Goenawan Mohamad
Jawa Pos, 6 Sep 2020
Dulu, sewaktu di SD, kakak dan teman memprediksi saya akan jadi pelukis.
Tapi, sampai saya kemudian memproduksi karya seni rupa, saya tidak berambisi
untuk jadi pelukis –sebagaimana saya, selama menulis puisi bertahun-tahun– juga
tak berambisi jadi penyair.
—
DEWASA ini telah terjadi distorsi bahasa dalam perkara ini. ’’Pelukis’’ dan
’’penyair’’ jadi pokok yang lebih menentukan ketimbang ’’melukis’’ dan
’’menyair’’. Bahkan mengandung semacam penghormatan. Ketika karya seni rupa
saya ikut dipamerkan di Galeri Semarang dalam Bienal Jawa Tengah tahun 2018,
ada yang mempertanyakan kenapa Goenawan Mohamad diajak ikut? Anda lihat,
persoalannya bukan kenapa karya X ikut dipasang atau tak dipasang dalam
biennale ini. Persoalannya adalah ’’status’’: bisa diperkirakan saya belum
dianggap pantas masuk dalam status –atau ’’kelas’’?– pelukis…
Kita agaknya menirukan sistem ’’gilda’’ di Eropa: ada kategorisasi pelukis
dan bukan untuk masuk dalam ’’gilda seni rupa’’. Orang lupa bahwa dalam sejarah
sosial dan tradisi kita, tak ada pembagian kerja yang tegas dan permanen:
seorang petani atau nelayan bisa juga menghasilkan sesuatu yang kini, seperti
rautan Cokot atau patung Asmat, jadi karya seni.
Sebutan ’’pelukis’’ akhirnya bertaut dengan ’’nama’’, ketika karya seni
membutuhkan identitas yang mirip merek dagang. Nama ’’Affandi’’ –bukan
penampilan karyanya– menentukan bagaimana ia dihargai. Pasar cenderung menilai
kanvas ’’Kaabah’’ yang ditandatangani Affandi –yang bukan karya terbaik– lebih
mahal ketimbang karya terbagus Nashar, yang namanya, dalam peristilahan kini,
’’tidak menjual’’.
Pasar –di balai lelang, di Art Market, di galeri– sangat membantu
perkembangan seni rupa. Seni rupa sudah tak punya lagi sistem patronase yang
mapan. Tak ada lagi aristokrat, saudagar, atau Gereja yang menjamin kehidupan
para perupa. Pasar berjasa menggantikan itu.
Tapi juga pasar bisa menyelewengkan apresiasi yang dibangun dari penilaian
kritik yang teruji wacana dan waktu.
Dunia seni rupa yang dibentuk pasar dengan mudah bergerak repetitif antara
corak yang hanya ikut arus besar, konservatif, aman –Mooi Indie, Basuki Abdullah–
dan yang asal mengejutkan dan heboh –pisang dilakban ditempel di tembok. Ketika
yang mengejutkan, yang menimbulkan ’’skandal’’, dan aneh, sudah jadi biasa,
pasar pun mendaur ulang. Apalagi jika para ’’konsumen’’ bukan peminat seni rupa
yang tekun dan serius.
Itu sebabnya diperlukan museum seni rupa atau galeri yang tak komersial.
Lembaga ini bisa jadi pengimbang, atau pengarah, trend yang kreatif yang
mengatasi efek apa yang disebut ’’the shock of the new’’ dan sebaliknya, yang
mandek.
Tentu jika ada persiapan kuratorial yang bermutu.
***
Dewasa ini, dengan pandemi meluas dan ekonomi melemah, pasar seni rupa
–seperti halnya barang dan jasa lain– nyaris mati. Para pemilik galeri dan
perupa cemas: dunia seni rupa kehilangan darahnya, yang tak lain adalah uang
hasil jual beli.
Tapi, mungkin ini justru kesempatan untuk menilai kembali beberapa hal yang
fundamental. Misalnya: kita bisa bertanya lagi, untuk apa melukis, menggambar,
mematung? Akan lebih berperankah sebuah pameran sebagai arena ’’pengakuan’’
profesi, sesuatu yang kini dengan bagus tampak dalam Artjog 2020 –di masa
ketika pasar sepi terpapar pandemi? Mungkinkah justru karena penilaian tidak
ditentukan dengan uang dan tawaran di balai lelang, karya seni rupa akan
kembali (atau maju) sebagai ’’discourse’’, telaah, penelitian, pemikiran?
Jika itu terjadi, ada yang akan kehilangan, terutama mereka yang selama
beberapa dasawarsa ini hanya mengenal dan meladeni komodifikasi seni. Tapi,
bisa juga dunia kreatif –yang berbeda dari dunia ekonomi kreatif– menemukan
elan yang lebih sehat.
Diakui atau tidak, kompetisi yang berlangsung selama tahun-tahun terakhir
berkisar pada persaingan nilai jual di antara para perupa.
Ketegangan –bahkan kecemburuan– tak lagi berdasar ide yang diyakini tentang
kesenirupaan.
Sebab itu, saya kira –atau saya harap– ini sebuah kesempatan menelaah
distorsi yang selama ini dijalani seakan-akan kehidupan kreatif yang
semestinya.
Siapa tahu dalam kesepian pasar ini kritik seni rupa akan ramai lagi, dan
para kritikus yang piawai tak terseret jadi pendukung pameran belaka.
Siapa tahu, perupa menjadi tak lebih penting ketimbang kerja kreatif
melukis, menggambar, mematung.
Siapa tahu, studio-studio para perupa, besar atau kecil, bisa menjadi
pengganti sementara apa yang belum ada: museum –bukan tempat lain buat dagang
karya.
Siapa tahu pasar yang lebih mantap dan sehat akan disiapkan untuk masa
depan: pendidikan apresiasi seni rupa di sekolah. Setahu saya, pendidikan seni
rupa di sekolah kita adalah ’’pandai menggambar’’. Tak ada kunjungan ke pameran
atau studio perupa, tak ada perkenalan dengan sebuah khazanah kebudayaan yang
selalu baru.
Siapa tahu.
***
https://www.jawapos.com/art-space/06/09/2020/perupa/
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Rifqi Hidayat
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Hopid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Acep Zamzam Noor
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agusri Junaidi
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Andhika Mappasomba
Andi Achdian
Andrenaline Katarsis
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Aprinus Salam
Arafat Nur
Ardy Kresna Crenata
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Wibowo
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Aryadi Mellas
Aryo Bhawono
Asap Studio
Asarpin
Asep Rahmat Hidayat
Asep Sambodja
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
B Kunto Wibisono
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Kempling
Bambang Soebendo
Banjir Bandang
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Boy Mihaballo
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Gibran Ramadhan
D. Zawawi Imron
D.N. Aidit
Daisy Priyanti
Dandy Bayu Bramasta
Daniel Dhakidae
Dareen Tatour
Dea Anugrah
Dedy Sufriadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Desti Fatin Fauziyyah
Dewi Sartika
Dhanu Priyo Prabowo
Dharmadi
Diah Budiana
Dian Hartati
Didin Tulus
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Pranoto
Echa Panrita Lopi
Eddi Koben
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Faizin
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Erlina P. Lestari
Erwin Dariyanto
Esai
Esti Ambirati
Evi Idawati
Evi Sefiani
F. Daus AR
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fandy Hutari
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Faza Bina Al-Alim
Felix K. Nesi
Ferdian Ananda Majni
Fian Firatmaja
Gampang Prawoto
Gema Erika Nugroho
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gombloh
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Gus Noy
H.B. Jassin
Hairus Salim
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hari Murti
Haris Firdaus
Harry Aveling
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HE. Benyamine
Hendri Yetus Siswono
Herman Syahara
Hermien Y. Kleden
Holy Adib
Huda S Noor
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Humam S Chudori
Husni Hamisi
I G.G. Maha Adi
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
Idealisa Masyrafina
Idrus
Ignas Kleden
Ikarisma Kusmalina
Ike Ayuwandari
Ilham
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Irfan Sholeh Fauzi
Isbedy Stiawan Z.S.
J.J. Kusni
Jadid Al Farisy
Jajang R Kawentar
Jakob Oetama
Jalaluddin Rakhmat
Jansen H. Sinamo
Joni Ariadinata
K.H. Bisri Syansuri
K.H. M. Najib Muhammad
Kahfi Ananda Giatama
Kahfie Nazaruddin
Kho Ping Hoo
Kika Dhersy Putri
Kitab Para Malaikat
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kuswinarto
L.K. Ara
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Leon Agusta
Lesbumi Yogyakarta
Lily Yulianti Farid
Linda Christanty
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
Luwu Utara
M. Aan Mansyur
M. Faizi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M.D. Atmaja
M’Shoe
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majene
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mamasa
Mamuju
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maroeli Simbolon
Martin Aleida
Masamba
Mashuri
Media KAMA_PO
Melani Budianta
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Afifi
Mohammad Yamin
Much. Khoiri
Muhammad Fauzi
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Ridwan
Muhammad Subarkah
Muhammad Walidin
Muhammad Yasir
Muhyiddin
Mukhsin Amar
Munawir Aziz
Musa Ismail
Mustamin Almandary
N Teguh Prasetyo
Nadine Gordimer
Nara Ahirullah
Nelson Alwi
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nugroho Sukmanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Asyhadie
Nurul Komariyah
Ocehan
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pamela Allen
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pelukis
Pendidikan
Penggalangan Dana
Peta Provinsi Sulawesi Barat
Polewali
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Salafiyah Karossa
Pramoedya Ananta Toer
Pramuka
Prasetyo Agung
Pringadi AS
Pringgo HR
Priska
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puput Amiranti N
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Ragdi F. Daye
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ratnani Latifah
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Riadi Ngasiran
Rian Harahap
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Riki Fernando
Rofiqi Hasan
Ronny Agustinus
Rozi Kembara
Rusydi Zamzami
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Saini K.M.
Sajak
Salman Rusydie Anwar
Salman S Yoga
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Sapto Hoedojo
Sasti Gotama
Sastra
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Seni Rupa
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sirajudin
Siswoyo
Sitok Srengenge
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sonia
Sosiawan Leak
Sukitman
Sulawesi Selatan
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suriali Andi Kustomo
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Syamsudin Noer Moenadi
Syihabuddin Qalyubi
Syu’bah Asa
Tari Bamba Manurung
Tari Bulu Londong
Tari Ma’Bundu
Tari Mappande Banua
Tari Patuddu
Tari Salabose Daeng Poralle
Tari Sayyang Pattuqduq
Tari Toerang Batu
Tata Chacha
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater
Teddi Muhtadin
Teguh Setiawan Pinang
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tito Sianipar
Tjahjono Widijanto
Toeti Heraty
Tosiani
Tri Wahono
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
UU Hamidy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wan Anwar
Wawancara
Wayan Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono
Wicaksono Adi
Wilson Nadeak
Wisata
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yopie Setia Umbara
Yosephine Maryati
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yurnaldi
Zamakhsyari Abrar
No comments:
Post a Comment