Maman S. Mahayana
Sebuah amplop cukup besar, saya terima, 7 Januari 2002. Isinya, satu plakat
agak mewah dan selembar surat. Ternyata, pengirimnya Panitia Panyelenggara
Khatulistwa Literary Award (KLA) Indonesia’s Best Fiction Award 2000-2001.
Plakat dimaksudkan sebagai simbol pernyataan keberterimaan dan barangkali juga
penghargaan dari Panitia Panyelenggara, sedangkan surat dapatlah dianggap
sebagai utusan panitia itu yang hendak menyampaikan ucapan terima kasih kepada
juri.
Selaku juri, perasaan hati saya mendadak menggelembung saat membaca surat
itu. Pasalnya, saya sadar betul, bahwa peran saya dalam penjurian itu terlalu
kecil, bahkan mungkin juga tak bermakna apa-apa. Apalagi jika mengingat
hasilnya yang diperlakukan mirip angket atau polling. Meski begitu, tidak
urung, saya senang juga, hitung-hitung panitia telah menghargai kewajiban saya
membaca sekian buku dalam kurun waktu setahun (2000-2001) dan kemudian
memberikan daftarnya dalam urutan 10 terbaik.
Mencermati isi teks surat itu, tampak benar bahwa para penanda tangannya
tidak pelak lagi adalah orang-orang yang terpelajar. Paling tidak, mereka
sangat mengerti etika manajemen, profesional, begitu takzim, dan menghormati
kerja sama. Ungkapannya sungguh membesarkan hati dan sangat mengesankan. Jadi,
kurang tepatlah jika menduga panitia tak paham etika dan tak tahu sopan-santun.
Tetapi, apakah mereka itu panitia, penaja, atau penaja sekaligus juga panitia?
Pertanyaan itu muncul berkaitan dengan tarikh yang tercantum dalam plakat,
18 November 2001 dan surat, 28 November 2001. Mengapa saya baru menerimanya
tanggal 7 Januari 2002. Jadi, lebih dari satu bulan surat itu tercecer entah di
mana. Mungkin surat itu tersimpan rapi di dalam laci atau barangkali juga pada
mulanya kedua barang itu tak hendak dikirimkan. Bahkan, muncul pula pertanyaan
lebih ekstrem: Jangan-jangan, surat dan plakat itu buru-buru dibuat justru
setelah gencar publikasi mengenai kontroversi penyelenggaraan KLA. Persoalan
itu tentu saja hanya panitia yang paling tahu.
Bagi saya jelas, bahwa para penaja yang amat terpelajar itu telah
mempercayakan operasionalisasinya pada kerja panitia yang amatiran. Bagaimana
mungkin surat bertarikh 28 November 2001, baru sampai ke alamat yang dituju lewat
sebulan kemudian? Ini seperti kerja dalam birokrasi Pemda yang hampir selalu
terlambat dalam tugas apapun. Jika saya tinggal di pendalaman Papua,
keterlambatan itu pastilah satu keniscayaan. Tetapi, Jakarta-Depok merupakan
jarak yang dapat ditempuh dalam waktu sekejap. Jadi, kembali lagi, mengingat
lamanya keterlambatan itu, perasaan yang tadi berbunga-bunga, mendadak menciut.
Ah, panitia ini ada-ada saja atau sengaja meledek?
***
Terlepas dari persoalan harga-menghargai dan besar-kecilnya kontribusi juri
serta terjadinya kontroversi pemilihan pemenang, penyelenggaraan KLA dapat
memberi kontribusi penting yang bakal besar pengaruhnya bagi perkembangan
kesusastraan Indonesia jika diselenggarakan secara berkelanjutan dan ditangani
oleh panitia yang profesional. Sebaliknya, jika penyelenggaraannya hanya sekali
ini atau dalam bahasa Chairil Anwar, sekali (tidak) berarti, sesudah itu mati,
maka kontribusinya itu, benar-benar mati sebelum lahir. Ia keguguran dalam
kandungan, meski nama calon bayi sudah dipublikasikan. Oleh sebab itu,
betapapun gencar berbagai serangan terhadap panitia, para penaja hendaknya
tidak main-main dengan gagasannya sendiri. Badai pasti berlalu, dan
penyelenggaraan KLA jalan terus. Tentu saja itupun dengan beberapa catatan.
Pertama, seperti ditulis Budi P Hatees (MIM, 13/1/2002) soal kriteria
pemilihan dan argumen yang melandasinya, patutlah menjadi bahan pemikiran.
Dewan juri mesti dapat mempertanggungjawabkannya kepada publik. Tanpa itu,
kembali, berbagai dugaan penjurian yang misterius, bakal kembali terulang.
Dalam hal ini, kerja sama dengan pihak pers niscaya akan sangat membantu
publikasi pertanggungjawaban juri kepada publik.
Kedua, berkaitan dengan butir pertama, sungguh tidak adil jika dari sekian
karya sastra itu hanya dipilih satu karya dari satu ragam sastra. Bagaimana
mungkin kita mempersamakan antologi puisi dengan antologi cerpen, drama dengan
novel? Masing-masing ragam sastra itu, selalu memunculkan kelebihannya sendiri.
Perangkat penilaian bagi puisi, tentu tak sama dengan perangkat penilaian bagi
novel, drama dan cerpen. Jika kita analogikan sastra sebagai buah-buahan, maka
keempat ragam sastra itu dapatlah ditamsilkan sebagai durian, mangga, apel, dan
jeruk. Adilkah, kriteria penilaian untuk mengukur rasa dan kenikmatan durian,
kita terapkan untuk mangga, apel, dan jeruk? Jadi, tak terhindarkan pemenangnya
harus dalam empat kategori: puisi, novel, cerpen, drama. Itulah cara yang
paling adil. Itulah sumbangan penting bagi para sastrawan, dalam ragam apapun
mereka itu berkiprah!
Ketiga, untuk menunjukkan bahwa panitia cukup profesional, juri mesti
disodori daftar buku yang mesti dinilai yang terbit dalam kurun waktu setahun.
Meskipun begitu, panitia masih membuka diri jika ada satu-dua buku yang luput
dari catatan panitia yang mungkin disodorkan salah seorang juri. Tinggal tugas
panitia untuk menyusulkan atau memberitahukan kepada juri lain tentang adanya
tambahan itu. Dalam hal ini, setiap juri sudah diberi koridor yang jelas
tentang sejumlah buku yang patut dinilai. Dengan cara ini, panitia sekaligus
“memaksa” juri untuk membaca buku-buku yang hendak dinilainya atau tidak
menilai buku-buku yang mungkin belum dibacanya. Jadi, juri bekerja secara benar
dan profesional dan tidak asal menulis judul-judul buku begitu saja. Di sini,
moralitas dan kejujuran juri benar-benar dipertaruhkan.
Keempat, untuk mencapai kesepakatan dan kesepahaman penilaian dewan juri,
panitia mesti berusaha mempertemukan dewan juri dalam sebuah ruang perdebatan.
Di situlah para juri menyampaikan argumen dan dasar penilaiannya. Biarkanlah
mereka berbalahan. Jika tidak ada titik temu, terpaksalah dilakukan voting.
Meskipun tampaknya seperti meniru cara anggota dewan dalam memutuskan sesuatu,
voting para juri ini pastilah tidak bakal diwarnai politik uang. Saya masih
percaya, semiskin-miskinnya juri, moralitasnya barangkali masih belum tercemar
oleh perbuatan suap-menyuap. Jika dalam proses penjurian itu, ada juri yang
terlibat suap-menyuap, kita tinggal menunggu doa dari sastrawan Indonesia dan
segenap komunitasnya: “Semoga arwah juri yang bersangkutan diterima di sisi
Tuhan.”
Kelima, untuk menghindari adanya penilaian subjektif, karya juri yang
mungkin masuk nominasi, mesti gugur demi objektivitas. Jika karya itu tetap
hendak dimasukkan sebagai salah satu nominasi dan memang pantas dinominasikan,
maka pengarangnya harus mundur selaku juri. Kembali, langkah ini semata-mata
demi objektivitas.
***
Dalam banyak kasus sejenis yang terjadi di negara mana pun di dunia,
munculnya kontroversi terhadap pilihan juri, sesungguhnya bukanlah hal yang
baru. Saat Pramudya Ananta Toer terpilih sebagai peraih hadiah Ramon Magsaysay
(1995), berbagai kalangan banyak yang mempertanyakan keputusan itu mengingat
sepak terjang Pram pada pertengahan tahun 1960-an dianggap berlawanan dengan
moralitas dan semangat kebebasan yang melandasi pemberian hadiah tersebut.
Demikian juga, beberapa di antara pemenang hadiah Nobel, seperti Claude Simon
(1985) dan Wole Soyinka (1986), tidak urang dipertanyakan dasar keterpilihannya
yang pada gilirannya melahirkan kontroversi. Dalam pemberian hadiah-hadiah
semacam itu, lahirnya kontroversi yang mengikuti keputusan juri merupakan hal
biasa. Tetapi toh, munculnya berbagai kontroversi seperti itu, sama sekali
tidak mengurangi berbagai pihak, institusi atau lembaga tertentu untuk
menghentikannya. Di negara-negara maju, penghargaan dan pemberian hadiah pada
karya seni, termasuk sastra, terus saja bermunculan dengan nama dan hadiah yang
bervariasi.
Dalam sejarah sastra Indonesia, kita juga mencatat tidak kurang dari 15
hadiah, baik dari pemerintah maupun yayasan atau institusi dalam dan luar
negeri, yang diberikan kepada sejumlah sastrawan kita. Sebagian besar di
antaranya, seperti Hadiah Sastra Nasional BMKN, Hadiah Sastra Yamin, Hadiah
Martinus Nijhoff, Hadiah Akademi Jakarta, Hadiah Dewan Kesenian Jakarta, Hadiah
Sastra Yayasan Jaya Raya, Anugerah Sastra Chairil Anwar, dan Hadiah A. Teeuw,
tidak melanjutkan lagi kegiatannya. Oleh karena itu, adanya Khatulistiwa
Literary Award (KLA) Indonesia’s Best Fiction Award, dapat dimaknai sebagai
monumen penting atau sekadar numpang lewat belaka dalam catatan perjalanan
sejarah sastra kita.
Tentu saja kita berharap, KLA dapat menjadi monumen. Pasalnya, terlalu
sedikit pengusaha kita yang punya perhatian besar pada bidang sastra. Kiprah
mereka umumnya berkaitan dengan kepentingan bisnis atau sekadar cari
popularitas. Lalu, apakah para penaja KLA termasuk golongan pengusaha macam itu
atau mereka memang punya ambisi besar untuk mengangkat harkat dan martabat
kesusastraan Indonesia di amta bangsanya sendiri? Jawabnya kita tunggu saja
kiprah KLA di masa-masa mendatang. Apakah KLA berhenti sampai di sini atau
jalan terus hingga entah kapan. Jika jalan terus, yakinlah kita bahwa kelak KLA
akan sangat berwibawa dan berpengaruh di antara penghargaan lain yang
bertebaran di negeri ini.
***
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia
salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden
Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan
pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan
sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana
Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di
Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies,
Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa
hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa
Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon”
(Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX
(1908-1928)” (LPUI, 2000). http://sastra-indonesia.com/2010/10/masih-seputar-penjurian-yang-misterius/
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Rifqi Hidayat
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Hopid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Acep Zamzam Noor
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agusri Junaidi
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Andhika Mappasomba
Andi Achdian
Andrenaline Katarsis
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Aprinus Salam
Arafat Nur
Ardy Kresna Crenata
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Wibowo
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Aryadi Mellas
Aryo Bhawono
Asap Studio
Asarpin
Asep Rahmat Hidayat
Asep Sambodja
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
B Kunto Wibisono
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Kempling
Bambang Soebendo
Banjir Bandang
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Boy Mihaballo
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Gibran Ramadhan
D. Zawawi Imron
D.N. Aidit
Daisy Priyanti
Dandy Bayu Bramasta
Daniel Dhakidae
Dareen Tatour
Dea Anugrah
Dedy Sufriadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Desti Fatin Fauziyyah
Dewi Sartika
Dhanu Priyo Prabowo
Dharmadi
Diah Budiana
Dian Hartati
Didin Tulus
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Pranoto
Echa Panrita Lopi
Eddi Koben
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Faizin
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Erlina P. Lestari
Erwin Dariyanto
Esai
Esti Ambirati
Evi Idawati
Evi Sefiani
F. Daus AR
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fandy Hutari
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Faza Bina Al-Alim
Felix K. Nesi
Ferdian Ananda Majni
Fian Firatmaja
Gampang Prawoto
Gema Erika Nugroho
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gombloh
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Gus Noy
H.B. Jassin
Hairus Salim
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hari Murti
Haris Firdaus
Harry Aveling
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HE. Benyamine
Hendri Yetus Siswono
Herman Syahara
Hermien Y. Kleden
Holy Adib
Huda S Noor
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Humam S Chudori
Husni Hamisi
I G.G. Maha Adi
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
Idealisa Masyrafina
Idrus
Ignas Kleden
Ikarisma Kusmalina
Ike Ayuwandari
Ilham
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Irfan Sholeh Fauzi
Isbedy Stiawan Z.S.
J.J. Kusni
Jadid Al Farisy
Jajang R Kawentar
Jakob Oetama
Jalaluddin Rakhmat
Jansen H. Sinamo
Joni Ariadinata
K.H. Bisri Syansuri
K.H. M. Najib Muhammad
Kahfi Ananda Giatama
Kahfie Nazaruddin
Kho Ping Hoo
Kika Dhersy Putri
Kitab Para Malaikat
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kuswinarto
L.K. Ara
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Leon Agusta
Lesbumi Yogyakarta
Lily Yulianti Farid
Linda Christanty
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
Luwu Utara
M. Aan Mansyur
M. Faizi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M.D. Atmaja
M’Shoe
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majene
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mamasa
Mamuju
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maroeli Simbolon
Martin Aleida
Masamba
Mashuri
Media KAMA_PO
Melani Budianta
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Afifi
Mohammad Yamin
Much. Khoiri
Muhammad Fauzi
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Ridwan
Muhammad Subarkah
Muhammad Walidin
Muhammad Yasir
Muhyiddin
Mukhsin Amar
Munawir Aziz
Musa Ismail
Mustamin Almandary
N Teguh Prasetyo
Nadine Gordimer
Nara Ahirullah
Nelson Alwi
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nugroho Sukmanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Asyhadie
Nurul Komariyah
Ocehan
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pamela Allen
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pelukis
Pendidikan
Penggalangan Dana
Peta Provinsi Sulawesi Barat
Polewali
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Salafiyah Karossa
Pramoedya Ananta Toer
Pramuka
Prasetyo Agung
Pringadi AS
Pringgo HR
Priska
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puput Amiranti N
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Ragdi F. Daye
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ratnani Latifah
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Riadi Ngasiran
Rian Harahap
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Riki Fernando
Rofiqi Hasan
Ronny Agustinus
Rozi Kembara
Rusydi Zamzami
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Saini K.M.
Sajak
Salman Rusydie Anwar
Salman S Yoga
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Sapto Hoedojo
Sasti Gotama
Sastra
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Seni Rupa
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sirajudin
Siswoyo
Sitok Srengenge
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sonia
Sosiawan Leak
Sukitman
Sulawesi Selatan
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suriali Andi Kustomo
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Syamsudin Noer Moenadi
Syihabuddin Qalyubi
Syu’bah Asa
Tari Bamba Manurung
Tari Bulu Londong
Tari Ma’Bundu
Tari Mappande Banua
Tari Patuddu
Tari Salabose Daeng Poralle
Tari Sayyang Pattuqduq
Tari Toerang Batu
Tata Chacha
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater
Teddi Muhtadin
Teguh Setiawan Pinang
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tito Sianipar
Tjahjono Widijanto
Toeti Heraty
Tosiani
Tri Wahono
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
UU Hamidy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wan Anwar
Wawancara
Wayan Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono
Wicaksono Adi
Wilson Nadeak
Wisata
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yopie Setia Umbara
Yosephine Maryati
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yurnaldi
Zamakhsyari Abrar
No comments:
Post a Comment