Friday, July 31, 2020

Jendela Cakra

Ana Mustamin *
Media Indonesia, 06 Mar 2016

INI era narsistik. Siapa pula tengah malam begini sibuk memotret? Tak hanya sekali-dua kali jepret, tapi puluhan, bahkan ratusan. Namun, ia terlalu mengantuk untuk menganalisis lebih jauh. Alih-alih mencari tahu, matanya malah seperti direkat lem. Sulit digerakkan. Lagi pula, ini sudah lewat tengah malam.

Seperti suara itu, ah, rupanya masih bersipongang di telinganya. Mimpi? Bukan. Ia mendengar jelas shutter kamera tengah bekerja. Ia meraih bantal, menyumbatkan ke telinganya. Tapi suaranya justru makin jelas. Sebegitu mendesaknya kebutuhan foto itu, pikirnya. Ia berusaha membuka mata. Tapi sia-sia. Matanya makin kuat terekat. Sementara suara yang menggedor telinganya makin nyaring.

Crack, crack, crack…

Ia mempererat bantal. Tapi suara itu tak juga hilang. Mungkin sebaiknya ia berhitung untuk mengalihkan perhatian.

Crack, crack, crack…

Ia terus berhitung. Dua puluh satu, dua puluh dua…
***

Lobi hotel sepi saat ia menunggu. Sebuah chandelier memikat mata. Ia menghitung butir swarovski yang bergelantungan, mengusir galau. Tak berhasil. Suara pemotretan semalam terus mendengung di telinganya.

“Maaf, saya terlambat! Pesawat delay!”

Mereka kini berhadapan di restoran. Ia bebas menatap sosok di depannya. Persis seperti yang digambarkan oleh asistennya di kantor. Begitu sopan. Setiap bicara sering diakhiri dengan tubuh dicondongkan ke depan. Meski penampilannya tak jauh beda dengan eksekutif perusahaan. Maklum, dia konsultan manajemen. Tapi wajah itu, mengapa rasanya demikian familier?

“Ini bukan pertemuan pertama kita kan, Bu?”

Ia terperanjat. “Kita pernah berjumpa di mana?”

“Di Saoraja! Istana Raja Bugis. Ayah saya pernah diundang beliau. Siapa namanya?
Arumpone? Saya ikut menyeberang dari Jawa ke Sulawesi.”

Tempat yang begitu jauh, batinnya. Bermil-mil dari sini.

“Saya melihat jenengan bermain di bawah pohon mahoni, di halaman istana.”

Astaga! Sesuatu yang begitu musykil. Meski ia tak mengingkari kalau ia merasa pernah bertemu dengan orang itu. Tapi di mana?

Lelaki itu kini menatapnya hati-hati.“Sekarang, saya ingin tahu apa yang terjadi dengan Ibu semalam! Asisten Ibu menugasi saya untuk berbincang dengan jenengan!”

Ia sebelumnya sudah mendengar kisah lelaki ini. Orang yang punya keistimewaan. Mulanya ia enggan. Tapi ia tidak sanggup menanggung pertanyaan yang berloncatan. Akhirnya ia menceritakan shutter kamera yang menyalak sepanjang dini hari.

“Saya baru sadar suara itu berasal dari Ipad saya saat sarapan.”

Ia lalu bercerita tentang keganjilan yang ia hadapi.

Pertama, saat membuka Ipad dan menemukan halaman Instagram terbuka. Meski dipenuhi tanda tanya, ia belum risau. Tapi pertanyaan terus mendengung: siapa yang membuka Ipadnya? Sekuat hati ia berusaha mengenyahkan rasa ganjil itu. Instagram ditutupnya, dan berpindah ke Safari untuk berselancar di internet. Tapi ia kembali dikejutkan oleh pemandangan mencengangkan: delapan jendela terbuka.

“Ada Google Support, News, Web, dan Picture. Tiga yang terakhir menggunakan keyword nama saya,” ia merinding membayangkan seseorang masuk ke kamarnya dan mengoprek-oprek Ipadnya.

“Mohon izin panjenengan. Saya buka file foto, ya!”

Ia mengangguk. “Ada lebih 100 frame. Tampilannya hitam semua. Saya khawatir Ipad saya error.”

“Kemungkinan ya. Tapi kalau bisa menuliskan nama di search engine, itu tidak mungkin tak disengaja.”

“Jadi?” Ia terbeliak. “Seseorang masuk ke kamar saya?”

“Untuk apa? Mengapa Ipadnya tidak dibawa? Posisi Ipad tidak berubah, kan?”

“Ipad tersambung ke listrik. Dalam posisi disarungkan.”

“Mm… ada seseorang yang mengendalikan dari jarak jauh. Remotely.”

Dadanya gemuruh. “Untuk apa? Siapa? Dengan cara apa?”

“Dengan internet segalanya lebih mudah. Orang pintar zaman dulu mengirimkan sesuatu hanya dengan perantaraan angin,” tangannya mengembalikan Ipad. “Jenengan sedang bersaing, bukan? Kalau enggak salah dengar untuk posisi direktur utama.”

“Saya tidak percaya,” jawabnya spontan.

“Jika diizinkan, saya akan ke rumah jenengan. Jangan-jangan ada sesuatu di sana.”

“Kapan? Rumah saya bermil-mil jauhnya dari sini.“

Lelaki itu tersenyum. “Sekarang!”

Ia memandang lelaki yang terpekur itu dengan pikiran campur aduk. Antara heran, merasa ganjil, dan tak percaya.

“Rumah jenengan dua lantai dengan tiga ruang duduk. Saya tadi di ruang duduk belakang, di sofa panjang. Di depannya ada lemari penuh buku.”

Ia terperangah.

“Kamar jenengan di lantai dua, bukan? Sempat saya intip. Ada eyang jenengan berdiri di pintu. Dia cicit Raja Bugis. Dagunya lancip, sedikit terangkat saat bicara.”

Hatinya mulai berdenyar tak keruan. Apa yang disampaikan lelaki itu benar. Tapi, kakeknya sudah puluhan tahun meninggal.

“Di ruang tamu, saya bertemu penasihat spiritual jenengan!”

Aduh! Ini sudah mulai ngelantur. “Saya tidak punya penasihat.”

“Dia eyang jenengan juga. Mungkin dari silsilah ayah. Wajahnya tenang dan bersih. Mengenakan sorban dan gamis panjang. Seorang ulama besar.”

Rasanya seluruh jiwanya goncang. Ia ingat persis masih menyimpan foto sosok yang digambarkan lelaki di depannya. Tapi sekali lagi, sang kakek sudah meninggal tiga puluh tahun lalu.

Malamnya, ia mengidap demam tinggi. Saat terlelap, ia bermimpi melihat dirinya bermain dengan sesama anakarung di halaman Saoraja. Di sekelilingnya para bissu lalu lalang. Mereka mempersiapkan upacara adat. Seluruh arajang, regalia kerajaan dikeluarkan, dibersihkan, dimandikan.

Saat terbangun, ia merasa benar-benar lelah. Lemas terkulai. Sekujur tubuhnya panas. Kerongkongannya tercekat. Energinya entah tersedot ke mana.

Mimpi yang aneh, pikirnya. Ini kali kedua ia menemukan dirinya di Saoraja. Bagaimana mungkin? Rumpa’na Bone berlangsung di tahun 1904-1905. Sementara ia lahir 1970-an dan besar di Jakarta. Seingatnya, baru tiga kali ibunya mengajaknya ke kampong halamannya di Sulawesi Selatan sana.

Mengingat itu, ia merasa kian pening. Percakapan di restoran hotel kembali terngiang.

“Jenengan orang baik. Mereka tidak akan berhasil. Apa yang terjadi di Ipad itu semacam uji coba, sekaligus pesan agar jenengan mundur.”

“Ini sebetulnya ada apa sih?”

“Jenengan akan tahu setiba di Jakarta. Pada awalnya mereka menyerang karena persaingan jabatan. Tapi justru membuat cakra jenengan terbuka.”
***

Untuk pertama kali ia memasuki rumahnya dengan linglung. Si mbak sudah membawa travel bag-nya ke lantai atas. Tapi ia masih terpaku di ruang tamu. Sejak kapan rumahnya begitu ramai? Sejumlah orang lalu lalang. Ada yang cemberut, ada yang tersenyum. Yang paling cantik, berdiri persis di sisi lemari buku. Kulitnya licin. Rambutnya panjang, bergeriap ditimpa cahaya. Saat kepergok, ia tersenyum, lalu mengepakkan sayapnya yang indah dan megah. Sekali kebas, ia melesat terbang. Meninggalkan kerisik di telinganya.

Tiba-tiba ia terkesiap. Orang? Dengan sayap di punggungnya?

Ia menggeleng-geleng dan memejamkan mata. Saat membuka mata, orang-orang… eh peri-peri itu menghilang. Ia bergegas ke dapur. Kerongkongannya kering. Saking bergegasnya, ia hampir menabrak seseorang.

“Mbaaaakk,” pekiknya.

Ia terkejut alang-kepalang. Bukan si mbak. Tapi seorang nenek yang mengomel karena dapur kotor. Astaga! Saat ia ingin bertanya siapa nenek itu, sang nenek sudah menghilang. Ia gemetar.

Di kamar, ia membaringkan tubuh dengan perasaan bingung. Kepalanya kian berdenyut. Diraihnya telepon. Dipencetnya kontak yang sudah terekam alam bawah sadarnya.

“Papa, cepat pulang, ya …” suaranya mengandung isak.
***

Hampir seluruh karyawan berkumpul di kafe kantor. Memonitor televisi. Wajah mereka tegang. Ia yang melintas, urung mampir. Kepalanya ribut, jantungnya bertalu.

Kemarin pagi ia juga melintas di tempat itu. Dari luar dinding kaca ia memergoki dua lelaki berbincang di kafe yang masih sepi. Meski pintu tertutup rapat, dan ruangan kedap suara, entah mengapa ia mendengar semua perbincangan. Tentang Ipad yang berusaha diretas, tentang rencana terbang ke Medan pagi ini, menemui seseorang yang dapat memuluskan pencalonan rivalnya itu.

Ia masuk ke ruangannya dengan tubuh gemetar. Bukan karena marah. Tapi karena melihat bayangan wajah keduanya, yang entah mengapa sulit sekali ia deskripsikan.

Ia keluar lagi dengan gelisah. Bergegas ke kafe. Saking gegasnya, ia nyaris menabrak seseorang lagi. “Nngg… kita jadi meeting besok, kan?” Suaranya terbata.

Lelaki itu tersenyum tipis. “Itu yang ingin saya bicarakan. Kita tunda dulu. Besok saya ke Medan.”

“Oh, bo… bolehkah rencana ke Medan ditunda?” suaranya tak sabar.

Lelaki di depannya mengerutkan dahi.

“Kumohon…”

“Enggak bisa. Keperluan saya mendesak. Kita reschedule meeting kita.”

“Tapi…” rasanya ia mau gila.

Dan hari ini, di ruang kerjanya ia hanya bisa terduduk lesu. Tubuhnya menggigil. Dadanya gemuruh. Dengan gugup, ia meraih remote control, menyalakan televisi.

Reporter masih menyiarkan peristiwa dari lokasi. Tentang pesawat Airbus yang jatuh di Sibolangit. Pesawat dalam perjalanan Jakarta-Medan dan bersiap mendarat. Menara pengawas kehilangan kontrol sekitar pukul 13.30 WIB. Saat peristiwa terjadi, Medan diselimuti asap tebal dari hutan yang terbakar. Pesawat menabrak tebing, meledak dan terbakar. Seluruh penumpang dan awaknya tewas.

Wajah bermandi darah dalam mimpinya seketika berkelebat. Ia menangis sejadi-jadinya.
***

Catatan:
Jenengan: sebutan paling halus dalam bahasa Jawa untuk ‘Anda’
Anakarung: anak-anak bangsawan
Arajang: regalia, simbol atau panji-panji kerajaan
Bissu: pemuka adat, laki-laki berpenampilan seperti perempuan
Rumpa’na Bone: runtuhnya Kerajaan Bone.
***
__________________
*) Ana Mustamin, saat ini CEO Maraja Communications, CEO Insurance TV dan Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Majalah Sastra & Gaya Hidup MAJAS. Pernah menjabat Direktur SDM dan Umum Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912, Direktur Eksekutif DPLK Bumiputera, CEO Dharma Bumiputera Foundation yang mengelola STIE Dharma Bumiputera dan Bumiputera Training Center; Kepala Departemen Komunikasi Korporat AJB Bumiputera 1912, dan dosen pada Universitas Prof Dr. Moestopo (Beragama) dan Universitas Paramadina, Jakarta  Selain aktif mengajar di berbagai perguruan tinggi, ia juga dikenal sebagai pembicara publik di bidang Komunikasi.
Menyelesaikan pendidikan akademis di FISIP Jurusan Komunikasi  Universitas Hasanuddin, serta Magister Manajemen Komunikasi Universitas Indonesia, dan pendidikan profesi di Asosiasi Ahli Manajemen Asuransi Indonesia. Ana juga saat ini masih aktif sebagai pengurus Dewan Asuransi Indonesia, Ketua Umum KUPASI (Komunitas Penulis Asuransi Indonesia), dan pernah aktif di berbagai organisasi di antaranya pernah di BPP (Badan Pengurus Pusat) Perhumas, International Public Relations Association, KKU Global, ISKI, dan Asosasi Penulis Cerita (Anita).
Sebelum berkecimpung di bidang asuransi, Ana adalah penyiar radio, dan dikenal sebagai cerpenis.  Ia menulis di media massa pertama kali saat duduk di bangku kelas 5 SD. Dan meski memulai sebagai penulis fiksi, ia termasuk penulis dengan rentang jelajah kepenulisan yang lebar –  baik ragam maupun medianya. Dari puisi, cerpen, novelet, esei, hingga artikel by line. Dari majalah remaja Gadis hingga Harian Kompas. Ia pernah menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Proteksi (Media Asuransi), menjadi kolumnis tetap Harian Pedoman Rakyat, Majalah Proteksi  dan Majalah Infobank. Sebagian cerpen dan puisinya terhimpun dalam buku “Tukang Bunga & Burung Gagak” (2010), “Kitab Radja & Ratoe Alit” (2011), “Hati Perempuan” (2011), “Cinta Gugat” (2013), “Graveside Ritual” (2015), “Perempuan-perempuan” (2016), “Arus Deras” (2018), dan beberapa buku lainnya. Ia juga dikenal sebagai editor sejumlah buku.

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar