Wahib Muthalib
“Saya fikir di setiap daerah hampir sama. Ketika ada industri pertambangan, pasti perusahaan dan Pemda (Pemerintah Daerah) setempat memberikan janji-janji kesejahteraan bagi masyarakat.”
Demikian pernyataan Bustan Basir Maras penulis cerpen “Ziarah Mandar” mengawali komentarnya tentang aktifitas pertambangan di Indonesia. Pria asli Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat ini mengatakan, persoalan yang timbul akibat aktifitas pertambangan bukanlah cerita baru.
Di Polewali Mandar, ujar Bustan, sedang berlansung aktifitas pertambangan batubara dan minyak bumi. Aktifitas tersebut bukannya tak menghadirkan masalah bagi warga setempat. Banyak masyarakat yang tidak siap dengan adanya aktifitas pertambangan.
Salah satu potret masalah pertambangan di Polewali Mandar, kata Bustan, adalah kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan yang ditunjuk oleh pemerintah daerah. Hal ini membuat masyarakat banyak yang tidak siap melihat ada hal-hal baru.
“Tiba-tiba saja di masjid ada pengumuman bahwa di daerah ini akan diadakan eksplorasi minyak,” tuturnya saat menghadiri acara bedah buku cerpennya yang berjudul 'Ziarah Mandar' dalam gelar GELADAK SASTRA bersama Komunitas Lembah Pring, di Omah Pring Kecamatan Sumobito, Jombang.
Bustan mengungkapkan, protes masyarakat pada akhirnya berujung pada sikap yang menghendaki adanya surat perjanjian kesefahaman antara warga dengan perusahaan tambang. Dengan adanya perjanjian, masyarakat berharap nantinya dapat diketahui sampai sejauh mana manfaat yang diberikan industri tambang bagi warga sekitar. “Namun sampai saat ini, ternyata usulan (surat perjanjian) tersebut belum ditindaklanjuti,” katanya.
Hanya keprihatinan yang dirasakan Bustan dan masyarakat Polewali Mandar. Usulan adanya surat perjanjian tak terwujud, sedangkan kesejahteraan yang dijanji-janjikan sebelumnya juga tak dirasakan. “Kita prihatin Mas. Meskipun sepertinya sulit mendorong terwujudnya kesejahteraan bagi masyarakat, tapi jika kita tidak berbuat apa-apa juga sepertinya menjadi hal yang aneh.”
Akhirnya, keprihatinan Bustan terhadap kondisi nelayan dan petani Kabupaten Polewali Mandar atas adanya aktifitas pertambangan dicurahkan melalui cerpen berjudul “Ziarah Mandar”. “Nah, setidaknya dengan cerpen ini saya bisa memberikan sesuatu melalui karya sastra,” ucap sastrawan yang saat ini tengah sibuk menyelesaikan thesisnya di fakultas Antropologi Universitas Gadjah Mada.
Belajarlah dari Kasus Mandar! Demikian pesan tersirat dari Abdul Malik, pengamat sastra asal Mojokerto. “Ziarah Mandar merupakan pengalaman, pengembaraan, pergulatan menghadapi kerasnya kehidupan dan catatan-catatan kritis Bustan Basir Maras terhadap kekayaan alam Mandar yang makin tergerus oleh kapitalisme asing,” ulasnya.
Rencananya karya ini juga akan dibawa roadshow kesejumlah daerah di Indonesia.
***
<strong>ROAD SHOW ZIARAH MANDAR 2011</strong>
ETAPE SLEBES (SULAWESI)
<strong>PALU-SULTENG, PASANGKAYU-MATRA, MAMUJU, MALUNDA, MAJENE, POLEWALI, MAKASSAR</strong>
Setelah etape pulau Jawa dan beberapa pulau lain, road show Ziarah Mandar kini memasuki etape Sulawesi. Bermula dari kota Palu-Sulawesi Tengah, terus ke selatan, Pasangkayu, Mamuju, Malunda, Majene, Polewali Mandar dan akan berakhir di gedung Lembaga Administarasi Negara (LAN) Makassar. Lalu awal April ini semoga sudah kembali ke Jogja lagi sambil persiapan etape Kalimantan-Palangkaraya dan beberapa kota lain di Pulau Borneo itu.
