Monday, December 21, 2020

Yukio Mishima (1925-1970)

 Nurel Javissyarqi

http://pustakapujangga.com/2010/02/yukio-mishima-1925-1970/

Sebelum bergentayangan memasuki selubung nasib Yukio Mishima, aku kan meringkas terlebih dulu kisah hayatnya dari buku Sang Samurai yang disusun Agata P. Ranjabar, penerbit Pinus, juli 2009.

Yukio Mishima (1925-1970) lahir di Yotsuya, Shinjuku. Ayahnya Azusa Hiraoka, ibunya Shizue. Masa kanak-kanak dibayangi neneknya Natsu, pengasuh sekaligus pemisahan dari keluarga. Natsu adalah anak tidak sah Matsudaira Yoritaka, Daimyo Shishido di propinsi Hitachi yang tumbuh dalam keluarga pangeran Arisugawa Taruhito. Mishima balik ke pangkuan keluarganya berumur 12 tahun, menulis cerita juga senang karyanya Oscar Wilde, Rilke serta para penulis Jepang klasik.

Sekolah di Peers School 6 tahun, menjadi anggota dewan editorial termuda sastra. Diminta menulis prosa pada Literature The Peers’ House, menyerahkan Hanazaki ni Mori, cerita di mana sang narator menjelaskan nenek moyangnya masih hidup dalam dirinya, dipublikasikan 1944, bernama pena “Mishima Yukio” pemberian gurunya. Ayahnya melarang menulis namun tetap bandel melawan, lulus Universitas Tokyo 1947. Menulis cerpen Misaki nite no Monogatari, 1945.

Januari 1946, mengunjungi Kawabata Yasunari sambil membawa manuskrip Chusei dan Tabako. Menulis novel Tozaku, cerita dua aristokrat mengarah bunuh diri, 1948. Tahun 1949 esainya Kindai Bungaku terbit. Karya dramanya Kabuki dan versi modern drama No. 1952 ke Yunani menghasilkan Shiosai, terbit 1954. Karya Kinkakuji 1956, fiksi terbakarnya candi di Kyoto. Utage no Ato, 1960, muncul sesaat setelah politikus Arita Hachiro mencalonkan gubernur Tokyo, Mishima dituntut ke pengadilan atas invasion of privacy. Karyanya termashur Utsukuushii Hoshi, 1962.

Mishima dinominasikan Nobel Sastra tiga kali, walau tahun 1968 Kawabata terlebih dulu nominatornya memenangkan Nobel. Mishima sadar, kesempatan diraih penulis Jepang dalam waktu dekat menipis. Berhubungan tegas dengan Michiko Shoda (yang nantinya diperistri Kaisar Akihito), Mishima menikahi Toko Sugiyama 1958. Tahun 1967 terdaftar GSDF, setahun kemudian membentuk Tatenokai, pasukan pribadi tersendiri. 10 tahun sisa hidupnya melanjutkan tetralogi Hojo no Umi. Mishima mengarang 40 novel, 18 drama, 20 buku cerpen dan libretto.

Mishima mempersiapkan kematianya dengan keakuratan cemerlang minimal setahun. 25 Nop 1970 waktu 11 siang bersama anggota Tatenokai kepercayaannya; Morita, Chibi Koga, Ogawa, Furu Koga menuju Camp Ichigaya, Pusat Komando Timur Pasukan Bela Diri Jepang di Tokyo, membarikade kantor dan mengikat komandannya. Dengan deklamasi yang sudah dipersiapkan pun kibaran spanduk, kaki Mishima melangkah ke luar balkon pada para prajurit yang berkumpul di bawah. Pidatonya diharap memberi inspirasi kudeta demi mengembalikan kaisar atas posisi selayaknya.

Mishima gagal hanya membuat para prajurit terganggu dan malah dicaci maki. Menyelesaikan pidatonya kembali ke kantor komandan demi melakukan seppuku (harakiri). Yang menjadi kaishakunin ialah Masakatsu Morita, (yang diisukan kekasih Mishima) namun tidak melaksanakan tugas secara tepat, lantas meminta Horoyashu Koga menggantikannya. Morita melakukan seppuku, Koga memenggal lehernya.
John Nathan penulis biografi teman Mishima mengatakan, rencana kudeta hanya kedok ritual bunuh diri Mishima yang telah lama diidamkannya.
***

Mishima; takdir baginya pelaksanaan kata-kata, terucap bersuara mencipta ruhaniah menjelmakan makluk atas perwujudan gerak tidak menghamba sejarah, pun bukan antek filsuf banci pemilik nafasan plin-plan. Kata kerja tidak sekadar cerminan diri keindahan alam raya, keayuan warna menebarkan harum pemahaman melebihi firasat penujum yang sanggup mensugesti batang tubuh pelaksanaan.

Kata tidak beku dalam perpustakaan pula mengendap lusuh di otak peneliti, tetapi melahirkan langkah keberanian tergaris mengasah pedang, keris keluar warangka pamornya menujah kilatan mata-mata tiada dihinggapi kesangsian, hanya keyakinan atau gila tidak mengajukan jawab.

Perbuatan me-makhluk-kan kata bukan bahan kutipan yang berhenti dalam diskusi panjang, tapi mengisi ruang-ruang kosong tanpa penghuni kecuali mental-mental baja. Pram pernah berujar; “kalau takut, jangan jadi pengarang” dan Mishima tidak sekadar pelopor, namun penghancur jiwa-jiwa lembek penjagal watak-watak korup yang terbuai kekuasaan dangkal. Hanya sebab darah, setelah air mata serta keringat keluh kesah mempurnakan kata-kata menjelma sejarah nyata.

Pelajaran pertama niatan kuat berkesungguhan mencipta, meringkus wewaktu longgar menghantam kesambillaluan, lamunan dibasmi dengan gerak jemari tangan kudu lincah melafalkan tafsir kehidupan demi masa diandaikan nyata.

Tiada kamus keberhasilan di tubuh berleha, semua suntuk ke satu titik tujuan. Ibnu Khaldun pernah berkata; “fokus ialah pembakaran terbaik.” Mishima menggerakkan seluruh dinayanya demi masa depan gemilang, tiada gambaran di ubun-ubunnya kesekian seperti elang lapar berkelebat menyabet mangsa, waktu kudu direbut sebelum digondol kekuasaan lupa, terus menjejakkan kaki-kaki keyakinan laksana hujan salju menutupi semesta, berkejaran percepatan lingsirnya matahari melelehkan.

Mishima membakar lemak berolah rasa membathin nenek moyangnya, di sini titisan bermakna perbuatan menggarit tangan takdir hingga curam kejelasan, serupa angin berkendaraan api melalap daun kering melahap hawa bersekutu kobarkan hati mengejawantah, dan hujan tidak perlu dinanti oleh sekali lentikan sukma tiba-tiba deras membanjiri kepercayaan. Kesentausaan hasrat tinggi tidak terbantah ide semu tanpa lapisan filosofis sejati, kehakikian pandang melotot menghujam ke jantung pemahaman, maka sekali mereka pecirit keoklah mentalitas karyanya ludes.

Sekali menghamba walau berpura-pura menggerus pendirian meski tidak kentara, kerja keras berlipat ganda setelahnya, belum sanggup menutupi perasaan sungkan. Maka buanglah sifat mengemis berwajah memeras apalagi memelas, hadapkan rautmu sesangar matahari membakar belantara kecantikan, hisap samudera keilmuan bertapa, lantas melangkahlah keluar dari goa pemahaman yang menaungi selama ini.

Ruapi berair derita sepi luka-luka sunyi, cabikan parang tidak peduli, inilah racikan jamu mujarab kudu dimama guna berbiak menjamur kuping. Meski telinga pada buntu, toh keharuman dari pengorbanan, genggam tangan mata palu memukul meja pengadilan waktu menggebrak hingga poranda mencelat di hadapan hadirin semua, sampai para penyaksi tidak sempat bertepuk tangan.

Jangan biarkan diangkat jasadmu terlalu tinggi atas bumi kesadaran, apakah kawan atau musuh, sebab dapat mematahkan dengkulmu yang telah lama berpayah membatu. Pasrah bukan pilihan tapi kedunguan anak turun kepicikan, tebarkan racun mematikan kemayu, penggal hingga tak mampu tersenyum kecuali mengalirkan darah kurban.

Atau bakar janggut para tetua, bilamana mengelus-elus brewok menganggap bocah kecil bermain di pantai, pula telanjangi politikus di depan kejujuran, jangan beri kesempatan berdandan kebijakan rayu, kemashuran jiwa muda tidak pernah layu, bagi sempat mengatur nafas licik, habislah di tengah jalan.

Ladang kesempatan tidak berarti peluang, bisa jadi penjajakan kemungkinan, yakni kecurigaan patut dihadapkan. Kewaspadaan anak turun keberanian nalar mengolah kalbu kukuhkan magnetik persetubuhan rasa persenggamaan sukma kata, senasib dijalani tak terpuruk ocehan kemabukan. Dungu jika perturutkan waktu percobaan tanpa menyunggi keyakinan pun jika tanpa kendali fikir ibarat orang gila membual di tengah laluan.

Kesadaran menerjemah realitas menafaskan hayat sesehat purna memaklumat tegap terjaga mawas diri. Keberuntungan berasal penjajakan atas penjegalan terlalu, namun terus menghadirkan matahari kepastian, hanya awan keraguan malam kosong tidak berbuah renungan menjadi mangsa.

Maka renggut usiamu sebelum ditelan perubahan, nantinya berkendara putaran bumi di porosnya. Bulan mengikuti fitroh diemban detik memicu ledakan hasrat meringkas perbendaharaan menjelma intuisi berpendaran ke setiap kepala. Cahaya meruang waktu hayati senyum lumatan sungguh percintaan tandas kesejatian berkembang menaburkan benih keimanan.

Gerak kewajiban tidak mangkrak di rak-rak bacaan mengenyangkan nurani, namun limpahan kejayaan madu murni setelah mengunyah, berbaca pentaskan kembara di atas panggung tak peduli sorotan cahaya. Sebab isyarat mumpuni menggelandang naluri terhanyut ke pusaran keyakinan.

December 15, 2009 http://sastra-indonesia.com/2009/12/yukio-mishima-1925-1970/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar