Wednesday, July 22, 2020

Pengembara Kata, Selatan Tenggara

Wan Anwar

kulitnya coklat lamekongga
matanya teduh pantai kolaka
tatapnya gerhana bulan
bahasanya selatan tenggara
pabila aku berlabuh di dermaga kolaka.
(Wondulako, Lamekongga)

Sajak “Wondulako, Lamekongga” menghadirkan gambaran tekstual suatu realitas di suatu gugus (daerah) Sulawesi Tenggara yang dihuni masyarakat petani (cokelat, kelapa, buah-buahan) sekaligus masyarakat pelabuhan (dermaga kolaka). Rakyat yang ramah dan sibuk bekerja di antara deretan kelapa, deretan cokelat, dalam sajak di atas digambarkan seperti coklat lamekongga (kulitnya), teduh pantai kolaka (matanya), gerhana bulan (tatapannya), dan selatan tenggara (bahasanya). Rangkaian gambaran konkret mengenai kekhasan realitas Wondulako tersebut menghadirkan kekaguman, ketakjuban, dan penghormatan pada pembaca meski toh terselip juga segugus keganjilan di dalamnya. Keganjilan itu timbul disebabkan ungkapan “tatapnya gerhana bulan”, sebagaimana terlihat pada bait pertama.

Dan Kolaka, sebagai teks referensial, adalah sebuah kota pelabuhan penyeberangan yang menghubungkan Sulawesi Tenggara dengan Sulawesi Selatan dan kota-kota lain di luar Sulawesi Tenggara. Pada titik ini ia menjadi sebuah kota perbatasan yang kompleks yang menjadi batas –tapi sekaligus menghubungkan– satu provinsi dengan provinsi lain, lautan dengan daratan, masyarakat tani dengan masyarakat nelayan, buruh tani dan buruh pelabuhan.

Ada kegelisahan antara keberangkatan dan kedatangan. Orang datang dan pergi, beragam perjumpaan di sana terjadi, tetapi tidak untuk berhenti dan diam bermukim.

Dalam situasi semacam itu, penyair menjalani bahasa sebagai sesuatu yang dimasuki dan dialami tapi sekaligus juga diciptakan: di luar sekaligus di dalam. Ia menjadi bahasa perjumpaan: bahasa selatan tenggara! Ia menjadi bahasa perjumpaan darat dan laut, pertanian dan pelabuhan, ketakjuban dan keganjilan. Kolaka memang merupakan tempat perjumpaan. Berbagai-bagai orang hadir di sana: Bugis, Makassar, Jawa, Minang, dan sebagainya. Berbagai profesi pun berbaur, mulai dari petani, nelayan, kuli pelabuhan, penambang, pedagang, hingga petualang.

Syaifuddin Gani sendiri lahir dan menghabiskan masa kecil di Mandar (dulu Sulawesi Selatan, kini Sulawesi Barat), lalu menjalani kehidupan sejak masa remaja hingga kini di Kendari (Sulawesi Tenggara). Maka Kolaka, juga sajak “Wondulako, Lamekongga”, seakan-akan menjadi penanda diri penyair sebagai individu yang “datang dari seberang dan menuju ke seberang pelabuhan”. Ia menulis dalam bahasa Indonesia, tetapi terasa bahwa bahasa Indonesia yang digunakannya adalah bahasa Indonesia perjumpaan, di mana napas Kendari dan Sulawesi kental terasa. Ia melampaui, tetapi berkubang pula di setiap tempat yang terus-menerus dilampaui. Tidak aneh bila kata “dermaga” sering dijadikan tanda untuk setiap kepergian dan pelampauan. Juga dalam sajak-sajak lainnya.

Perjalanan adalah ihwal penting dalam sajak-sajak Syaifuddin Gani. Dari dermaga satu ke dermaga lain, dari pulau ke pulau, ia hijrahkan dirinya. Ia percayakan nasibnya kepada keberangkatan, perjalanan, dan kepulangan.

Dari segi makna referensial banyak sekali kota-kota, dan tempat-tempat yang disapa dalam sajak-sajaknya. Kota dan tempat-tempat itu tampaknya adalah tempattempat di mana diri Gani sendiri pernah menghijrahkan diri. Semua pengalaman perjalanan dan kepindahannya ia percayakan pada puisi dan kata untuk merekam semua pengalaman dan penghayatan pribadinya.

Dalam hubungan dengan tempat-tempat, terasa bahwa ia selalu tampak mencoba untuk keluar dari tempat-tempat tersebut, dari suatu keberadaan, tapi seolah ada sesuatu yang erat mengikat dan melekat (entah terlanjur entah tidak) pada dirinya yang tak mudah untuk ia lepaskan. Ia senantiasa melangkah ke depan, tetapi selalu menanggung masa lalu yang tak sepenuhnya bisa dia tinggalkan. Hal yang sama terjadi pula dalam urusannya dengan kata. Ia mencoba berkutat habis-habisan dengan kata dan justru berujung pada yang ketakterkataan, sebagaimana diakuinya dalam sajak di bawah ini.

Dengan Kata-Kata
dengan kata-kata
aku mengebor sumur dalam diri
semakin dalam semakin tanpa dasar
dengan kata-kata
kubalut duka luka di sekujur tubuh
semakin kubalut semakin menganga
dengan kata-kata
kubendung deras air mata
semakin kubendung ia bagai mata air
dengan kata-kata
kuhalau swara rentetan senjata
semakin kuhalau semakin membabi buta
dengan kata-kata
bumi menjadi tak terkata

Syaifuddin Gani mencoba mengembarai tempat demi tempat, pengalaman demi pengalaman, dengan kata-kata yang dipetiknya dari dermaga, samudera, ombak, teluk, angin, kapal, pantai, pulau, perahu, karang, gelombang, sungai, bandar. Kata-kata digelutinya sebagai bahasa perjumpaan, seperti angin yang tak henti-henti menyapa daratan, seperti kapal yang tiba di perhentian untuk kemudian kembali membentang layar mengarungi perjalanan. Sajak, dengan demikian, adalah sebuah kesibukan yang terus-menerus antara “diam” dan “gerak”. Perjalanan terus-menerus antara hasrat menggapai ketentraman “rumah” dengan hasrat menyusuri jeda-jeda lengang yang mengantarai satu “rumah” dengan “rumah” lainnya.

Tidaklah mengherankan jika rumah atau sesuatu yang “diam”, tempat ia bisa sejenak merehatkan diri, senantiasa disebutnya dalam setiap catatan perjalanan atau kenangan. Maka tempat-tempat seperti Wondulako, Lamekongga, Teluk Kendari, Lembah Mowewe, Makassar, Dermaga Bone, Terminal Sabilambo, Tarakan, Teluk Mandar, Butuni, Dermaga Wangi-wangi, Nunukan, Pare-pare, Sungai Bara (nama muara di daerah Tarakan), Kemaraya, Wua-wua, Punggolaka, Tobuha, Konawe, Perempatan Mandonga, atau Dermaga Lakilaponto disapanya dengan hasrat merengkuh sekaligus melepaskan. Juga dengan daerahdaerah di luar tempat mukimnya nun jauh dari Sulawesi, macam gang-gang di Sleman, Meulaboh, Jakarta, Madura, Yogyakarta, Tanjung Perak, Bekasi, dan sebagainya.

Namun, perjalanan dalam sajak-sajak Syaifuddin Gani bukanlah sebuah tamasya turistis tempat orang mencari dan membayangkan diri menjumpai tempat-tempat bahagia nan terang-benderang. Justru sebaliknya, dunia luka khas perpuisian Indonesia tak dapat dienyahkan dari

sajak-sajaknya. Di awal, tengah, dan akhir perjalanan, sang penyair berhadapan dengan luka, yang tampaknya sudah mengada semenjak titik mula keberangkatan: “di penyeberangan ini/ kuangkut luka/lalu kutumpahkan ke dalam laut… sirene terakhir pun melolong/iring-iringan penumpang bermurungan/ menaiki tangga menuju penampungan luka” (Dermaga).

Hasrat untuk terus bergerak di tengah gebalau kehidupan yang serba mekanis dan menimbulkan “luka dalam” di jiwa manusia agaknya menjadi dasar sajak-sajak Gani secara keseluruhan. Pada titik ini, ia memiliki kesejajaran dengan umumnya sajak-sajak Indonesia yang cenderung mengaduh perih, merintih sunyi. Akrab dengan alam adalah salah satu jawaban penyair untuk keluar dari luka dan kebimbangan. Dari sana, diharapkan saat manusia luka berjumpa dengan sesama manusia luka dari tempat lainnya, akan muncul juga semacam solidaritas di antara mereka, sebagaimana dikatakan dalam sajak “Gang-gang Panjang Sleman”:

kami memang tamu asing
tapi kita memiliki muara yang tak berbeda
: desa perawan, ancaman zaman,
dan gang-gang impian.
Atau dalam sajak “Yogyakarta”
bulan yang telanjang di atas malioboro
bukankah juga bulan
yang perawan di teluk kendari?
tapi kita berada di tempat berbeda
di bawah kilatan muram cahaya.

Membaca kumpulan sajak ini membuka peluang di batin kita untuk berjumpa dengan suara, cinta, dan luka dari seorang pengembara di Sulawesi Tenggara. Suara dari dermaga, dari tepian pantai-pantai maha luas Indonesia bagian timur—setidaknya menyadarkan kita bahwa dunia Indonesia bukan semata dunia macet dan sesak Jakarta, Bandung, atau Surabaya. Bukan juga sekedar dunia agraris Jawa. Ada sejumlah besar pengalaman, sejumlah besar suara, sejumlah besar impian dan harapan yang tersebar di berbagai tepian Indonesia. Antologi ini adalah salah satunya. Maka, mustahil untuk membayangkan sebuah Indonesia tanpa mencoba mengenali dan menyelami dukaderita, harap-bahagia, kegelisahan dan kegundahan manusia dari tepian-tepian Indonesia. Dari Kendari, sajaksajak Syaifuddin Gani telah mencoba mendedahkan bagi kita. Selamat membaca.

WAN ANWAR, Redaktur Horison dan Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
http://media.kompasiana.com/buku/2011/08/12/pengembara-kata-selatan-tenggara/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar