Monday, June 21, 2021

Catatan Perjalanan dan Kabar Buruk (III)

Muhammad Yasir
 
Kabar buruk adalah bagian dari lirisisme kehidupan. Ada yang menginginkan kabar buruk sebagai pemercik kebahagiaan, terciptanya revolusi yang itu menjadi kabar buruk bagi kapitalisme. Ada juga yang tidak menginginkan kabar buruk, karena memukul langsung ke relung hati mereka seperti kecelakaan berdarah dan kematian. Perspektif psikoanalisis bekerja secara kritis dan mendalam mendedah bahwasanya seseorang yang menerima kabar buruk akan berlaku seperti seekor anjing yang kehilangan cara mengaum di malam hari. Maka, beberapa pilihan baginya muncul. Misal, mengendus tapak kaki ayam yang jika beruntung akan menemukan di mana mereka tidur, kemudian memangsanya. Di sisi lain, ayam yang tahu akan datang ancaman maut kepadanya, semampunya memberi tanda kepada si peternak dengan berkokok terus menerus. Jika beruntung, si peternak akan bangun dan segera mencabut tombak atau mengambil senapan laras panjangnya untuk mengamankan kepentingan perutnya. Jika tidak, ayam-ayam itu akan bernasib sama seperti seorang penulis pemula yang menyerahkan kehormatan kreatifitasnya ke tangan seorang redaktur koran. Le Cantate, Antonio Vivaldi!
 
Mamakku sedang sakit, tekanan persisnya - dia mengalami itu selama bertahun-tahun karena kehidupan baginya adalah rentetan kesedihan dan dia kehilangan cara untuk merayakannya - dan angin mendesir begitu saja. Perasaanku berkecamuk dalam diri dan aku tidak bisa menuliskan kata-kata selanjutnya untuk kabar buruk ini, karena Mamakku adalah korban rasisme gender, ketidakadilan Hak Asasi Manusia, kegagalan ekonomi-politik, dan impunitas demoCrazy. Akupun mengubah getir doa menjadi pandang mata untuk melihat dua sampai enam orang anak remaja, laki-laki dan perempuan, duduk termangu di tepi jalan Gresik-Surabaya menunggu lampu merah menyala sembari menjajakan bipang, tahu, kacang, dan koran yang mereka junjung atau jinjing; harap-harap cemas pada kekuasaan Tuhan untuk menjabah doa-doa dari nurani yang tercengkeram dalam suatu waktu sebelum sore tiba. Tata bahasanya nyaris sama, datar dan lirih. Begitu juga dengan wajah-wajahnya. Dalam bahasa pesakitan, menunggu, perasaan harap-harap cemas, tata bahasa yang datar dan lirih, dan raut wajah itu bukanlah sesuatu yang alamiah. Ada semacam kekuatan besar yang membayang-bayangi hingga menyebabkan harapan dan kecemasan ber metamorfosis menjadi ketakutan. Garis tegas pertama yang dapat ditarik dalam kondisi demikian adalah massifnya kejahatan kekuasaan negara dan pengambilan kebijakan oleh lembaga pemerintah tanpa menyerap unsur-unsur kebajikan. Ketika kejahatan kekuasaan negara dan pengambilan kebijakan tanpa menyerap unsur-unsur kebajikan dipilih menjadi tata cara berkehidupan, maka setiap waktu, di mana saja, orang-orang tersub-altern atau tertindih di dalamnya akan semakin mengering, layu, dan mati. Kemudian, adakah kepantasan, kesucian, dan kemuliaan baginya?
 
Sebelum catatan ketiga ini terbentuk dalam kepalaku, aku melakukan pertemuan dengan Penyair Penyendiri dari tanah sekarat, Lamongan. Meski sehari, pertemuan kami terasa berjalan panjang. Pembicaraan semakin menukik dan menohok tentang pergumulan “para pelacur” Sastra Indonesia di Jawa Timur. Jika pada pertemuan pertama kami melakukan perkenalan dan pemetaan “para pelacur” ini, pertemuan kedua kami merancang sistem dan pola menulis kritik. “Pelacuran” dalam dunia Sastra Indonesia merupakan kabar buruk yang selalu datang setiap hari, di mana saja, dan (selalu) hanya beberapa di antara kabar buruk itu dirombak habis para sastrawan komitmen. Maksudku, sastrawan yang benar-benar mencintai Sastra Indonesia dan menahbiskan hidupnya untuk cintanya itu. Selain itu, dalam perjalanannya, aku merasakan bahwa aku dan Penyair Penyendiri ini sama-sama hidup dalam satu lingkaran, pemiskinan. Namun demikian, pemiskinan tidak serta-merta menciptakan sekat. Justru pemiskinanlah yang melahirkan kesadaran kolektif bahwasanya seorang manusia harus meletakan kemanusian sebagai yang utama dan bahwasanya manusia merupakan cermin tanpa bayangan jika tidak ada manusia lainya. Ini pula yang menciptakan semangat derma dalam tindakan Penyair Penyendiri kepadaku dan semangat derma itu, setidaknya, membawaku ke dalam penghayatan hidup dan pemahaman atas kamus kehidupan.
 
Kamus kehidupan modern telah mendikte psikologi sekian (in)-telek!-(tual) untuk hidup sebagai, meminjam bahasa Edward Said, “yang berbeda” dari tatanan kehidupan atau pola berkehidupan di lingkungannya. Tragisnya, ketika sekian orang ini menjadi “yang berbeda” itu, justru menjadi (in)-telek!-(tual) yang percaya pada sistem kejahatan kekuasaan negara dan kaki-tangan lembaga pemerintah dengan harapan utopis, yaitu merubah sistem negara dan pemerintah dari dalam. Aku ingin mengatakan bahwa di antaranya adalah Megawati, Amien Rais, Fahri Hamzah, Fadli Zon, Adian Napitupulu, Budiman Sujatmiko, dan sejenisnya adalah sampah peradaban masa lalu yang berterbangan di peradaban masa kini dan sudah semestinya dibakar hangus. Melihat sampah-sampah ini bicara di televisi tentang “bagaimana semestinya berkehidupan dan bernegara”, membuat aku muak dan jijik. Mereka terlihat seperti ustad-ustad pseudomuslim yang berdakwah sembari secara tersirat mempolitisasi agama untuk mobil dan rumah terbarunya, sehingga menyebabkan dua sampai enam orang anak, lelaki dan perempuan, tertindas sedemikian rupa atau terjebak dalam mimpi Lelaki Tua dalam “The Old Man and The Sea”-nya Ernest Hemingway yang bermimpi mampu membawa seekor ikan paus ke daratan, tetapi melupakan ikan hiu yang kelaparan juga hidup di laut!
 
Faiz Ahmed Faiz, seorang Penyair Komunis dari Salkot, Pakistan menulis “Kita akan melihat/Tentu kita juga akan melihat hari itu yang telah dijanjikan kepada kita/Ketika gunung-gunung tinggi/Kezaliman dan penindasan ini berubah menjadi bulu dan menguap…/Dan kita tertindas/Di bawah kaki kita akan membuat Bumi ini bergetar, berguncang, dan memukul/Dan kepala para penguasa akan disambar/Dengan kilat yang berderak/dan guntur mengaum.” Bait pertama, kedua, dan ketiga puisi Faiz yang bertajuk “We Shall See” yang kuterjemahkan dengan kepayahanku belajar dan memahami bahasa Inggris membuatku katarsis dan secara progresif membelalak mata akal sehat dan mata nuraniku bahwasanya “Bumi, kilat, dan guntur” tidak akan tinggal diam terhadap penindasan yang terjadi tiada henti. Akan tetapi, secara tekstual Faiz menginginkan lahirnya kesadaran kolektif bahwa penindasan, apapun bentuknya, adalah “kezaliman” dan akan datang suatu “hari yang telah dijanjikan kepada kita” setelah kesadaran kolektif melahirkan pembangkangan massal.
 
Namun setiap pembangkangan memiliki konsekuensi logis dan sosial. Sisihkan dulu kata massal. Katakanlah, pembangkangan individual. Misal, ketika kau melakukan kritik terhadap nama baik presiden Negara Dunia Ketiga baik dengan teks atau non-teks, konsekuensi pertama yang akan kau terima adalah ancaman pidana dari polisi-siber (fuckin’ cyber-police) atau polisi tanpa martabat yang mendapatkan gaji kedua dari proyek fascism ini. Kemudian, media arus utama akan membuat berita dengan framing Bill Kovach dan Tom Rosentiel demi rating dan adsense. Oleh karena itu, sebelum menjadi massal terlebih dulu kita harus melakukan pemaknaan, pemahaman, dan pemetaan apa dan bagaimana kita menjadi pembangkang yang menjadi sementara kemunduran (in)-telek!-(tual) hukum yang tidak memiliki kemampuan membendung UU ITE dan Omnibus Law adalah kabar buruk lainnya. Setelah itu, jika kau seorang penulis, yakinlah dengan kata-kata yang jujur dan apa adanya yang lahir dari interpretasimu terhadap realitas sosial(is) akan memercikkan semangat anti-penindasan dan anti-penjajahan berkobar dalam akal sehat dan nurani pembacamu dan memunculkan semangat baru “Aku akan menulis hingga penguasa muntah darah!” Dengan demikian, pembangkangan individual akan menjadi massal.[]
 
Lekas pulih, Mamakku tercinta.
 
Surabaya, Juni 2021

http://sastra-indonesia.com/2021/06/catatan-perjalanan-dan-kabar-buruk-iii/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar