Djoko Saryono *
Pandemi korona, revolusi digital, dan disrupsi teknologi infokom secara komplementer dan sinergis telah mempertegas dan mempercepat kehadiran jagat digital dalam kehidupan dan kebudayaan kita. Kita mendadak memasuki dan masuk -- suka atau tidak suka, terpaksa atau suka ria -- kosmologi digital dan jagat digital ketika "kosmologi alamiah-konvensional dan jagat alamiah-konvensional" koyak-moyak dilabrak pandemi korona. Galaksi Guttenberg tiba-tiba tak aman lagi, dan kita harus pergi ke galaksi Gates-Zuckerberg. Tak ayal, aktivitas sehari-hari dan/atau profesional kita banyak berlangsung di ruang domestik-privat (rumah yang mengalami 'publik-isasi') dan ruang virtual-digital, banyak meninggalkan ruang publik konvensional (karena dianggap tak aman, berbahaya, dan diduduki virus korona baru).
Banyak aktivitas profesional atau umum lalu berlangsung di jagat digital dan ruang virtual -- antara lain aktivitas keagamaan, ekonomi dan bisnis, sosial, finansial, administrasi, dan pendidikan. Khusus aktivitas pendidikan nyaris seratus persen beralih-pindah ke ruang rumah dan ruang virtual, malah jagat digital. Aktivitas belajar dan pembelajaran, kerja administrasi dan manajemen pendidikan, dan forum-forum akademis atau ilmiah sebagian besar bergeser ke jagat digital atau ruang virtual. Pertemuan ilmiah atau akademis bernama konferensi, seminar, dan sebagainya seperti boyongan ke jagat digital, dunia daring, dan ruang virtual dari dunia jagat alamiah, dunia luring, dan ruang kasat mata. Di sinilah tiba-tiba populer dan melejit apa yang dinamakan seminar daring (webinar) dan konferensi daring, yang nyaris berlangsung total melalui platform digital dan aplikasi zoom (makanya dikenal zoominar) dan google meet (makanya ada istilah jumit atau jum-jum-an). Boleh dikatakan, seminar dan konforensi daring menjadi aktivitas baru para insan pendidikan.
Pertemuan ilmiah/akademis daring (antara lain seminar dan konferensi daring) serta-merta menjadi 'ruang dan aktivitas wajib' yang perlu diikuti oleh pendidik dan akademikus, bahkan kalangan masyarakat mana pun. Saya pun tak mampu berkelit, terbukti gagal mengelak dari ruang dan aktivitas tersebut. Meski tak sering, saya terperosok juga dalam pusaran seminar atau konferensi daring, tak sanggup mengelak dan menolak sama sekali. Begitulah, hari Sabtu tadi (14/11/2020) saya harus menjadi bagian seminar daring yang dilaksanakan oleh Fakultas Bahasa dan Seni, Pascasarjana, Universitas Negeri Padang. Seminar itu bertajuk Seminar Nasional Daring Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya.
Dalam seminar daring tersebut saya ditugasi membeberkan persoalan kreativitas dalam penelitian sastra dan pembelajarannya. Maka saya pun membawakan topik tentang kajian bahasa dan sastra yang sedang bergerak dari perspektif monodisipliner ke "beyond" disipliner. Dari sebuah kamar hotel di kota Batu (karena ada kegiatan kampus di tempat tersebut) saya mempresentasikan salindia (PPT) berjudul Kajian Bahasa dan Sastra: Dari Disipliner ke 'Beyond' Disipliner.
Dalam presentasi topik atau judul tersebut saya mencoba-uraikan gerakan pembongkaran monodisiplinaritas pengetahuan/keilmuan. Saya kemukakan gejala pe-nir-disiplin-an pengetahuan atau keilmuan sekaligus gejala pergeseran paradigmatis pengetahuan atau keilmuan, dari divergensi dan dis-integrasi ke konvergensi dan integrasi baru. Di sinilah kajian bahasa dan sastra perlu beradaptasi, perlu bergeser agar memiliki lensa mata baru untuk mengaji persoalan bahasa dan sastra. Persoalan bahasa dan sastra perlu disikapi secara berbeda dengan paradigma teoretis berbeda sehingga ditemukan 'masalah baru kajian bahasa dan sastra'.
Saya tunjukkan (eh contohkan) berbagai perspektif teoretis lumayan baru yang dapat menjadi lensa mata baru kajian bahasa dan sastra. Tentu saja contohnya bukan kritik sastra baru, formalisme, strukturalisme, bahkan dekonstruksi. Kata Denny Mizhar, itu semua perspektif teoretis yang sudah lama. Secara sekelebat-sekelebat, dalam forum daring yang ditaja Program Magister Pendidikan Bahasa FBS UNP tersebut, saya tampilkan berbagai perspektif teoretis (yang terbebas dari rundungan formalisme dan strukturalisme): kajian memori dalam sastra, biosemiotika bahasa dan sastra, kajian sastra digital, geokritisisme bahasa dan sastra, kajian keruangan bahasa dan sastra, kajian sastra gastronomis, kajian sastra pandemik, dan kajian sastra pariwisata. "Hewan" apakah itu semua? Mbuhkah...jangan dipikir begitu serius... kapan-kapan saja kita bahas bersama -- itu pun kalau Anda perlukan. Yang akan membahas Thobroni Kaltara, Inung Setyami, Yeni Mada, Oktavia Erwantoro, Mashuri Alhamdulillah, dan Aziz Drummerline.
***
______________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.
Pandemi korona, revolusi digital, dan disrupsi teknologi infokom secara komplementer dan sinergis telah mempertegas dan mempercepat kehadiran jagat digital dalam kehidupan dan kebudayaan kita. Kita mendadak memasuki dan masuk -- suka atau tidak suka, terpaksa atau suka ria -- kosmologi digital dan jagat digital ketika "kosmologi alamiah-konvensional dan jagat alamiah-konvensional" koyak-moyak dilabrak pandemi korona. Galaksi Guttenberg tiba-tiba tak aman lagi, dan kita harus pergi ke galaksi Gates-Zuckerberg. Tak ayal, aktivitas sehari-hari dan/atau profesional kita banyak berlangsung di ruang domestik-privat (rumah yang mengalami 'publik-isasi') dan ruang virtual-digital, banyak meninggalkan ruang publik konvensional (karena dianggap tak aman, berbahaya, dan diduduki virus korona baru).
Banyak aktivitas profesional atau umum lalu berlangsung di jagat digital dan ruang virtual -- antara lain aktivitas keagamaan, ekonomi dan bisnis, sosial, finansial, administrasi, dan pendidikan. Khusus aktivitas pendidikan nyaris seratus persen beralih-pindah ke ruang rumah dan ruang virtual, malah jagat digital. Aktivitas belajar dan pembelajaran, kerja administrasi dan manajemen pendidikan, dan forum-forum akademis atau ilmiah sebagian besar bergeser ke jagat digital atau ruang virtual. Pertemuan ilmiah atau akademis bernama konferensi, seminar, dan sebagainya seperti boyongan ke jagat digital, dunia daring, dan ruang virtual dari dunia jagat alamiah, dunia luring, dan ruang kasat mata. Di sinilah tiba-tiba populer dan melejit apa yang dinamakan seminar daring (webinar) dan konferensi daring, yang nyaris berlangsung total melalui platform digital dan aplikasi zoom (makanya dikenal zoominar) dan google meet (makanya ada istilah jumit atau jum-jum-an). Boleh dikatakan, seminar dan konforensi daring menjadi aktivitas baru para insan pendidikan.
Pertemuan ilmiah/akademis daring (antara lain seminar dan konferensi daring) serta-merta menjadi 'ruang dan aktivitas wajib' yang perlu diikuti oleh pendidik dan akademikus, bahkan kalangan masyarakat mana pun. Saya pun tak mampu berkelit, terbukti gagal mengelak dari ruang dan aktivitas tersebut. Meski tak sering, saya terperosok juga dalam pusaran seminar atau konferensi daring, tak sanggup mengelak dan menolak sama sekali. Begitulah, hari Sabtu tadi (14/11/2020) saya harus menjadi bagian seminar daring yang dilaksanakan oleh Fakultas Bahasa dan Seni, Pascasarjana, Universitas Negeri Padang. Seminar itu bertajuk Seminar Nasional Daring Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya.
Dalam seminar daring tersebut saya ditugasi membeberkan persoalan kreativitas dalam penelitian sastra dan pembelajarannya. Maka saya pun membawakan topik tentang kajian bahasa dan sastra yang sedang bergerak dari perspektif monodisipliner ke "beyond" disipliner. Dari sebuah kamar hotel di kota Batu (karena ada kegiatan kampus di tempat tersebut) saya mempresentasikan salindia (PPT) berjudul Kajian Bahasa dan Sastra: Dari Disipliner ke 'Beyond' Disipliner.
Dalam presentasi topik atau judul tersebut saya mencoba-uraikan gerakan pembongkaran monodisiplinaritas pengetahuan/keilmuan. Saya kemukakan gejala pe-nir-disiplin-an pengetahuan atau keilmuan sekaligus gejala pergeseran paradigmatis pengetahuan atau keilmuan, dari divergensi dan dis-integrasi ke konvergensi dan integrasi baru. Di sinilah kajian bahasa dan sastra perlu beradaptasi, perlu bergeser agar memiliki lensa mata baru untuk mengaji persoalan bahasa dan sastra. Persoalan bahasa dan sastra perlu disikapi secara berbeda dengan paradigma teoretis berbeda sehingga ditemukan 'masalah baru kajian bahasa dan sastra'.
Saya tunjukkan (eh contohkan) berbagai perspektif teoretis lumayan baru yang dapat menjadi lensa mata baru kajian bahasa dan sastra. Tentu saja contohnya bukan kritik sastra baru, formalisme, strukturalisme, bahkan dekonstruksi. Kata Denny Mizhar, itu semua perspektif teoretis yang sudah lama. Secara sekelebat-sekelebat, dalam forum daring yang ditaja Program Magister Pendidikan Bahasa FBS UNP tersebut, saya tampilkan berbagai perspektif teoretis (yang terbebas dari rundungan formalisme dan strukturalisme): kajian memori dalam sastra, biosemiotika bahasa dan sastra, kajian sastra digital, geokritisisme bahasa dan sastra, kajian keruangan bahasa dan sastra, kajian sastra gastronomis, kajian sastra pandemik, dan kajian sastra pariwisata. "Hewan" apakah itu semua? Mbuhkah...jangan dipikir begitu serius... kapan-kapan saja kita bahas bersama -- itu pun kalau Anda perlukan. Yang akan membahas Thobroni Kaltara, Inung Setyami, Yeni Mada, Oktavia Erwantoro, Mashuri Alhamdulillah, dan Aziz Drummerline.
***
______________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.
http://sastra-indonesia.com/2020/11/daring-isasi-forum-ilmiah/
No comments:
Post a Comment