Emha Ainun Nadjib *
Kompas, 17 Des 2012
SYUKUR kepada Tuhan yang
memperkenankan saya berjumpa dengan Umbu Landu Paranggi. Satu-satunya orang
yang pernah digelari sebagai Presiden Malioboro oleh media massa, kalangan
intelektual, aktivis kebudayaan, 42 tahun yang lalu. Di zaman ketika orang
masih mengerti bagaimana menghormati keindahan. Di kurun waktu tatkala manusia
masih punya perhatian yang jujur kepada rohani, masih menjunjung kebaikan dan
masih percaya kepada kebenaran.
Kemudian sebagai ”jebolan
Universitas Malioboro”, hampir setengah abad saya lalui ”jalan sesat”, dan kini
saya terjebak di kurungan peradaban di mana manusia mengimani kehebatan,
bertengkar memperebutkan kekuasaan, mentuhankan harta benda, bersimpuh kepada
kemenangan, serta memompa-mompa diri untuk mencapai suatu keadaan yang mereka
sangka keunggulan.
Secara teknis saya
mengenal Umbu sebagai pemegang rubrik puisi dan sastra di Mingguan Pelopor
Yogya yang berkantor di ujung utara Jalan Malioboro, Yogyakarta. Bersama
ratusan teman-teman yang belajar menulis puisi dan karya sastra, kami bergabung
dalam Persada Studi Klub (PSK). Puluhan tahun kemudian saya menyadari bahwa
saya tidak berbakat menjadi penyair, dan ternyata yang saya pelajari dari Umbu
bukanlah penulisan puisi, melainkan ”kehidupan puisi”, demikian menurut idiom
Umbu sendiri.
Antara Tugu hingga
Kraton, terdapat empat jalan. Pertama, Margoutomo, terusannya, sesudah rel KA,
bernama Malioboro. Jalan lanjutannya adalah Margomulyo, kemudian dari Kantor
Pos hingga Kraton adalah Jalan Pangurakan. Sekarang jalan itu bernama Jalan
Mangkubumi dan Jalan Jenderal Ahmad Yani: wacananya, filosofinya, kesadaran
sejarahnya, sudah mengalami perubahan dan penyempitan, dari falsafah karakter
manusia ke catatan romantisme sejarah. Hari ini bahkan Malioboro adalah
pariwisata, kapitalisme dan hedonisme pop.
Wali pengembara
Ketika berdiri,
kepemimpinan kesultanan Yogya meyakini bahwa setiap manusia sebaiknya
memastikan dirinya menempuh jalan utama. Tafsir atas jalan utama sangat banyak.
Bisa pengutamaan akal dan budi, bukan menomorsatukan pencapaian kekuasaan,
kesejahteraan ekonomi, atau eksistensialisme ngelmu katon alias kemasyhuran
yang pop dan industrial. Bisa juga jalan utama adalah ”berbadan sehat, berbudi
tinggi, berpengetahuan luas, berpikiran bebas”, atau apa pun yang intinya
memaksimalkan peran kemanusiaan untuk fungsi rahmat bagi seluruh alam semesta.
Untuk menguji diri dalam
pilihan jalan utama, maka Malioboro berasal dari ”malio-boro”. ”Malio” artinya
jadilah wali, mengelola posisi kekhalifahan, menjadi wakil Tuhan untuk
memperindah dunia, mamayu hayuning bawana. Malioboro artinya jadilah wali yang
mengembara (boro): mengeksplorasi potensi-potensi kemanusiaan, penjelajahan
intelektual, eksperimentasi kreatif, berkelana di langit rohani. Nanti akan
tiba di jalan kemuliaan (margo-mulyo). Dalam idiom Islam, yang diperoleh bukan
hanya ilham (inspirasi) dari Tuhan, tapi juga fadhilah (kelebihan), ma’unah
(keistimewaan), dan karomah (kemuliaan).
Di ujung Jalan
Margomulyo, orang menapaki Pangurakan. Jiwanya sudah ”urakan” (ingat Perkemahan
Kaum Urakan-nya Rendra di awal 1970-an?): sudah berani mentalak kepentingan
dunia dari hatinya, ya dunya ghurri ghoirii, laqat thalaqtuka tsalatsatan:
wahai dunia, rayulah yang selain aku saja, sebab kamu sudah kutalak-tiga.
Bahkan diri sendiri sudah ditalak, karena diri sejati adalah kesediaannya untuk
berbagi, kerelaannya untuk menomorsatukan orang banyak. Parameter manusia
bukanlah siapa dia, melainkan seberapa pengabdiannya kepada sesama.
Kekasih Umbu
Ah, tetapi itu terlalu
muluk. Untuk Presiden Malioboro ini saya kembali saja ke sesuatu yang kecil dan
sepele.
Menjelang tengah malam,
di tahun 1973, Umbu datang ke kamar kos saya dan mengajak pergi. Sebagaimana
biasa saya langsung tancap, berjalan cepat mengejar langkah Umbu yang
panjang-panjang. Hampir tiap malam kami jalan kaki menempuh sekitar 15 sampai
20 km di jalanan Yogya. Sebulan dua bulan sekali kami mengukur jarak Yogya ke
Magelang, ke Klaten, ke Wates, ke Parangtritis, dengan jalan kaki, atau duduk
saja di trotoar sesudah toko-toko tutup hingga pagi para pelajar berangkat
sekolah.
Umbu mengajak saya mlaku,
bukan mlaku-mlaku. ”Jalan”, bukan ”jalan-jalan”. Ada beda sangat besar antara
”ngepit” dengan ”pit-pitan”, antara naik sepeda dengan bareng-bareng bersepeda
gembira.
Malam itu Umbu menerobos
Keraton Yogya bagian tengah dari arah barat, menempuh jarak sekitar 3 km. Umbu
mengajak berhenti di warung kecil seberang THR. Duduk. Pesan teh nasgithel,
berjam-jam tidak bicara sepatah kata pun, ah-uh-ah-uh sendiri-sendiri, hingga
pukul empat fajar hari. Beberapa kali dengan dua jari Umbu mengambil batangan
rokok di kedalaman sakunya tanpa menoleh ke saya–jangankan mengeluarkan
bungkusnya dan menawarkan agar saya juga menikmatinya.
Ketika jam empat tiba,
Umbu bergumam lirih, ”Coba lihat keluar, Em…”. Saya bertanya, ”Lihat apa,
Mas?”, dia menjawab, ”Perhatikan nanti ada bus malam dari Malang masuk Yogya”.
Saya melompat keluar, berdiri, berjaga-jaga di tepi jalan. Sebab saya mengerti,
busnya tidak penting, tapi kota Malang itu sakral baginya. Ia berkait erat
dengan kekasih hatinya.
Umbu sedang sangat jatuh
cinta kepada seorang pelukis mahasiswi ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) asal
Malang, gadis hitam manis, kurus, bergigi gingsul. Umbu mengambil saya sebagai
tenaga outsourcing gratisan untuk mengerjakan program-program cintanya. Job
description saya mengamati rumah tempat ia kos, posisi kamarnya, arah pintunya,
rute kegiatannya, dan yang terpenting meneliti apakah si gadis pernah memakai
rok. Sebab rata-rata pelukis wanita berpakaian lelaki. Kalau sempat melihatnya
pakai rok, harus didata apakah maksi, midi ataukah mini. Ketika pada suatu
malam minggu saya diperintahkan untuk bertamu ke rumah gadis itu sebagai ”duta
cinta”, jauh malam sesudahnya saya diinterogasi: ”Apakah dia nemuin Emha pakai
rok? Bagaimana bentuk kakinya?”
Ketika mendadak bus malam
”AA” meluncur dari arah selatan, saya kaget. Langsung saya teriak dan berlari
memberitahu Umbu. Tapi dia tidak menunjukkan perilaku seperti lelaki yang jatuh
cinta dan rela berjam-jam menunggu kekasihnya tiba. Di dalam warung Umbu tetap
menundukkan wajah, mengisap rokok, tidak bereaksi kepada teriakan saya. Justru
ketika suara bus menderu, wajahnya makin menunduk.
Semula saya pikir si
kekasih akan turun di depan THR karena kencan dengan Umbu. Ternyata kemudian
saya ketahui bahwa si kekasih bukan sedang naik bus dari Malang ke Yogya. Umbu
hanya menikmati nuansa bahwa jalur Malang-Yogya itu paralel dengan jalur cinta
yang sedang dialaminya.
Kehidupan puisi
Beberapa tahun kemudian
Umbu pindah tinggal di Bali. Demikian juga si kekasih rohaninya, diperistri
oleh seorang tokoh di Bali, kelak Tuhan memanggilnya ketika bermain surfing di
pantai, sebagaimana Umbu sepanjang hidupnya surfing di atas gelombang demi
gelombang, tanpa pernah mungkin bertempat tinggal di atas gemuruh lautan.
Siapa pun pasti menyebut
percintaan Umbu itu platonik, pengkhayal, hidup tidak di dunia nyata. Dunia
yang gegap gempita ini memang tidak nyata bagi Umbu. Maka ia tidak pernah
memburu wanita itu untuk disentuh dan diperistrikannya. Sampai hari ini Umbu
mengayomi anak-anak muda belajar menulis puisi, tapi Umbu sendiri menjauhi
eksistensi sebagai penyair. Di tahun 1973 puluhan puisinya akan dimuat oleh
Majalah Horison, elite media sastra di era 1970-an. Umbu diam-diam masuk ke
percetakan di mana majalah itu dicetak, mencuri puisi-puisinya sendiri, dan
menyembunyikannya sampai hari ini. Umbu sangat curiga kepada kemasyhuran dan
popularitas.
Sejak 50 tahun silam
meninggalkan harta kekayaan dan kekuasaannya sebagai Pangeran di Sumba. Di
pinggiran Denpasar ia menempati rumah tepi hutan karena ia menghormati temannya
yang membikinkan rumah itu. Umbu tiap saat berjalan kaki menjauh dari segala
sesuatu yang semua orang di muka bumi mengejarnya. Ia menyebut seluruh
keputusannya itu dengan idiom ”kehidupan puisi”. Saya mengenalinya sebagai
”zuhud”: berpuasa dari kemewahan dan gegap gempita dunia. Ia meninggalkan
harta, kekuasaan, wanita, kemasyhuran, dan menyimpan uang dalam bungkusan
plastik dipendam di tanah.
Di mana-mana orang riuh
rendah mengejar dunia, tetapi di mana-mana pun orang ribut curhat tentang
dunia. Ke mana pun saya pergi, ke delapan penjuru angin, dari bawah sampai
atas, pada segmen dan level sosial yang mana pun, yang terutama saya dengar dan
disampaikan kepada saya adalah keluhan-keluhan tentang dunia: kemiskinan,
kesulitan mencari nafkah, susahnya dapat kerjaan, seretnya usaha.
Terkadang saya balik
tanya, dengan terminologi agama: ”Lha kamu hidup ini mencari dunia atau
akhirat?” Kalau ia menjawab ”mencari dunia”, saya tuding ”salahmu sendiri dunia
kok dijadikan tujuan”. Kalau jawabannya ”mencari akhirat”, saya katakan ”kalau
kamu mencari akhirat kenapa mengeluhkan dunia”.
Sayangnya Tuhan
menyatakan–dan mungkin memang sengaja menskenario demikian–”kebanyakan manusia
tidak mau berpikir”, atau minimal ”banyak di antara manusia yang tidak
menggunakan akal”. Karena kemalasan mengolah logika dan sistem rasio, orang
menyangka dunia dan akhirat itu dua hal yang berpolarisasi, berjarak, dan
bahkan bertentangan. Orang ketakutan menyikapi dunia kritis karena mengira
kalau mencari akhirat maka tak akan mendapatkan dunia. Orang mengira kalau
tidak habis-habisan kejar uang maka ia tidak memperoleh uang.
Mengejar uang adalah
pekerjaan dunia, pekerjaan paling rendah. Bekerja keras adalah pekerjaan
akhirat, di mana dunia adalah salah satu tahap persinggahannya untuk diolah.
Orang yang fokusnya bekerja keras memperoleh lebih banyak uang dibandingkan
orang yang fokusnya adalah mengejar uang. Orang yang mencari dunia, mungkin
mendapatkan dunia, mungkin tidak. Orang yang mengerjakan akhirat, ia pasti
dapat akhirat dan pasti memperoleh dunia.
Begitu kumuh dan joroknya
situasi umat manusia berebut dunia. Dan begitu indah dan bercahayanya
”kehidupan puisi” Umbu. Suatu hari saya mohon izin untuk membuktikan bahwa
keindahan sesungguhnya adalah puncak kebenaran dan kebaikan. Peradaban manusia
sampai hari ini menjalankan salah sangka yang luar biasa terhadap keindahan.
*) Emha Ainun Nadjib,
penyair tinggal di Yogyakarta.
http://sastra-indonesia.com/2020/12/umbu-landu-paranggi-presiden-malioboro/
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Rifqi Hidayat
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Hopid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Acep Zamzam Noor
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agusri Junaidi
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Andhika Mappasomba
Andi Achdian
Andrenaline Katarsis
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Aprinus Salam
Arafat Nur
Ardy Kresna Crenata
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Wibowo
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Aryadi Mellas
Aryo Bhawono
Asap Studio
Asarpin
Asep Rahmat Hidayat
Asep Sambodja
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
B Kunto Wibisono
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Kempling
Bambang Soebendo
Banjir Bandang
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Boy Mihaballo
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Gibran Ramadhan
D. Zawawi Imron
D.N. Aidit
Daisy Priyanti
Dandy Bayu Bramasta
Daniel Dhakidae
Dareen Tatour
Dea Anugrah
Dedy Sufriadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Desti Fatin Fauziyyah
Dewi Sartika
Dhanu Priyo Prabowo
Dharmadi
Diah Budiana
Dian Hartati
Didin Tulus
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Pranoto
Echa Panrita Lopi
Eddi Koben
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Faizin
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Erlina P. Lestari
Erwin Dariyanto
Esai
Esti Ambirati
Evi Idawati
Evi Sefiani
F. Daus AR
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fandy Hutari
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Faza Bina Al-Alim
Felix K. Nesi
Ferdian Ananda Majni
Fian Firatmaja
Gampang Prawoto
Gema Erika Nugroho
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gombloh
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Gus Noy
H.B. Jassin
Hairus Salim
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hari Murti
Haris Firdaus
Harry Aveling
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HE. Benyamine
Hendri Yetus Siswono
Herman Syahara
Hermien Y. Kleden
Holy Adib
Huda S Noor
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Humam S Chudori
Husni Hamisi
I G.G. Maha Adi
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
Idealisa Masyrafina
Idrus
Ignas Kleden
Ikarisma Kusmalina
Ike Ayuwandari
Ilham
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Irfan Sholeh Fauzi
Isbedy Stiawan Z.S.
J.J. Kusni
Jadid Al Farisy
Jajang R Kawentar
Jakob Oetama
Jalaluddin Rakhmat
Jansen H. Sinamo
Joni Ariadinata
K.H. Bisri Syansuri
K.H. M. Najib Muhammad
Kahfi Ananda Giatama
Kahfie Nazaruddin
Kho Ping Hoo
Kika Dhersy Putri
Kitab Para Malaikat
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kuswinarto
L.K. Ara
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Leon Agusta
Lesbumi Yogyakarta
Lily Yulianti Farid
Linda Christanty
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
Luwu Utara
M. Aan Mansyur
M. Faizi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M.D. Atmaja
M’Shoe
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majene
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mamasa
Mamuju
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maroeli Simbolon
Martin Aleida
Masamba
Mashuri
Media KAMA_PO
Melani Budianta
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Afifi
Mohammad Yamin
Much. Khoiri
Muhammad Fauzi
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Ridwan
Muhammad Subarkah
Muhammad Walidin
Muhammad Yasir
Muhyiddin
Mukhsin Amar
Munawir Aziz
Musa Ismail
Mustamin Almandary
N Teguh Prasetyo
Nadine Gordimer
Nara Ahirullah
Nelson Alwi
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nugroho Sukmanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Asyhadie
Nurul Komariyah
Ocehan
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pamela Allen
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pelukis
Pendidikan
Penggalangan Dana
Peta Provinsi Sulawesi Barat
Polewali
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Salafiyah Karossa
Pramoedya Ananta Toer
Pramuka
Prasetyo Agung
Pringadi AS
Pringgo HR
Priska
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puput Amiranti N
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Ragdi F. Daye
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ratnani Latifah
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Riadi Ngasiran
Rian Harahap
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Riki Fernando
Rofiqi Hasan
Ronny Agustinus
Rozi Kembara
Rusydi Zamzami
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Saini K.M.
Sajak
Salman Rusydie Anwar
Salman S Yoga
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Sapto Hoedojo
Sasti Gotama
Sastra
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Seni Rupa
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sirajudin
Siswoyo
Sitok Srengenge
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sonia
Sosiawan Leak
Sukitman
Sulawesi Selatan
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suriali Andi Kustomo
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Syamsudin Noer Moenadi
Syihabuddin Qalyubi
Syu’bah Asa
Tari Bamba Manurung
Tari Bulu Londong
Tari Ma’Bundu
Tari Mappande Banua
Tari Patuddu
Tari Salabose Daeng Poralle
Tari Sayyang Pattuqduq
Tari Toerang Batu
Tata Chacha
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater
Teddi Muhtadin
Teguh Setiawan Pinang
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tito Sianipar
Tjahjono Widijanto
Toeti Heraty
Tosiani
Tri Wahono
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
UU Hamidy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wan Anwar
Wawancara
Wayan Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono
Wicaksono Adi
Wilson Nadeak
Wisata
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yopie Setia Umbara
Yosephine Maryati
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yurnaldi
Zamakhsyari Abrar
No comments:
Post a Comment