Monday, July 27, 2020

Sastra dan Problem Bahasa

Agus Wibowo
Seputar Indonesia, 19/08/2007

WILLIAM Henry Hudson dalam bukunya, Introduction to the Study of Literature (1960), menyatakan bahwa idealnya sastra senantiasa menyumbangkan nilai positif bagi kemanusiaan.

Hal ini lantaran anasir-anasir yang dicipta,bertalian erat dengan penikmatan ragawi dan rohani manusia. Menurut Henry, sastra lewat cara dan bentuknya menjelma memberi kenikmatan batiniah, melalui olah rasa, cipta, dan karya indah dalam sanubari setiap insan.

Sastra lewat kelembutan dan kehalusannya mampu membangkitkan emosi luhur sekaligus menjembatani sifat fitrah manusia yang cinta akan keindahan. Sifat sastra yang holistis dan universal, mampu menerjemahkan polah-tingkah manusia jauh lebih kritis dan mendalam dibandingkan berbagai disiplin ilmu lain.

Ilmu sejarah misalnya, meski mampu menyuguhkan gambaran kehidupan manusia dari masa ke masa,sangat parsial karena kajiannya hanya menitikberatkan pada sistem politik dan pemerintahan. Demikian halnya dengan antropologi-sosial dan sosiologi. Meski keduanya mengkaji manusia dengan segala aktivitasnya, sama sekali tidak menyentuh unsur-unsur batiniah seperti perasaan, cita-cita, kejiwaan alam, pikiran.

Alfred North Whitehead,seorang ahli matematika yang menelurkan karya monumental di bidang matematika dan logika Principia Mathematica (1910), merasakan betapa sastra telah menyelamatkan hidupnya. Awalnya,Whitehead kurang begitu tertarik dengan sastra. Dalam benaknya, sastra tak lebih permainan kata/bahasa yang sia-sia, dan tidak menyumbangkan kontribusi apaapa bagi kehidupan umat manusia.

Sementara penciptanya (sastrawan), kadang kala justru seperti orang tidak waras (gila),kumuh,dekil,dan kadang bau. Ini jauh dari disiplin ilmu matematika yang serbapasti, akurat, dan memiliki peran besar bagi kehidupan umat manusia. Namun, begitu putra kesayangannya sekaligus buah cintanya dengan Evelyn Wade tewas mengenaskan di ujung perang dunia, mengubah seratus delapan puluh derajat pandangannya tentang sastra.

Awalnya Whitehead mencoba melarikan petaka batinnya pada disiplin ilmu yang digelutinya.Apa yang ia dapat? Ternyata matematika yang selama separuh hidup digelutinya, tak mampu meredakan krisis batinnya. Matematika begitu kaku, kejam, dan kurang manusiawi. Disiplin matematika menganggap peristiwa yang menyayat jiwanya, sebagai peristiwa lumrah hukum dari distribusi linier terhadap sebuah kemestian.

Whitehead mencoba melarikan kegundahan hatinya pada disiplin ilmu filsafat, kesenian, dan sastra. Aneh, begitu menggeluti sastra pandangannya begitu luas dan mampu menyadari bahwa apa yang dialaminya,tidak perlu disesali. Apalagi, hingga menyia-nyiakan anugerah kehidupan yang diberikan Tuhan kepadanya. Whitehead begitu terpana dengan syair-syair penyair romantik seperti Wordsworth dan Mary Shelley yang keras menolak materialisme ilmiah.

Dari puisi-puisi Wordsworth, Whitehead terinspirasikan tentang nature in solido,suatu pandangan bahwa unsur-unsur alami yang ada bersifat saling jalin-menjalin. Sedangkan dari puisi-puisi Mary Shelley, Whitehead terinspirasikan tentang alam semesta yang bersifat dinamis dan berproses.

Dari situ,kemudian ia mengembangkan rumusan soal-soal penting dalam sistem filsafat dan seni yang ia bangun, seperti soal feelings dan prehension, yang tertuang dalam karya besarnya: Process and Reality—sebuah karya filsafat yang kemudian hari oleh Elizabeth M Kraus dinilai sebagai pemikiran tentang “metafisika pengalaman” tertangguh sepanjang sejarah, yang mampu secara filosofis mengukuhkan dunia pengalaman (seni) sebagai yang lebih luas ketimbang dunia pemikiran (Chavchay Syaifullah, 2005).

Apa yang dialami Whitehead menunjukkan betapa sastra mampu melengkapi cacat cela berbagai disiplin ilmu tersebut. Di India misalnya, orang sangat menghargai epos Mahabarata, Ramayana, dan Upanishad serta menganggap layaknya kitab suci yang mesti dibaca setiap waktu. Demikian halnya Alquran— sebagai kitab suci agama Islam—juga menjelma sebagai sebuah karya sastra yang sangat agung. Al-quran merangkum berbagai disiplin ilmu, baik sejarah, politik, hukum, sosial, maupun budaya.

Kesemuanya dikemas secara apik dengan unsur dan tingkat kesusastraan yang tinggi.Tidak berbeda dengan kitab-kitab suci lainnya, selalu mengambil bentuk sastra lantaran mampu menarik sekaligus menghipnotis pembaca untuk mengikuti ajaran dan seruannya. Sastra juga merupakan kritik kehidupan yang bersandar pada hukumhukum kebenaran dan keindahan. Mungkin ada benarnya pendapat Henry, jika saja di dunia ini tidak ada agama, sastra (lah) yang menjadi panutan hidup manusia.

Problem Bahasa

Sastra menjelma melalui media bahasa. Oleh karena itu, peran bahasa tidak bisa dianggap sepele. Meminjam istilah Prof Dr Slamet Mulyana (1964), sastra menggambarkan pengalaman jiwa dalam bentuk rangkaian kata (bahasa) yang indah. Oleh karena itu, produk sastra selalu mengutamakan harmoni antara bentuk dan isi. Sayangnya, bahasa kita (bahasa Indonesia) tidak mampu menangkap dan menerjemahkan semua letupan sekaligus “ujaran” sastra.

Problem ini pernah dikeluhkan penyair Otto Sukatno CR (2007). Menurutnya, lantaran sempitnya perbendaharaan kosakata bahasa Indonesia, sastrawan kita sering meminjam istilah atau kosa kata bahasa asing (di luar bahasa Indonesia). Pada gilirannya, produk sastra menjadi elitis lantaran maknanya hanya diketahui oleh orang-orang tertentu (yang paham bahasa lain).

Produk sastra menjadi kehilangan pembacanya sehingga tidak banyak memberi kontribusi pada kehidupan manusia. Problem bahasa ini semakin terasa ketika menyadur karya sastra atau produk pemikiran bahasa lain (Inggris, Arab, Spanyol, Prancis, India, dan lain-lain) ke dalam bahasa kita. Mestinya, karya-karya besar semacam Wordsworth dan Mary Shelleyjuga menggetarkan hati kita layaknya Whitehead.

Sayangnya, bahasa kita mencerabut sekaligus memenggal rasa bahasa sastra tersebut— lantaran kurangnya perbendaharaan kosakata—sehingga membuat karya besar tersebut terasa biasa-biasa saja dan tak mampu menggugah relung batin kita. Misalnya lagi, kiasan-kiasan yang terkandung dalam Alquran seperti “Surga dengan air susu yang mengalir di bawahnya,” menjadi suatu keadaan yang biasa-biasa saja bagi umat muslim kita.

Padahal,di negeri asalnya (Arab),kiasan Alquran ini memberi daya dorong sekaligus elan yang luar biasa. Dalam sejarah Islam, di berbagai medan pertempuran, para sahabat sering menggunakan kiasan Alquran tersebut guna memberi semangat pada prajurit-prajurit muslim. Hasilnya, lantaran kadar keimanan yang tinggi dibalut dengan “iming-iming” kiasan Alquran tersebut, tentara muslim gagah berani maju ke medan pertempuran, bahkan gugur dengan senyum tersungging di bibir.

Dalam dunia filsafat, kita sering menerjemahkan kata being dengan makna “mengada/ada” yang lebih condong pada makna “eksis” atau eksistensi.Padahal, antara “ada” dalam being dan “ada” dalam eksis sangat berbeda. Yang “ada” tidak mesti harus eksis, sementara yang eksistentu saja ada dalam “ada” dan eksistensi (Martin Heidegger, 2003).

Hampir semua penerjemah kita merasakan hal serupa, kesulitan mencari padanan makna kata bahasa asing dalam kosakata bahasa Indonesia. Problem ini tidak lepas dari fenomena politik dan kekuasaan. Selama ini penguasa selalu menempatkan bahasa sebagai komoditas kekuasaan dan sering dipolitisi. Sistem sentralistik serta totaliter Orde Baru (Orba) mengharuskan keseragaman di setiap lini kehidupan, termasuk bahasa. Maka keluarlah aturan baku penggunaan bahasa yang disebut dengan “Ejaan yang Disempurnakan” (EYD).

Memang adanya peraturan yang ketat terhadap masuknya berbagai kosakata asing, dimaksudkan untuk meneguhkan identitas kebangsaan kita. Tetapi di sisi lain, justru menyempitkan ruang apresiasi bahasa kita terhadap berbagai teks-teks sastra asing. Hal ini tentu saja menjadi pemikiran kita bersama.Bukankah bahasa merupakan alat komunikasi yang mesti mampu menerjemahkan simbol-simbol dalam komunikasi tersebut?

Jika tidak,bahasa kita bakal kehilangan nilai universal sekaligus kontribusinya bagi peradaban umat manusia. Sudah saatnya para pakar bahasa mengkaji dan meneliti unsur-unsur kebudayaan kita sehingga menemukan istilah-istilah, padanan kata atau kosakata yang bisa menerjemahkan berbagai simbol bahasa di dunia. Hanya dengan itu, penghayatan kita terhadap dunia sastra—yang selalu menggunakan mediasi bahasa—bisa lebih holistis, mendalam, dan universal, sehingga bisa semakin memperkukuh peradaban bangsa ini. Semoga!

*) Agus Wibowo, seorang esais sastra, Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
http://agus82.wordpress.com/2007/08/20/sastra-dan-problem-bahasa/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar