Wan Anwar
kulitnya coklat lamekongga
matanya teduh pantai kolaka
tatapnya gerhana bulan
bahasanya selatan tenggara
pabila aku berlabuh di dermaga kolaka.
(Wondulako, Lamekongga)
Sajak “Wondulako, Lamekongga” menghadirkan gambaran tekstual suatu realitas di suatu gugus (daerah) Sulawesi Tenggara yang dihuni masyarakat petani (cokelat, kelapa, buah-buahan) sekaligus masyarakat pelabuhan (dermaga kolaka). Rakyat yang ramah dan sibuk bekerja di antara deretan kelapa, deretan cokelat, dalam sajak di atas digambarkan seperti coklat lamekongga (kulitnya), teduh pantai kolaka (matanya), gerhana bulan (tatapannya), dan selatan tenggara (bahasanya). Rangkaian gambaran konkret mengenai kekhasan realitas Wondulako tersebut menghadirkan kekaguman, ketakjuban, dan penghormatan pada pembaca meski toh terselip juga segugus keganjilan di dalamnya. Keganjilan itu timbul disebabkan ungkapan “tatapnya gerhana bulan”, sebagaimana terlihat pada bait pertama.
Dan Kolaka, sebagai teks referensial, adalah sebuah kota pelabuhan penyeberangan yang menghubungkan Sulawesi Tenggara dengan Sulawesi Selatan dan kota-kota lain di luar Sulawesi Tenggara. Pada titik ini ia menjadi sebuah kota perbatasan yang kompleks yang menjadi batas –tapi sekaligus menghubungkan– satu provinsi dengan provinsi lain, lautan dengan daratan, masyarakat tani dengan masyarakat nelayan, buruh tani dan buruh pelabuhan.
Ada kegelisahan antara keberangkatan dan kedatangan. Orang datang dan pergi, beragam perjumpaan di sana terjadi, tetapi tidak untuk berhenti dan diam bermukim.
Dalam situasi semacam itu, penyair menjalani bahasa sebagai sesuatu yang dimasuki dan dialami tapi sekaligus juga diciptakan: di luar sekaligus di dalam. Ia menjadi bahasa perjumpaan: bahasa selatan tenggara! Ia menjadi bahasa perjumpaan darat dan laut, pertanian dan pelabuhan, ketakjuban dan keganjilan. Kolaka memang merupakan tempat perjumpaan. Berbagai-bagai orang hadir di sana: Bugis, Makassar, Jawa, Minang, dan sebagainya. Berbagai profesi pun berbaur, mulai dari petani, nelayan, kuli pelabuhan, penambang, pedagang, hingga petualang.
Syaifuddin Gani sendiri lahir dan menghabiskan masa kecil di Mandar (dulu Sulawesi Selatan, kini Sulawesi Barat), lalu menjalani kehidupan sejak masa remaja hingga kini di Kendari (Sulawesi Tenggara). Maka Kolaka, juga sajak “Wondulako, Lamekongga”, seakan-akan menjadi penanda diri penyair sebagai individu yang “datang dari seberang dan menuju ke seberang pelabuhan”. Ia menulis dalam bahasa Indonesia, tetapi terasa bahwa bahasa Indonesia yang digunakannya adalah bahasa Indonesia perjumpaan, di mana napas Kendari dan Sulawesi kental terasa. Ia melampaui, tetapi berkubang pula di setiap tempat yang terus-menerus dilampaui. Tidak aneh bila kata “dermaga” sering dijadikan tanda untuk setiap kepergian dan pelampauan. Juga dalam sajak-sajak lainnya.
Perjalanan adalah ihwal penting dalam sajak-sajak Syaifuddin Gani. Dari dermaga satu ke dermaga lain, dari pulau ke pulau, ia hijrahkan dirinya. Ia percayakan nasibnya kepada keberangkatan, perjalanan, dan kepulangan.
Dari segi makna referensial banyak sekali kota-kota, dan tempat-tempat yang disapa dalam sajak-sajaknya. Kota dan tempat-tempat itu tampaknya adalah tempattempat di mana diri Gani sendiri pernah menghijrahkan diri. Semua pengalaman perjalanan dan kepindahannya ia percayakan pada puisi dan kata untuk merekam semua pengalaman dan penghayatan pribadinya.
Dalam hubungan dengan tempat-tempat, terasa bahwa ia selalu tampak mencoba untuk keluar dari tempat-tempat tersebut, dari suatu keberadaan, tapi seolah ada sesuatu yang erat mengikat dan melekat (entah terlanjur entah tidak) pada dirinya yang tak mudah untuk ia lepaskan. Ia senantiasa melangkah ke depan, tetapi selalu menanggung masa lalu yang tak sepenuhnya bisa dia tinggalkan. Hal yang sama terjadi pula dalam urusannya dengan kata. Ia mencoba berkutat habis-habisan dengan kata dan justru berujung pada yang ketakterkataan, sebagaimana diakuinya dalam sajak di bawah ini.
Dengan Kata-Kata
dengan kata-kata
aku mengebor sumur dalam diri
semakin dalam semakin tanpa dasar
dengan kata-kata
kubalut duka luka di sekujur tubuh
semakin kubalut semakin menganga
dengan kata-kata
kubendung deras air mata
semakin kubendung ia bagai mata air
dengan kata-kata
kuhalau swara rentetan senjata
semakin kuhalau semakin membabi buta
dengan kata-kata
bumi menjadi tak terkata
Syaifuddin Gani mencoba mengembarai tempat demi tempat, pengalaman demi pengalaman, dengan kata-kata yang dipetiknya dari dermaga, samudera, ombak, teluk, angin, kapal, pantai, pulau, perahu, karang, gelombang, sungai, bandar. Kata-kata digelutinya sebagai bahasa perjumpaan, seperti angin yang tak henti-henti menyapa daratan, seperti kapal yang tiba di perhentian untuk kemudian kembali membentang layar mengarungi perjalanan. Sajak, dengan demikian, adalah sebuah kesibukan yang terus-menerus antara “diam” dan “gerak”. Perjalanan terus-menerus antara hasrat menggapai ketentraman “rumah” dengan hasrat menyusuri jeda-jeda lengang yang mengantarai satu “rumah” dengan “rumah” lainnya.
Tidaklah mengherankan jika rumah atau sesuatu yang “diam”, tempat ia bisa sejenak merehatkan diri, senantiasa disebutnya dalam setiap catatan perjalanan atau kenangan. Maka tempat-tempat seperti Wondulako, Lamekongga, Teluk Kendari, Lembah Mowewe, Makassar, Dermaga Bone, Terminal Sabilambo, Tarakan, Teluk Mandar, Butuni, Dermaga Wangi-wangi, Nunukan, Pare-pare, Sungai Bara (nama muara di daerah Tarakan), Kemaraya, Wua-wua, Punggolaka, Tobuha, Konawe, Perempatan Mandonga, atau Dermaga Lakilaponto disapanya dengan hasrat merengkuh sekaligus melepaskan. Juga dengan daerahdaerah di luar tempat mukimnya nun jauh dari Sulawesi, macam gang-gang di Sleman, Meulaboh, Jakarta, Madura, Yogyakarta, Tanjung Perak, Bekasi, dan sebagainya.
Namun, perjalanan dalam sajak-sajak Syaifuddin Gani bukanlah sebuah tamasya turistis tempat orang mencari dan membayangkan diri menjumpai tempat-tempat bahagia nan terang-benderang. Justru sebaliknya, dunia luka khas perpuisian Indonesia tak dapat dienyahkan dari
sajak-sajaknya. Di awal, tengah, dan akhir perjalanan, sang penyair berhadapan dengan luka, yang tampaknya sudah mengada semenjak titik mula keberangkatan: “di penyeberangan ini/ kuangkut luka/lalu kutumpahkan ke dalam laut… sirene terakhir pun melolong/iring-iringan penumpang bermurungan/ menaiki tangga menuju penampungan luka” (Dermaga).
Hasrat untuk terus bergerak di tengah gebalau kehidupan yang serba mekanis dan menimbulkan “luka dalam” di jiwa manusia agaknya menjadi dasar sajak-sajak Gani secara keseluruhan. Pada titik ini, ia memiliki kesejajaran dengan umumnya sajak-sajak Indonesia yang cenderung mengaduh perih, merintih sunyi. Akrab dengan alam adalah salah satu jawaban penyair untuk keluar dari luka dan kebimbangan. Dari sana, diharapkan saat manusia luka berjumpa dengan sesama manusia luka dari tempat lainnya, akan muncul juga semacam solidaritas di antara mereka, sebagaimana dikatakan dalam sajak “Gang-gang Panjang Sleman”:
kami memang tamu asing
tapi kita memiliki muara yang tak berbeda
: desa perawan, ancaman zaman,
dan gang-gang impian.
Atau dalam sajak “Yogyakarta”
bulan yang telanjang di atas malioboro
bukankah juga bulan
yang perawan di teluk kendari?
tapi kita berada di tempat berbeda
di bawah kilatan muram cahaya.
Membaca kumpulan sajak ini membuka peluang di batin kita untuk berjumpa dengan suara, cinta, dan luka dari seorang pengembara di Sulawesi Tenggara. Suara dari dermaga, dari tepian pantai-pantai maha luas Indonesia bagian timur—setidaknya menyadarkan kita bahwa dunia Indonesia bukan semata dunia macet dan sesak Jakarta, Bandung, atau Surabaya. Bukan juga sekedar dunia agraris Jawa. Ada sejumlah besar pengalaman, sejumlah besar suara, sejumlah besar impian dan harapan yang tersebar di berbagai tepian Indonesia. Antologi ini adalah salah satunya. Maka, mustahil untuk membayangkan sebuah Indonesia tanpa mencoba mengenali dan menyelami dukaderita, harap-bahagia, kegelisahan dan kegundahan manusia dari tepian-tepian Indonesia. Dari Kendari, sajaksajak Syaifuddin Gani telah mencoba mendedahkan bagi kita. Selamat membaca.
WAN ANWAR, Redaktur Horison dan Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
http://media.kompasiana.com/buku/2011/08/12/pengembara-kata-selatan-tenggara/
kulitnya coklat lamekongga
matanya teduh pantai kolaka
tatapnya gerhana bulan
bahasanya selatan tenggara
pabila aku berlabuh di dermaga kolaka.
(Wondulako, Lamekongga)
Sajak “Wondulako, Lamekongga” menghadirkan gambaran tekstual suatu realitas di suatu gugus (daerah) Sulawesi Tenggara yang dihuni masyarakat petani (cokelat, kelapa, buah-buahan) sekaligus masyarakat pelabuhan (dermaga kolaka). Rakyat yang ramah dan sibuk bekerja di antara deretan kelapa, deretan cokelat, dalam sajak di atas digambarkan seperti coklat lamekongga (kulitnya), teduh pantai kolaka (matanya), gerhana bulan (tatapannya), dan selatan tenggara (bahasanya). Rangkaian gambaran konkret mengenai kekhasan realitas Wondulako tersebut menghadirkan kekaguman, ketakjuban, dan penghormatan pada pembaca meski toh terselip juga segugus keganjilan di dalamnya. Keganjilan itu timbul disebabkan ungkapan “tatapnya gerhana bulan”, sebagaimana terlihat pada bait pertama.
Dan Kolaka, sebagai teks referensial, adalah sebuah kota pelabuhan penyeberangan yang menghubungkan Sulawesi Tenggara dengan Sulawesi Selatan dan kota-kota lain di luar Sulawesi Tenggara. Pada titik ini ia menjadi sebuah kota perbatasan yang kompleks yang menjadi batas –tapi sekaligus menghubungkan– satu provinsi dengan provinsi lain, lautan dengan daratan, masyarakat tani dengan masyarakat nelayan, buruh tani dan buruh pelabuhan.
Ada kegelisahan antara keberangkatan dan kedatangan. Orang datang dan pergi, beragam perjumpaan di sana terjadi, tetapi tidak untuk berhenti dan diam bermukim.
Dalam situasi semacam itu, penyair menjalani bahasa sebagai sesuatu yang dimasuki dan dialami tapi sekaligus juga diciptakan: di luar sekaligus di dalam. Ia menjadi bahasa perjumpaan: bahasa selatan tenggara! Ia menjadi bahasa perjumpaan darat dan laut, pertanian dan pelabuhan, ketakjuban dan keganjilan. Kolaka memang merupakan tempat perjumpaan. Berbagai-bagai orang hadir di sana: Bugis, Makassar, Jawa, Minang, dan sebagainya. Berbagai profesi pun berbaur, mulai dari petani, nelayan, kuli pelabuhan, penambang, pedagang, hingga petualang.
Syaifuddin Gani sendiri lahir dan menghabiskan masa kecil di Mandar (dulu Sulawesi Selatan, kini Sulawesi Barat), lalu menjalani kehidupan sejak masa remaja hingga kini di Kendari (Sulawesi Tenggara). Maka Kolaka, juga sajak “Wondulako, Lamekongga”, seakan-akan menjadi penanda diri penyair sebagai individu yang “datang dari seberang dan menuju ke seberang pelabuhan”. Ia menulis dalam bahasa Indonesia, tetapi terasa bahwa bahasa Indonesia yang digunakannya adalah bahasa Indonesia perjumpaan, di mana napas Kendari dan Sulawesi kental terasa. Ia melampaui, tetapi berkubang pula di setiap tempat yang terus-menerus dilampaui. Tidak aneh bila kata “dermaga” sering dijadikan tanda untuk setiap kepergian dan pelampauan. Juga dalam sajak-sajak lainnya.
Perjalanan adalah ihwal penting dalam sajak-sajak Syaifuddin Gani. Dari dermaga satu ke dermaga lain, dari pulau ke pulau, ia hijrahkan dirinya. Ia percayakan nasibnya kepada keberangkatan, perjalanan, dan kepulangan.
Dari segi makna referensial banyak sekali kota-kota, dan tempat-tempat yang disapa dalam sajak-sajaknya. Kota dan tempat-tempat itu tampaknya adalah tempattempat di mana diri Gani sendiri pernah menghijrahkan diri. Semua pengalaman perjalanan dan kepindahannya ia percayakan pada puisi dan kata untuk merekam semua pengalaman dan penghayatan pribadinya.
Dalam hubungan dengan tempat-tempat, terasa bahwa ia selalu tampak mencoba untuk keluar dari tempat-tempat tersebut, dari suatu keberadaan, tapi seolah ada sesuatu yang erat mengikat dan melekat (entah terlanjur entah tidak) pada dirinya yang tak mudah untuk ia lepaskan. Ia senantiasa melangkah ke depan, tetapi selalu menanggung masa lalu yang tak sepenuhnya bisa dia tinggalkan. Hal yang sama terjadi pula dalam urusannya dengan kata. Ia mencoba berkutat habis-habisan dengan kata dan justru berujung pada yang ketakterkataan, sebagaimana diakuinya dalam sajak di bawah ini.
Dengan Kata-Kata
dengan kata-kata
aku mengebor sumur dalam diri
semakin dalam semakin tanpa dasar
dengan kata-kata
kubalut duka luka di sekujur tubuh
semakin kubalut semakin menganga
dengan kata-kata
kubendung deras air mata
semakin kubendung ia bagai mata air
dengan kata-kata
kuhalau swara rentetan senjata
semakin kuhalau semakin membabi buta
dengan kata-kata
bumi menjadi tak terkata
Syaifuddin Gani mencoba mengembarai tempat demi tempat, pengalaman demi pengalaman, dengan kata-kata yang dipetiknya dari dermaga, samudera, ombak, teluk, angin, kapal, pantai, pulau, perahu, karang, gelombang, sungai, bandar. Kata-kata digelutinya sebagai bahasa perjumpaan, seperti angin yang tak henti-henti menyapa daratan, seperti kapal yang tiba di perhentian untuk kemudian kembali membentang layar mengarungi perjalanan. Sajak, dengan demikian, adalah sebuah kesibukan yang terus-menerus antara “diam” dan “gerak”. Perjalanan terus-menerus antara hasrat menggapai ketentraman “rumah” dengan hasrat menyusuri jeda-jeda lengang yang mengantarai satu “rumah” dengan “rumah” lainnya.
Tidaklah mengherankan jika rumah atau sesuatu yang “diam”, tempat ia bisa sejenak merehatkan diri, senantiasa disebutnya dalam setiap catatan perjalanan atau kenangan. Maka tempat-tempat seperti Wondulako, Lamekongga, Teluk Kendari, Lembah Mowewe, Makassar, Dermaga Bone, Terminal Sabilambo, Tarakan, Teluk Mandar, Butuni, Dermaga Wangi-wangi, Nunukan, Pare-pare, Sungai Bara (nama muara di daerah Tarakan), Kemaraya, Wua-wua, Punggolaka, Tobuha, Konawe, Perempatan Mandonga, atau Dermaga Lakilaponto disapanya dengan hasrat merengkuh sekaligus melepaskan. Juga dengan daerahdaerah di luar tempat mukimnya nun jauh dari Sulawesi, macam gang-gang di Sleman, Meulaboh, Jakarta, Madura, Yogyakarta, Tanjung Perak, Bekasi, dan sebagainya.
Namun, perjalanan dalam sajak-sajak Syaifuddin Gani bukanlah sebuah tamasya turistis tempat orang mencari dan membayangkan diri menjumpai tempat-tempat bahagia nan terang-benderang. Justru sebaliknya, dunia luka khas perpuisian Indonesia tak dapat dienyahkan dari
sajak-sajaknya. Di awal, tengah, dan akhir perjalanan, sang penyair berhadapan dengan luka, yang tampaknya sudah mengada semenjak titik mula keberangkatan: “di penyeberangan ini/ kuangkut luka/lalu kutumpahkan ke dalam laut… sirene terakhir pun melolong/iring-iringan penumpang bermurungan/ menaiki tangga menuju penampungan luka” (Dermaga).
Hasrat untuk terus bergerak di tengah gebalau kehidupan yang serba mekanis dan menimbulkan “luka dalam” di jiwa manusia agaknya menjadi dasar sajak-sajak Gani secara keseluruhan. Pada titik ini, ia memiliki kesejajaran dengan umumnya sajak-sajak Indonesia yang cenderung mengaduh perih, merintih sunyi. Akrab dengan alam adalah salah satu jawaban penyair untuk keluar dari luka dan kebimbangan. Dari sana, diharapkan saat manusia luka berjumpa dengan sesama manusia luka dari tempat lainnya, akan muncul juga semacam solidaritas di antara mereka, sebagaimana dikatakan dalam sajak “Gang-gang Panjang Sleman”:
kami memang tamu asing
tapi kita memiliki muara yang tak berbeda
: desa perawan, ancaman zaman,
dan gang-gang impian.
Atau dalam sajak “Yogyakarta”
bulan yang telanjang di atas malioboro
bukankah juga bulan
yang perawan di teluk kendari?
tapi kita berada di tempat berbeda
di bawah kilatan muram cahaya.
Membaca kumpulan sajak ini membuka peluang di batin kita untuk berjumpa dengan suara, cinta, dan luka dari seorang pengembara di Sulawesi Tenggara. Suara dari dermaga, dari tepian pantai-pantai maha luas Indonesia bagian timur—setidaknya menyadarkan kita bahwa dunia Indonesia bukan semata dunia macet dan sesak Jakarta, Bandung, atau Surabaya. Bukan juga sekedar dunia agraris Jawa. Ada sejumlah besar pengalaman, sejumlah besar suara, sejumlah besar impian dan harapan yang tersebar di berbagai tepian Indonesia. Antologi ini adalah salah satunya. Maka, mustahil untuk membayangkan sebuah Indonesia tanpa mencoba mengenali dan menyelami dukaderita, harap-bahagia, kegelisahan dan kegundahan manusia dari tepian-tepian Indonesia. Dari Kendari, sajaksajak Syaifuddin Gani telah mencoba mendedahkan bagi kita. Selamat membaca.
WAN ANWAR, Redaktur Horison dan Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
http://media.kompasiana.com/buku/2011/08/12/pengembara-kata-selatan-tenggara/
No comments:
Post a Comment