Sunday, December 20, 2020

“Spion” dalam Ilustrasi Cerita Anak Alim Bakhtiar

 Pembukaan pameran Sriti Wani di Bentara Budaya Yogyakarta tahun 2013


 
Iman Budhi Santosa
 
Salam budaya,
Dalam rangka membuka pameran ilustrasi cerita anak ‘Sriti Wani, Kisah Anak-anak Langit’ karya Alim Bakhtiar yang sebentar lagi akan kita saksikan bersama, perkenankan saya juga sejenak bercerita. Karena setelah membaca cerita anak yang ditulis dan diilustrasi oleh Alim Bakhtiar yang demikian indah dan unik, saya jadi membayangkan demikian. Bersamaan dibukanya pameran ilustrasi ini, lahir pula tokoh bocah perempuan yang diberi nama sangat puitis oleh orang tuanya, Sriti Wani itu. Anak tadi lahir dari buah perkawinan Ki Manggar dan Nyi Blimbing Singsing, kaum pidak pedarakan yang tinggal di Desa Sinom, lereng gunung Sanggeni, di sebuah negeri antah berantah.
 
Menurut perhitungan Masehi, hari ini adalah Sabtu Pon, 26 Oktober 2013. Tetapi menurut kalender Jawa (Hijriah), pukul 19.30 WIB ini sudah masuk hari Ahad Wage.
 
Menurut primbon Jawa, anak yang lahir pada hari Ahad Wage memiliki neptu 9. Wuku: Kuningan, pengarasan: Lakuning Angin, pancasuda: Satria Wibawa,  dina: dina Urang, lintang 12: Lintang Kus (kukus), pranatamanga: kalima, bintang: Scorpio. Sedangkan gambaran kepribadian anak yang lahir hari Ahad Wage, dia mempunyai sifat yang sangat menonjol dalam mengambil hati/merayu orang lain. Sifat-sifat lain yang juga menonjol: 1) Tekun, rajin, giat, banyak bekerja (tidak suka berdiam diri / menganggur / berpangku tangan), seorang pekerja keras; 2) Penyendiri (suka sendirian), suka sepi / kesunyian, tidak suka berkumpul dengan banyak orang; 3) Berwibawa / punya kepribadian yang berpengaruh, banyak orang yang segan / hormat; 4) Ulet, gigih; 5) Pantang mundur / tidak kenal menyerah / putus asa, keras hati; 6) Baik hati, mulia, kesucian. Sedangkan sifat yang agak kurang baik: kalau marah berbahaya, suka merusak ataupun susah redanya (mudah kalap).
 
Saya sempat tertegun, karena karakter Sriti Wani yang digambarkan Alim seakan ceples benar dengan ramalam primbon di atas; kecuali sifat buruk yang kalau marah berbahaya itu. Padahal, dalam cerita tadi Alim samasekali tidak mengisahkan waktu dan hari Sriti Wani dilahirkan. Bagi saya pribadi, kejadian ini benar-benar mirip sebuah peristiwa kebetulan yang menakjubkan. Sebab, Alim diam-diam mampu menggubah sebuah cerita fiksi yang memiliki korelasi akurat dengan fakta realitas yang tertera dalam ramalan legendaris di Jawa.
 
Contoh keunikan yang lain, dalam cerita tadi dikisahkan bagaimana perjuangan Sriti Wani menempuh hutan belantara dan mengatasi berbagai kesulitan hingga ke langit untuk mewujudkan cita-citanya. Yaitu, membaca pesan muatan yang tersembunyi di balik smbol-simbol yang tertera di sayap seekor kupu-kupu yang bernama ‘Kupu-kupu Aksara’.
 
Salah satu momen yang luar biasa indahnya adalah ketika Alim memaparkan dengan fasih pertemuan Sriti Wani di tengah hutan dengan enthung (kepompong) yang  menjadi sang penunjuk arah. Di masa lalu, dalam tembang dolanan anak-anak di Jawa, kepompong memang suka ditanya: endi elor, endi kidul (mana Utara mana Selatan). Tidak pernah muncul pertanyaan mana Timur mana Barat.
 
Gara-gara membaca segmen inilah saya jadi seperti diingatkan kembali adanya tradisi mengapa dulu anak-anak bertanya mengenai arah yang akan ditempuh kepada kepompong. Dengan sangat cantik Alim menarasikan bagaimana Sriti Wani ketika kebingungan di hutan, kemudian si kepompong memberikan pencerahan filosofi khas Jawa yang sekarang banyak dilupakan. Silahkan simak narasi dan dialog yang ditulis Alim Bakhtiar ini:
 
“Selagi bulan masih cerah, ikutilah jalan ini. Cahayanya akan menuntunmu menemukan apa yang kau cari.” Ia menjatuhkan daun kering yang telah dipilih Sriti Wani ke tanah. Tiba-tiba di sana terlihat sebuah jalan dengan gambar yang aneh. Nampak perpohonan di kiri kanan yang membentuk lorong panjang.
 
“Percayalah pada hatimu Sriti… percayalah, itu yang akan menyelamatkanmu!” Kata kepompong Lor-Kidul melepas genggamannya. Sriti Wani mengangguk, ia segera berjalan mengambil jalan tersebut. Dengan demikian, si kepompong menyatakan ke mana pun arah yang akan ditempuh sesungguhnya sama. Sedangkan berhasil tidaknya apa yang diinginkan bukan ditentukan oleh arah jalan, melainkan oleh ketabahan hati yang bersangkutan.
 
Apa yang disampaikan oleh kepompong itu, mirip sekali dengan pesan yang ditulis Kirdjomuljo (almarhum) dalam puisinya ‘Di Tanganmu’: Kepada siapa akhirnya berjuta hati menatap/kepada mereka yang bersedia membagi hati kepadanya//Kepada siapa akhirnya berjuta suara mengucap/kepada mereka yang bersedia membagi suara kepadanya//Aku tidak tahu kau memilih jalan ke mana/segala jalan melintas di telapak tanganmu//Tetapi dapatkah kau mengingkari adanya yang kekal/dapatkah kau mengingkari adanya jalan ke dalam dirimu?//Aku hanya ingin memperingatkan/Jiwa di tanahairmu: jiwa yang sedia berbagi.
 
Membaca fiksi anak Sriti Wani saya juga seperti teringat kembali akan kisah Sun Go Kong yang disadur dalam bahasa Jawa oleh Sar BS di Majalah Panyebar Semangat (PS) dekade 50-an. Judulnya pun diubah ke dalam bahasa Jawa menjadi: ‘Ngupaya Serat Pangruwating Papa Cintraka.’ Dikisahkan bagaimana pendeta (Sang Prajaka) disertai anak muridnya: Sun Go Kong (wresiswa), si wajah babi (demalung), si kulit hitam (jlitheng), dan kuda jelmaan dewa naga (nagawahana), menempuh perjalanan bertahun-tahun dari Timur ke pegunungan Barat untuk nggadhuh (minta) kitab suci dari Dewi Kwan Im yang berguna untuk memperbaiki moral akhlak dan kehidupan umat manusia. Ternyata, setelah ketemu Dewi Kwan Im, beliau justru mengatakan bahwa kitab tersebut telah dimiliki oleh mereka. Artinya, dengan menempuh (proses) perjalanan itu sama halnya mereka telah melakukan pembelajaran terhadap berbagai nilai dan pengalaman hidup beraneka ragam yang dapat dipakai untuk meruwat (memperbaiki) kehidupan nyata di dunia.
 
Meskipun tidak persis sama, perjalanan Sriti Wani dari kampung halamannya hingga ke langit untuk mewujudkan cita-cita, mempelajari rahasia ilmu pengetahuan yang disimbolkan sebagai teks yang tertera pada saya Kupu-kupu Aksara, telah mengindikasikan: bahwa sepasang sayap kupu-kupu yang bertuliskan aksara (buku) hanyalah simbol belaka. Agaknya, sebagai orang Jawa, Alim menggunakan terminologi ilmu pengetahuan yang dibukukan sebagaimana pandangan Barat, melainkan ngelmu yang merupakan ajaran rahasia untuk pegangan hidup sesuai ungkapan peribahasa Jawa: ngelmu iku kalakone kanthi laku.
 
Puncak dari keunikan cerita anak yang ditulis Alim adalah ketika Sriti Wani berhasil mewujudkan cita-citanya, dia tidak lupa diri. Anak itu tidak ingin menjadi kaum urban meskipun telah ‘mumpuni’ berbekal pengalaman dan ilmu pengetahuan yang dimiliki.  Tetapi, tetap saja ia kembali ke kampung halaman, ke habitat semula, ke kaki gunung Sanggeni. Suatu kasunyatan yang jarang terjadi saat ini, khususnya bagi generasi muda. Banyak mereka yang sedikit saja mengenyam sukses justru menjelma kacang yang lupa kulitnya. Lebih memilih menjadi ‘buntut ular besar, dibanding menjadi kepala ular kecil’.
 
Gambaran selintas ini, bagi saya mengindikasikan cerita anak Sriti Wani dalam konteks sosial telah dijadikan semacam ‘kaca spion’ oleh penulisnya. Dan, celakanya, bagi saya terasa pas. Benar dan tepat. Maka, ketika ilustrasi dirumuskan sebagai: gambar (foto, lukisan) untuk memperjelas, menerangkan isi buku, karangan, atau gambar, desain, atau diagram untuk penghias buku, melalui even pameran ilustrasi cerita anak ini, Alim Bakhtiar sekan berbisik kepada kita. Dan semoga benar. Makna ilustrasi bukan hanya seperti dipaparkan dalam kamus saja. Menjadi semacam hiasan, yang memperjelas, menerangkan, atau mempercantik semata.  Sebab,  ilustrasi ternyata dapat juga dijadikan ‘spion’ agar kita mampu melihat ke belakang lagi (berpaling) sebagaimana introspeksi yang digembar-gemborkan di mana-mana, namun jutaan orang tak pernah legawa melaksanakannya.
***
 
26/10/2013 http://sastra-indonesia.com/2020/12/spion-dalam-ilustrasi-cerita-anak-alim-bakhtiar/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar