Imamuddin SA
Memang benar jika sebuah karya ditentukan oleh zaman.
Siapa yang suntuk dengan karya, dialah yang kelak tercatat dalam buku besar
kesusastraan dan melegenda. Dan penyair besar itu tidaklah sebuah proses yang
dadakan layaknya undian tabanas. Atau sekadar audisi. Tapi mereka yang
benar-benar menyuntuki karyalah yang kelak bakal menemukan nama besarnya.
Mereka senantiasa berproses untuk mencapai kekentalan tertentu dalam karya.
Membubuhkan puitika dalam ruang kosong yang masih tersedia.
Saya kira mereka juga pasti tidak sekedar iseng menggurat
karya. Apalagi hanya merajut kata dalam keindahan akustik. Mereka pasti
menggali kedalaman makna dalam simbol-simbol yang tengah disematkan. Mereka
sadar betul kalau sebuah karya itu diharapkan mampu memberikan pencerahan bagi
tiap pembacanya. Setiap pembaca setelah menikmati karya akan berkesan dan
bahkan mampu mengubah sikapnya. Itulah hakekat sastra yang bersifat mendidik.
Sebab-sebab itulah yang pada muaranya akan menjadikan
seorang penyair diakui mobilitas karyanya dalam khasanah kesusastraan nasional
bahkan internasional. Karyanya mendunia dan dijadikan rujukan elemen
masyarakat. Namun bukan sebatas itu, mungkin usaha tersebut sudah cukup untuk
mendapat pengakuan secara nasional. Akan tetapi belum tentu mendapat pengakuan
di mata dunia. Ada satu usaha yang harus ditempuh seorang penyair. Yaitu
penerjemahan ke dalam bahasa internasioal atau bahasa asing (disesuaikan dengan
daerah yang bakal dijadikan objek penyebaran karya). Dan karya-karya itu
disebarkan pula ke negara-negara lain. Dengan tindakan semacam itu, saya kira
sebuah karya akan banyak dikenal dalam khalayak internasional.
Sekarang marilah menengok mobilitas sastra di negeri kita
ini, Indonesia, berapa banyak karya-karya penyair besarnya yang tengah
diterjemahkan, cukup minim bukan! Barangkali faktor inilah yang menjadi kendala
kurang dikenalnya karya pribumi di mancanegara. Karya-karya dari sastrawan Indonesia
kurang mendapat perhatian dari masyarakat mancanegara. Jangankan diperhatikan,
dikenal saja tidak!
Fenomena yang cukup menarik, seandainya sudah ada bentuk
penerjemahan karya ke dalam bahasa internasional, yang patut dipertanyakan
masalah mutu penerjemahannya sendiri. Jangan-jangan dengan penerjemahan itu,
mutu karya menjadi menurun. Namun sangat beruntung jika terjadi peningkatan
mutu karya dengan adanya pen-translit-an tersebut. Ini mampu mengangkat
kredebilitas penyair dan negara asal penyair di mata dunia. Jadi, harus
benar-benar selektif dalam memilih pe-translit. Jangan asal comot. Yang penting
ada orang yang mau me-translit, karya langsung diberikan begitu saja.
Ada satu tindakan yang sangat fantastis dalam dewasa ini.
Ini kabar yang cukup menggembirakan. Sebagian kelompok ada yang tengah berkenan
menyuarakan kesusastraan Indonesia di kanca internasional. Mereka membuat
strategi, bagaimana agar kesusastraan Indonesia eksis di luar negeri. Strategi
itu ditempuh melalui pembuatan antologi puisi tiga negara. Indonesia, Portugal,
dan Malaysia. Antologi ini diterbitkan PT. Gramedia dengan tebal 424 halaman.
Judulnya Kumpulan Puisi Indonesia, Portugal, Malaysia: Antologi de Poeticas.
Dengan 118 puisi di dalamnya. Isinya dikemas dalam bentuk bahasa portugis yang
dilengkapi dengan terjemahan bahasa Indonesia. Dengan demikian, paling tidak
kesusastraan (puisi) Indonesia akan dikenal masyarakat Malaysia dan masyarakat
Portugal (sebab pe-translit-annya dalam bahasa Portugis). Minimal para penyair
kedua negara tersebut.
Antologi ini cukup banyak diisi karya-karya penyair
ternama dari ketiga negara tersebut. Dari Portugal misalnya. Ada Dom Dinis,
Joao Garcia de Guilhade, Sa de Miranda, Bernardim Ribeiro, Luis Vaz de Camoes,
Almeida Gerret, Manuel Maria Barbosa du Bocage, Antero de Quental, Cesario
Verde, Camillo Pessanha, Antonio Nobre, Florbela Espanca, Fernando Pessoa,
Ricardo Reis, Alberto Caerio, Alvaro de Campos, Mario de Sa-Carneiro, Almada
Negreiros, Jose Regio, Miguel Torga, Jorge de Sena, Sophia de Mello Breyner
Andresen, Carlos de Oliveira, Eugenio de Andrade, Alexandre O?neill, Sebastiao
da Gama, David Mourao-Ferreira, Antonio Ramos Rosa, Raul de Carvalho, Herberto
Helder, Luiza Neto Jorge, Ruy Belo, Natalia Correia, Nuno Judice, Joaquim
Manuel Magalhaes, Alberto, Manuel Gusmao, Ana Luisa Amaral, Fiama Hasse Pais
Brandao, Jose Tolentino Mendonca, dan Jose Luis Peixoto. Dari Indonesia ada
Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, Muhammad Yamin, Roestam Effendi, Sutan Takdir
Alisjahbana, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Asrul Sani, Subagio
Sastrowardoyo, Ramadhan KH, Toto Sudarto Bachtiar, Toeti Heraty Noerhadi,
Taufiq Ismail, Rendra, Ajip Rosidi, Sapardi Djoko Damono, Ibrahim Sattah, D.
Zawawi Imron, Abdul Hadi WM, Ahmadun Yosi Herfanda, Suminto A. Sayuti, Afrizal
Malna, Isbedy Stiawan, Fakhrunnas MA Jabbar, Acep Zamzam Noor, Zeffry J.
Alkatiri, Joko Pinurbo, Agus R. Sarjono, Soni Farid Maulana, Taufik Ikram
Jamil, Dorothea Rosa Herliany, Radhar Panca Dahana, Warih Wisatsana, Gus TF
Sakai, D. Kemalawati, Ulfatin C. H, Fika W. Eda, Jamal T. Suryanata, Cecep
Syamsul Hari, Jamal D. Rahman, Aslan A. Abidin, Asrizal Nur, Moh. Wan Anwar,
Taufik Wijaya, Amien Wangsitalaja, Rieke Diah Pitaloka, Sutardji Calzoum
Bahchri, Raudal Tanjung Banua, Marhalim Zaini, dan Fatin Hamama. Dari Malaysia
ada A. Samad Said, Usman Awang, Firdaus Abdullah, Kemala, Baha Zein, Muhammad
Haji Saleh, Latiff Mohidin, Abdul Ghafar Ibrahim, Siti Zainon, Moechtar Awang,
Lim Swee Tin, Kassim Ahmad, Zaen Kasturi, Marsli, Hasyuda Abadi, dan Rahmidin
Azhari. Nama-nama penyair yang tengah termaktub dalam antologi ini memiliki
kontribusi yang tinggi dalam dunia kesusastraan di negaranya masing-masing.
Karya ini memuat penyair yang bereksistensi pada abad tigabelasan Masehi hingga
kiprah penyair dewasa ini. Sungguh, hadirnya buku ini benar-benar fantastis
bagi masyarakat pecinta sastra dan umumnya bagi elemen masyarakat yang ada.
Melihat dari sosok penyair yang diturutsertakan dalam
antologi ini, sudah barang tentu buku ini sangat bermutu tinggi. Kary-karya
yang ada pasti mengandung nilai-nilai yang patut untuk diteladani. Ambil saja
karya Dom Dinis penyair asal Portugal. Dalam sajak yang berjudul Ai Flores, Ai
Flores do Verde Pino (Wahai Bunga, Bunga Pinus Hijau) ada nilai kesetiaan yang
begitu tinggi. Si aku dalam sajak ini selalu mencari-cari keberadaan kekasih
dan kawannya yang tengah berpisah dengannya. Si aku ingin merajut kebersamaan
kembali. Meski ia tengah banyak dihianati dan didustai.
Tahukah engkau kabar kawanku,
ia yang mendustai janjinya padaku!
Oh Tuhan, di manakah gerangan dia?
Tahukah engkau kabar kekasihku,
ia yang mendustai sumpahnya padaku
Oh Tuhan, di manakah gerangan dia? (hal: 5, bait 3 dan
4).
Seperti itulah gambaran hidup yang semestinya. Ketika
seseorang pernah didustai sesamanya, ia sesegera mungkin menghapus kedongkolan
hatinya. Entah itu dilakukan oleh seorang kekasih ataupun seorang kawan. Sebab
tak ada seorang pun yang tak luka tatkala penghianatan melingkupi pribadinya.
Yang benar, bagaimana usaha dalam menyurutkannya. Akhirnya menghapusnya.
Mengharapkan kebersamaan selalu menjadi payung dalam menyisir perjalanan hidup.
Menganggap kedustaan tak pernah ada. Itulah cinta dan persahabatan yang sejati.
Dan kelak bakal abadi.
Beda lagi dengan Joao Ruize de Castelo Branco. Peraih
Nobel tahun 1998 ini dalam sajaknya Cantiga, Partindo-Se (Syair, Pergi Sendiri)
memberikan penekanan pada aspek penyelaman diri terhadap orang lain. Ia seolah
menyaran akan betapa pentingnya sorot mata dalam melukiskan batiniah seorang
manusia. Melalui mata, seseorang mampu menangkap gambaran dan suasana batin
seseorang yang berkecamuk. Mata, jendela bagi jiwa. Duka-derita,
kesediha-kepiluan, kemarahan-kedengkian, sepi-rindu, kebahagiaan-ketenangan
memiliki media khusus sebagai bentuk ekspresinya. Dialah mata. Cukup dengan
meneropong pancaran sinarnya, seseorang mampu membongkar gejolak batin sesamanya.
Namun ini menuntut kejelian tertentu dari kita agar benar-benar mendapatkan
kevalidan ekspresinya.
Mata ini lebih baik mati, // dari pada hidup seratus ribu
kali. // Mata sedih ini beranjak penuh kesedihan, // Jauh dari sebuah harapan
yang indah, // Anda tak pernah menatap mata // Yang lebih sedih dari siapapun.
(Hal: 11, bait 2)
Penyair tampaknya menggunakan majas sinekdoke pars
prototo. Ia memakai kata sebagian untuk keseluruhan. Kata mata mewakili keadaan
jiwa dan raga seorang penyair secara keseluruhan. Ia saat itu benar-benar dalam
keadaan yang kalut dalam sedih. Ia sedih dan rindu sebab terjadi perpisahan
dengan kekasihnya.
Setiap penyair memiliki gaya dan ciri khas masing-masing.
Itu tidak lepas dari kedekatan psikologi serta kultur sosial masyarakat yang
berkembang saat itu. Zaman pulalah yang juga turut berperanserta dalam
membentuk karakter karya seorang penyair. Karena ada hubungan sebab akibat
antara seorang manusia dengan lingkungan sekitarnya.
Coba tengok sajak Hamzah Fansuri, Rubayat. Di dalamnya
terlukis kental bahwa antara lingkungan sekitar dengan seseorang itu terjadi
hubungan sebab-akibat yang kuat. Dalam sajak tersebut menyaran pada keberadaan
Hamzah saat ada di Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Konon dalam legitimasi
masyarakat, orang yang pergi haji merupakan orang yang tengah pergi ke rumah
Tuhan. Berarti ia pergi untuk menghadap Tuhan.
Orang yang menghadap, diindikasikan pasti terjadi
pertemuan. Tapi tidak semua penghadapan diri itu terjadi pertemuan. Adakalanya
orang yang menghadap itu harus pulang dengan tangan hampa. Hamzah Fansuri
ternyata dalam ibadah hajinya, ia tidak menemukan keberadaan Tuhannya di sana.
Dari kota asalnya, Barus ke tanah suci Makkah ia hanya menemukan kehampaan akan
keberadaan Tuhan. Ibadah yang dilakukannya hanya sebatas syariaat semata. Itu
adalah pintu gerbang untuk menggapai hakikat dan kesejatian. Segala yang ada di
tanah suci tersebut hanyalah berorientasikan pada simbol-simbol religius yang
mesti digali maknannya. Atas beningnya hati dan niat yang tumbuh dalam dirinya,
Hamzah akhirnya menemukan jawaban akan keberadaan Tuhan yang hakiki. Ternyata
Tuhan ada dalam rumahnya (dirinya) sendiri.
Hamzah Fansuri di dalam Makkah
Mencari Tuhan di Baitil Ka?bah
Dari Barus ke Kudus terlalu payah
Akhirnya dijumpa di dalam rumah (bait 1, hal:165).
Persepsi semacam itu didasari akan sebuah hadits yang
artinya barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya. Tuhan
itu lebih dekat dari pada urat leher manusia sendiri. Itulah dasar-dasar yang
kiranya melandasi pernyataan Hamzah bahwa Tuhan ada dalam dirinya. Sebab raga
manusia merupakan rumah bagi batinnya. Jika seseorang telah mengenal Tuhan,
sudah barang tentu ia akan mudah menjalin pertemuanatau orang dekat. Sebagai
amsal, ketika seseorang telah akrab kenal dengan pimpinan perkantoran, ia
sebenarnya telah memiliki modal untuk mengatur pertemuan. Bisa sedikit leluasa
keluar masuk perkantoran itu. Ibarat ia telah memiliki orang dalam. Namun
jangan sekali-kali disamakan antara pertemuan manusia-Tuhan dengan
manusia-manusia. Harus ada hijab yang menjadi pemilahnya. Apabila sebuah
pertemuan telah berlansung, diindikasikan akan tercipta suatu dialog. Memadukan
sesama kehendak. Baru kemudian terbentuklah Kun.
Agar seseorang dekat dengan Tuhannya, istilahnya dikasihi
Tuhan, itu berbeda jauh dengan cara mendekatkan diri kepada sesama manusia.
Kalau kepada sesama manusia, orang yang ingin mendekatinya harus memiliki modal
yang lebih. Boleh dibilang, kalau ingin dekat dengan pengacara, minimal harus
bermodalkan uang yang cukup lumayn banyak. Kalau ingin didekati gadis atau
perjaka, minimal bermodalkan ketampanan. Atau bahkan uang juga. Tapi berbeda
dengan pendekatn diri kepada Tuhan. Seorang manusia yang ingin mendekatkan diri
kepada Tuhan atau ingin dicintai Tuhan, ia tidak dituntut untuk mengeluarkan
modal yang lebih. Bahkan tidak sama sekali. Ia cukup bermodalkan kepolosan,
keikhlasan, dan keridlaan terhadap segala yang telah diperkenankan Tuhan
kepadanya. Cukup itu, tidak perlu membawa apa-apa lagi.
Hamzah miskin orang uryani
Seperti Ismail menjadi qurbani
Bukannya Ajami lagi Arabi
Senantiasa wasil dengan Yang Baqi (bait 2, hal:165)
Hamzah saat itu benar-benar pasrah, polos, ikhlas, dan
ridla terhadap ketentuan yang telah Tuhan berikan kepadanya. Ia mencitrakan
dirinya sama seperti keridlaan Ismail AS saat Ibrahim AS hendak
mengurbankannya. Dengan jalan itulah ia kemudian merasa dekat dengan Tuhan.
Dekat dengan kekekalan.
Puisi Rubayat ini, merupakan cermin keadaan pribadi
seorang Hamzah Fansuri dalam tahap pengenalan jati dirinya. Ia berusaha
mengekspresikan secara total gemuruh batin yang begitu memekat. Ia memberikan tuntunan-tuntunan
yang luhur bagi kita semua, terutama diri pribadinya yang dalam pencarian
kesejatian. Bahkan dalam bait terakhir puisi tersebut merupakan pernyataan yang
tegas akan status dirinya dalam kehidupan ini. Ia menegaskan bahwa setelah
kesanggupan diri untuk ridla, menjauhkan diri dari kezaliman, serta mengenal
sifat-sifat Tuhan yang ada dalam dirinya, maka ia pun menjadi pemimpin kedua
dalam alam ini setelah Tuhan Yang Esa. Ia memiliki kewenangan untuk mengatur
segala hiruk-pikuk yang berkecamuk dalam alam kebendaan ini. Khalifah fil
ardli.
Hamzah Fansuri terlalu karam
Di dalam laut yang maha dalam
Berhenti angin ombak pun padam
Menjelma sultan kedua alam (bait 8, hal:166)
Suasana religiusitas juga diciptakan oleh Raja Ali Haji
dalam sajaknya Gurindam Dua Belas. Kereligiusitasannya kental. Bahkan
nilai-nilai sosial juga kuat. Apalagi semuanya disandarkan pada pribadi kita.
Ia memberikan tuntunan dalam hubungan vertikal manusia dengan Tuhan dan
hubungan horisontal manusia dengan sesamnya. Ini berorientasi terhadap sikap
dalam menjalani kehidupan sehari-hari yang berorientasi pada tindak pengenalan
jati diri, zakat, kejujuran, bertutur kata, dermawan, perilaku, ilmu,
kesabaran, pengendalian diri, dan lain-lain.
Pesona religius tampak kentara dalam ungkapan berikut;
barang siapa mengenal Allah // suruh dan tegahnya tiada ia menyalah // barang
siapa mengenal diri // maka telah mengenal akan tuhan yang bahari // barang
siapa meninggalkan zakat // tiada hartanya beroleh berkat (bait 1-3, hal 169).
Pernyataan ini memberikat isyarat bahwa tindak atau usaha pengenalan diri
terhadap Tuhan merupakan hal yang tak dapat dipersalahkan. Dan proses
pengenalan itu dicapai lebih awal dari tindak pengenalan diri sendiri.
Pengenalan itu tidak hanya sebatas bertumpu pada sifat dan karakter pribadi
kita, melainkan berorientasi pada hakekat kita ada di dunia ini. Tujuan kita
hidup di alam ini juga harus kita kenali. Ini gerbang utama sebelum masuk pada
pengenalan terhadap asma dan sifat Tuhan yang telah tersemat dalam diri kita
dan menyamudra di dalamnya.
Pengenalan tersebut juga dapat mencakup pada karunia
Tuhan yang tengah diberikan kepada kita. Baik berupa kesehatan dan kesempurnaan
jasad serta kepribadian, maupun harta benda kita. Tindakan ini dapat
diaplikasikan dalam bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang. Rasa syukur itu tidak sekedar diucapkan dengan ungkapan
alhamdulillah saja, melainkan dalam perilaku keseharian. Semisal; kita
dikaruniai lisan, cara penyukurannya semestinya dengan bertutur kata yang baik
serta tidak dipergunakan untuk mengumpat orang lain. Lisan dapat lebih terjaga
dan tak menggelincirkan kita dalam fitnah. Ini dapat masuk dalam kriteria
zakatal fil lisani.
apabila terpelihara lidah // niscaya dapat daripadanya
faedah (bait 4, hal 170)
mengumpat dan memuji hendaklah pikir // disitulah banyak
orang yang tergelincir (bait 6, hal 170)
Kalau dari sisi harta, kita harus menafkahkannya dengan
baik dan benar. Memberikan sebagian haknya untuk fakir-miskin. Bersedekah dan
zakat. Sikap ini berkonotasi pada tindak untuk menghilangkan sifat bakhil dalam
diri kita. Sebab dengan sifat bakhil, rasa toleransi dan solidaritas dengan
sesama akan sirnah. Dan mampu mengarahkan kita pada sikap kikir. Melupakan diri
dari hakekat harta yang telah dimiliki. Bakhil laksana perompak yang mesti
dilawan dengan pedang kemurahan hati. Hal itu dilakukan agar semua karunia
Tuhan yang tengah diperuntukkan bagi kita berolehkan berkah yang melimpah-ruah.
Menjadikan hidup kita lebih bermakna.
barang siapa meninggalkan zakat // tiada hartanya beroleh
berkat (bait 3, hal 169)
bakhil jangan diberi singgah // itulah perompak yang
sangat gagah (bait 8, hal 170)
Coba tengok kembali pada puisi Firdaus Abdullah yang
berjudul Dilema. Penyair asal Malaysia ini menyuarakan tentang kerukunan antas sesama.
Toleransi dan persatuan. Terutama bangsa dan negara. Ia tidak menghendaki
adanya peperangan. Baginya peperangan itu sebuah kerugian yang sangat besar.
Tak ada sebuah kemenangan dalam peperangan. Kemenangan hanya bersifat
fatamorgana. Sebab dalam peperangan ada yang mesti dipertaruhkan. Sama-sama
mengalami kerugian, baik yang kalah atau yang menang. Yang kalah jadi abu. Yang
menang jadi arang.
Antara harapan // yang tak mungkin // dan kemungkinan
yang diabaikan // setimbun sesal yang pahit // dan serentetan nostalgia yang
manis // berperang // dalam satu pertempuran // di mana kemenangan mutlak
mustahil bertapak // karena // kalau tidak hancur jadi abu // maka
terpangganglah jadi arang (hal 320).
Sungguh fenomena sajak yang benar-benar dilematis. Pernyataan
yang dianggap sebagai tindak memakan buah simalakama. Itulah realitas dalam
berperang. Harapan yang indah dan besar memiliki relatifitas kemungkinan yang
cukup kecil. Dan bahkan kemungkinan tersebut kerap terabaikan. Pada akhirnya
sebuah perang akan menghasilkan penyesalan yang begitu pahit dan keindahan
hanya menjadi kenangan yang terus membayang dalam jiwa-angan.
Lebih lanjut fenomena kehidupan bernegara juga diungkap
oleh Marsli N.O. Ia menggambarkan bagaimana jalannya pemerintahan. Penyair asal
Malaysia ini dengan sajaknya yang berjudul Tanpa Kepala melukiskan kepincangan
yang terjadi dalam realitas sebuah pemerintahan negara.
Tanpa kepala mereka berjalan // Tanpa kepala // Mereka
khasanahkan segala indra // Hidungnya dipinggul // Matanya di dada //
Telinganya di pusar // Mulutnya di perut // dan otaknya di lutut // Tanpa
kepala mereka berjalan // Tanpa kepala mereka berbicara // Tanpa kepala mereka
berfikir // Untuk sebuah wilayah // Bernama negara (hal 354).
Dalam puisi tersebut, begitu jelas terlihat kesungsangan
dalam praktik pemerintahan negara. Ini juga dapat merujuk pada tidak adanya
wewenang oleh seorang pemimpin negara dalam menjalankan roda pemerintahannya.
Keputusan dan peraturan serta undang-undang yang tengah dirumuskan tak diindahkan
dan diabaikan. Dianggap sebagai sampah rongsokan. Sistem pemerintahan tidak
berjalan dengan semestinya. Hal itu tidak sejalur dengan rel yang ada. Dapat
dikatakan anggota parlemen berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan kehendak
pribadinya. Padahal di dalamnya masih ada pemimpin yang berkompeten memberikan
kebijakan-kebijakan tertentu. Sistem pemerintahan jadi serba terbalik.
***
http://sastra-indonesia.com/2009/02/kumpulan-puisi-indonesia-portogal-dan-malaysia/
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Rifqi Hidayat
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Hopid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Acep Zamzam Noor
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agusri Junaidi
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Andhika Mappasomba
Andi Achdian
Andrenaline Katarsis
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Aprinus Salam
Arafat Nur
Ardy Kresna Crenata
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Wibowo
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Aryadi Mellas
Aryo Bhawono
Asap Studio
Asarpin
Asep Rahmat Hidayat
Asep Sambodja
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
B Kunto Wibisono
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Kempling
Bambang Soebendo
Banjir Bandang
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Boy Mihaballo
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Gibran Ramadhan
D. Zawawi Imron
D.N. Aidit
Daisy Priyanti
Dandy Bayu Bramasta
Daniel Dhakidae
Dareen Tatour
Dea Anugrah
Dedy Sufriadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Desti Fatin Fauziyyah
Dewi Sartika
Dhanu Priyo Prabowo
Dharmadi
Diah Budiana
Dian Hartati
Didin Tulus
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Pranoto
Echa Panrita Lopi
Eddi Koben
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Faizin
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Erlina P. Lestari
Erwin Dariyanto
Esai
Esti Ambirati
Evi Idawati
Evi Sefiani
F. Daus AR
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fandy Hutari
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Faza Bina Al-Alim
Felix K. Nesi
Ferdian Ananda Majni
Fian Firatmaja
Gampang Prawoto
Gema Erika Nugroho
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gombloh
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Gus Noy
H.B. Jassin
Hairus Salim
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hari Murti
Haris Firdaus
Harry Aveling
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HE. Benyamine
Hendri Yetus Siswono
Herman Syahara
Hermien Y. Kleden
Holy Adib
Huda S Noor
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Humam S Chudori
Husni Hamisi
I G.G. Maha Adi
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
Idealisa Masyrafina
Idrus
Ignas Kleden
Ikarisma Kusmalina
Ike Ayuwandari
Ilham
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Irfan Sholeh Fauzi
Isbedy Stiawan Z.S.
J.J. Kusni
Jadid Al Farisy
Jajang R Kawentar
Jakob Oetama
Jalaluddin Rakhmat
Jansen H. Sinamo
Joni Ariadinata
K.H. Bisri Syansuri
K.H. M. Najib Muhammad
Kahfi Ananda Giatama
Kahfie Nazaruddin
Kho Ping Hoo
Kika Dhersy Putri
Kitab Para Malaikat
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kuswinarto
L.K. Ara
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Leon Agusta
Lesbumi Yogyakarta
Lily Yulianti Farid
Linda Christanty
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
Luwu Utara
M. Aan Mansyur
M. Faizi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M.D. Atmaja
M’Shoe
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majene
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mamasa
Mamuju
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maroeli Simbolon
Martin Aleida
Masamba
Mashuri
Media KAMA_PO
Melani Budianta
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Afifi
Mohammad Yamin
Much. Khoiri
Muhammad Fauzi
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Ridwan
Muhammad Subarkah
Muhammad Walidin
Muhammad Yasir
Muhyiddin
Mukhsin Amar
Munawir Aziz
Musa Ismail
Mustamin Almandary
N Teguh Prasetyo
Nadine Gordimer
Nara Ahirullah
Nelson Alwi
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nugroho Sukmanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Asyhadie
Nurul Komariyah
Ocehan
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pamela Allen
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pelukis
Pendidikan
Penggalangan Dana
Peta Provinsi Sulawesi Barat
Polewali
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Salafiyah Karossa
Pramoedya Ananta Toer
Pramuka
Prasetyo Agung
Pringadi AS
Pringgo HR
Priska
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puput Amiranti N
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Ragdi F. Daye
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ratnani Latifah
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Riadi Ngasiran
Rian Harahap
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Riki Fernando
Rofiqi Hasan
Ronny Agustinus
Rozi Kembara
Rusydi Zamzami
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Saini K.M.
Sajak
Salman Rusydie Anwar
Salman S Yoga
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Sapto Hoedojo
Sasti Gotama
Sastra
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Seni Rupa
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sirajudin
Siswoyo
Sitok Srengenge
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sonia
Sosiawan Leak
Sukitman
Sulawesi Selatan
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suriali Andi Kustomo
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Syamsudin Noer Moenadi
Syihabuddin Qalyubi
Syu’bah Asa
Tari Bamba Manurung
Tari Bulu Londong
Tari Ma’Bundu
Tari Mappande Banua
Tari Patuddu
Tari Salabose Daeng Poralle
Tari Sayyang Pattuqduq
Tari Toerang Batu
Tata Chacha
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater
Teddi Muhtadin
Teguh Setiawan Pinang
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tito Sianipar
Tjahjono Widijanto
Toeti Heraty
Tosiani
Tri Wahono
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
UU Hamidy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wan Anwar
Wawancara
Wayan Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono
Wicaksono Adi
Wilson Nadeak
Wisata
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yopie Setia Umbara
Yosephine Maryati
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yurnaldi
Zamakhsyari Abrar
No comments:
Post a Comment