Saturday, May 22, 2021

Hari Buruk bagi Puisi

Riadi Ngasiran *
nu.or.id
 
Aku tidak bisa menulis puisi lagi, kata Subagio Sastrowardoyo. Dalam puisi yang termuat kumpulan puisi penuh pesona, Simphoni, penyair terusik hatinya ketika menyaksikan fakta “sejak di Nazi Jerman berjuta Yahudi dilempar ke kamar-kamar gas sehingga lemas mati”. Empati penyair hadir dalam sederet fakta historis lainnya: apartheid di Afrika Selatan, perdamaian yang tak kunjung datang di jalur Gaza, sejak serdadu-serdadu Israel mematahkan lengan anak-anak Palestina.
 
Seperti kita tahu, fakta di tanah air sendiri ketika Subagio menaruh empati kepada nasib buruk para tukang becak di Jakarta yang alat tranportasi yang dikayuhnya itu dicemplungkan ke laut – akibat kebijakan pemerintah yang ternyata membunuh mata pencaharian si abang becak itu. Itulah hari-hari buruk bagi puisi. Hari-hari buruk ketika kenyataan sosial yang lain yang menghadirkan fakta buram: penggusuran, tanam paksa petani, truk-truk yang dicegat aparat penegak hukum, hingga keluarga tetangga yang anaknya menjadi korban tabrak lari hingga mati.
 
Hari-hari buruk bagi puisi menemukan ironi justru ketika sederet penyair dalam Forum Penyair Internasional Indonesia sedang mengadakan pesta puisi di Surabaya – juga Malang Magelang dan Pekalongan — seraya menanyakan “What’s Poetry?”. Ironi justru ketika penyair berpesta, membacakan puisi-puisinya, melantunkan melodi keprihatinan, atau mungkin pernyataan diri yang tersembunyi terasa sepi, sementara Gunter Grass harus menghadapi cekal di Israel. Hari-hari buruk bagi puisi bukanlah ketika seorang peminum meracau di tengah-tengah pesta puisi itu, hingga mengundang ketua penyelenggara pesta melemparkan tamparan di wajah peracau dan akhirnya keributan pun pecah.
 
Hari-hari buruk bagi puisi di depan mata kita ketika Gunter Grass menulis “What Must Be Said” (Was gesagt ware_n muss) yang diterbitkan koran lokal di Jerman, Süddeutsche Zeitung, awal April 2012. Peraih Nobel Sastra pada 1999 ini menyatakan keprihatinan lewat sindirannya yang tegas, atas konsekuensi dari kemungkinan serangan Israel terhadap Iran. “Mengapa saya baru berkata sekarang, kalau kekuatan nuklir Israel juga telah membahayakan perdamaian dunia yang sudah rapuh? Karena, inilah yang harus dikatakan, ketimbang sudah terlambat untuk mengatakannya besok”.
 
Lebih jelas lagi ketika Grass mengatakan dalam puisinya: Israel-lah yang layak dipanggil ‘kekuatan nuklir’. Sebuah pernyataan tabu di Jerman, dan penyair memilih tidak ingin larut dalam ‘keheningan umum’ atas fakta ini. Grass memprediksi kemungkinan yang luar biasa atas aksi militer Israel terhadap Iran, dan kemungkinan secara terbuka, akan memicu apa yang disebut dengan Perang Dunia III.
 
Sontak puisi Grass ini telah membuat Israel, di bawah pemerintahan Benjamin Netanyahu, berkurang keramahannya. Kedutaan Israel di Berlin mengeluarkan pernyataan bahwa Israel tidak siap menanggung tuduhan Gunter Grass itu. Akhirnya, sang penyair di-pesona-non-grata-kan di negeri yang tak jenuh berperang itu. Begitulah Gunter Grass, yang telah dilahirkan untuk tampil kritis. Tak hanya sekarang, tapi lewat novelnya yang diluncurkan 1958, berjudul ‘The Tin Drum’, adalah dakwaan dari pola kekejaman Jerman di era Nazi. Grass adalah intelektual yang berani menyerang Israel dengan puisi barunya yang, mungkin, kehilangan nilai puitiknya.
 
Nobelist sastra ini telah menyampaikan bagaimana serangan Israel selalu mematikan terhadap warga sipil, termasuk di Palestina. Puisi Grass ini cukup beralasan. Karena, Israel adalah satu-satunya pemilik senjata nuklir di Timur Tengah yang tak pernah mengizinkan inspeksi fasilitas nuklir miliknya. Israel juga menolak bergabung dengan Perjanjian Non-Proliferasi (NPT). Inilah larik-larik puisi Gunter Grass, menghadapi hari-hari buruk itu:
 
Mengapa aku mengatakan itu hanya sekarang,
lama dan dengan tinta terakhir:
kekuatan nuklir Israel
ancaman perdamaian dunia?
Karena harus dikatakan
apa yang bila terucap besok akan terlambat;
Karena kepada kita juga — sebagai orang Jerman dan dengan
cukup kesalahan di masa lalu –
kita bisa memprediksi sebuah pengantar
kejahatan, dan tidak ada alasan akan menghapus keterlibatan kita.
 
Bersama Heinrich Boll, Grass merupakan penyair penting Jerman sesudah Perang Dunia Kedua. Penerima Nobel Sastra pada 1999 (pengarang Jerman pertama setelah Jerman besatu), lahir pada 1927. “Satu-satunya cara untuk menulis Auschwitz, prosa atau puisi, adalah dengan menyusun kenangan dan mencegah masa lalu supaya tidak berakhir”. Demikian Pidato Nobel yang disampaikan Grass.
 
Ia mengingatkan akan kamp konsentrasi Nazi yang terbesar, tempat 1,5 dan 4 juta orang terbunuh pada 1941 dan 1945, terletak di Polandia Utara. Dengan pidatonya, merupakan penolakan dari sebuah larangan, seperti kata Theodor Adorno : Adalah barbar untuk menulis syair tentang Auschwitz , dan itulah mengapa telah menjadi mustahil untuk menulis puisi sampai hari ini. Grass menyadari, dengan begitu hakikat menulis telah “berhenti”.
 
Dan Grass menolak Adorno, karena ia yakin betapa tugas sastra adalah meletakkan posisi berkelanjutan. Bila ia benar mengikuti anjuran Adorno, maka tak ada lagi “bersambung” padahal Grass meyakini dengan sepenuh hati dan jiwanya: menulis adalah pekerjaan “bersambung”.
 
Hakikat puisi adalah pemberi kabar tentang nilai-nilai hakiki manusia. Kebenaran yang dipersepsikan penyair, karenanya, bertumpu pada nilai-nilai itu: kebebasan. Sensitivitas terhadap nilai-nilai kemanusiaan menjadi titik pusat orientasi. Penyair bukanlah seorang ahli sejarah, bukan seorang filosof atau moralis serta bukan pula orang awam. Tapi, penyair mempunyai tanggung jawab terhadap kebenaran. Kebenaran yang meletakkan manusia pada posisi terhormat, sebagaimana teks-teks suci yang mengabarkan bahwa Tuhan menitahkan kepada malaikat dan jin agar tunduk kepadanya.
 
Meski penyair tak berhubungan langsung dengan sejarah, filsafat moral dan segi kehidupan yang memberikan wibawa moral di balik keawaman, namun ia memasuki segi-segi lain atau jenis-jenis kebenaran lain yang bersumber dari sejarah dan filsafat moral tersebut.
 
Karena itu, ketika Gunter Grass menulis puisi “The Sea Battle”, ia sesungguhnya hendak mengatakan sesuatu, meski terkesan yang disampaikan secara samar. Barangkali, lebih tepatnya kerap pula dilakukan orang Jawa dengan semonan (pasemon). Inilah jejak panjang penyair yang terusik dan tergoda untuk tak mendiamkan nilai kemanusiaan ternodai.
 
Penyair Jerman yang lahir pada 1927 ini, mendedahkan kekesalannya, atau mungkin kekhawatiran akan kedamaian dunia yang mudah tercabik karena kekuatan teknologi yang justru membahayakan kehidupan. “Sebuah kapal induk Amerika, dan katedral Gothic, secara bersamaan tenggelam sama lain, di tengah lautan Pasifik. Untuk yang terakhir, para pendeta muda yang tak henti memainkan organ. Sekarang pesawat terbang dan malaikat, menggantung di udara, dan punya tempat untuk tanah.” (“The Sea Battle”, Gunter Grass, Encounter, April 1964, hlm 48-49).
 
Terdapat hubungan timbal balik antara peristiwa kesejarahan dengan gagasan yang terdapat dalam puisi. Puisi dapat mengambil gagasan atau pokok pikiran tentang masalah kehidupan suatu negara, suatu bangsa dan masalah politik pada suatu masa tertentu.Pada sisi lain, puisi mampu menggambarkan kembali sebuah peristiwa historis, mampu mengabadikannya untuk masa kemudian.
 
Di sinilah, pemaknaan semata-mata berorientasi pada struktur internal terasa belum mencukupi. Pemahaman latar historis yang berkaitan dengan peristiwa kesejarahan pada suatu zaman, konvensi penciptaan atau ideologis yang dianut serta biografi penyair, menjadi seperangkat kunci pemahaman kandungan makna puisi yang diapresiasi.
 
Maka bila kemudian sebuah puisi berhadapan dengan kekuasaan (atau sebuah rezim di sebuah negeri yang menerjang dan mencabik-cabik wajah kemanusiaan), di situlah hari-hari buruk bagi puisi. Hari-hari ketika meneguhkan sikap sang penyair agar tak gentar untuk berseru, dengan kebenaran puisi yang diyakininya itu.
***
 
*) RIADI NGASIRAN adalah esais dan Ketua PC Lesbumi NU Kota Surabaya. http://sastra-indonesia.com/2012/05/hari-buruk-bagi-puisi/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar