Sunday, February 7, 2021

Perupa?

Goenawan Mohamad
Jawa Pos, 6 Sep 2020
 
Dulu, sewaktu di SD, kakak dan teman memprediksi saya akan jadi pelukis. Tapi, sampai saya kemudian memproduksi karya seni rupa, saya tidak berambisi untuk jadi pelukis –sebagaimana saya, selama menulis puisi bertahun-tahun– juga tak berambisi jadi penyair.

 
DEWASA ini telah terjadi distorsi bahasa dalam perkara ini. ’’Pelukis’’ dan ’’penyair’’ jadi pokok yang lebih menentukan ketimbang ’’melukis’’ dan ’’menyair’’. Bahkan mengandung semacam penghormatan. Ketika karya seni rupa saya ikut dipamerkan di Galeri Semarang dalam Bienal Jawa Tengah tahun 2018, ada yang mempertanyakan kenapa Goenawan Mohamad diajak ikut? Anda lihat, persoalannya bukan kenapa karya X ikut dipasang atau tak dipasang dalam biennale ini. Persoalannya adalah ’’status’’: bisa diperkirakan saya belum dianggap pantas masuk dalam status –atau ’’kelas’’?– pelukis…
 
Kita agaknya menirukan sistem ’’gilda’’ di Eropa: ada kategorisasi pelukis dan bukan untuk masuk dalam ’’gilda seni rupa’’. Orang lupa bahwa dalam sejarah sosial dan tradisi kita, tak ada pembagian kerja yang tegas dan permanen: seorang petani atau nelayan bisa juga menghasilkan sesuatu yang kini, seperti rautan Cokot atau patung Asmat, jadi karya seni.
 
Sebutan ’’pelukis’’ akhirnya bertaut dengan ’’nama’’, ketika karya seni membutuhkan identitas yang mirip merek dagang. Nama ’’Affandi’’ –bukan penampilan karyanya– menentukan bagaimana ia dihargai. Pasar cenderung menilai kanvas ’’Kaabah’’ yang ditandatangani Affandi –yang bukan karya terbaik– lebih mahal ketimbang karya terbagus Nashar, yang namanya, dalam peristilahan kini, ’’tidak menjual’’.
 
Pasar –di balai lelang, di Art Market, di galeri– sangat membantu perkembangan seni rupa. Seni rupa sudah tak punya lagi sistem patronase yang mapan. Tak ada lagi aristokrat, saudagar, atau Gereja yang menjamin kehidupan para perupa. Pasar berjasa menggantikan itu.
 
Tapi juga pasar bisa menyelewengkan apresiasi yang dibangun dari penilaian kritik yang teruji wacana dan waktu.
 
Dunia seni rupa yang dibentuk pasar dengan mudah bergerak repetitif antara corak yang hanya ikut arus besar, konservatif, aman –Mooi Indie, Basuki Abdullah– dan yang asal mengejutkan dan heboh –pisang dilakban ditempel di tembok. Ketika yang mengejutkan, yang menimbulkan ’’skandal’’, dan aneh, sudah jadi biasa, pasar pun mendaur ulang. Apalagi jika para ’’konsumen’’ bukan peminat seni rupa yang tekun dan serius.
 
Itu sebabnya diperlukan museum seni rupa atau galeri yang tak komersial. Lembaga ini bisa jadi pengimbang, atau pengarah, trend yang kreatif yang mengatasi efek apa yang disebut ’’the shock of the new’’ dan sebaliknya, yang mandek.
 
Tentu jika ada persiapan kuratorial yang bermutu.
***
 
Dewasa ini, dengan pandemi meluas dan ekonomi melemah, pasar seni rupa –seperti halnya barang dan jasa lain– nyaris mati. Para pemilik galeri dan perupa cemas: dunia seni rupa kehilangan darahnya, yang tak lain adalah uang hasil jual beli.
 
Tapi, mungkin ini justru kesempatan untuk menilai kembali beberapa hal yang fundamental. Misalnya: kita bisa bertanya lagi, untuk apa melukis, menggambar, mematung? Akan lebih berperankah sebuah pameran sebagai arena ’’pengakuan’’ profesi, sesuatu yang kini dengan bagus tampak dalam Artjog 2020 –di masa ketika pasar sepi terpapar pandemi? Mungkinkah justru karena penilaian tidak ditentukan dengan uang dan tawaran di balai lelang, karya seni rupa akan kembali (atau maju) sebagai ’’discourse’’, telaah, penelitian, pemikiran?
 
Jika itu terjadi, ada yang akan kehilangan, terutama mereka yang selama beberapa dasawarsa ini hanya mengenal dan meladeni komodifikasi seni. Tapi, bisa juga dunia kreatif –yang berbeda dari dunia ekonomi kreatif– menemukan elan yang lebih sehat.
 
Diakui atau tidak, kompetisi yang berlangsung selama tahun-tahun terakhir berkisar pada persaingan nilai jual di antara para perupa.
 
Ketegangan –bahkan kecemburuan– tak lagi berdasar ide yang diyakini tentang kesenirupaan.
 
Sebab itu, saya kira –atau saya harap– ini sebuah kesempatan menelaah distorsi yang selama ini dijalani seakan-akan kehidupan kreatif yang semestinya.
 
Siapa tahu dalam kesepian pasar ini kritik seni rupa akan ramai lagi, dan para kritikus yang piawai tak terseret jadi pendukung pameran belaka.
 
Siapa tahu, perupa menjadi tak lebih penting ketimbang kerja kreatif melukis, menggambar, mematung.
 
Siapa tahu, studio-studio para perupa, besar atau kecil, bisa menjadi pengganti sementara apa yang belum ada: museum –bukan tempat lain buat dagang karya.
 
Siapa tahu pasar yang lebih mantap dan sehat akan disiapkan untuk masa depan: pendidikan apresiasi seni rupa di sekolah. Setahu saya, pendidikan seni rupa di sekolah kita adalah ’’pandai menggambar’’. Tak ada kunjungan ke pameran atau studio perupa, tak ada perkenalan dengan sebuah khazanah kebudayaan yang selalu baru.
 
Siapa tahu.
***
 
https://www.jawapos.com/art-space/06/09/2020/perupa/

http://sastra-indonesia.com/2020/09/perupa/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar