Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/2010/02/yukio-mishima-1925-1970/Sebelum bergentayangan memasuki selubung nasib Yukio Mishima, aku kan meringkas terlebih dulu kisah hayatnya dari buku Sang Samurai yang disusun Agata P. Ranjabar, penerbit Pinus, juli 2009.
Yukio Mishima (1925-1970) lahir di Yotsuya, Shinjuku. Ayahnya Azusa Hiraoka, ibunya Shizue. Masa kanak-kanak dibayangi neneknya Natsu, pengasuh sekaligus pemisahan dari keluarga. Natsu adalah anak tidak sah Matsudaira Yoritaka, Daimyo Shishido di propinsi Hitachi yang tumbuh dalam keluarga pangeran Arisugawa Taruhito. Mishima balik ke pangkuan keluarganya berumur 12 tahun, menulis cerita juga senang karyanya Oscar Wilde, Rilke serta para penulis Jepang klasik.
Sekolah di Peers School 6 tahun, menjadi anggota dewan editorial termuda sastra. Diminta menulis prosa pada Literature The Peers’ House, menyerahkan Hanazaki ni Mori, cerita di mana sang narator menjelaskan nenek moyangnya masih hidup dalam dirinya, dipublikasikan 1944, bernama pena “Mishima Yukio” pemberian gurunya. Ayahnya melarang menulis namun tetap bandel melawan, lulus Universitas Tokyo 1947. Menulis cerpen Misaki nite no Monogatari, 1945.
Januari 1946, mengunjungi Kawabata Yasunari sambil membawa manuskrip Chusei dan Tabako. Menulis novel Tozaku, cerita dua aristokrat mengarah bunuh diri, 1948. Tahun 1949 esainya Kindai Bungaku terbit. Karya dramanya Kabuki dan versi modern drama No. 1952 ke Yunani menghasilkan Shiosai, terbit 1954. Karya Kinkakuji 1956, fiksi terbakarnya candi di Kyoto. Utage no Ato, 1960, muncul sesaat setelah politikus Arita Hachiro mencalonkan gubernur Tokyo, Mishima dituntut ke pengadilan atas invasion of privacy. Karyanya termashur Utsukuushii Hoshi, 1962.
Mishima dinominasikan Nobel Sastra tiga kali, walau tahun 1968 Kawabata terlebih dulu nominatornya memenangkan Nobel. Mishima sadar, kesempatan diraih penulis Jepang dalam waktu dekat menipis. Berhubungan tegas dengan Michiko Shoda (yang nantinya diperistri Kaisar Akihito), Mishima menikahi Toko Sugiyama 1958. Tahun 1967 terdaftar GSDF, setahun kemudian membentuk Tatenokai, pasukan pribadi tersendiri. 10 tahun sisa hidupnya melanjutkan tetralogi Hojo no Umi. Mishima mengarang 40 novel, 18 drama, 20 buku cerpen dan libretto.
Mishima mempersiapkan kematianya dengan keakuratan cemerlang minimal setahun. 25 Nop 1970 waktu 11 siang bersama anggota Tatenokai kepercayaannya; Morita, Chibi Koga, Ogawa, Furu Koga menuju Camp Ichigaya, Pusat Komando Timur Pasukan Bela Diri Jepang di Tokyo, membarikade kantor dan mengikat komandannya. Dengan deklamasi yang sudah dipersiapkan pun kibaran spanduk, kaki Mishima melangkah ke luar balkon pada para prajurit yang berkumpul di bawah. Pidatonya diharap memberi inspirasi kudeta demi mengembalikan kaisar atas posisi selayaknya.
Mishima gagal hanya membuat para prajurit terganggu dan malah dicaci maki. Menyelesaikan pidatonya kembali ke kantor komandan demi melakukan seppuku (harakiri). Yang menjadi kaishakunin ialah Masakatsu Morita, (yang diisukan kekasih Mishima) namun tidak melaksanakan tugas secara tepat, lantas meminta Horoyashu Koga menggantikannya. Morita melakukan seppuku, Koga memenggal lehernya.
John Nathan penulis biografi teman Mishima mengatakan, rencana kudeta hanya kedok ritual bunuh diri Mishima yang telah lama diidamkannya.
***
Mishima; takdir baginya pelaksanaan kata-kata, terucap bersuara mencipta ruhaniah menjelmakan makluk atas perwujudan gerak tidak menghamba sejarah, pun bukan antek filsuf banci pemilik nafasan plin-plan. Kata kerja tidak sekadar cerminan diri keindahan alam raya, keayuan warna menebarkan harum pemahaman melebihi firasat penujum yang sanggup mensugesti batang tubuh pelaksanaan.
Kata tidak beku dalam perpustakaan pula mengendap lusuh di otak peneliti, tetapi melahirkan langkah keberanian tergaris mengasah pedang, keris keluar warangka pamornya menujah kilatan mata-mata tiada dihinggapi kesangsian, hanya keyakinan atau gila tidak mengajukan jawab.
Perbuatan me-makhluk-kan kata bukan bahan kutipan yang berhenti dalam diskusi panjang, tapi mengisi ruang-ruang kosong tanpa penghuni kecuali mental-mental baja. Pram pernah berujar; “kalau takut, jangan jadi pengarang” dan Mishima tidak sekadar pelopor, namun penghancur jiwa-jiwa lembek penjagal watak-watak korup yang terbuai kekuasaan dangkal. Hanya sebab darah, setelah air mata serta keringat keluh kesah mempurnakan kata-kata menjelma sejarah nyata.
Pelajaran pertama niatan kuat berkesungguhan mencipta, meringkus wewaktu longgar menghantam kesambillaluan, lamunan dibasmi dengan gerak jemari tangan kudu lincah melafalkan tafsir kehidupan demi masa diandaikan nyata.
Tiada kamus keberhasilan di tubuh berleha, semua suntuk ke satu titik tujuan. Ibnu Khaldun pernah berkata; “fokus ialah pembakaran terbaik.” Mishima menggerakkan seluruh dinayanya demi masa depan gemilang, tiada gambaran di ubun-ubunnya kesekian seperti elang lapar berkelebat menyabet mangsa, waktu kudu direbut sebelum digondol kekuasaan lupa, terus menjejakkan kaki-kaki keyakinan laksana hujan salju menutupi semesta, berkejaran percepatan lingsirnya matahari melelehkan.
Mishima membakar lemak berolah rasa membathin nenek moyangnya, di sini titisan bermakna perbuatan menggarit tangan takdir hingga curam kejelasan, serupa angin berkendaraan api melalap daun kering melahap hawa bersekutu kobarkan hati mengejawantah, dan hujan tidak perlu dinanti oleh sekali lentikan sukma tiba-tiba deras membanjiri kepercayaan. Kesentausaan hasrat tinggi tidak terbantah ide semu tanpa lapisan filosofis sejati, kehakikian pandang melotot menghujam ke jantung pemahaman, maka sekali mereka pecirit keoklah mentalitas karyanya ludes.
Sekali menghamba walau berpura-pura menggerus pendirian meski tidak kentara, kerja keras berlipat ganda setelahnya, belum sanggup menutupi perasaan sungkan. Maka buanglah sifat mengemis berwajah memeras apalagi memelas, hadapkan rautmu sesangar matahari membakar belantara kecantikan, hisap samudera keilmuan bertapa, lantas melangkahlah keluar dari goa pemahaman yang menaungi selama ini.
Ruapi berair derita sepi luka-luka sunyi, cabikan parang tidak peduli, inilah racikan jamu mujarab kudu dimama guna berbiak menjamur kuping. Meski telinga pada buntu, toh keharuman dari pengorbanan, genggam tangan mata palu memukul meja pengadilan waktu menggebrak hingga poranda mencelat di hadapan hadirin semua, sampai para penyaksi tidak sempat bertepuk tangan.
Jangan biarkan diangkat jasadmu terlalu tinggi atas bumi kesadaran, apakah kawan atau musuh, sebab dapat mematahkan dengkulmu yang telah lama berpayah membatu. Pasrah bukan pilihan tapi kedunguan anak turun kepicikan, tebarkan racun mematikan kemayu, penggal hingga tak mampu tersenyum kecuali mengalirkan darah kurban.
Atau bakar janggut para tetua, bilamana mengelus-elus brewok menganggap bocah kecil bermain di pantai, pula telanjangi politikus di depan kejujuran, jangan beri kesempatan berdandan kebijakan rayu, kemashuran jiwa muda tidak pernah layu, bagi sempat mengatur nafas licik, habislah di tengah jalan.
Ladang kesempatan tidak berarti peluang, bisa jadi penjajakan kemungkinan, yakni kecurigaan patut dihadapkan. Kewaspadaan anak turun keberanian nalar mengolah kalbu kukuhkan magnetik persetubuhan rasa persenggamaan sukma kata, senasib dijalani tak terpuruk ocehan kemabukan. Dungu jika perturutkan waktu percobaan tanpa menyunggi keyakinan pun jika tanpa kendali fikir ibarat orang gila membual di tengah laluan.
Kesadaran menerjemah realitas menafaskan hayat sesehat purna memaklumat tegap terjaga mawas diri. Keberuntungan berasal penjajakan atas penjegalan terlalu, namun terus menghadirkan matahari kepastian, hanya awan keraguan malam kosong tidak berbuah renungan menjadi mangsa.
Maka renggut usiamu sebelum ditelan perubahan, nantinya berkendara putaran bumi di porosnya. Bulan mengikuti fitroh diemban detik memicu ledakan hasrat meringkas perbendaharaan menjelma intuisi berpendaran ke setiap kepala. Cahaya meruang waktu hayati senyum lumatan sungguh percintaan tandas kesejatian berkembang menaburkan benih keimanan.
Gerak kewajiban tidak mangkrak di rak-rak bacaan mengenyangkan nurani, namun limpahan kejayaan madu murni setelah mengunyah, berbaca pentaskan kembara di atas panggung tak peduli sorotan cahaya. Sebab isyarat mumpuni menggelandang naluri terhanyut ke pusaran keyakinan.
December 15, 2009 http://sastra-indonesia.com/2009/12/yukio-mishima-1925-1970/
No comments:
Post a Comment