Beberapa kaum intelektual prohersif cemas dengan makin membesarnya pengaruh Rizieq. Potensi politis Rizieq yang terbentuk dari popularitasnya yang menggetarkan dan menggentarkan itu tergambar dari drama-drama kolosal pemujaan atas dirinya, seperti drama penyambutan kepulangannya. Potensi politis Rizieq yang demikian besar itu bukan tidak mungkin akan berujung pada kemenangan politik kanan, katakan saja kemenangan fasisme. Masalahnya, kecemasan yang diartikulasikan sebagai peringatan itu kehilangan ketajaman daya kritisnya, bahkan dapat dipahami sekaligus sebagai penguatan atas sikap pemujaan. Perbuatan-perbuatan heroik Rizieq yang katanya mengayomi kaum buruh dan kaum pinggiran lain diikuti dengan cemoohan pada kelompok-kelompok lain (liberal, kiri, menengah) yang disebutnya sebagai penganjur berkebun di halaman dan berternak lele di ember serta kampanye-kampanye toleransi. Tumpulnya kritik itu, saya kira, karena tidak meletakan fenomena Rizieq pada keadaan politik aktual yang terjadi di masyarakat.
Mengapa serangan Nikita kepada Rizieq berhasil menggerakan simpati massa? Umpatan, pelecehan, penghinaan yang dialamatkan ke Rizieq mungkin terjadi tiap hari, bahkan tiap jam. Tapi, kenapa pelecehan yang dikatakan Nikita bisa merebut perhatian publik? Sebagaimana Rizieq yang menjadi subyektifitas publik, Nikita, dalam kasus ini, juga subyektifitas publik. Baik Rizieq maupun Nikita memanggil publik melalui bahasa ekspresi yang bersifat spontan, bahasa yang memancarkan sensibilitas. Keduanya menghibur massa, Apakah massa di belakang Nikita dan Rizieq adalah dua kelompok yang berbeda? Mereka terpilah hanya karena kesenangan mereka berbeda: ibaratnya, kelompok pertama lebih suka merokok Marlboro untuk merasa berdiri di bawah panji-panji kebebasan, kelompok berikutnya lebih senang merokok shisha karena ingin berdiri di bawah panji-panji primordialisme. Namun, kedua kelompok sama-sama massa konsumen yang dibentuk oleh pasar.
Politik aktual hari ini tak lebih dari pasar. Politik yang didasarkan pada persepsi. Lembaga polling, survey, dan konsultan politik seperti agen advertising yang mengidentifikasi dan mengkuantifikasi persepsi publik serta/atau melakukan fabrikasi persepsi. Kebijakan politik (partai) tidak lagi bersandar pada riset seperti yang dilakukan oleh Aidit di Jawa Barat untuk mengetahui kebutuhan-kebutuhan kaum tani (Kaum Tani Mengganyang Setan-Setan Desa). Kebijakan politik hari ini didasarkan pada penampilan apa yang disenangi publik saat ini atau bagaimana membuat publik menyukai penampilan tertentu saat ini. Inilah pasang naik hasrat yang membanjiri nalar, sensibilitas membanjiri rasionalitas, perasaan membanjiri pikiran. Pengungkapan riwayat keberadaan dan kepemilikan kebun di Pakel, Banyuwangi, yang terancam dirampas, sulit untuk merebut perhatian publik daripada umpatan “tukang obat” dan ancaman “pengepungan 800 laskar”. Drama penyambutan Rizieq yang memacetkan jalan tol dan menunda sekian jadwal penerbangan lebih menghibur daripada pendampingan yang dilakukan kawan-kawan muda pada komunitas petani di pelosok Jember untuk lepas dari penjajahan korporasi pupuk dan benih.
Celakanya, beberapa kaum intelektual prohersif kita hanya cemas dibangku penonton sambil ikut tersihir tontonan di atas panggung dan tidak pergi ke belakang panggung untuk memeriksa bagaimana tontonan diproduksi.
*) Dwi Pranoto, sastrawan dan penerjemah, tinggal di Jember, Jawa Timur.
Keterangan judul dari tukang posting: makna kata Mirsani (Mirzani) dalam bahasa Jawa artinya melihat, menonton, menyaksikan. Sedangkan kata Niki ta (Nikita), artinya sama dengan Ini kah.
Ketarangan Gambar: foto Nikita Mirzani dari liputan6dotcom
http://sastra-indonesia.com/2020/11/mirszani-niki-ta/
Catatan terkait: http://sastra-indonesia.com/2020/11/nikita-mirzani/
http://sastra-indonesia.com/2020/11/nikita-mirzani-itu-padang-kurusetra-dalam-bharatayudha/
No comments:
Post a Comment