Monday, June 21, 2021

Nudis Club *

Eko Darmoko
 
Tiap kali masuk kamar nomor 208 aku selalu melihat bra, celana dalam, dan buku-buku sastra Amerika Latin berserakan di atas ranjang nomer 6 yang spreinya selalu terlihat amburadul.
 
Tak habis pikir, mengapa gadis Perancis bisa begitu jorok dan acak-acakan? Apakah ini karena Laura terlalu lama melancongi Pulau Jawa?
 
“Hei, mengapa kamu serius mengamati pakaian dalamku?” Laura menyergapku, nyelonong masuk melewati pintu yang terbuka. Bahasa Inggrisnya terdengar sengau.
 
“Tengah malam begini kamu nekat mandi. Kata moyangku di Jawa, tidak elok mandi tengah malam,” jawabku.
 
“Ah, terlalu banyak aturan yang dibuat Orang Jawa,” balasnya sambil menanggalkan handuk yang melilit tubuhnya. “Kamu sendiri, jam segini baru pulang ke hostel. Habis dari mana? Dari Merlion Park lagi?”
 
“Iya. Aku bingung harus mencari Aisya ke mana lagi.”
 
“Secantik apa sih Aisya? Hingga kamu rela jauh-jauh dari Surabaya ke Singapura hanya untuk mencari perempuan yang dulunya pernah kamu sakiti,” Laura lagi-lagi menyerangku dengan pertanyaan itu.
 
“Entahlah, Laura. Susah melupakannya. Aku tidak menyakitinya!” timpalku.
 
“Apakah dia secantik aku?” ucapnya sambil memamerkan tubuh telanjangnya. Indah!
 
“Tak pantas membanding-bandingkan perempuan.”
 
“Ah, kamu lelaki Jawa. Selalu bertele-tele. Kebanyakan basa-basi.”
 
“Oh ya, sejak kapan kamu jadi anggota Nudis Club?”
 
“Sejak tujuh tahun lalu. Ketika usiaku belum genap 15 tahun.”
 
“Tidak malu melakukan ini? Maksudku telanjang di hadapanku dan di hadapan penghuni kamar 208 lainnya.”
 
“Tidak! Di kamar ini hanya ada delapan orang. Sedangkan kami sering telanjang di taman yang berisi ratusan orang. Biasa saja kok,” katanya sambil membereskan serakan buku dan pakaian dalam di ranjangnya.
 
“Taman mana?”
 
“Eropa.”
 
“Di mana?”
 
“Banyak tempat di Eropa yang menghargai Nudis Club.”
 
“Oh …” aku terbengong oleh suara klakson truk di jalanan yang menembus masuk ke kamar 208 di lantai 3 ini. “Sebaiknya kamu berpakaian. Aku risih dan malu.”
 
“Aku yang telanjang, mengapa kamu yang malu?”
 
Jawaban itu selalu kudengar dari mulut Laura ketika aku menyuruhnya berpakaian, sejak enam hari yang lalu aku menghuni kamar 208. Memang baru seumur jagung aku mengenal Laura, tapi bagiku serasa sudah mengenalnya bertahun-tahun.
 
“Selama ini aku yang selalu menceritakan kisahku. Gantian dong, kamu yang bercerita tentang kisahmu,” desis Laura merusak lamunanku. “Lekas ceritakan!”
 
“Ah, tidak ada yang menarik tentang kisahku, Laura.”
 
“Tentang Aisya saja kalau begitu.”
 
“Kan sudah aku ceritakan ketika kita ngobrol di kedai India depan hostel.”
 
“Tapi ceritamu bertele-tele. Tidak ada poin utamanya. Ah kau, lelaki Jawa memang selalu begitu …”
 
“Poinnya, aku ingin mencari Aisya. Aku ingin mengajaknya rujuk. Aku menyesal telah menceraikannya.”
 
“Itu bukan poin utama. Itu hanya sinopsis.”
 
“Kamu kebanyakan baca novel, Laura.” Balasku sambil melirik novel One Hundred Years of Solitude karya Gabriel Garcia Marquez yang ada di pangkuannya. “Mengapa kamu menyukai novel-novel Amerika Latin? Maksudku Marquez Orang Kolombia itu.” Tanyaku nyelimur.
“Kamu jangan membelokkan arah pembicaraan.” Laura memasukkan semua buku-bukunya ke dalam loker, kecuali yang dia pangku. “Jangan sok tahu tentang sastra. Tahu apa kamu tentang Marquez. Sudah, ceritakan tentang kisahmu saja.”
 
“Kamu kan sudah tahu. Aku ini pencerita yang buruk. Aku mudah risih, apalagi sambil melihatmu dalam kondisi seperti ini; telanjang. Ah, jangan paksa aku, Laura!”
 
“Justru malam ini aku ingin telanjang sampai pagi. Mumpung penghuni hostel lainnya sudah check out. Hanya kita berdua. Kita habiskan malam ini berdua. Ayo lekas, berceritalah!”
 
“Hah, kata siapa mereka sudah check out?”
 
“Tadi siang mereka pamitan. Lega rasanya melihat gerombolan pelancong Italia itu pergi dari hostel ini. Mereka jorok.”
 
“Kamu juga jorok.”
 
“Mananya?”
 
“Itu. Tadi. Segala macam pakaian dalam berserakan di ranjang. Spreinya juga acak-acakan.”
 
“Hah, kamu selalu memperhatikannya. Diam-diam kamu menyukai pakaian dalamku. Suka yang mana? Kuning atau merah muda?” Tawanya meledak.
 
“Mataku tidak bisa lepas dari pakaian dalammu, Laura. Karena, coba kau perhatikan, pakaian dalammu mencemari kamar ini.” Kataku sambil menunjuk beberapa lembar bra yang memenuhi sejumlah sudut kamar.
 
“Okay, aku akan lebih rapi lagi.”
 
“Kalau boleh tahu, seberapa banyak jumlah anggota Nudis Club di kotamu, Paris?”
 
“Banyak. Tak terhitung jumlahnya. Kami tidak hanya berasal dari Paris, tapi juga kota lain di Eropa.”
 
“Oh, sebegitu parah!”
 
“Ah, kamu rupanya tak suka dengan kaum kami?”
 
“Bukan tak suka. Tapi heran.”
 
“Berarti kamu suka melihat tubuh telanjangku?” Tawa Laura kembali meledak.
 
Tak ada kalimat yang bisa keluar dari mulutku. Semburat wajah Aisya tiba-tiba menyelimuti penglihatanku. Harum kerudungnya menusuk hidungku. Dan, keringatnya seakan sedang menempel di tubuhku seperti ketika persetubuhan terjadi di antara kita.
 
“Hei, kamu melamun. Pasti teringat Aisya lagi.”
 
“Susah melupakannya, Laura. Aku menyesal menceraikannya.”
 
“Selalu kalimat itu yang kudengar ketika menyinggung nama Aisya.”
 
“Ya begitulah.”
 
Tiba-tiba Laura meraih handuk di cantolan. Ia membungkus tubuh indahnya dengan handuk, kemudian meraih gagang pintu.
 
“Mau ke mana?”
 
“Ke kamar mandi. Buang air.”
 
Sedetik tanpa Laura di kamar 208, suasana mendadak hening dan suram. Yang terdengar hanya celoteh orang di jalanan bercampur bunyi klakson. Pendingin ruangan kumatikan. Jendela kubuka, kumoncongkan kepalaku keluar jendela. Kulihat wajah India melambaikan tangan ke arahku.
 
“Tumben tak makan malam di sini, kawan?” teriak pegawai kedai India. Bahasa Melayunya terdengar khas dibumbuhi dengan gerakan kepala enerjik.
 
Aku membalasnya dengan gelengan kepala, tapi tidak seenerjik gerakan kepalanya.
 
“Hari ini minuman gratis. Cuma bayar makan saja. Cukup bayar 2 Dollar saja.”
 
“Besok saja, kawan! Terima kasih. Malam ini aku masih kenyang.” Balasku sambil melengosi jendela.
 
Belum sepenuhnya kepalaku meninggalkan bibir jendela, Laura sudah muncul dari balik pintu.
 
Kemudian, sudah bisa ditebak, ia kembali menanggalkan handuknya, kembali dalam ketelanjangannya.
 
“Kau berteriak ke siapa?”
 
“Ke penjual nasi goreng di bawah sana. Katanya malam ini ada diskon.”
 
“Oh! Kamu sudah makan malam?”
 
“Sudah.”
 
“Di mana? Biasanya kamu selalu makan malam di tempat Orang India itu.”
 
“Tadi sebelum pulang, aku makan di dekat Stasiun MRT, di Rochor.”
 
“Ngomong-ngomong, sampai kapan kau di Singapura?”
 
“Sampai menemukan Aisya.”
 
“Kalau tidak menemukannya?”
 
“Aku pasti menemukannya!”
 
“Yakin?”
 
“Yakin!”
 
“Sejak kapan Aisya bekerja di Singapura? Kau boleh tidak menjawabnya. Aku sekedar bertanya saja. Yang kutahu dari ceritamu beberapa hari yang lalu, katanya dia jadi TKW di sini.”
 
“Sejak bercerai denganku. Dua tahun lalu. Ia memilih jadi TKW di sini ketimbang jualan rawon di Surabaya.”
 
“Seberapa besar cintamu kepada Aisya?”
 
“Tak terhingga, Laura.”
 
“Lalu, mengapa kau menceraikannya?”
 
Harum kerudung Aisya tiba-tiba kembali menusuk hidungku. Halus tangannya seakan mengelus tengkukku seperti ketika kita mengawali sebuah persetubuhan.
 
“Hei, kamu melamun lagi. Baiklah, jika kamu belum berkenan bercerita lebih detail kepadaku.”
 
“Iya, maafkan aku, Laura.”
 
“Sudah lupakan saja.”
 
“Kalau boleh tahu, sampai kapan kau di Singapura?”
 
“Mungkin seminggu lagi. Aku sedang menunggu kawan-kawan Nudis Club dari Munich.”
 
“Oh …”
 
“Di Munich ada sebuah taman yang memang diperuntukkan untuk Nudis Club. Kami bebas bertelanjang di sana sambil ngobrol-ngobrol tanpa ada gangguan dari kelompok sok moralis.”
 
“Oh …”
 
“Sepertinya kamu sudah ngantuk. Tidurlah. Simpan tenagamu untuk besok. Carilah dia sampai ketemu. Cinta memang harus diperjuangkan. Tapi ingat, jangan ada yang dikorbankan.”
 
“Dua kalimat terakhir terdengar sakral. Dari mana kau mendapatkannya?”
 
“Kalau pun kuberi tahu asal kalimat itu, kamu pasti tidak mengerti. Tahu apa kamu tentang sastra. Orang Indonesia kebanyakan, yang kupahami, selalu meremehkan sastra.”
 
“Demikianlah, Laura.”
 
“Sudah. Tidurlah. Ngomong-ngomong besok kamu akan mencarinya di mana?
 
“Di Garden By The Bay. Tadi aku dapat info dari kerabat Aisya di Surabaya, katanya dia bekerja di sana. Tapi entah bekerja sebagai apa.”
 
“Semoga beruntung mendapatkannya lagi. Tidurlah. Aku ingin mengekalkan ketelanjanganku sambil membaca novel ini,” jawabnya sambil mengacungkan One Hundred Years of Solitude.
 
“Satu pertanyaan lagi, kamu orang Perancis, mengapa menyukai buku-buku Amerika Latin?”
 
Sergapku ketika Laura membuka buku itu melalui apitan pembatas buku.
 
“Ah sudahlah. Meskipun aku menjawabnya, kamu tak akan paham. Orang Indonesia mana ada yang paham tentang sastra.” Kata Laura sambil melempar senyum mungil. “Sudahlah. Kamu sebaiknya tidur. Jangan ganggu aku. Aku ingin menuntaskan novel ini.”
 
Kubenamkan tubuhku dalam lautan selimut. Kupejamkan mata. Tapi bukan gelap yang kutangkap, melainkan benderang wajah Aisya yang menguasai seluruh inderaku. Aku susah tidur. Aku susah melupakan Aisya.
 
Tak lama kemudian, Laura naik ke ranjangku, menarik selimutku. Ada pancaran gairah di mata biru dan bibir merahnya.
 
“Kutuntaskan novel itu lain waktu. Sekarang aku ingin menerkammu,” bisik Laura.
 
Aku tak berdaya ketika dia menciumi wajah dan leherku. Tubuh telanjangnya mengambang menimpaku. Malam terasa amat panjang, dan pagi seakan tak pernah datang lagi.
***

* Terangkum dalam Buku Kumpulan Cerpen ‘Urbanhype’ Dewan Kesenian Surabaya (DKS) 2019, dengan predikat sebagai juara favorit. http://sastra-indonesia.com/2021/06/nudis-club/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar