatnya sehingga orang Inggris mendudukannya sebagai ikon bangsanya? Mengapa dia telah mendapatkan kehormatan begitu tinggi di mata bangsanya sehingga dianggap mewakili citra Inggris sebagai bangsa yang berkebudayaan tinggi?
 
Sampai saat ini kita berpandangan bahwa kita hanya bisa hidup di bumi, hanya memiliki satu bumi. Tempat tinggal kita yang juga kita sebut dunia ini dahulu pernah kita bayangkan sebagai suatu hunian yang mahaluas, yang terdiri atas lima benua dan tujuh samudera. Di antara semua itu terbentang jarak tempat dan waktu yang jauh dan panjang.
 
Itu sebabnya di kisah Marcopolo yang menjelajah dunia di zaman lampau menjadi penting dalam sejarah peradaban manusia. Ketika teknologi transportasi dan komunikasi mengalami perkembangan yang tidak terbayangkan pesatnya, dunia menciut; semua menjadi sangat dekat. Batas-batas politik, sosial, dan ekonomi yang sebelumnya dengan susah-sayah kita usahakan menjadi sama sekali tidak ada artinya. Dalam situasi demikian itulah batas-batas budaya menjadi kabur. Apa yang terjadi di New York dalam waktu yang sama bisa diketahui di Tasikmalaya, Subang, dan Bandung; telepon, radio, televisi, internet praktis menghapuskan jarak.
 
Harus diakui bahwa capaian budaya digital berikut piranti audio-visualnya telah memberikan beragam keuntungan: lebih efektif, efisien, dan universal. Tidaklah mengherankan jika terdapat kecenderungan bahwa sebagian dari kita begitu bergantung kepadanya. Tidak mustahil apabila budaya alfabetik yang salah satu perwujudannya berupa teks-teks sastra akan dipandang sebagai sesuatu yang anakronistik.
 
Buku-buku sastra makin jarang dibaca secara individual, dongeng-dongeng pun makin jarang dituturkan oleh para guru atau orang tua pada kesempatan tertentu. Pada masa kini, beragam narasi pemikiran yang bersandar pada pengalaman hidup kemanusiaan tidak lagi disimpan dalam dan dipindahkan melalui cerita, baik yang dituturkan maupun yang dibuku-tuliskan, tetapi disimpan dalam beragam piranti.
 
Makin merosotnya budaya alfabetik bisa saja dipandang sebagai salah satu bagian dari bencana kemanusiaan. Walaupun anggapan semacam ini terasa berlebihan, dalam kaitannya dengan ketergantungan yang begitu tinggi kepada budaya audio visual, anggapan tersebut cukup beralasan. Kita memahami bahwa piranti audio visual berikut nilai-nilai kultural yang inheren di dalamnya lebih mudah dikendalikan, dimanipulasikan, dan didegradasikan oleh kekuasaan. Ia berbeda dengan kata-kata tertulis, misalnya saja dalam hal kerahasiaanya menyampaikan pesan-pesan dan tanda-tanda keabadian mengenai hati nurani manusia lewat imaji-imaji dan simbol-simbol literer. Bahkan, seringkali pula karya-karya sastra mewujudkan dirinya sebagai benteng terakhir kebebasan, yakni ketika terjadi penelikungan pikiran yang harus tunduk-patuh secara total pada kekuasaan politik. Sementara, di "kerajaan audio-visual," peluang melakukan perlawanan budaya begitu sempit: kita tidak mungkin melawan nahkoda teknologi kebudayaan yang sekaligus sebagai seorang raja produksi kultural. Langsung atau tak langsung, hal itu bisa saja menimbulkan sejumlah akibat yang tidak diinginkan karena prakarsa dalam aktivitas kultural akan secara mudah diganti dengan sesuatu yang akhirnya menggelincirkan pikiran-pikiran kita menjadi budaknya.
 
Tidak seperti sastra, produk-produk audio-visual cenderung membatasi imajinasi, memperlemah sensibilitas, dan sering membuat pikiran menjadi dungu dan pasif. Pemikiran semacam ini bukanlah perwujudan alergi pada budaya audio-visual. Juga bukan merupakan sebuah "tangisan romantis" dan pernyataan belasungkawa atas terancamnya eksistensi sastra umumnya di tengah kehidupan yang makin teknologis.
 
Tentu argumentasi tersebut terlampau sepihak. Karena, dalam kenyataannya kita semua juga memiliki daya tolak terhadap produk-produk budaya audio-visual. Karenanya pula, kita mestinya tidak perlu berpikir bahwa "kekalahan" buku (sastra) oleh piranti-piranti akan benar-benar terjadi. Semuanya berpulang pada sikap kultural kita.
 
Maju mundurnya kebudayaan tidak pernah buta, dan impersonal. Dalam konteks yang bersifat strategis, sudah sewajarnya kalau ruang dan peluang bagi generasi muda kita untuk tetap menaruh peduli pada karya-karya sastra kreatif, tetap disediakan agar orientasi mereka tidak melulu pada piranti-piranti praktis. Pembelokkan orientasi yang hanya bersandar pada alasan kemajuan iptek, yang secara eksklusif cenderung membuang teks kreatif dan meletakkannya pada peranan sekunder dan subordinat belaka, niscaya penting untuk diluruskan dengan sejumlah alternatif yang dimungkinkan.
 
Teks-teks sastra itu juga merupakan ujaran-ujaran indah yang membagikan kepada kita, sejumlah "makanan spiritual" yang penting. Bukankah kita memang "dikutuk" untuk menginginkan lebih dari apa yang kita punya? Ia juga merupakan sebuah realitas tempat manusia secara bahagia mengistirahatkan jiwanya yang gelisah. Dalam kabut ambiguitasnya, sastra juga menawarkan efek katarsis. Dalam sastra, pengalaman-pengalaman kemanusiaan kita dirumahkan.
 
Di bawah peradaban saintifik, kita juga merasakan bagaimana kita telah menjadi gampang pecah dibandingkan dengan nenek moyang kita. Menanamkan kembali sastra, menjadikannya sebagai salah satu narasi dalam pikiran generasi muda kita, dengan demikian, dapat dijadikan salah satu imperatif yang musti ditunaikan dalam kerangka strategi kebudayaan kita.
  
***
http://sastra-indonesia.com/2021/06/dari-tamasya-bahasa-ke-refleksi-intelektual/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar