Wednesday, July 22, 2020

Perlawanan Sastra yang Ambivalen

Ragdi F. Daye *

Sastra Indonesia pascakolonial adalah sastra yang gamang dan mengambang

Sesungguhnya, kondisi dunia sastra Indonesia pada beberapa tahun terakhir ini tampak begitu gamang. Di satu sisi, produksi teks yang berlimpah ruah dengan terus lahirnya penulis-penulis muda berbakat sangat menggembirakan. Di sisi lain, kuantitatif produksi teks tersebut justru melahirkan persoalan serius, seperti kualitas teks, keseragaman pengayaan, miskinnya penggalian tema eksplorasi teknik ungkap, hingga tren tematik sastra yang merayakan ketubuhan-seksualitas.

Bila hendak dicari penyebabnya, ada kemungkinan semua persoalan berkait dengan sejarah sastra modern Indonesia yang masih sangat muda. Di samping itu juga disebabkan oleh kuasa-selera redaktur koran yang berlebihan karena sastra modern Indonesia tidak bisa lepas dari surat-kabar. Selain itu juga lantaran kian pudarnya batas antara karya pop dan sastra serius serta menjangkitnya mentalitas selebritis di dunia sastra. Persoalan kian rumit ketika kritik sastra Indonesia nyaris tidak berfungsi.

Sastra modern Indonesia dapat dikatakan sebagai sastra pascakolonial, mengingat Indonesia adalah sebuah negeri yang pernah dijajah oleh bangsa lain. Secara ironis, sastra pascakolonial Indonesia tidak lepas dari tangan Kolonial itu sendiri. Boleh dibilang, sastra modern Indonesia merupakan perpanjangan dari sastra Barat. Namun berbeda dengan sastra pascakolonial negara-negara Dunia Ketiga lainnya seperti sastra Amerika Latin, sastra Afrika, atau sastra negara-negara Asia bekas jajahan Barat yang melawan hegemoni kulit putih (bekas penjajahnya) dalam kancah sastra berbahasa Inggris, sebagai bekas jajahan Belanda, sastra Indonesia tidak menggunakan bahasa Belanda sebagai media ekspresi, namun bahasa Melayu yang telah dijadikan bahasa administratif semasa kolonialisasi.

Sastra Indonesia tumbuh berkembang di antara ‘authenticity’ dan ‘modernity’. Ketegangan antara ‘kem-bali ke akar’ dan ‘sejarah ke depan’ mengakibatnya nasionalisme dalam sastra pun semakin kabur untuk dirumuskan. Sastra Indonesia terjebak antara keinginan untuk menyejajarkan diri dengan bekas penjajah dengan cara membuka-lipat identitas, dan berupaya mempertahankan perbedaaan dengan melakukan pengukuhan ke dalam akar tradisi.

Temu Sastrawan Indonesia (TSI) 2: Sastra Indonesia Pascakolonial

Melanjutkan agenda tahunan yang diawali di Provinsi Jambi pada tahun 2008, Temu Sastrawan Indonesia (TSI) 2 dilaksanakan di Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung dari tanggal 30 Juli sampai dengan 2 Agustus 2009. TSI 2 yang dihadiri oleh sekitar 200 orang sastrawan dan pemerhati sastra dari seluruh daerah Indonesia (kecuali Papua dan Bengkulu), mengangkat tema sastra In-donesia pascakolonial.

Tema besar tersebut dipecah dalam empat subtema, yakni “Merumuskan kembali Sastra Indonesia: Definisi, Sejarah, Identitas”, “Kritik Sastra Indonesia Pascakolonial”, “Membaca Teks dan Gerakan Sastra Mutakhir: Mencari Subyek Pascakolonial”, dan “Penerjemahan Sastra: Keharusan, Pilihan, atau Sekadar Perkenalan?” Topik-topik tersebut dibahas oleh pembicara yang terdiri atas Agus R. Sarjono, Saut Situmorang, Yasraf Amir Piliang, Syafrina Noorman, Haryat-moko, Katrin Bandel, Zen Hae, Anton Kurnia, Nenden Lilis A, Nurhayat Arif Permana, Radhar Panca Dahana, Zurmailis, Arif Bagus Prasetyo, dan John McGlynn dengan moderator Joni Ariadinata, Tia Setiadi, Willy Siswanto, dan Triyanto Triwikromo.

Selain seminar dan dialog sastra, acara TSI 2 juga dilengkapi dengan penerbitan buku, malam apresiasi seni, peluncuran dan bedah buku, bazaar buku, dan wisata budaya. Dua buah buku antologi cerpen dan puisi yang diterbitkan adalah “Jalan Menikung ke Bukit Timah” dan “Pedas Lada Pasir Kuarsa”.

Definisi Sastra Pascakolonial

Indonesia adalah negara pascakolonial. Sebagai bekas jajahan Eropa, nasib Indonesia mirip dengan nasib negara-negara pascakolonial lain di berbagai belahan dunia. Meskipun demikian, di dunia sastra Indonesia, istilah ‘sastra pasca-kolonial’ tidak begitu banyak dikenal dan digunakan. Masih jarang sas-trawan Indonesia yang dengan sadar mencoba mempersoalkan pascakolonialitas dalam karyanya, dan kritikus sastra yang mencoba menganalisis sastra Indonesia dengan pendekatan pascakolonial pun masih sedikit.

Pascakolonial pada awalnya adalah studi tentang interaksi antara bangsa-bangsa Eropa dan masyarakat-masyarakat yang mereka jajah secara modern. Dalam perkembangannya, ia beranjak ke isu-isu besar lain seperti gender, tradisi, dan seksualitas. Meski demikian, konsep pascakolonialisme mempunyai masalah secara terminologi dan aksiologi.

Di antaranya: Kolonialisme dapat disamakan dengan konsep hegemoni, baik melalui dominasi politik, maupun dominasi gagasan dan kebudayaan; karya-karya pascakolonial dapat saja dihasilkan pada masa penjajahan; negara pascakolonial masih banyak yang tersubordinasi secara kultural, ekonomi, dan politik walau secara teknis telah merdeka; pandangan pascakolonial yang eurosentris tidak sepenuhnya benar karena sejumlah negeri jajahan telah memiliki kekuatan literer sebelum dijajah; dan tidak semua sastrawan pascakolonial terlibat dalam isu-isu perlawanan atas dominasi dan pengaruh kolonial.

Katrin Bandel dalam makalahnya mengungkapkan bahwa pascako-lonialisme adalah usaha untuk memahami realitas masa kini, baik di negara pascakolonial, maupun di negara bekas penjajah dengan ber-fokus pada relasi kekuasaan global dan sejarahnya. Pascakolonialisme bukan sekadar deskripsi keadaan, namun sebentuk perlawanan. Perlawanan tersebut bukanlah sebuah upaya untuk menghancurkan atau ‘membuang’ segala sesuatu yang ‘Barat’ untuk kemudian ‘kembali’ kepada budaya lokal yang ‘asli’ karena telah terjadi hibridisasi antara budaya penjajah dengan yang dijajah.

Sastra pascakolonial dapat dipahami melalui dua definisi. Per-tama, sastra pascakolonial adalah sastra yang ditulis oleh pengarang negara pas-cakolonial (bekas ja-jahan); sastra Indonesia masuk ke dalamnya. Kedua, sastra pascakolonial adalah sastra yang mencerminkan kesadaran pascakolonial dan semangat perlawanan terhadap ketidakadilan global/(neo)kolonialisme. Dari sekian banyak karya sastra In-donesia, hanya sedikit yang dapat digolongkan pada definisi kedua tersebut.

Liminalitas

Yasraf Amir Piliang mengungkapkan bahwa sastra Indonesia hidup dalam dunia ambilavensi dan kontradiski diri: ingin menjadi otentik dengan meniru, ingin berbeda dengan merepetisi, ingin menjadi diri sendiri dengan melakukan proses identifikasi. Sastra Indonesia terperangkap dalam ‘liminalitas’, yaitu kondisi ambivalensi dan kontradiksi diri tanpa solusi. Sastra hidup dalam ‘tegangan’ tak terselesaikan: tegangan Barat/ Timur, tradisional/ modern, global/ lokal, progresif/ reaktif, dan tak mampu mengambil sebuah ‘keputusan’, ‘solusi’, atau ‘pilihan’. Kesusastraan berada di dalam kondisi ‘ketiadaan-putusan’. Liminalitas sastra membawa pada kondisi kemenggantungan, tak ke sana tak ke sini, tak modern tak tradisional.

Dalam sastra Indonesia telah terjadi apa yang disebut dengan proses mimikri, yakni proses peniruan yang sepertinya sama, tetapi tidak benar-benar sama. Budaya kolonial mendorong pribumi untuk meniru dan merepetisi budaya mereka. Akan tetapi ada pelencengan makna dan pemahaman terhadap repetisi di dalamnya sebagai strategi kultural-tekstual melawan penjajah. Ketika wacana kolonial mendorong subyek terjajah untuk meniru-niru sang penjajah dengan mengadobsi kebiasaan, ideologi, kode budaya, dan kanon-kanon estetik mereka, hasilnya menjadi salinan kabur sang penjajah.

Sebagai alat perlawanan, mimikri secara terus menerus memproduksi penggelinciran, ekses, dan perbedaan-perbedaannya. Mimikri dapat terjadi melalui repetisi statis yang dicirikan dengan pengulangan, di mana antara yang mengulang dan yang diulang hanya ada relasi kesamaan dan identitas. Kedua, repetisi dinamis, yaitu repetisi yang juga menunjuk pada pengulangan, akan tetapi elemen-elemen di dalamnya mengalami pem-bedaan.

Dunia sastra Indonesia terombang-ambing antara repetisi statis dan repetisi dinamis, antara tradisi dan modernitas. Kolonialisme telah memutus sastra Indonesia dari indigenous knowledge, yaitu dari tradisi sastra lisan. Di sisi lain ketika hendak berkiblat pada jati dirinya sendiri (tradisi, lokal) sastra Indonesia mengalami dilema industria-lisasi media dan publikasi massa yang menuntut selera global yang seragam. Pihak-pihak yang memfasilitasi pengembangan sastra Indonesia justru lembaga asing yang notabene adalah dari negara (neo)kolonial.

Oportunisme

Dalam pandangan Radhar Panca Dahana, keberadaan kanon-kanon sastra pascakolonial di Indonesia tampak dalam sejumlah karya yang dalam isu dan perspektifnya tidak jauh bergeser dengan apa yang sudah dilakukan lebih dari setengah abad lalu, persoalan-persoalan dasar seperti seksualitas, gender, tradisi, relasi kuasa, minoritas, hingga perlawanan terhadap kekuatan asing, merupakan kelanjutan dari karya-karya Mochtar Lubis, Idrus, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, dan lain-lain. Dengan kata lain, karya-karya sastra Indonesia masa kini sesungguhnya tidaklah membawa perubahan paradigmatik dibanding dengan berbagai eks-perimentasi literer yang dilakukan oleh para sastrawan akhir 60-an dan awal 70-an, seperti Iwan Simatupang, Budi Darma, Danarto, WS Rendra, Putu Wijaya, Sutardji Calzoum Bachri, dan lain-lain.

Apabila hendak dicari sebuah nama, baru Afrizal Malnalah yang menawarkan cara pandang dan pe-nyikapan baru atas tema-tema pasca-kolonial. Dia menyikapi realitas mutakhir yang penuh benda dan materialisme dengan me-nyejajarkannya subyek-subyek klasik dalam perpuisian Indonesia, seperti aku, Tuhan, cinta dan lain-lain. Selain Afrizal—yang melahirkan sederet panjang epigon—para sastrawan masih terlihat kaku dan ragu dalam menentukan posisi dan orientasinya menghadapi realitas pascakolonialnya.

Sastra pascakolonial Indonesia mengalami semacam oportunisme. Sastra Indonesia menyerahkan dirinya pada kepentingan industri (kapitalis-me). Gerakan-gerakan sastra lokal tinggal pesta-pesta kecil sehingga pluralisme dan multikulturalisme tidak berkembang menjadi kedewasaan kultural, malah sebaliknya, menjadi chauvinisme lokal yang destruktif. Sastra sampai pada posisi minor dan tersubordinasi karena telah terlucuti dari kekuatan utama dan historisnya. Kehidupan yang pragmatik-materialis-tik telah menjadi antitesis dari ke-kuatan moral sastra sehingga pena menjadi majal.

Dengan kondisi seperti itu, menurut Radhar, sebaiknya sastra berhenti melakukan kesia-siaan dengan terus menerbitkan karya-karya yang hanya merayakan arogansi dan dunia sempit pengarangnya. Mutu karya perlu ditingkatkan beserta kekuatan sosial yang membangunnya. Para sastrawan harus berani meninggalkan individualisme yang menjeratnya secara kreatif, untuk secara sosial menyatukan diri dalam sebuah wacana dimana mereka mengenali, mengidentifikasi hidup dan diri mereka sendiri, kemudian menetapkan orientasi dan gagasan kolektif untuk bergerak ke muka.

Diskusi yang Tanggung

Tema yang diusung TSI 2 sama sekali tidak ringan. Namun durasi waktu yang pendek mengakibatkan pembahasan tentang sastra pascakolonial Indonesia terasa tanggung. Belum selesai suatu persoalan diperbincangkan, sudah dialihkan ke topik lain karena waktu diskusi sudah habis. Banyak masalah yang menggantung, terutama tentang identitas seperti apa yang diharapkan dari sastra Indonesia; apakah identitas hibrida yang kemari menanggung: Timur sekaligus Barat, tradisi sekaligus modern. Rumusan sastra pascakolonial Indonesia pun setelah diskusi berlangsung setengah jalan baru beroleh titik terang.
Memang, sepertinya sastra Indonesia mempunyai banyak problem dari berbagai segi.

Semuanya menjadi pekerjaan berat yang tak tertuntaskan dalam TSI, tentu saja. Radhar dan Saut Situmorang mempermasalahkan politisasi sastra, hegemoni kelompok tertentu yang pada dasarnya telah menjadi kolonialisme pula. Katrin Bandel dan Zurmailis menggoyahkan kredibilitas Saman karya Ayu Utami sebagai puncak karya sastra pasca-kolonial Indonesia mutakhir. Pemikiran Anton Kurnia yang menyarankan dibentuknya lembaga penerjemahan sastra yang dapat menjadi jembatan sastra Indonesia ke dunia internasional, dan sebaliknya, sastra dunia ke Indonesia, tinggal sebatas wacana yang entah bagaimana dapat diwujudkan.

Ironisnya, persoalan besar yang berada di pundak para penggiat sastra itu tak benar-benar mendapat perhatian utuh dari peserta. Hampir pada setiap sesi diskusi diisi oleh keasyikan para peserta ngerumpi di belakang. Ada yang berkomentar bahwa itu fenomena biasa dalam perhelatan sastrawan/ seniman, seolah waktu tidak cukup-cukup untuk ngobrol di luar topik. Beberapa kali moderator terpaksa mengeluarkan imbauan keras untuk menertibkan forum dan menyarankan kepada ‘sastrawan penggembira’ untuk memilih tempat di luar daripada cuma menggaduh. Barangkali hal itu disebabkan setting acara yang kurang memberi kesempatan kepada para sastrawan untuk berdiskusi ngalor ngidul dan temu kangen dengan rekan sepro-fesinya.

Dukungan pemerintah daerah dan TSI 3

Satu hal yang mengagumkan dari acara TSI 2 di Bangka Belitung adalah dukungan dan perhatian besar dari pemerintah daerahnya. Pada acara pembukaan, Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Ir. H. Eko Maulana Ali, M. Sc., menjamu langsung seluruh peserta di rumah dinasnya. Acara hiburan kesenian yang disuguhkan adalah kesenian tradisional berupa musik gambus Melayu dan atraksi berbalas pantun, bukan nyanyian pop dengan iringan orgen tunggal seperti di daerah ini. Tidak tanggung-tanggung, setelah membuka secara resmi, Gubernur Eko tampil membawakan Gurindam Abad 21 diiringi musik setempat.

Meski merupakan daerah yang masih belia dan pencapaian sastranya belum begitu bergema—kecuali tetralogi Laskar Pelangi, itupun ‘status kesastraannya’ masih diperdebatkan—Bangka Belitung sangat berani dengan mengajukan diri menjadi tuan rumah, kemudian semampu mungkin menjalankan tanggung jawabnya.

Kondisi miris terasa atas sastra Sumatra Barat. Meski menyumbang penulis cukup banyak dari kedua buah buku antologi yang diterbitkan (9 dari 99 orang, ditambah sejumlah un-dangan khusus), ternyata dari provinsi ini hanya satu orang sastrawan yang datang, yakni saya sendiri. Sastrawan-sastrawan lain tidak dapat hadir karena terkendala biaya transportasi. Saya sangat beruntung karena dibantu oleh Komite Sekolah SMP IT Adzkia (terima kasih kepada Bapak Uyung dan Ibu Rita) sehingga dapat berangkat meski harus lewat jalur darat menempuh jarak ratusan kilometer.

Kenyataan tersebut menunjukkan ironi lain bahwa di daerah yang telah melahirkan sastrawan-sastrawan besar seperti Marah Rusli, Idrus, Chairil Anwar, Hamka, AA Navis, dan lain-lain ini, sastra tak begitu berharga—setidak-tidaknya di mata pemerintah daerah. Sastra tak dapat dijadikan obyek andalan yang menghasilkan uang dan gengsi seperti pariwisata dan kesenian pop sehingga tidak diberi perhatian. Padahal bahasa Indonesia yang dipakai hari ini tidak lepas dari lekat tangan para sastrawan Sumatra Barat yang telah memberi warna kental atas sastra modern Indonesia.

Hati saya sangat getir ketika mengetahui bahwa Esha Tegar Putra (penyair muda; sekadar contoh) yang telah ‘mengemis’ dana ke Walikota Solok tak jadi datang karena dana tak turun, padahal dia telah diundang hadir dalam acara peluncuran buku kumpulan puisinya. Sementara, seorang peserta dari Pulau Belitung yang jaraknya sangat dekat dari Pangkalpinang diberi ongkos satu juta rupiah oleh bupatinya. Sastrawan dari Ternate, Maluku Utara, malah mendapat sokongan penuh dari gubernurnya sehingga dengan percaya diri mengajukan diri menjadi tuan rumah TSI 3.

Begitu pula dengan Nusa Tenggara Timur, Riau, Sulawesi Barat, Sumatra Utara, dan daerah-daerah lain yang kualitas kesastraannya (kalau boleh disebut) tidak terlalu istimewa dibanding perkembangan sastra Sumatra Barat, mereka tidak saja didukung secara moral dan material oleh pemerintahnya, namun juga diutus sebagai duta daerah.

Temu Sastrawan Indonesia ke-3 akan digelar tahun depan di Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau dengan ketua panitia Abdul Kadir Ibrahim. Tema yang akan dibahas akan dirumuskan panitia, juga waktu pelaksanaannya. Para sastrawan Indonesia yang tinggal di Sumatra Barat barangkali perlu menabung dari sekarang agar dapat memenuhi undangan panitia, sekiranya nanti hati pemerintah daerah tidak kunjung terketuk.[]

*) Penulis adalah Sastrawan
http://www.padang-today.com/index.php?today=article&j=3&id=921

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar