Aprinus Salam *
Indonesia, terutama saya, memerlukan sosok seperti Nikita Mirzani. Terutama sebagai sosok simbolik yang belum terdefinisikan secara utuh/mapan sehingga setiap orang bisa memanfaatkannya sebagai sosok simbolik untuk dilecehkan atau dihina; atau sebagai simbol perlawanan yang elegan; atau sebagai simbol pengacau untuk menambah kacau; atau sebagai simbol yang menetralisir batas buruk dan baik, batas etis dan yang kurang ajar.
Tidak akan banyak posisi dan/atau sosok simbolik yang bisa mengambil posisi seperti Nikita Mirzani itu. Nikita telah berproses dalam hidupnya mengakumulasi dan mengartikulasikan modal-modal (dalam pengertian Bourdieu) yang dimilikinya. Ia berhasil secara ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik. Paling tidak, Nikita adalah sosok yang terkenal karena secara strategis ia berhasil mengartikulasikan modal-modal yang dimilikinya.
Namun, keberhasilannya itu, karena Nikita mengambil jalur-jalur yang sensitif dalam batas-batas etik, sosial, dan kultural, ia berdiri dalam posisi terkenal yang ambigu. Berdiri dalam posisi antara seperti seolah-seolah iya (di dalam), seperti seolah-olah tidak (di luar) dalam berbagai arena yang seolah-olah ia dianggap hadir atau tidak hadir.
Posisi terkenal yang ambigu itu berkorelasi dengan sosok simbolik Nikita yang belum terdefinisikan secara mapan itu, sehingga bukan saja setiap orang dapat memanfaatkan posisi Nikita untuk memberikan pukulan atau menangkis serangan, tetapi juga sebagai senjata dekonstruktif untuk menidakkan atau mengiyakan banyak hal. Hal itu bergantung dengan posisi sosial, politik, dan budaya kita ketika membicarakan dan “mendayagunakan” Nikita.
Jika kita dalam posisi “mengeluarkan” Nikita dari batas satuan etik dan sosial yang mapan, kita akan mencacinya. Sebaliknya, jika kita dalam posisi “memasukkan” Nikita dalam posisi sosial dan di dalam struktur pengetahuan tertentu (yang dilawankan dengan liyan), maka posisi ini akan memanfaatkan Nikita bukan saja sebagai tameng dari berbagai cercaan, tetapi sekaligus sebagai senjata yang bisa menusuk-nusuk batas-batas yang selama ini dianggap rawan, sensitif, yakni apa yang disebut munafik dan kemunafikan.
Dalam hal ini, saya bersyukur, Nikita orang yang cerdas. Kalau tidak cerdas, dia akan mengalami banyak hambatan dalam melewati trajektori hidupnya. Karena cerdas, dia pun tahu posisi diri dalam kekacauan wacana yang menimpa dirinya. Di satu sisi dia tahu bahwa dia di-“homosacer”-kan dalam berbagai konstelasi, tetapi dia pun tahu bahwa sangat banyak pihak yang membutuhkan sosok simboliknya itu. Hal itu diperlihatkannya dengan keberaniannya berbicara secara terbuka di media sosial, turutama ketika ia diserang oleh pihak-pihak yang telah mengeluarkannya dalam satuan batas etik-normatif tertentu.
Namun, dia bukan hanya cerdas. Kecerdasan tidak membuat dia istimewa, karena banyak orang cerdas di Indonesia. Yang tidak cukup banyak Indonesia memiliki adalah orang cerdas yang berani. Dia siap melayani segala caci-maki yang keras, dengan keberanian yang sama. Hak membalas caci maki diambilnya dengan cara yang lebih elegan. Posisi keberanian ini, kadang justru banyak diambil oleh mereka yang cuma bermodal nekat dan ngawur. Mereka yang ingin mencari sensasi.
Memang, kemudian muncul sanggahan atau semacam dugaan, bahwa semua hal yang terjadi di media sosial, sebetulnya maya dan belum tentu nyata. Belum tentu itu Nikita yang sesungguhnya, dan belum tentu orang yang mencaci-makinya adalah pihak-pihak nyata ada dalam kehidupan. Jangan-jangan itu ulah buzzers (dalam faksi-faksi kepentingannya), yang diatur oleh segelintir elit pemilik modal atau mereka yang rakus kekuasaan.
Maka, itulah sebabnya, saya berbicara Nikita sebagai sosok simbolik. Dalam perdebatan simbolik dan kontestasi wacana, kita tidak lagi mementingkan Nikita sebagai mana aslinya (dalam pengertian ini saya juga tidak mengenalnya). Dalam perdebatan dan pertengkaran wacana, hal yang lebih penting adalah melihat berbagai proses terjadinya caci maki itu sendiri. Posisi kita akan menentukan apakah kita gembira atau sedih dengan persilatan yang sedang terjadi. Hal posisional akan menentukan kita berpihak dalam posisi simbolik yang mana.
Kita sedang bersama-sama mengikuti kira-kira ke mana arah gelombang dan muara perdebatan berujung, untuk kembali muncul berbagai kontestasi dan pertengkaran wacana yang lain. Posisi dan jalan Nikita hanya menjadi salah satu jalur bagaimana jalur-jalur kehidupan yang lain juga berjalan. Di antara berbagai jalur itu, bisa saja akan ada sinergi dan penggumpalan yang berbahaya, tetapi bisa juga akan selalu ada pencairan-pencairan wacana sehingga penggumpalan tidak terjadi.
***
14 Nov 2020
*) Dr. Aprinus Salam, M. Hum., Sastrawan kelahiran Riau, 7 April 1965. Dosen FIB UGM, Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM sejak 2013, Anggota Senat Akademik UGM 2012-2016, Konsultan Ahli Dinas Kebudayaan DIY (2013-2016). Pendidikan S1, Bahasa dan Sastra Indonesia FIB UGM (Lulus 1992), S2 Program Studi Sastra Pasca Sarjana UGM (Lulus 2002, salah satu wisudawan terbaik), S3 Program Studi Sastra (Program Studi Ilmu-Ilmu Humaniora, Pascasarjana FIB UGM, lulus 2010).
http://sastra-indonesia.com/2020/11/nikita-mirzani/
Catatan terkait:
http://sastra-indonesia.com/2020/11/mirszani-niki-ta/
http://sastra-indonesia.com/2020/11/nikita-mirzani-itu-padang-kurusetra-dalam-bharatayudha/
No comments:
Post a Comment