Dalam perjalanan road show di pulau Slebes (Sulawesi) yang bermula dari tanah suku bangsa Kaili-Palu, Sulawesi Tengah, ada banyak catatan menarik. Sebab apa yang mengalir dalam cerita Ziarah Mandar yang tertuang di dalam buku kumpulan cerpen Ziarah Mandar yang kami road show-kan ini, berbalik dari rute road show yang telah rampung 80 % hingga ke Sulawesi Barat-Mandar sekarang. Rute berikutnya tinggal beberapa komunitas di selatan Sulawesi Barat dan beberapa komunitas sastra di Makassar yang rencananya akan berlangsung di LAN Makassar (dalam konfirmasi). Jika di dalam cerpen Ziarah Mandar, tokoh aku mengisahkan dirinya melakukan perjalanan mulai dari Makassar hingga ke tanah Mandar yang kini bermetamorfosis menjadi Sulawesi Barat, maka dalam kenyataannya road show ini justru bermula dari Tanah Kaili-Palu, Sulawesi Tengah dan selanjutnya ke selatan-Makassar dll. Kota Palu, adalah kota orang-orang yang memanggilku Ngana (kamu). Demikianlah bahasa khas mereka jika memanggil seseorang. “Ngana pe buku, asyik juga dibaca le’ !” (Buku anda enak juga dibaca ya). Demikianlah mereka berkata kepada saya dalam sebuah forum. Hehe. Asyik juga. Benar-benar Indonesia.
Dari Sulawesi Tengah-Palu, saya mengalir bersama beberapa panitia dan kolega, menyusuri jalan berkelok ke Donggala, sebuah kota tua yang indah. Di sana-sini masih banyak ditemui bangunan peninggalan Portugis, menandakan kota ini suatu waktu pernah menjadi ladang basah portugis. Mereka mendirikan pelabuhan tua di sini, sambil menghisap rempah; lada, cengkeh dan berbagai hasil alam kota mungil ini ke dalam kapal-kapal induk pelayaran mereka ke eropa barat dan beberapa negeri lainnya di timur jauh bahkan ke afrika Selatan. Demikianlah sejarah mencatatkan. Meski, tentu tak dapat saya kisahkan semua peristiwa-peristiwa menarik dalam perjalanan ini, tetapi perjalanan berhari-hari ini kemudian menyampaikan langkah saya ke kota Vova Sanggayu, nama asal kota Pasangkayu, ibu kota Mamuju Utara kini. Di kota kecil ini saya sempatkan waktu, mengunjungi Tanjong Pasangkayu dan beberapa tempat lainnya yang pernah saya tapaki beberapa tahun silam saat melakukan riset di sini, termasuk ke suku bangsa Bunggu (Binggi), suku bangsa tertua di wilayah ini.
Dari Pasangkayu, kami terus merinsek ke Selatan, memasuki ibu kota Provinsi Sulawesi Barat, Mamuju atau biasa pula disebut dengan Manakarra. Di ibu kota propinsi termuda di Indonesia ini, saya sempatkan diri berenang di Kali Mamuju. Sesuatu yang aneh tentunya. Penduduk sekitar, terutama penduduk kota Manakarra menyebutnya dengan istilah Kali. Padahal kenyataannya kali ini adalah sungai besar yang membelah kota Mamuju menjadi dua. Entahlah. Lalu setelah puas mengguyur diri di Kali Mamuju, saya kemudian menyerahkan diri ke tangan kawan-kawan Komunitas Rumah Kita (KORUMTA) yang kami dirikan sejak tahun 2006 lalu. Mereka lalu ‘menggelandang’ saya ke sana kemari. Merekalah yang menghendel begitu banyak acara, mulai dari lanjutan road show Ziarah Mandar di Universiatas Alas’ariyah Mandar (Unasman) Malunda, hingga beberapa work shop kepenulisan di Majene dan Malunda. Bahkan mereka ‘menyandera’ saya berhari-hari, mendaki gunung Mekkatta di Malunda, dan meminta waktu khusus kuliah malam selama dua hari berturut-turut. Gila. Luar biasa. Kawan-kawan Korumta-lah pula yang mengantar saya hingga ke Polewali Mandar untuk lanjutan road show Ziarah Mandar di Unasman-Manding, Polewali Mandar. Dan meski perjalanan menuju Makassar sudah separuh jalan, tapi mereka tetap menahan saya dan kembali lagi ke Majene untuk beberapa work shop yang sudah disiapkan oleh Korumta. Diam-diam saya juga menyadari, inilah konsekwensi logis yang harus saya terima lantaran telah ikut mendirikan komunitas ini lima tahun silam. Hehe. Kini tinggal menunggu konfirmasi tanggal dan kepastian dari beberapa panitia di Selatan Sulawesi Barat dan sekelompok mahasiswa di LAN Makassar. Semoga sisa dua rute road show memasuki Sulawesi Selatan dalam beberapa hari ke depan juga berjalan dengan baik dan lancar, sebagaimana road show sebelumnya.
Amin !
http://www.senimana.com/berita-153-bustan-basir-maras.html
“Saya fikir di setiap daerah hampir sama. Ketika ada industri pertambangan, pasti perusahaan dan Pemda (Pemerintah Daerah) setempat memberikan janji-janji kesejahteraan bagi masyarakat.”
Demikian pernyataan Bustan Basir Maras penulis cerpen “Ziarah Mandar” mengawali komentarnya tentang aktifitas pertambangan di Indonesia. Pria asli Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat ini mengatakan, persoalan yang timbul akibat aktifitas pertambangan bukanlah cerita baru.
Di Polewali Mandar, ujar Bustan, sedang berlansung aktifitas pertambangan batubara dan minyak bumi. Aktifitas tersebut bukannya tak menghadirkan masalah bagi warga setempat. Banyak masyarakat yang tidak siap dengan adanya aktifitas pertambangan.
Salah satu potret masalah pertambangan di Polewali Mandar, kata Bustan, adalah kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan yang ditunjuk oleh pemerintah daerah. Hal ini membuat masyarakat banyak yang tidak siap melihat ada hal-hal baru.
“Tiba-tiba saja di masjid ada pengumuman bahwa di daerah ini akan diadakan eksplorasi minyak,” tuturnya saat menghadiri acara bedah buku cerpennya yang berjudul 'Ziarah Mandar' dalam gelar GELADAK SASTRA bersama Komunitas Lembah Pring, di Omah Pring Kecamatan Sumobito, Jombang.
Bustan mengungkapkan, protes masyarakat pada akhirnya berujung pada sikap yang menghendaki adanya surat perjanjian kesefahaman antara warga dengan perusahaan tambang. Dengan adanya perjanjian, masyarakat berharap nantinya dapat diketahui sampai sejauh mana manfaat yang diberikan industri tambang bagi warga sekitar. “Namun sampai saat ini, ternyata usulan (surat perjanjian) tersebut belum ditindaklanjuti,” katanya.
Hanya keprihatinan yang dirasakan Bustan dan masyarakat Polewali Mandar. Usulan adanya surat perjanjian tak terwujud, sedangkan kesejahteraan yang dijanji-janjikan sebelumnya juga tak dirasakan. “Kita prihatin Mas. Meskipun sepertinya sulit mendorong terwujudnya kesejahteraan bagi masyarakat, tapi jika kita tidak berbuat apa-apa juga sepertinya menjadi hal yang aneh.”
Akhirnya, keprihatinan Bustan terhadap kondisi nelayan dan petani Kabupaten Polewali Mandar atas adanya aktifitas pertambangan dicurahkan melalui cerpen berjudul “Ziarah Mandar”. “Nah, setidaknya dengan cerpen ini saya bisa memberikan sesuatu melalui karya sastra,” ucap sastrawan yang saat ini tengah sibuk menyelesaikan thesisnya di fakultas Antropologi Universitas Gadjah Mada.
Belajarlah dari Kasus Mandar! Demikian pesan tersirat dari Abdul Malik, pengamat sastra asal Mojokerto. “Ziarah Mandar merupakan pengalaman, pengembaraan, pergulatan menghadapi kerasnya kehidupan dan catatan-catatan kritis Bustan Basir Maras terhadap kekayaan alam Mandar yang makin tergerus oleh kapitalisme asing,” ulasnya.
Rencananya karya ini juga akan dibawa roadshow kesejumlah daerah di Indonesia.
***
<strong>ROAD SHOW ZIARAH MANDAR 2011</strong>
ETAPE SLEBES (SULAWESI)
<strong>PALU-SULTENG, PASANGKAYU-MATRA, MAMUJU, MALUNDA, MAJENE, POLEWALI, MAKASSAR</strong>
Setelah etape pulau Jawa dan beberapa pulau lain, road show Ziarah Mandar kini memasuki etape Sulawesi. Bermula dari kota Palu-Sulawesi Tengah, terus ke selatan, Pasangkayu, Mamuju, Malunda, Majene, Polewali Mandar dan akan berakhir di gedung Lembaga Administarasi Negara (LAN) Makassar. Lalu awal April ini semoga sudah kembali ke Jogja lagi sambil persiapan etape Kalimantan-Palangkaraya dan beberapa kota lain di Pulau Borneo itu.
Dalam perjalanan road show di pulau Slebes (Sulawesi) yang bermula dari tanah suku bangsa Kaili-Palu, Sulawesi Tengah, ada banyak catatan menarik. Sebab apa yang mengalir dalam cerita Ziarah Mandar yang tertuang di dalam buku kumpulan cerpen Ziarah Mandar yang kami road show-kan ini, berbalik dari rute road show yang telah rampung 80 % hingga ke Sulawesi Barat-Mandar sekarang. Rute berikutnya tinggal beberapa komunitas di selatan Sulawesi Barat dan beberapa komunitas sastra di Makassar yang rencananya akan berlangsung di LAN Makassar (dalam konfirmasi). Jika di dalam cerpen Ziarah Mandar, tokoh aku mengisahkan dirinya melakukan perjalanan mulai dari Makassar hingga ke tanah Mandar yang kini bermetamorfosis menjadi Sulawesi Barat, maka dalam kenyataannya road show ini justru bermula dari Tanah Kaili-Palu, Sulawesi Tengah dan selanjutnya ke selatan-Makassar dll. Kota Palu, adalah kota orang-orang yang memanggilku Ngana (kamu). Demikianlah bahasa khas mereka jika memanggil seseorang. “Ngana pe buku, asyik juga dibaca le’ !” (Buku anda enak juga dibaca ya). Demikianlah mereka berkata kepada saya dalam sebuah forum. Hehe. Asyik juga. Benar-benar Indonesia.
Dari Sulawesi Tengah-Palu, saya mengalir bersama beberapa panitia dan kolega, menyusuri jalan berkelok ke Donggala, sebuah kota tua yang indah. Di sana-sini masih banyak ditemui bangunan peninggalan Portugis, menandakan kota ini suatu waktu pernah menjadi ladang basah portugis. Mereka mendirikan pelabuhan tua di sini, sambil menghisap rempah; lada, cengkeh dan berbagai hasil alam kota mungil ini ke dalam kapal-kapal induk pelayaran mereka ke eropa barat dan beberapa negeri lainnya di timur jauh bahkan ke afrika Selatan. Demikianlah sejarah mencatatkan. Meski, tentu tak dapat saya kisahkan semua peristiwa-peristiwa menarik dalam perjalanan ini, tetapi perjalanan berhari-hari ini kemudian menyampaikan langkah saya ke kota Vova Sanggayu, nama asal kota Pasangkayu, ibu kota Mamuju Utara kini. Di kota kecil ini saya sempatkan waktu, mengunjungi Tanjong Pasangkayu dan beberapa tempat lainnya yang pernah saya tapaki beberapa tahun silam saat melakukan riset di sini, termasuk ke suku bangsa Bunggu (Binggi), suku bangsa tertua di wilayah ini.
Dari Pasangkayu, kami terus merinsek ke Selatan, memasuki ibu kota Provinsi Sulawesi Barat, Mamuju atau biasa pula disebut dengan Manakarra. Di ibu kota propinsi termuda di Indonesia ini, saya sempatkan diri berenang di Kali Mamuju. Sesuatu yang aneh tentunya. Penduduk sekitar, terutama penduduk kota Manakarra menyebutnya dengan istilah Kali. Padahal kenyataannya kali ini adalah sungai besar yang membelah kota Mamuju menjadi dua. Entahlah. Lalu setelah puas mengguyur diri di Kali Mamuju, saya kemudian menyerahkan diri ke tangan kawan-kawan Komunitas Rumah Kita (KORUMTA) yang kami dirikan sejak tahun 2006 lalu. Mereka lalu ‘menggelandang’ saya ke sana kemari. Merekalah yang menghendel begitu banyak acara, mulai dari lanjutan road show Ziarah Mandar di Universiatas Alas’ariyah Mandar (Unasman) Malunda, hingga beberapa work shop kepenulisan di Majene dan Malunda. Bahkan mereka ‘menyandera’ saya berhari-hari, mendaki gunung Mekkatta di Malunda, dan meminta waktu khusus kuliah malam selama dua hari berturut-turut. Gila. Luar biasa. Kawan-kawan Korumta-lah pula yang mengantar saya hingga ke Polewali Mandar untuk lanjutan road show Ziarah Mandar di Unasman-Manding, Polewali Mandar. Dan meski perjalanan menuju Makassar sudah separuh jalan, tapi mereka tetap menahan saya dan kembali lagi ke Majene untuk beberapa work shop yang sudah disiapkan oleh Korumta. Diam-diam saya juga menyadari, inilah konsekwensi logis yang harus saya terima lantaran telah ikut mendirikan komunitas ini lima tahun silam. Hehe. Kini tinggal menunggu konfirmasi tanggal dan kepastian dari beberapa panitia di Selatan Sulawesi Barat dan sekelompok mahasiswa di LAN Makassar. Semoga sisa dua rute road show memasuki Sulawesi Selatan dalam beberapa hari ke depan juga berjalan dengan baik dan lancar, sebagaimana road show sebelumnya.
Amin !
http://www.senimana.com/berita-153-bustan-basir-maras.html
No comments:
Post a Comment