Ragdi F. Daye *
Sastra Indonesia pascakolonial adalah sastra yang gamang dan mengambang
Sesungguhnya, kondisi dunia sastra Indonesia pada beberapa tahun terakhir ini tampak begitu gamang. Di satu sisi, produksi teks yang berlimpah ruah dengan terus lahirnya penulis-penulis muda berbakat sangat menggembirakan. Di sisi lain, kuantitatif produksi teks tersebut justru melahirkan persoalan serius, seperti kualitas teks, keseragaman pengayaan, miskinnya penggalian tema eksplorasi teknik ungkap, hingga tren tematik sastra yang merayakan ketubuhan-seksualitas.
Bila hendak dicari penyebabnya, ada kemungkinan semua persoalan berkait dengan sejarah sastra modern Indonesia yang masih sangat muda. Di samping itu juga disebabkan oleh kuasa-selera redaktur koran yang berlebihan karena sastra modern Indonesia tidak bisa lepas dari surat-kabar. Selain itu juga lantaran kian pudarnya batas antara karya pop dan sastra serius serta menjangkitnya mentalitas selebritis di dunia sastra. Persoalan kian rumit ketika kritik sastra Indonesia nyaris tidak berfungsi.
Sastra modern Indonesia dapat dikatakan sebagai sastra pascakolonial, mengingat Indonesia adalah sebuah negeri yang pernah dijajah oleh bangsa lain. Secara ironis, sastra pascakolonial Indonesia tidak lepas dari tangan Kolonial itu sendiri. Boleh dibilang, sastra modern Indonesia merupakan perpanjangan dari sastra Barat. Namun berbeda dengan sastra pascakolonial negara-negara Dunia Ketiga lainnya seperti sastra Amerika Latin, sastra Afrika, atau sastra negara-negara Asia bekas jajahan Barat yang melawan hegemoni kulit putih (bekas penjajahnya) dalam kancah sastra berbahasa Inggris, sebagai bekas jajahan Belanda, sastra Indonesia tidak menggunakan bahasa Belanda sebagai media ekspresi, namun bahasa Melayu yang telah dijadikan bahasa administratif semasa kolonialisasi.
Sastra Indonesia tumbuh berkembang di antara ‘authenticity’ dan ‘modernity’. Ketegangan antara ‘kem-bali ke akar’ dan ‘sejarah ke depan’ mengakibatnya nasionalisme dalam sastra pun semakin kabur untuk dirumuskan. Sastra Indonesia terjebak antara keinginan untuk menyejajarkan diri dengan bekas penjajah dengan cara membuka-lipat identitas, dan berupaya mempertahankan perbedaaan dengan melakukan pengukuhan ke dalam akar tradisi.
Temu Sastrawan Indonesia (TSI) 2: Sastra Indonesia Pascakolonial
Melanjutkan agenda tahunan yang diawali di Provinsi Jambi pada tahun 2008, Temu Sastrawan Indonesia (TSI) 2 dilaksanakan di Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung dari tanggal 30 Juli sampai dengan 2 Agustus 2009. TSI 2 yang dihadiri oleh sekitar 200 orang sastrawan dan pemerhati sastra dari seluruh daerah Indonesia (kecuali Papua dan Bengkulu), mengangkat tema sastra In-donesia pascakolonial.
Tema besar tersebut dipecah dalam empat subtema, yakni “Merumuskan kembali Sastra Indonesia: Definisi, Sejarah, Identitas”, “Kritik Sastra Indonesia Pascakolonial”, “Membaca Teks dan Gerakan Sastra Mutakhir: Mencari Subyek Pascakolonial”, dan “Penerjemahan Sastra: Keharusan, Pilihan, atau Sekadar Perkenalan?” Topik-topik tersebut dibahas oleh pembicara yang terdiri atas Agus R. Sarjono, Saut Situmorang, Yasraf Amir Piliang, Syafrina Noorman, Haryat-moko, Katrin Bandel, Zen Hae, Anton Kurnia, Nenden Lilis A, Nurhayat Arif Permana, Radhar Panca Dahana, Zurmailis, Arif Bagus Prasetyo, dan John McGlynn dengan moderator Joni Ariadinata, Tia Setiadi, Willy Siswanto, dan Triyanto Triwikromo.
Selain seminar dan dialog sastra, acara TSI 2 juga dilengkapi dengan penerbitan buku, malam apresiasi seni, peluncuran dan bedah buku, bazaar buku, dan wisata budaya. Dua buah buku antologi cerpen dan puisi yang diterbitkan adalah “Jalan Menikung ke Bukit Timah” dan “Pedas Lada Pasir Kuarsa”.
Definisi Sastra Pascakolonial
Indonesia adalah negara pascakolonial. Sebagai bekas jajahan Eropa, nasib Indonesia mirip dengan nasib negara-negara pascakolonial lain di berbagai belahan dunia. Meskipun demikian, di dunia sastra Indonesia, istilah ‘sastra pasca-kolonial’ tidak begitu banyak dikenal dan digunakan. Masih jarang sas-trawan Indonesia yang dengan sadar mencoba mempersoalkan pascakolonialitas dalam karyanya, dan kritikus sastra yang mencoba menganalisis sastra Indonesia dengan pendekatan pascakolonial pun masih sedikit.
Pascakolonial pada awalnya adalah studi tentang interaksi antara bangsa-bangsa Eropa dan masyarakat-masyarakat yang mereka jajah secara modern. Dalam perkembangannya, ia beranjak ke isu-isu besar lain seperti gender, tradisi, dan seksualitas. Meski demikian, konsep pascakolonialisme mempunyai masalah secara terminologi dan aksiologi.
Di antaranya: Kolonialisme dapat disamakan dengan konsep hegemoni, baik melalui dominasi politik, maupun dominasi gagasan dan kebudayaan; karya-karya pascakolonial dapat saja dihasilkan pada masa penjajahan; negara pascakolonial masih banyak yang tersubordinasi secara kultural, ekonomi, dan politik walau secara teknis telah merdeka; pandangan pascakolonial yang eurosentris tidak sepenuhnya benar karena sejumlah negeri jajahan telah memiliki kekuatan literer sebelum dijajah; dan tidak semua sastrawan pascakolonial terlibat dalam isu-isu perlawanan atas dominasi dan pengaruh kolonial.
Katrin Bandel dalam makalahnya mengungkapkan bahwa pascako-lonialisme adalah usaha untuk memahami realitas masa kini, baik di negara pascakolonial, maupun di negara bekas penjajah dengan ber-fokus pada relasi kekuasaan global dan sejarahnya. Pascakolonialisme bukan sekadar deskripsi keadaan, namun sebentuk perlawanan. Perlawanan tersebut bukanlah sebuah upaya untuk menghancurkan atau ‘membuang’ segala sesuatu yang ‘Barat’ untuk kemudian ‘kembali’ kepada budaya lokal yang ‘asli’ karena telah terjadi hibridisasi antara budaya penjajah dengan yang dijajah.
Sastra pascakolonial dapat dipahami melalui dua definisi. Per-tama, sastra pascakolonial adalah sastra yang ditulis oleh pengarang negara pas-cakolonial (bekas ja-jahan); sastra Indonesia masuk ke dalamnya. Kedua, sastra pascakolonial adalah sastra yang mencerminkan kesadaran pascakolonial dan semangat perlawanan terhadap ketidakadilan global/(neo)kolonialisme. Dari sekian banyak karya sastra In-donesia, hanya sedikit yang dapat digolongkan pada definisi kedua tersebut.
Liminalitas
Yasraf Amir Piliang mengungkapkan bahwa sastra Indonesia hidup dalam dunia ambilavensi dan kontradiski diri: ingin menjadi otentik dengan meniru, ingin berbeda dengan merepetisi, ingin menjadi diri sendiri dengan melakukan proses identifikasi. Sastra Indonesia terperangkap dalam ‘liminalitas’, yaitu kondisi ambivalensi dan kontradiksi diri tanpa solusi. Sastra hidup dalam ‘tegangan’ tak terselesaikan: tegangan Barat/ Timur, tradisional/ modern, global/ lokal, progresif/ reaktif, dan tak mampu mengambil sebuah ‘keputusan’, ‘solusi’, atau ‘pilihan’. Kesusastraan berada di dalam kondisi ‘ketiadaan-putusan’. Liminalitas sastra membawa pada kondisi kemenggantungan, tak ke sana tak ke sini, tak modern tak tradisional.
Dalam sastra Indonesia telah terjadi apa yang disebut dengan proses mimikri, yakni proses peniruan yang sepertinya sama, tetapi tidak benar-benar sama. Budaya kolonial mendorong pribumi untuk meniru dan merepetisi budaya mereka. Akan tetapi ada pelencengan makna dan pemahaman terhadap repetisi di dalamnya sebagai strategi kultural-tekstual melawan penjajah. Ketika wacana kolonial mendorong subyek terjajah untuk meniru-niru sang penjajah dengan mengadobsi kebiasaan, ideologi, kode budaya, dan kanon-kanon estetik mereka, hasilnya menjadi salinan kabur sang penjajah.
Sebagai alat perlawanan, mimikri secara terus menerus memproduksi penggelinciran, ekses, dan perbedaan-perbedaannya. Mimikri dapat terjadi melalui repetisi statis yang dicirikan dengan pengulangan, di mana antara yang mengulang dan yang diulang hanya ada relasi kesamaan dan identitas. Kedua, repetisi dinamis, yaitu repetisi yang juga menunjuk pada pengulangan, akan tetapi elemen-elemen di dalamnya mengalami pem-bedaan.
Dunia sastra Indonesia terombang-ambing antara repetisi statis dan repetisi dinamis, antara tradisi dan modernitas. Kolonialisme telah memutus sastra Indonesia dari indigenous knowledge, yaitu dari tradisi sastra lisan. Di sisi lain ketika hendak berkiblat pada jati dirinya sendiri (tradisi, lokal) sastra Indonesia mengalami dilema industria-lisasi media dan publikasi massa yang menuntut selera global yang seragam. Pihak-pihak yang memfasilitasi pengembangan sastra Indonesia justru lembaga asing yang notabene adalah dari negara (neo)kolonial.
Oportunisme
Dalam pandangan Radhar Panca Dahana, keberadaan kanon-kanon sastra pascakolonial di Indonesia tampak dalam sejumlah karya yang dalam isu dan perspektifnya tidak jauh bergeser dengan apa yang sudah dilakukan lebih dari setengah abad lalu, persoalan-persoalan dasar seperti seksualitas, gender, tradisi, relasi kuasa, minoritas, hingga perlawanan terhadap kekuatan asing, merupakan kelanjutan dari karya-karya Mochtar Lubis, Idrus, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, dan lain-lain. Dengan kata lain, karya-karya sastra Indonesia masa kini sesungguhnya tidaklah membawa perubahan paradigmatik dibanding dengan berbagai eks-perimentasi literer yang dilakukan oleh para sastrawan akhir 60-an dan awal 70-an, seperti Iwan Simatupang, Budi Darma, Danarto, WS Rendra, Putu Wijaya, Sutardji Calzoum Bachri, dan lain-lain.
Apabila hendak dicari sebuah nama, baru Afrizal Malnalah yang menawarkan cara pandang dan pe-nyikapan baru atas tema-tema pasca-kolonial. Dia menyikapi realitas mutakhir yang penuh benda dan materialisme dengan me-nyejajarkannya subyek-subyek klasik dalam perpuisian Indonesia, seperti aku, Tuhan, cinta dan lain-lain. Selain Afrizal—yang melahirkan sederet panjang epigon—para sastrawan masih terlihat kaku dan ragu dalam menentukan posisi dan orientasinya menghadapi realitas pascakolonialnya.
Sastra pascakolonial Indonesia mengalami semacam oportunisme. Sastra Indonesia menyerahkan dirinya pada kepentingan industri (kapitalis-me). Gerakan-gerakan sastra lokal tinggal pesta-pesta kecil sehingga pluralisme dan multikulturalisme tidak berkembang menjadi kedewasaan kultural, malah sebaliknya, menjadi chauvinisme lokal yang destruktif. Sastra sampai pada posisi minor dan tersubordinasi karena telah terlucuti dari kekuatan utama dan historisnya. Kehidupan yang pragmatik-materialis-tik telah menjadi antitesis dari ke-kuatan moral sastra sehingga pena menjadi majal.
Dengan kondisi seperti itu, menurut Radhar, sebaiknya sastra berhenti melakukan kesia-siaan dengan terus menerbitkan karya-karya yang hanya merayakan arogansi dan dunia sempit pengarangnya. Mutu karya perlu ditingkatkan beserta kekuatan sosial yang membangunnya. Para sastrawan harus berani meninggalkan individualisme yang menjeratnya secara kreatif, untuk secara sosial menyatukan diri dalam sebuah wacana dimana mereka mengenali, mengidentifikasi hidup dan diri mereka sendiri, kemudian menetapkan orientasi dan gagasan kolektif untuk bergerak ke muka.
Diskusi yang Tanggung
Tema yang diusung TSI 2 sama sekali tidak ringan. Namun durasi waktu yang pendek mengakibatkan pembahasan tentang sastra pascakolonial Indonesia terasa tanggung. Belum selesai suatu persoalan diperbincangkan, sudah dialihkan ke topik lain karena waktu diskusi sudah habis. Banyak masalah yang menggantung, terutama tentang identitas seperti apa yang diharapkan dari sastra Indonesia; apakah identitas hibrida yang kemari menanggung: Timur sekaligus Barat, tradisi sekaligus modern. Rumusan sastra pascakolonial Indonesia pun setelah diskusi berlangsung setengah jalan baru beroleh titik terang.
Memang, sepertinya sastra Indonesia mempunyai banyak problem dari berbagai segi.
Semuanya menjadi pekerjaan berat yang tak tertuntaskan dalam TSI, tentu saja. Radhar dan Saut Situmorang mempermasalahkan politisasi sastra, hegemoni kelompok tertentu yang pada dasarnya telah menjadi kolonialisme pula. Katrin Bandel dan Zurmailis menggoyahkan kredibilitas Saman karya Ayu Utami sebagai puncak karya sastra pasca-kolonial Indonesia mutakhir. Pemikiran Anton Kurnia yang menyarankan dibentuknya lembaga penerjemahan sastra yang dapat menjadi jembatan sastra Indonesia ke dunia internasional, dan sebaliknya, sastra dunia ke Indonesia, tinggal sebatas wacana yang entah bagaimana dapat diwujudkan.
Ironisnya, persoalan besar yang berada di pundak para penggiat sastra itu tak benar-benar mendapat perhatian utuh dari peserta. Hampir pada setiap sesi diskusi diisi oleh keasyikan para peserta ngerumpi di belakang. Ada yang berkomentar bahwa itu fenomena biasa dalam perhelatan sastrawan/ seniman, seolah waktu tidak cukup-cukup untuk ngobrol di luar topik. Beberapa kali moderator terpaksa mengeluarkan imbauan keras untuk menertibkan forum dan menyarankan kepada ‘sastrawan penggembira’ untuk memilih tempat di luar daripada cuma menggaduh. Barangkali hal itu disebabkan setting acara yang kurang memberi kesempatan kepada para sastrawan untuk berdiskusi ngalor ngidul dan temu kangen dengan rekan sepro-fesinya.
Dukungan pemerintah daerah dan TSI 3
Satu hal yang mengagumkan dari acara TSI 2 di Bangka Belitung adalah dukungan dan perhatian besar dari pemerintah daerahnya. Pada acara pembukaan, Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Ir. H. Eko Maulana Ali, M. Sc., menjamu langsung seluruh peserta di rumah dinasnya. Acara hiburan kesenian yang disuguhkan adalah kesenian tradisional berupa musik gambus Melayu dan atraksi berbalas pantun, bukan nyanyian pop dengan iringan orgen tunggal seperti di daerah ini. Tidak tanggung-tanggung, setelah membuka secara resmi, Gubernur Eko tampil membawakan Gurindam Abad 21 diiringi musik setempat.
Meski merupakan daerah yang masih belia dan pencapaian sastranya belum begitu bergema—kecuali tetralogi Laskar Pelangi, itupun ‘status kesastraannya’ masih diperdebatkan—Bangka Belitung sangat berani dengan mengajukan diri menjadi tuan rumah, kemudian semampu mungkin menjalankan tanggung jawabnya.
Kondisi miris terasa atas sastra Sumatra Barat. Meski menyumbang penulis cukup banyak dari kedua buah buku antologi yang diterbitkan (9 dari 99 orang, ditambah sejumlah un-dangan khusus), ternyata dari provinsi ini hanya satu orang sastrawan yang datang, yakni saya sendiri. Sastrawan-sastrawan lain tidak dapat hadir karena terkendala biaya transportasi. Saya sangat beruntung karena dibantu oleh Komite Sekolah SMP IT Adzkia (terima kasih kepada Bapak Uyung dan Ibu Rita) sehingga dapat berangkat meski harus lewat jalur darat menempuh jarak ratusan kilometer.
Kenyataan tersebut menunjukkan ironi lain bahwa di daerah yang telah melahirkan sastrawan-sastrawan besar seperti Marah Rusli, Idrus, Chairil Anwar, Hamka, AA Navis, dan lain-lain ini, sastra tak begitu berharga—setidak-tidaknya di mata pemerintah daerah. Sastra tak dapat dijadikan obyek andalan yang menghasilkan uang dan gengsi seperti pariwisata dan kesenian pop sehingga tidak diberi perhatian. Padahal bahasa Indonesia yang dipakai hari ini tidak lepas dari lekat tangan para sastrawan Sumatra Barat yang telah memberi warna kental atas sastra modern Indonesia.
Hati saya sangat getir ketika mengetahui bahwa Esha Tegar Putra (penyair muda; sekadar contoh) yang telah ‘mengemis’ dana ke Walikota Solok tak jadi datang karena dana tak turun, padahal dia telah diundang hadir dalam acara peluncuran buku kumpulan puisinya. Sementara, seorang peserta dari Pulau Belitung yang jaraknya sangat dekat dari Pangkalpinang diberi ongkos satu juta rupiah oleh bupatinya. Sastrawan dari Ternate, Maluku Utara, malah mendapat sokongan penuh dari gubernurnya sehingga dengan percaya diri mengajukan diri menjadi tuan rumah TSI 3.
Begitu pula dengan Nusa Tenggara Timur, Riau, Sulawesi Barat, Sumatra Utara, dan daerah-daerah lain yang kualitas kesastraannya (kalau boleh disebut) tidak terlalu istimewa dibanding perkembangan sastra Sumatra Barat, mereka tidak saja didukung secara moral dan material oleh pemerintahnya, namun juga diutus sebagai duta daerah.
Temu Sastrawan Indonesia ke-3 akan digelar tahun depan di Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau dengan ketua panitia Abdul Kadir Ibrahim. Tema yang akan dibahas akan dirumuskan panitia, juga waktu pelaksanaannya. Para sastrawan Indonesia yang tinggal di Sumatra Barat barangkali perlu menabung dari sekarang agar dapat memenuhi undangan panitia, sekiranya nanti hati pemerintah daerah tidak kunjung terketuk.[]
*) Penulis adalah Sastrawan
http://www.padang-today.com/index.php?today=article&j=3&id=921
Sastra Indonesia pascakolonial adalah sastra yang gamang dan mengambang
Sesungguhnya, kondisi dunia sastra Indonesia pada beberapa tahun terakhir ini tampak begitu gamang. Di satu sisi, produksi teks yang berlimpah ruah dengan terus lahirnya penulis-penulis muda berbakat sangat menggembirakan. Di sisi lain, kuantitatif produksi teks tersebut justru melahirkan persoalan serius, seperti kualitas teks, keseragaman pengayaan, miskinnya penggalian tema eksplorasi teknik ungkap, hingga tren tematik sastra yang merayakan ketubuhan-seksualitas.
Bila hendak dicari penyebabnya, ada kemungkinan semua persoalan berkait dengan sejarah sastra modern Indonesia yang masih sangat muda. Di samping itu juga disebabkan oleh kuasa-selera redaktur koran yang berlebihan karena sastra modern Indonesia tidak bisa lepas dari surat-kabar. Selain itu juga lantaran kian pudarnya batas antara karya pop dan sastra serius serta menjangkitnya mentalitas selebritis di dunia sastra. Persoalan kian rumit ketika kritik sastra Indonesia nyaris tidak berfungsi.
Sastra modern Indonesia dapat dikatakan sebagai sastra pascakolonial, mengingat Indonesia adalah sebuah negeri yang pernah dijajah oleh bangsa lain. Secara ironis, sastra pascakolonial Indonesia tidak lepas dari tangan Kolonial itu sendiri. Boleh dibilang, sastra modern Indonesia merupakan perpanjangan dari sastra Barat. Namun berbeda dengan sastra pascakolonial negara-negara Dunia Ketiga lainnya seperti sastra Amerika Latin, sastra Afrika, atau sastra negara-negara Asia bekas jajahan Barat yang melawan hegemoni kulit putih (bekas penjajahnya) dalam kancah sastra berbahasa Inggris, sebagai bekas jajahan Belanda, sastra Indonesia tidak menggunakan bahasa Belanda sebagai media ekspresi, namun bahasa Melayu yang telah dijadikan bahasa administratif semasa kolonialisasi.
Sastra Indonesia tumbuh berkembang di antara ‘authenticity’ dan ‘modernity’. Ketegangan antara ‘kem-bali ke akar’ dan ‘sejarah ke depan’ mengakibatnya nasionalisme dalam sastra pun semakin kabur untuk dirumuskan. Sastra Indonesia terjebak antara keinginan untuk menyejajarkan diri dengan bekas penjajah dengan cara membuka-lipat identitas, dan berupaya mempertahankan perbedaaan dengan melakukan pengukuhan ke dalam akar tradisi.
Temu Sastrawan Indonesia (TSI) 2: Sastra Indonesia Pascakolonial
Melanjutkan agenda tahunan yang diawali di Provinsi Jambi pada tahun 2008, Temu Sastrawan Indonesia (TSI) 2 dilaksanakan di Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung dari tanggal 30 Juli sampai dengan 2 Agustus 2009. TSI 2 yang dihadiri oleh sekitar 200 orang sastrawan dan pemerhati sastra dari seluruh daerah Indonesia (kecuali Papua dan Bengkulu), mengangkat tema sastra In-donesia pascakolonial.
Tema besar tersebut dipecah dalam empat subtema, yakni “Merumuskan kembali Sastra Indonesia: Definisi, Sejarah, Identitas”, “Kritik Sastra Indonesia Pascakolonial”, “Membaca Teks dan Gerakan Sastra Mutakhir: Mencari Subyek Pascakolonial”, dan “Penerjemahan Sastra: Keharusan, Pilihan, atau Sekadar Perkenalan?” Topik-topik tersebut dibahas oleh pembicara yang terdiri atas Agus R. Sarjono, Saut Situmorang, Yasraf Amir Piliang, Syafrina Noorman, Haryat-moko, Katrin Bandel, Zen Hae, Anton Kurnia, Nenden Lilis A, Nurhayat Arif Permana, Radhar Panca Dahana, Zurmailis, Arif Bagus Prasetyo, dan John McGlynn dengan moderator Joni Ariadinata, Tia Setiadi, Willy Siswanto, dan Triyanto Triwikromo.
Selain seminar dan dialog sastra, acara TSI 2 juga dilengkapi dengan penerbitan buku, malam apresiasi seni, peluncuran dan bedah buku, bazaar buku, dan wisata budaya. Dua buah buku antologi cerpen dan puisi yang diterbitkan adalah “Jalan Menikung ke Bukit Timah” dan “Pedas Lada Pasir Kuarsa”.
Definisi Sastra Pascakolonial
Indonesia adalah negara pascakolonial. Sebagai bekas jajahan Eropa, nasib Indonesia mirip dengan nasib negara-negara pascakolonial lain di berbagai belahan dunia. Meskipun demikian, di dunia sastra Indonesia, istilah ‘sastra pasca-kolonial’ tidak begitu banyak dikenal dan digunakan. Masih jarang sas-trawan Indonesia yang dengan sadar mencoba mempersoalkan pascakolonialitas dalam karyanya, dan kritikus sastra yang mencoba menganalisis sastra Indonesia dengan pendekatan pascakolonial pun masih sedikit.
Pascakolonial pada awalnya adalah studi tentang interaksi antara bangsa-bangsa Eropa dan masyarakat-masyarakat yang mereka jajah secara modern. Dalam perkembangannya, ia beranjak ke isu-isu besar lain seperti gender, tradisi, dan seksualitas. Meski demikian, konsep pascakolonialisme mempunyai masalah secara terminologi dan aksiologi.
Di antaranya: Kolonialisme dapat disamakan dengan konsep hegemoni, baik melalui dominasi politik, maupun dominasi gagasan dan kebudayaan; karya-karya pascakolonial dapat saja dihasilkan pada masa penjajahan; negara pascakolonial masih banyak yang tersubordinasi secara kultural, ekonomi, dan politik walau secara teknis telah merdeka; pandangan pascakolonial yang eurosentris tidak sepenuhnya benar karena sejumlah negeri jajahan telah memiliki kekuatan literer sebelum dijajah; dan tidak semua sastrawan pascakolonial terlibat dalam isu-isu perlawanan atas dominasi dan pengaruh kolonial.
Katrin Bandel dalam makalahnya mengungkapkan bahwa pascako-lonialisme adalah usaha untuk memahami realitas masa kini, baik di negara pascakolonial, maupun di negara bekas penjajah dengan ber-fokus pada relasi kekuasaan global dan sejarahnya. Pascakolonialisme bukan sekadar deskripsi keadaan, namun sebentuk perlawanan. Perlawanan tersebut bukanlah sebuah upaya untuk menghancurkan atau ‘membuang’ segala sesuatu yang ‘Barat’ untuk kemudian ‘kembali’ kepada budaya lokal yang ‘asli’ karena telah terjadi hibridisasi antara budaya penjajah dengan yang dijajah.
Sastra pascakolonial dapat dipahami melalui dua definisi. Per-tama, sastra pascakolonial adalah sastra yang ditulis oleh pengarang negara pas-cakolonial (bekas ja-jahan); sastra Indonesia masuk ke dalamnya. Kedua, sastra pascakolonial adalah sastra yang mencerminkan kesadaran pascakolonial dan semangat perlawanan terhadap ketidakadilan global/(neo)kolonialisme. Dari sekian banyak karya sastra In-donesia, hanya sedikit yang dapat digolongkan pada definisi kedua tersebut.
Liminalitas
Yasraf Amir Piliang mengungkapkan bahwa sastra Indonesia hidup dalam dunia ambilavensi dan kontradiski diri: ingin menjadi otentik dengan meniru, ingin berbeda dengan merepetisi, ingin menjadi diri sendiri dengan melakukan proses identifikasi. Sastra Indonesia terperangkap dalam ‘liminalitas’, yaitu kondisi ambivalensi dan kontradiksi diri tanpa solusi. Sastra hidup dalam ‘tegangan’ tak terselesaikan: tegangan Barat/ Timur, tradisional/ modern, global/ lokal, progresif/ reaktif, dan tak mampu mengambil sebuah ‘keputusan’, ‘solusi’, atau ‘pilihan’. Kesusastraan berada di dalam kondisi ‘ketiadaan-putusan’. Liminalitas sastra membawa pada kondisi kemenggantungan, tak ke sana tak ke sini, tak modern tak tradisional.
Dalam sastra Indonesia telah terjadi apa yang disebut dengan proses mimikri, yakni proses peniruan yang sepertinya sama, tetapi tidak benar-benar sama. Budaya kolonial mendorong pribumi untuk meniru dan merepetisi budaya mereka. Akan tetapi ada pelencengan makna dan pemahaman terhadap repetisi di dalamnya sebagai strategi kultural-tekstual melawan penjajah. Ketika wacana kolonial mendorong subyek terjajah untuk meniru-niru sang penjajah dengan mengadobsi kebiasaan, ideologi, kode budaya, dan kanon-kanon estetik mereka, hasilnya menjadi salinan kabur sang penjajah.
Sebagai alat perlawanan, mimikri secara terus menerus memproduksi penggelinciran, ekses, dan perbedaan-perbedaannya. Mimikri dapat terjadi melalui repetisi statis yang dicirikan dengan pengulangan, di mana antara yang mengulang dan yang diulang hanya ada relasi kesamaan dan identitas. Kedua, repetisi dinamis, yaitu repetisi yang juga menunjuk pada pengulangan, akan tetapi elemen-elemen di dalamnya mengalami pem-bedaan.
Dunia sastra Indonesia terombang-ambing antara repetisi statis dan repetisi dinamis, antara tradisi dan modernitas. Kolonialisme telah memutus sastra Indonesia dari indigenous knowledge, yaitu dari tradisi sastra lisan. Di sisi lain ketika hendak berkiblat pada jati dirinya sendiri (tradisi, lokal) sastra Indonesia mengalami dilema industria-lisasi media dan publikasi massa yang menuntut selera global yang seragam. Pihak-pihak yang memfasilitasi pengembangan sastra Indonesia justru lembaga asing yang notabene adalah dari negara (neo)kolonial.
Oportunisme
Dalam pandangan Radhar Panca Dahana, keberadaan kanon-kanon sastra pascakolonial di Indonesia tampak dalam sejumlah karya yang dalam isu dan perspektifnya tidak jauh bergeser dengan apa yang sudah dilakukan lebih dari setengah abad lalu, persoalan-persoalan dasar seperti seksualitas, gender, tradisi, relasi kuasa, minoritas, hingga perlawanan terhadap kekuatan asing, merupakan kelanjutan dari karya-karya Mochtar Lubis, Idrus, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, dan lain-lain. Dengan kata lain, karya-karya sastra Indonesia masa kini sesungguhnya tidaklah membawa perubahan paradigmatik dibanding dengan berbagai eks-perimentasi literer yang dilakukan oleh para sastrawan akhir 60-an dan awal 70-an, seperti Iwan Simatupang, Budi Darma, Danarto, WS Rendra, Putu Wijaya, Sutardji Calzoum Bachri, dan lain-lain.
Apabila hendak dicari sebuah nama, baru Afrizal Malnalah yang menawarkan cara pandang dan pe-nyikapan baru atas tema-tema pasca-kolonial. Dia menyikapi realitas mutakhir yang penuh benda dan materialisme dengan me-nyejajarkannya subyek-subyek klasik dalam perpuisian Indonesia, seperti aku, Tuhan, cinta dan lain-lain. Selain Afrizal—yang melahirkan sederet panjang epigon—para sastrawan masih terlihat kaku dan ragu dalam menentukan posisi dan orientasinya menghadapi realitas pascakolonialnya.
Sastra pascakolonial Indonesia mengalami semacam oportunisme. Sastra Indonesia menyerahkan dirinya pada kepentingan industri (kapitalis-me). Gerakan-gerakan sastra lokal tinggal pesta-pesta kecil sehingga pluralisme dan multikulturalisme tidak berkembang menjadi kedewasaan kultural, malah sebaliknya, menjadi chauvinisme lokal yang destruktif. Sastra sampai pada posisi minor dan tersubordinasi karena telah terlucuti dari kekuatan utama dan historisnya. Kehidupan yang pragmatik-materialis-tik telah menjadi antitesis dari ke-kuatan moral sastra sehingga pena menjadi majal.
Dengan kondisi seperti itu, menurut Radhar, sebaiknya sastra berhenti melakukan kesia-siaan dengan terus menerbitkan karya-karya yang hanya merayakan arogansi dan dunia sempit pengarangnya. Mutu karya perlu ditingkatkan beserta kekuatan sosial yang membangunnya. Para sastrawan harus berani meninggalkan individualisme yang menjeratnya secara kreatif, untuk secara sosial menyatukan diri dalam sebuah wacana dimana mereka mengenali, mengidentifikasi hidup dan diri mereka sendiri, kemudian menetapkan orientasi dan gagasan kolektif untuk bergerak ke muka.
Diskusi yang Tanggung
Tema yang diusung TSI 2 sama sekali tidak ringan. Namun durasi waktu yang pendek mengakibatkan pembahasan tentang sastra pascakolonial Indonesia terasa tanggung. Belum selesai suatu persoalan diperbincangkan, sudah dialihkan ke topik lain karena waktu diskusi sudah habis. Banyak masalah yang menggantung, terutama tentang identitas seperti apa yang diharapkan dari sastra Indonesia; apakah identitas hibrida yang kemari menanggung: Timur sekaligus Barat, tradisi sekaligus modern. Rumusan sastra pascakolonial Indonesia pun setelah diskusi berlangsung setengah jalan baru beroleh titik terang.
Memang, sepertinya sastra Indonesia mempunyai banyak problem dari berbagai segi.
Semuanya menjadi pekerjaan berat yang tak tertuntaskan dalam TSI, tentu saja. Radhar dan Saut Situmorang mempermasalahkan politisasi sastra, hegemoni kelompok tertentu yang pada dasarnya telah menjadi kolonialisme pula. Katrin Bandel dan Zurmailis menggoyahkan kredibilitas Saman karya Ayu Utami sebagai puncak karya sastra pasca-kolonial Indonesia mutakhir. Pemikiran Anton Kurnia yang menyarankan dibentuknya lembaga penerjemahan sastra yang dapat menjadi jembatan sastra Indonesia ke dunia internasional, dan sebaliknya, sastra dunia ke Indonesia, tinggal sebatas wacana yang entah bagaimana dapat diwujudkan.
Ironisnya, persoalan besar yang berada di pundak para penggiat sastra itu tak benar-benar mendapat perhatian utuh dari peserta. Hampir pada setiap sesi diskusi diisi oleh keasyikan para peserta ngerumpi di belakang. Ada yang berkomentar bahwa itu fenomena biasa dalam perhelatan sastrawan/ seniman, seolah waktu tidak cukup-cukup untuk ngobrol di luar topik. Beberapa kali moderator terpaksa mengeluarkan imbauan keras untuk menertibkan forum dan menyarankan kepada ‘sastrawan penggembira’ untuk memilih tempat di luar daripada cuma menggaduh. Barangkali hal itu disebabkan setting acara yang kurang memberi kesempatan kepada para sastrawan untuk berdiskusi ngalor ngidul dan temu kangen dengan rekan sepro-fesinya.
Dukungan pemerintah daerah dan TSI 3
Satu hal yang mengagumkan dari acara TSI 2 di Bangka Belitung adalah dukungan dan perhatian besar dari pemerintah daerahnya. Pada acara pembukaan, Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Ir. H. Eko Maulana Ali, M. Sc., menjamu langsung seluruh peserta di rumah dinasnya. Acara hiburan kesenian yang disuguhkan adalah kesenian tradisional berupa musik gambus Melayu dan atraksi berbalas pantun, bukan nyanyian pop dengan iringan orgen tunggal seperti di daerah ini. Tidak tanggung-tanggung, setelah membuka secara resmi, Gubernur Eko tampil membawakan Gurindam Abad 21 diiringi musik setempat.
Meski merupakan daerah yang masih belia dan pencapaian sastranya belum begitu bergema—kecuali tetralogi Laskar Pelangi, itupun ‘status kesastraannya’ masih diperdebatkan—Bangka Belitung sangat berani dengan mengajukan diri menjadi tuan rumah, kemudian semampu mungkin menjalankan tanggung jawabnya.
Kondisi miris terasa atas sastra Sumatra Barat. Meski menyumbang penulis cukup banyak dari kedua buah buku antologi yang diterbitkan (9 dari 99 orang, ditambah sejumlah un-dangan khusus), ternyata dari provinsi ini hanya satu orang sastrawan yang datang, yakni saya sendiri. Sastrawan-sastrawan lain tidak dapat hadir karena terkendala biaya transportasi. Saya sangat beruntung karena dibantu oleh Komite Sekolah SMP IT Adzkia (terima kasih kepada Bapak Uyung dan Ibu Rita) sehingga dapat berangkat meski harus lewat jalur darat menempuh jarak ratusan kilometer.
Kenyataan tersebut menunjukkan ironi lain bahwa di daerah yang telah melahirkan sastrawan-sastrawan besar seperti Marah Rusli, Idrus, Chairil Anwar, Hamka, AA Navis, dan lain-lain ini, sastra tak begitu berharga—setidak-tidaknya di mata pemerintah daerah. Sastra tak dapat dijadikan obyek andalan yang menghasilkan uang dan gengsi seperti pariwisata dan kesenian pop sehingga tidak diberi perhatian. Padahal bahasa Indonesia yang dipakai hari ini tidak lepas dari lekat tangan para sastrawan Sumatra Barat yang telah memberi warna kental atas sastra modern Indonesia.
Hati saya sangat getir ketika mengetahui bahwa Esha Tegar Putra (penyair muda; sekadar contoh) yang telah ‘mengemis’ dana ke Walikota Solok tak jadi datang karena dana tak turun, padahal dia telah diundang hadir dalam acara peluncuran buku kumpulan puisinya. Sementara, seorang peserta dari Pulau Belitung yang jaraknya sangat dekat dari Pangkalpinang diberi ongkos satu juta rupiah oleh bupatinya. Sastrawan dari Ternate, Maluku Utara, malah mendapat sokongan penuh dari gubernurnya sehingga dengan percaya diri mengajukan diri menjadi tuan rumah TSI 3.
Begitu pula dengan Nusa Tenggara Timur, Riau, Sulawesi Barat, Sumatra Utara, dan daerah-daerah lain yang kualitas kesastraannya (kalau boleh disebut) tidak terlalu istimewa dibanding perkembangan sastra Sumatra Barat, mereka tidak saja didukung secara moral dan material oleh pemerintahnya, namun juga diutus sebagai duta daerah.
Temu Sastrawan Indonesia ke-3 akan digelar tahun depan di Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau dengan ketua panitia Abdul Kadir Ibrahim. Tema yang akan dibahas akan dirumuskan panitia, juga waktu pelaksanaannya. Para sastrawan Indonesia yang tinggal di Sumatra Barat barangkali perlu menabung dari sekarang agar dapat memenuhi undangan panitia, sekiranya nanti hati pemerintah daerah tidak kunjung terketuk.[]
*) Penulis adalah Sastrawan
http://www.padang-today.com/index.php?today=article&j=3&id=921
No comments:
Post a Comment