Saut Situmorang
Seorang komentator sastra dari Jakarta, Nirwan Dewanto, pernah membuat
sebuah klaim asersif bahwa novelis Ayu Utami tidak terlahir dari sejarah sastra
Indonesia. Latar-belakang pembuatan klaim ini, mudah kita duga, adalah reaksi
luar biasa yang timbul dalam sastra Indonesia setelah publikasi novel pertama
Ayu, Saman, dari kalangan “kritikus” sastra di Indonesia, yang dalam komentar
mereka rata-rata memakai istilah-istilah superlatif seperti “dahsyat”,
“kata-kata...bercahaya seperti kristal”, “tak ada novel yang sekaya novel ini”,
“superb, splendid”, dan “susah ditandingi penulis-penulis muda sekarang”, dalam
mempromosikan apa yang mereka anggap sebagai “pencapaian” artistik Saman,
seperti yang dicantumkan pada blurb di sampul belakang novel tersebut. Klaim-klaim
asersif semacam ini memang cukup sering kita temui dalam sastra Indonesia
kontemporer karena apa yang dianggap sebagai “kritik” sastra itu rata-rata cuma
sekedar esei-lepas-semi-resensi di koran-koran belaka. Kritik jurnalistik
semacam ini bisa begitu mendominasi, bahkan sampai saat ini, karena posisi
koran memang sudah menggantikan posisi majalah atau jurnal sastra sebagai media
penulisan studi sastra yang kritis. Ruang kolom koran yang terbatas telah
“membebaskan” seorang “kritikus” sastra untuk tidak harus bertanggungjawab
membuktikan/mengelaborasi isi pernyataannya semendetil kalau dia menulis di
sebuah majalah atau jurnal sastra.
Untuk menanggapi klaim Nirwan Dewanto di atas maka isu yang ingin saya
persoalkan dalam esei ini adalah: Mungkinkah seorang sastrawan tidak terlahir
dari sejarah sastra nasionalnya sendiri sementara dia memakai bahasa
nasionalnya sebagai media ekspresi sastranya? Bisakah seorang sastrawan
memasabodohkan sejarah sastra nasionalnya sendiri? Kalau benar Ayu Utami
terlahir bukan dari sejarah sastra Indonesia, lantas dari mana dia berasal? Dan
kenapa dia (masih menganggap perlu) menulis dalam bahasa Indonesia yang
merupakan bahasa ekspresi dari sastra Indonesia itu, bukan dalam bahasa Inggris
misalnya?
Dalam sejarah sastra Indonesia rasanya tidak berlebihan kalau saya
mengklaim Chairil Anwar adalah bapak puisi modern dalam bahasa Indonesia.
Reputasi Chairil ini didapatnya bukan semata-mata karena apa yang dilakukan
oleh sang paus sastra Indonesia HB Jassin terhadapnya, seperti yang umum
diyakini di kalangan sastrawan Indonesia, tapi karena besarnya pengaruh Chairil
atas para penyair yang menjadi penyair setelah dia. Dengan memakai konsep
pengaruh intertekstual kritikus Dekonstruksionis Amerika Harold Bloom maka bisa
dilihat betapa the anxiety of influence yang ditimbulkan puisi Chairil atas
para penyair sesudahnya – yang mencapai klimaks resistensi tekstual pada apa
yang disebut sebagai puisi-mantra Sutardji Calzoum Bachri itu – memiliki arti
yang jauh lebih signifikan, menurut saya, ketimbang pernyataan-pernyataan
mitologis Jassin, dalam membentuk reputasi Chairil sebagai pencipta puisi
modern Indonesia.
Sudah berabad-abad para kritikus dan sejarawan sastra di Barat membahas apa
yang disebut sebagai “pengaruh” seorang sastrawan atau tradisi sastra atas
sastrawan sesudahnya, yang dianggap mengadopsi, dan pada saat yang sama
merubah, aspek-aspek dari tema, bentuk, atau gaya dari penulis sebelumnya.
“Kecemasan (atas) pengaruh” atau “the anxiety of influence” merupakan sebuah
istilah yang dipakai Harold Bloom untuk teori yang diciptakannya yang merevisi
secara radikal teori lama di atas yang menganggap pengaruh hanya terjadi
sebagai sebuah “peminjaman” langsung, atau asimilasi, dari material dan
unsur-unsur penting sastrawan sebelumnya. Bagi Bloom, dalam penciptaan sebuah
puisi, pengaruh tak mungkin dielakkan, tapi pengaruh tersebut menimbulkan dalam
diri penyairnya sebuah kecemasan yang memaksanya untuk membuat distorsi drastis
atas karya pendahulunya itu. Seorang penyair tergerak untuk menulis puisi
setelah imajinasinya terpesona oleh puisi “pendahulu”nya. Tapi reaksinya atas
pendahulunya itu ambivalen, mirip dengan hubungan Oedipal antara anak laki-laki
dengan bapaknya dalam teori psikoanalisis Sigmund Freud: bukan hanya rasa
pesona yang timbul tapi juga (karena seorang penyair yang kuat memiliki
keinginan besar untuk bebas dan orisinal) rasa benci, cemburu, dan takut atas
penguasaan ruang imajinatifnya oleh pendahulunya tersebut. Karena itulah dia
membaca puisi pendahulunya secara “bela diri” sehingga mendistorsinya sampai
tak dikenalinya lagi. Meskipun demikian tetap saja “puisi-induk” (parent-poem)
yang sudah terdistorsi itu terkandung dalam puisi yang kemudian dituliskannya
itu. Apa yang paling mungkin dicapai oleh seorang penyair terbaik sekalipun
adalah menulis puisi yang begitu “kuat” sehingga menimbulkan efek ilusi
“prioritas”, yaitu sebuah ilusi ganda bahwa puisinya sudah mendahului puisi
pendahulunya itu dalam waktu, dan sudah melampauinya dalam kebesarannya.
Menurut Bloom lagi, konsep “kecemasan pengaruh” ini tidak hanya terjadi pada
sastrawan saja tapi juga pada para pembaca sastra. Dalam konteks inilah,
meminjam istilah Sapardi Djoko Damono waktu memuji Saman Ayu Utami, sepanjang
pengetahuan saya belum ada pengarang lain di Indonesia, baik sebelum maupun
sesudah Chairil, yang memiliki efek-sejarah (kreatif maupun biografis), atau
“kecemasan pengaruh”, atas sesama pengarang seperti yang disebabkan oleh
Chairil.
Berdasarkan alasan historis-tekstual tentang Chairil sebagai pencipta puisi
modern Indonesia, paling tidak bagi para penyair sesudahnya, seperti yang saya
tuliskan di atas, lantas apakah kita bisa mengklaim bahwa Chairil tidak
terlahir dari sejarah sastra “berbahasa Indonesia”? Sudah banyak tulisan yang
membuktikan, dan susah untuk dibantah, betapa kuatnya pengaruh puisi Barat pada
puisi Chairil, yang diterimanya lewat pendidikan dan terutama bacaannya. Juga
terjemahan yang dilakukannya atas karya sastra Barat – baik puisi, cerpen,
maupun surat pribadi, dan dari berbagai latar-bahasa – misalnya, merupakan
salah satu bukti akrabnya dia dengan dunia sastra tersebut. Keakrabannya yang
intens dengan sastra Barat ini malah sampai membuat dia pernah dianggap sebagai
plagiator satu-dua puisi penyair Barat, atau puisinya dianggap bukan ditulis
untuk pembaca Indonesia karena idiom-idiomnya yang kebarat-baratan seperti yang
pernah dinyatakan Subagio Sastrowardoyo. Terlepas dari tuduhan-tuduhan yang
saya pikir lebih bersifat cemburu-antar-sesama-seniman ketimbang studi
komparatif sastra itu, intensitas pergaulan Chairil dengan dunia sastra Barat
tersebut apakah lantas membuat dia (pernah) diklaim sebagai terlahir bukan dari
sastra Indonesia yang cuma beberapa tahun saja usianya waktu dia hidup sebagai
“binatang jalang” itu? Sepanjang pengetahuan saya belum ada yang pernah
mengklaim Chairil Anwar tidak terlahir dari sastra Indonesia seperti Nirwan
Dewanto mengklaim Ayu Utami, bahkan tidak oleh Subagio Sastrowardoyo sekalipun.
Bagaimanapun intensnya pengaruh puisi Barat pada puisi Chairil, kita tetap
tidak bisa menutup mata pada kemungkinan bahwa Chairil pun tidak akan terlepas
dari persoalan “kecemasan pengaruh” dari penyair Indonesia sebelum dia, atau
dari puitika tradisional dalam khazanah sastra lokal yang ada. Adanya relasi
intertekstual antara puisi Chairil dan puisi Amir Hamzah, misalnya, pernah
dibuktikan dengan sangat baik oleh peneliti sastra Indonesia Sylvia Tiwon dalam
eseinya yang berjudul “Ordinary Songs: Chairil Anwar and Traditional Poetics”
di majalah Indonesia Circle, No 58, June 92, terbitan School of Oriental and
African Studies, London, Inggris. Dengan membaca Chairil dalam konteks “puitika
tradisional” Pujangga Baru yang direpresentasikan oleh Amir Hamzah, Tiwon
berhasil menunjukkan betapa besar “hutang” Chairil pada Amir Hamzah dalam
beberapa sajaknya yang terkenal, seperti “Jangan Kita di Sini Berhenti”,
“Sia-sia”, “Sajak Putih”, dan terutama pada “Sorga” dan “Di Mesjid”.
Bukti-bukti pergumulan Chairil dengan puitika tradisional dari khazanah sastra
lokal yang begitu banyak terdapat pada puisinya yang dianggap “kebarat-baratan”
itu (pengucapan Pantun pada puisinya, misalnya), seperti yang ditunjukkan
Sylvia Tiwon tersebut, tidak bisa disepelekan begitu saja, demi sebuah resepsi
yang lebih kritis atas puisinya, ketimbang sekedar daur-ulang mitos binatang
jalangnya yang masih terus dilakukan para “kritikus” sastra di Indonesia sampai
sekarang. Dan juga untuk menghindari euforia pembuatan klaim-klaim bombastis
yang tak sanggup dibuktikan seperti pada kasus Ayu Utami di atas, yang pada
dasarnya hanya bertujuan untuk membuat mitologi-mitologi dalam sastra
Indonesia, dan yang pada akhirnya cuma menghambat kemajuan pemikiran kritis
dalam sastra kontemporer kita.
Penyair Inggris asal Amerika TS Eliot pernah menyatakan dalam sebuah
eseinya yang terkenal tentang pentingnya bagi seorang pengarang untuk menyadari
posisinya dalam sejarah sastranya, “Tradition and Individual Talent” (1919),
bahwa “Tak ada penyair, tak ada seniman dalam bidang apapun, yang memiliki
maknanya sendiri. Penting tidaknya dia, apresiasi atasnya, dilihat berdasarkan
relasinya dengan para penyair dan seniman yang sudah mati. Kita tidak bisa
menilainya hanya berdasarkan dirinya sendiri; kita mesti menempatkannya, untuk
kontras dan perbandingan, di antara yang sudah mati. Ini adalah prinsip kritik
estetik, tidak sekedar kritik historis”. Karena, disukainya atau tidak, seorang
penyair/seniman itu akan dinilai berdasarkan ukuran-ukuran standar dari masa
yang sudah lewat, bukan yang akan datang. Dan penyair yang menyadari ini akan
sadar pula betapa besar kesukaran dan tanggung-jawab sejarah yang dipikulnya
sebagai sastrawan sastra nasionalnya. Ini menunjukkan juga bahwa sejarah
sastra, atau tradisi, itu adalah sebuah organisme hidup, dinamis, dan
berkembang.
Konsep Eliot ini sangat mirip dengan konsep “intertekstualitas” dalam teori
pascastrukturalis Prancis. “Intertekstualitas” adalah konsep yang diperkenalkan
oleh pemikir Feminis Prancis Julia Kristeva berdasarkan konsep-konsep
teoritikus Marxis Rusia Mikhail Bakhtin tentang beragamnya suara sebuah teks:
polifoni, dialogisme, dan heteroglosia. Menurut Kristeva, intertekstualitas
adalah pluralitas teks yang tak tereduksi di dalam dan di balik setiap teks, di
mana fokus pembicaraan tidak lagi pada subjek (pengarang) tapi pada
produktivitas tekstual. Bersama rekan-rekannya penulis dan kritikus di majalah
sastra Tel Quel di akhir 1960an dan awal 1970an, Kristeva gencar melakukan
kritik atas konsep “subjek pembuat” (the founding subject) yaitu konsep humanis
tentang pengarang sebagai sumber-asli-dan-asal dari makna-tetap dan
makna-fetish dalam sebuah teks. Bagi Kristeva, setiap teks dari awalnya sudah
berada di bawah jurisdiksi wacana-wacana lainnya yang memaksakan sebuah
“universe of discourse” atasnya. Dan ketimbang memusatkan perhatian pada
struktur teks, kita mestinya mengkaji “strukturasinya”, yaitu bagaimana proses
struktur menjadi ada, dengan antara lain menempatkan teks di dalam totalitas
teks-teks sebelumnya sebagai sebuah “tranformasi”. Menurut Kristeva, ada dua aksis
teks, yaitu aksis horisontal yang menghubungkan pengarang dan pembaca teks, dan
aksis vertikal yang menghubungkan teks dengan teks(-teks) lainnya. Yang
menyatukan kedua aksis ini adalah “kode”, alat interpretasi (interpretative
devices) konvensional, sebuah framework yang memungkinkan tanda untuk memiliki
makna, yang sama-sama dimiliki oleh kedua aksis tersebut. Sebuah teks dan
sebuah pembacaan selalu tergantung pada kode-kode yang ada.
Setiap teks adalah sebuah penulisan kembali atas teks-teks lainnya. Tak ada
teks yang tidak memiliki interteksnya. Sebuah teks tak dapat berfungsi dalam
kesendiriannya, terkucil dari teks-teks lainnya. Semua teks hidup dalam
komunitas teks yang luas, dalam apa yang disebut sebagai sistem interteks.
Semua teks hidup dalam sistem intertekstual antara teks dengan teks, bahkan
antara genre dengan genre maupun antara media dengan media. Relasi
intertekstual antar-teks akan menghasilkan hibriditas teks, teks-indo, teks
blasteran, campuran antara teks-teks. “Subjektivitas” masing-masing teks
di-destabilisasi, sentralitas “kepengarangan” masing-masing teks diambrukkan,
dan “kemurnian” diskursif keduanya dinodai. Intertekstualitas adalah
pengulangan (repetisi), bukan representasi. Dan dalam peristiwa repetisi
intertekstual ini, “orisinalitas” masing-masing teks hilang. Kaligrafi dan
puisi-konkret, misalnya, adalah dua contoh “puisi-rupa” yang tercipta lewat
peristiwa intertekstual antara sastra dan seni rupa.
Untuk mendapatkan ekstasi tekstual, atau tekstasi, dari sebuah teks intertekstual,
seorang pembaca diharapkan memiliki pengetahuan sejarah teks dan glossari kode
teks yang juga bersifat intertekstual. Karena kesatuan (unity) sebuah teks
tidak terletak pada asalnya (pengarangnya, misalnya) tapi pada tujuannya, yaitu
Sang Pembaca, dan seorang pembaca merupakan ruang di mana semua “kutipan”
dituliskan, seperti yang diyakini Roland Barthes dalam eseinya yang terkenal
“The Death of the Author” (1968), maka kesadaran seorang pembaca akan konteks
di mana teks direproduksi, dialusi, diparodi, dan sebagainya, merupakan
kerangka utama dalam menginterpretasi teks. Karena, mengikuti apa yang
dikatakan pemikir Marxis Amerika Fredric Jameson, teks hadir di depan kita
sebagai yang-selalu-sudah-dibaca dan kita memahaminya melalui lapisan-lapisan
interpretasi (yang pernah dilakukan atasnya) sebelumnya, atau, kalau teksnya
benar-benar baru, melalui lapisan-lapisan kebiasaan pembacaan dan
kategori-kategori yang dikembangkan dalam tradisi interpretasi yang kita
warisi. Sama seperti tanda (sign) yang hanya bisa berfungsi memberikan makna
(generating meanings) karena hubungannya dengan tanda-tanda lainnya dalam
sebuah teks, maka relasi intertekstual antar-teks inilah yang memberikan
konteks bagi proses pemaknaan dari peristiwa pembacaan atau pengalaman atas
teks. Termasuk juga penciptaan teks-teks lainnya. Konteks mempengaruhi respons
terhadap teks.
Penyair Sutardji Calzoum Bachri dalam sebuah esei pendek berjudul
“Sajak-sajak Cerah” yang mengantar beberapa sajak yang dipilihnya untuk
suplemen Bentara, Kompas 5 Mei 2000, menyatakan, “. . . di tahun 1990-an para
penyair kembali menulis puisi dengan memperhatikan kata dan tidak melulu
menekankan kehadiran kebebasan imaji sebagai yang utama. Kata-kata diupayakan
menciptakan keutuhan sajak. Dan sajak menjadi transparan”.
Transparansi sajak yang menjadi ciri-utama dari apa yang Sutardji namakan
sebagai “sajak terang” para penyair 1990an terjadi karena para penyair ini
mulai jenuh dengan apa yang dilakukan para penyair sebelumnya: para penyair di
tahun 1970an terlalu sibuk dengan estetika pembebasan kata dari beban makna
leksikal-gramatikal, sementara penyair periode 1980an terobsesi untuk
membebaskan imaji visual pada sajak sebagai estetika puisi mereka. Walaupun
mesti dibuktikan lagi kebenaran pendapatnya ini atas mayoritas puisi, tidak
hanya berdasarkan puisi satu-dua penyair belaka, yang ditulis pada kedua
periode yang disebutkannya itu, demi konteks tema esei ini secara umum saya
bisa setuju dengan apa yang diungkapkan Sutardji di atas, tapi saya perlu menambahkan
bahwa apa yang menjadi ciri-khas penyair 1970an (musikalitas puisi) dan penyair
1980an (visualitas imaji) tidak ditinggalkan pada “sajak terang” para penyair
1990an. Sebaliknya, kedua unsur puitis utama dari puisi itu digabungkan dalam
bingkai kesederhanaan bahasa sehari-hari untuk, meminjam kata-kata Sutardji
kembali, mengungkapkan realitas yang dialami penyair. Dalam kata lain, penyair
1990an tidak lagi berusaha untuk menjadi pemusik atau pelukis waktu menulis
puisi, tapi hanya untuk menjadi penyair. Memilih kesederhanaan bahasa
sehari-hari, kesederhanaan bahasa leksikal-gramatikal sehari-hari yang lugas
tidak rumit, dengan tidak mengorbankan musikalitas dan visualitas bahasa, untuk
mengungkapkan realitas puitis, adalah ciri berpuisi para penyair yang mulai
dikenal luas di dunia puisi kontemporer Indonesia pada periode 1990an.
Sebuah motif dominan lain pada puisi para penyair 1990an adalah politik.
Para penyair 1990an tidak lagi tabu atau malu-malu untuk mempuisikan politik,
mempolitikkan puisi, malah justru pada periode inilah puisi politik mencapai
puncak ekspresi artistiknya yang melampaui apa yang sebelumnya dikenal sebagai
sajak-protes dan pamflet-penyair seperti pada puisi Wiji Thukul. Pada puisi
politik penyair seperti Wiji Thukul kita melihat betapa kemiskinan tidak lagi
diromantiskan sebagai semacam “hidup alternatif” dari “materialisme kota” atau
diabstrakkan menjadi sekedar “teori pembangunan yang tidak membumi” tapi
merupakan pengalaman hidup sehari-hari yang harus dihidupi sang penyairnya
sendiri. Subjektivitas pengalaman adalah realisme baru dalam puisi politik
penyair 1990an.
Inilah cara para penyair 1990an menjadi bagian dari tradisi/sejarah sastra
Indonesia, inilah relasi intertekstual puisi 1990an dengan puisi-puisi
sebelumnya.
***
[Diambil dari buku kumpulan esei Saut Situmorang "Politik Sastra"
(edisi kedua, 2018)] http://sastra-indonesia.com/2012/02/tradisi-dan-bakat-individu/
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Rifqi Hidayat
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Hopid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Acep Zamzam Noor
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agusri Junaidi
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Andhika Mappasomba
Andi Achdian
Andrenaline Katarsis
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Aprinus Salam
Arafat Nur
Ardy Kresna Crenata
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Wibowo
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Aryadi Mellas
Aryo Bhawono
Asap Studio
Asarpin
Asep Rahmat Hidayat
Asep Sambodja
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
B Kunto Wibisono
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Kempling
Bambang Soebendo
Banjir Bandang
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Boy Mihaballo
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Gibran Ramadhan
D. Zawawi Imron
D.N. Aidit
Daisy Priyanti
Dandy Bayu Bramasta
Daniel Dhakidae
Dareen Tatour
Dea Anugrah
Dedy Sufriadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Desti Fatin Fauziyyah
Dewi Sartika
Dhanu Priyo Prabowo
Dharmadi
Diah Budiana
Dian Hartati
Didin Tulus
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Pranoto
Echa Panrita Lopi
Eddi Koben
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Faizin
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Erlina P. Lestari
Erwin Dariyanto
Esai
Esti Ambirati
Evi Idawati
Evi Sefiani
F. Daus AR
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fandy Hutari
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Faza Bina Al-Alim
Felix K. Nesi
Ferdian Ananda Majni
Fian Firatmaja
Gampang Prawoto
Gema Erika Nugroho
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gombloh
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Gus Noy
H.B. Jassin
Hairus Salim
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hari Murti
Haris Firdaus
Harry Aveling
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HE. Benyamine
Hendri Yetus Siswono
Herman Syahara
Hermien Y. Kleden
Holy Adib
Huda S Noor
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Humam S Chudori
Husni Hamisi
I G.G. Maha Adi
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
Idealisa Masyrafina
Idrus
Ignas Kleden
Ikarisma Kusmalina
Ike Ayuwandari
Ilham
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Irfan Sholeh Fauzi
Isbedy Stiawan Z.S.
J.J. Kusni
Jadid Al Farisy
Jajang R Kawentar
Jakob Oetama
Jalaluddin Rakhmat
Jansen H. Sinamo
Joni Ariadinata
K.H. Bisri Syansuri
K.H. M. Najib Muhammad
Kahfi Ananda Giatama
Kahfie Nazaruddin
Kho Ping Hoo
Kika Dhersy Putri
Kitab Para Malaikat
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kuswinarto
L.K. Ara
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Leon Agusta
Lesbumi Yogyakarta
Lily Yulianti Farid
Linda Christanty
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
Luwu Utara
M. Aan Mansyur
M. Faizi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M.D. Atmaja
M’Shoe
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majene
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mamasa
Mamuju
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maroeli Simbolon
Martin Aleida
Masamba
Mashuri
Media KAMA_PO
Melani Budianta
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Afifi
Mohammad Yamin
Much. Khoiri
Muhammad Fauzi
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Ridwan
Muhammad Subarkah
Muhammad Walidin
Muhammad Yasir
Muhyiddin
Mukhsin Amar
Munawir Aziz
Musa Ismail
Mustamin Almandary
N Teguh Prasetyo
Nadine Gordimer
Nara Ahirullah
Nelson Alwi
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nugroho Sukmanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Asyhadie
Nurul Komariyah
Ocehan
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pamela Allen
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pelukis
Pendidikan
Penggalangan Dana
Peta Provinsi Sulawesi Barat
Polewali
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Salafiyah Karossa
Pramoedya Ananta Toer
Pramuka
Prasetyo Agung
Pringadi AS
Pringgo HR
Priska
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puput Amiranti N
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Ragdi F. Daye
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ratnani Latifah
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Riadi Ngasiran
Rian Harahap
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Riki Fernando
Rofiqi Hasan
Ronny Agustinus
Rozi Kembara
Rusydi Zamzami
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Saini K.M.
Sajak
Salman Rusydie Anwar
Salman S Yoga
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Sapto Hoedojo
Sasti Gotama
Sastra
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Seni Rupa
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sirajudin
Siswoyo
Sitok Srengenge
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sonia
Sosiawan Leak
Sukitman
Sulawesi Selatan
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suriali Andi Kustomo
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Syamsudin Noer Moenadi
Syihabuddin Qalyubi
Syu’bah Asa
Tari Bamba Manurung
Tari Bulu Londong
Tari Ma’Bundu
Tari Mappande Banua
Tari Patuddu
Tari Salabose Daeng Poralle
Tari Sayyang Pattuqduq
Tari Toerang Batu
Tata Chacha
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater
Teddi Muhtadin
Teguh Setiawan Pinang
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tito Sianipar
Tjahjono Widijanto
Toeti Heraty
Tosiani
Tri Wahono
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
UU Hamidy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wan Anwar
Wawancara
Wayan Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono
Wicaksono Adi
Wilson Nadeak
Wisata
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yopie Setia Umbara
Yosephine Maryati
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yurnaldi
Zamakhsyari Abrar
No comments:
Post a Comment