Saturday, May 22, 2021

Kemameleda, Karya Wahyu Wiji Astuti

Mihar Harahap *
analisadaily.com
 
Terus terang, saya mengenal karya Wahyu Wiji Astuti (disingkat WWA) baru ini. Tatkala, komunitas Omong-Omong Sastra membuat Buku Puisi (antologi bersama) dan Buku Cerpen (antologi bersama). Kebetulan saya dipercaya menjadi editor khusus menulis Kata Pengantar kedua buku itu. Dari puluhan pemuisi, pecerpen serta karyanya, terbacalah nama WWA yang mengirimkan puisi dan cerpennya. Dalam Kata Pengantar itu, saya katakan, WWA adalah penyair dan cerpenis masa depan Indonesia.
 
Tak lama berselang-dari saya menyelesaikan Kata Pengantar kedua buku Omong-Omong Sastra itu- bahkan tak ada selang, tiba-tiba WWA menghubungi saya, meminta dan lalu menyerahkan bukunya untuk dibicarakan. Sebuah buku antologi cerpen berjudul “Ketika Malam Merayap Lebih Dalam” (disingkat Kemameleda). Cetak perdana tahun 2012 oleh penerbit Tiga Maha Subang Jawa barat. Sayang, tak ada kata pengantar dari penerbit apalagi editor, kecuali Sekapur Sirih dari pengarang sendiri.
 
Menurut pengarang (dalam sekapur sirih), Kemameleda ini, berfungsi 1). sebagai ‘saksi sejarah’ perjalanan hidup pribadi dan 2). merupakan ‘saksi perjuangan’ dalam meniti karir kepenulisan. Sungguh, saya merasa bangga karena penyair sekaligus cerpenis masa depan Indonesia ini, telah berani bersaksi. Saya sedikit kecewa karena sekapur sirih kurang merahnya atau tak menjelaskan proses kreatif, konsep kepengarangan dan unsur lain yang mendudukkan eksistensinya.
 
Cinta Dalam Bayang Kematian
 
Kemameleda, memuat 23 cerpen yang ditulis dalam 3 tahun (2009-2011). Tahun 2009 ada 8 cerpen, Ketika Malam Merayap Lebih Dalam, Cinta dan Persabatan, Lara, Pesan Tengah Malam, Rindu, Ruwet, Sehelai Saputangan Hitam dan Untaian Mutiara Yang Lepas.
 
Tahun 2010 ada 8 cerpen, Membaca Buku Kemameleda Karya Wahyu Wiji Astuti, Jejak Sahabat yang Berkarat, Ketika Fajar Beringsut Malu, Ketukan Ujung Malam, Malam di Penghujung Senja, Qiyamul-lail, Rahasia Hujan, Rumah Awan dan Sepeda Motor vs Teddy Bear.
 
Tahun 2011 termassuk tahun 2010-2011 ada 7 cerpen, Difined, Helena, Humai rah, Merakit Seperangkat Cinta, Kado Untuk Lelakiku, Karya Kematian dan Pesan Diantara Gerbong Kereta. Melihat fakta ini saya menduga, kalau WWA telah memiliki disiplin menulis/mengarang antara 1-2 bulan sekali menghasilkan 1 cerpen. Hemat saya, cepat atau lambat menghasilkan cerpen tak masalah, yang penting disiplin menulis telah dimiliki dan itu merupakan permulaan yang baik dalam mempertahankan eksistensi.
 
Dari 23 cerpen, terhimpun 11 cerpen yang bertema, subtema atau curahan perasaan tentang cinta; Cinta dan Persahabatan, Lara, Pesan Tengah Malam, Rindu, Sehelai SaputanganHitam, Untaian Mutiara yang Lepas, Defined, Merakit Seperangkat Cinta, Helena, Kado Untuk Lelakiku dan Pesan Di Antara Gerbong Kereta. Sebelas cerpen ditulis tahun 2009 dan 2011, tidak termasuk tahun 2010. Mengapa? Hanya pengaranglah yang tahu. Begitupun terkadang inspirasi, intuisi dan sensitiviti datangnya tak terduga.
 
Bolehkah kita menulis cinta? Masihkah disebut karya sastra? Kenapa tidak! Sebab cinta antar manusia pun adalah wilayah kepengarangan, malah justru paling sensitif. Lagi pula keberhasilan cerpen, bukan tergantung berat-ringan atau apakah tema/subtema itu, melainkan sangat tergantung pada ada dan bagaimana cinta itu diungkapkan. Jadi, meski 50 persen buku ini berisi cinta dengan segala persoalan dan akibatnya, akan tetapi tetap merupakan karya sastra. Apakah karya sastra pop (umum, mudah dan ringan)?
 
Memang, cinta yang ditampilkan melulu keluhan jiwa. Betapa tidak, hanya cerpen Cinta dan Persahabatan, Rindu, Helena dan Kado Untuk Lelakiku, tokohnya masih kelihatan stabil. Setelah itu, cinta (kontra dijodohkan bahkan lebih dominan diputuskan) membuat tokoh tidak stabil lagi. Jiwanya terguncang, lalu jatuh sakit, lalu mati. Pasrah. Atau tokohnya menjadi sakit hati, lalu marah, lalu dendam, lalu terbunuh, lalu mati. Bukan pasrah, melainkan perlawanan pasif, tetapi itupun juga tak berarti.
 
Contoh cerpen cinta yang dianggap berhasil (dan menunjukkan ketakberdayaan bahkan kematian) adalah Lara (berangka tahun 2009). Kekuatan cerpen ini terletak pada plot, narasi pelukisan watak pelaku dan bahasa yang digunakan. Perasaan memilukan terekspresi di hadapan pembaca. Kelemahannya, terletak pada detil cerita (alasan putus cinta, jenis penyakit dan akibat yang ditimbulkan), terlebih-lebih pemasungan karakter pelaku serta pemakaian akhiran ‘nya’ yang berlebihan.
 
Menurut catatan, ada 7 cerpen yang mengekploitir ketakberdayaan dan 6 cerpen yang menjemput kematian. Ada apa dengan ketakberdayaan dan kematian dalam cerpen WWA? Apakah karena konsekuensi logis dari kualitas cinta yang mendasar di luluk hati? Ataukah karena ingin menampilkan sosok manusia, terutama perempuan, yang pesimistis dalam kehidupan bercinta? Atau karena pengarang secara pribadi pernah gagal hingga merasa sakit hati pada setiap laki-laki? Pasti WWA yang bisa menjawab ini.
 
Kemanusiaan Dalam Desing Peluru
 
Selain menguak cinta, 12 cerpen lagi bertema, subtema atau curahan pikiran campur sari, persoalan keluarga dan kehidupan sosial. Meminati kerumahtanggaan, ada 9 cerpen yang disajikan pengarang, antara lain terkait kemiskinan; Ketika Malam Merayap Lebih Dalam, Ketika Fajar Beringsut Malu, Rumah Awan. Lagi-lagi tentang kematian; Jejak Sabahat yang Berkarat, Karya Kematian serta hal kesabaran, anak, hutang dan penipuan Ruwet, Qiyamullail, Rahasia Hujan dan Sepeda Motor vs Teddy Bear.
 
Menyoroti kehidupan sosial, disajikan pengarang 3 cerpen yakni Ketukan Ujung Malam, Malam di Penghujung Senja dan Humairah. Berbicara kemiskinan, ada ‘aku’, seorang ‘mama’ (manusia malam) yang mampu menghidupi diri dan 5 bintang kejora walau bukan anaknya. Bagi-‘ku’ ‘mama’ bukan pekerjaan haram, apalagi bak sampah, melainkan pahlawan karena berjuang menghidupi bintang. Jadilah, bintang kejora sebagai alasan pembenaran untuk menghalalkan yang haram bahkan disebut pahlawan.
 
Tampaknya, tidak hanya cerita Ketika Malam Merayap Lebih Dalam di atas saja pengarang menafikan logika dan etika dalam menyelesaikan persoalan cinta, kemiskinan, juga persoalan lain seperti kematian yang banyak diceritakan. Bahkan dalam cerpen Karya Kematian, tiba-tiba pelakunya mengalami kehilangan dan kematian. Satu hal, meski cerita mengalir terus dan mungkin tak dapat dibendung, namun keseimbangan logika dan etika diperlukan agar kesan cerpen lebih realistik dan moralistik.
 
Sungguhpun begitu, cerpen Ketika Fajar Beringsut Malu, (berangka tahun 2010) dianggap berhasil, walau tak menjadi judul antologi ini. Kekuatannya (untuk unsur plot, pelukisan watak pelaku dan bahasa) menunjukkan peningkatan, bila dibandingkan dengan cerpen Lara. Begitu pula dengan kelemahannya (untuk unsur detil cerita, pemasungan karakter dan pemakaian akhiran ‘nya’) mulai diperhalus/hilang. Perwatakan tiap pelaku (Suci, ibu Ali, Ali) mulai kelihatan berdiri sendiri tanpa harus dipicu pengarang.
 
Dalam kajian saya, aspek penokohan ini mengalami perkembangan. Kalau pada cerpen Lara (dan kebanyakan cerpen lainnya) tokoh cerita masih seputar diri dan jajaran, maka pada cerpen Ketika Fajar Beringsut Malu, tokoh cerita berkembang kepada orang di luar diri dan jajaran. Karena itu, aspek penceritaan pun makin meluas. Tidak lagi soal percintaan dan kematian, tetapi sudah meluas kepada soal kemiskinan dan sentuhan kemanusiaan, walaupun masih dalam lingkungan sosial kehidupan pengarang.
 
Bagaimana soalan logika dan etika? Pada cerpen Ketika Fajar Beringsut Malu terasa mulai tertib. Kegigihan pengarang memperjuangkan sub estetika demi kepentingan cerita, rupanya mendapat perimbangan juga dengan masuknya persoalan logika dan etika. Tuntutan realistik dan moralistik dalam cerpen tetap menjadi perhatian. Jelaslah kehadiran Suci, ibu Ali dan Ali dalam cerpen itu tidak dipaksakan, melainkan utuh sebagai tokoh (antara mengasihi dan dikasihi) dalam lingkungan sosialnya.
 
Pada cerpen Humairah (berangka tahun 2011) unsur kemanusiaan justru mengalahkan ancaman keselamatan diri. Memang, terkadang profesi menantang sikap dan keberanian seseorang. Tokoh ‘aku’dalam cerpen itu telah membuktikannya. Dia berani ada di tengah-tengah konflik senjata (Israel-Palestina), beri perlindungan sekaligus membawa pulang Ummu Hanie ke Indonesia, menikahinya, lahirlah Humairah (kini berusia 4 tahun) dan dia berani kembali ke pergolakan Palestina-Israel dalan tugas yang sama.
 
Harus diakui, kelihatan dalam cerpen Humairah ini, kekuatan itu semakin lama semakin meningkat. Termasuk ide penceritaan pun semakin meluas dan malah amat spesifik.Bayangkan, di tengah-tengah gejolak perang, antara hidup (membunuh) dan mati (dibunuh), tokoh aku sebagai reporter tidak hanya melakukan tugas meliput berita, tapi dapat menyempatkan diri untuk menyelamatkan nyawa orang lain. Pengarang menghendaki, kemanusiaan itu merupakan panggilan hati nurani.
 
Terlepas dari relung kemanusiaan, ada hal yang menjadi perhatian saya. Pertama, ketika Humairah tertidur, ayahnya masuk ke kamar. Setelah bangun, terjadi dialog. Kata Humairah:”Ayah, Ira sudah pandai menulis…” Seakan Ira baru saja bertemu ayahnya dan memberitahukan kepandaiannya. Padahal mereka bertemu sejak 4 tahun lalu. Kedua, pada dialog-dialog berikutnya, kelihatan Ira (Humairah) seperti orang dewasa kecil. Dialog orang dewasa yang cerdas dan komitmen. Padahal Ira baru berusia 4 tahun.
 
Kesimpulan saya, satu, buku Kemameleda, merupakan saksi sejarah/saksi perjuangan WWA sebagai cerpenis masa depan Indonesia. Dua, banyak cerpen tentang cinta manusia, di samping masalah keluarga dan lingkungan sosial. Semuanya menjurus pada kegagalan cinta, kematian, kemiskinan dan kemanusiaan. Tiga, tiap cerpen memiliki kekuatan (plot, narasi pelaku, bahasa) dan kelemahan (detil, pemasungan tokoh, pemakaian kata). Kekuatan estetika harus diimbangi unsur logika, etika, hukum, agama, dan sebagainya. Empat, saya bangga kalau WWA punya antologi. Apalagi kalau isinya bermutu. Saya suka baca cerpen Lara, Ketika Fajar Beringsut Malu dan Humairah.
 
__________15 Apr 2012

*) Mihar Harahap, Kritikus Sastra dan Dekan FKIP-UISU Medan. http://sastra-indonesia.com/2012/04/kemameleda-karya-wahyu-wiji-astuti/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar