Sunday, June 13, 2021

Calon Arang dan Gadis Arivia

Membaca Kritik Sastra dengan Pendekatan Feminisme
 
Asep Sambodja *
Sinar Harapan, 1 Maret 2008
 
SUNGGUH menarik membaca artikel Gadis Arivia, ”Calon Arang Calon Feminis: Kisah Pramoedya dan Kisah Toeti Heraty” yang dimuat di Jurnal Perempuan edisi 30 (2003). Dalam artikel itu, Gadis menyebut Pramoedya dan Toeti adalah feminis sejati. Hanya saja, ketika keduanya menulis tentang dongeng Calon Arang, timbul masalah, ”adakah di antara mereka dalam karya Calon Arang yang telah membelot dari feminisme?”
 
Jawaban yang ditemukan Gadis dalam analisisnya adalah: Pram masih terkungkung pada misi manusia modern. Sebuah misi yang memperjuangkan ide-ide besar semangat universalisme dan kebenaran tunggal, perjuangan kemanusiaan yang baik melawan kekuasaan yang jahat.
 
Ide-ide besar ini, kata Gadis, sudah tentu mementingkan peranan rasio, lalu, mau tidak mau Pram akan mengenyampingkan dahulu tetek bengek perempuan, tidak ada waktu baginya memikirkan problematik seorang janda. Itu sebabnya Calon Arang bagi Pram menjadi gender neutral, tidak ada sexual difference, sangat klop dengan pemikir-pemikir zaman modern—yang di mata Gadis para patriarch itu telah meminggirkan suara-suara marjinal seperti perempuan.
 
Sementara Toeti Heraty, menurut Gadis, ketika menulis Calon Arang telah sampai pada tahap feminine writing sebagaimana dikatakan Helena Cixous—seorang novelis dan feminis yang berkiblat pada filsuf postmodernisme Jaques Derrida.
 
Gadis menambahkan, feminine writing yang dilakukan Toeti Heraty terlihat bebas, liar dengan imajinasi, tanpa kekangan, kata-kata yang terus mengalir tidak bisa dibendung, ia melepaskan ikat tali segala norma-norma yang melilit. Calon Arang memperlihatkan kepada kita bahwa perempuan mampu memberontak dengan membiarkan bahasa-bahasanya berlari bebas ke segala arah.
 
Gadis Arivia tidak sependapat dengan pernyataan Keith Foulcher dalam epilog buku Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki (2000) karya Toeti Heraty, yang menyebutkan bahwa karya Toeti mengajak pembaca untuk berpikir. Menurut Gadis, karya Toeti itu mengajak pembaca untuk bergairah, karena dengan gairah atau keinginan, dan bukan rasio, perempuan dapat bebas dari struktur-struktur pemikiran yang sudah dipatok oleh laki-laki. Karena pada akhirnya toh perempuan hanya dapat bebas dari penindasan bila ada gairah/keinginan dan bukan rasio.
 
Dari uraian di atas kita dapat mengetahui bahwa tidak ada sebuah karya sastra yang netral. Baik Calon Arang (1999) karya Pramoedya Ananta Toer—buku ini diterbitkan kembali dengan judul Cerita Calon Arang (2003) oleh penerbit Lentera Dipantara—maupun Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki (2000) karya Toeti Heraty memperlihatkan perspektif yang berbeda. Pram menuliskan dongeng yang lahir di zaman Kerajaan Kadiri itu dengan sudut pandang laki-laki, sementara Toeti menuliskannya dengan sudut pandang perempuan.
 
Perbedaan sudut pandang itu mengakibatkan Pram menempatkan Calon Arang, seorang janda dari desa Jirah (ada yang menulis Girah atau Dirah), sebagai tokoh jahat (antagonis), sementara Toeti menempatkan Calon Arang sebagai korban budaya patriarki.
 
Yang lebih menarik lagi, ketika artikel Gadis itu dibukukan dalam Feminisme: Sebuah Kata Hati (2006), judulnya mengalami perubahan yang signifikan. Kalau dalam Jurnal Perempuan artikel itu masih berjudul ”Calon Arang Calon Feminis: Kisah Pramoedya dan Kisah Toeti Heraty”, maka dalam buku Feminisme itu artikelnya sudah berubah menjadi ”Calon Arang, Sudah Feminis!”. Padahal, isi artikelnya tidak mengalami perubahan yang prinsipil.
 
Sebenarnya artikel itu berasal dari makalah yang disampaikan dalam diskusi karya sastra di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 17 April 2003. Judul artikelnya masih netral: ”Calon Arang: Korban Patriarki atau Teror?”. Jadi, dengan isi tulisan yang sama, artikel itu sudah mengalami tiga kali perubahan judul.
 
Dari sini pun kita dapat melihat bahwa pembaca pun tidak netral dalam menilai karya sastra. Artinya, suatu karya sastra bisa menimbulkan penafsiran yang berbeda, yang dilakukan oleh pembaca yang menggunakan perspektif yang berbeda.
 
Apa yang bisa dipelajari dari artikel Gadis Arivia yang menyebutkan ”Calon Arang, Sudah Feminis!” ini?
Pertama, seperti yang telah disebut di atas, tidak ada karya sastra dan kritik sastra yang netral.
Kedua, baik karya sastra maupun kritik sastra sangat dipengaruhi ideologi pengarang/kritikus.
Ketiga, jangan berharap ada kebenaran tunggal dalam karya sastra maupun kritik sastra, yang ada hanyalah kebenaran relatif.
 
Keempat, unsur subjektivitas dalam menulis karya sastra maupun kritik sastra sangat tinggi, karenanya karya sastra maupun kritik sastra harus dibaca secara kritis pula, tapi jangan anarkis. Kalau ada perbedaan pandangan, jangan lantas pengarangnya dihukum mati atau karyanya dilarang terbit, melainkan perlu dilahirkan wacana alternatif yang dapat mengimbanginya.
 
Kelima, dongeng, cerita lisan yang sekarang banyak ditransformasi ke dalam karya sastra, ternyata masih memiliki daya pikat hingga kini. Bagaimanapun, dongeng yang disampaikan secara lisan maupun tulisan bisa mempengaruhi pola pikir pembacanya. Karena itulah pola pikir pembaca yang dinilai merugikan kaum marjinal dicoba untuk didekonstruksi. Apa yang dilakukan Toeti Heraty itu merupakan upaya mendekonstruksi pola pikir masyarakat yang telah menempatkan Calon Arang, seorang perempuan, seorang janda dari desa Jirah, sebagai penjahat.
 
Keenam, yang merupakan gagasan penting yang hendak saya kemukakan dalam tulisan ini, bahwa dongeng atau karya sastra itu tidak lepas dari konteks zamannya. Dalam Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer, tokoh-tokoh yang sering disebut adalah Raja Sri Baginda Erlangga, Empu Baradah dari Lemah Tulis, Empu Bahula, selain Calon Arang dan anaknya yang cantik jelita, Ratna Manggali.
 
Dalam buku Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2 (1973) karya R. Soekmono, Airlangga dan mpu Bharada itu tokoh yang benar-benar ada. Ketika Airlangga mengalami kesulitan untuk membagi kekuasaan kepada kedua anak laki-lakinya, maka mpu Bharadalah yang mengusulkan pembagian kerajaan Daha menjadi dua: Kadiri dan Jenggala (Soekmono, 1973: 57). Lalu, siapa Calon Arang itu? Atau, Calon Arang merepresentasikan siapa?
 
Sayang, dalam buku sejarah itu kurang detail informasinya. Yang ada hanyalah, ketika Airlangga menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil di sekelilingnya, ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang perempuan. Soekmono menuliskan, Airlangga menaklukkan ”seorang raja perempuan yang dikatakan seperti raksasa dalam tahun 1032”.
 
Dan dongeng Calon Arang pun lahir pada zaman kerajaan Airlangga, sehingga bisa jadi dongeng itu diciptakan untuk mendeskreditkan ”seorang raja perempuan yang dikatakan seperti raksasa” itu.
Dongeng tersebut mengalami perkembangan dan perbantahan hingga sekarang, seperti yang ditulis Toeti Heraty, ”Riwayat Calon Arang dikisahkan kini sebagai perempuan korban patriarki, mungkin memang ada peristiwa nyata di Kerajaan Erlangga abad kesebelasan, lalu mengalami berbagai distorsi, kemudian mengalami Balinisasi. Sementara persepsi masa kini mendudukkannya tanpa pretensi kebenaran sejarah, hanya demi rehabilitasi dan empati dalam rentang waktu dan keabadian: secuil kebenaran dan keadilan” (2000: 73).
 
Sebuah dongeng ternyata menyimpan konflik tersendiri. Dan, benarkah dongeng senantiasa mendeskreditkan perempuan?
***

*) Asep Sambodja, penyair dan dosen sastra di FIB UI. http://sastra-indonesia.com/2011/03/calon-arang-dan-gadis-arivia/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar