Thursday, August 12, 2021

Saat Sastra(wan) Jadi Komentator Lapangan

Misbahus Surur
lampungpost.com
 
Permainan sepak bola efektif dan permainan alur cantik, mana yang lebih menarik? Jamak pengamat bilang, yang pertama barangkali representasi permainan Inter Milan di bawah kendali Jose Mourinho. Sedang yang kedua, lebih ke model permainan klub-klub Spanyol, terutama Barcelona di bawah tangan dingin Josep Guardiola.
 
Lalu, bagaimana aksi lapangan negara-negara peserta Piala Dunia tahun ini. Adakah permainan cantik, setidaknya, mampu dipelopori negara-negara bertabur bintang, semisal Brasil, Argentina, Spanyol, Italia atau Belanda? Ah, bukankah dalam pergelaran empat tahunan itu, model permainan cantik tak terlalu diminati atau bahkan tak pernah menjadi prioritas. Sebab, ketika sudah tiba hajatan paling akbar itu, yang mutlak dibutuhkan sebuah tim adalah kemenangan, bukan godaan bermain cantik. Permainan sepak bola Eropa, berikut tipe Amerika Latin di klubnya masing-masing, memang bisa kita akui sebagai cermin permainan kelas tinggi. Tapi, dalam Piala Dunia 2010 ini, berderet superioritas itu bukan jaminan untuk memainkan sepak bola indah, bukan?
 
Jika demikian halnya, bisa jadi, kita malah menonton hal-hal linear dan normatif belaka. Ringkasnya, tak pernah ada permainan yang memukau, trik-trik yang menarik, juga gocekan-gocekan cergas dan tangkas. Lebih lagi, tuntutan untuk bermain terbuka, di mana ketika peluit wasit ditiup, permainan bergulir tanpa beban apa pun yang dibawa pemain; beban patokan gol, keharusan memenangi pertandingan juga beban untuk bermain secara baik.
 
Sudahkah kita temukan secercah tarian bola indah pada diri Jabulani-nama bola resmi Piala Dunia di Afrika Selatan? Alih-alih, dalam sebuah tim dengan kualitas dan kalkulasi pemain di bawah rata-rata, misalnya, sekelas Afrika Selatan, Aljazair, Swiss ataupun Jepang, mereka harus mengintroduksi permainan cerdas: siasat dan perhitungan matang juga strategi yang jitu. Pendeknya, teknis belakalah yang harus diunggulkan. Entah terkait pola menyerang, pola pertahanan, pola untuk bisa mendapatkan suplai bola dan memasukkan bola ke jala lawan.
 
Selain hal-hal urgen di atas, sebuah permainan tentu sangat terikat dengan seperangkat aturan. Kelak, dari jalinan regulasi yang diterapkan wasit hingga realitas di lapangan itu, akan menuturkan cerita dan peristiwanya sendiri. Tak peduli di sana mengemuka fenomena yang lumrah-lumrah saja ataupun janggal. Toh, dari berbagai peristiwa itu nantinya akan ada yang dikenang, meskipun ada pula yang segera dilupakan. Pun sejumlah pemainnya bisa menjelma pahlawan kendati tidak sedikit yang menjadi pecundang. Yang jelas, ihwal yang menyertai pertandingan demi pertandingan tersebut akan semakin menggenapkan anggapan kita bahwa para manusia (lapangan) adalah sang homo ludens, makhluk yang suka bermain.
 
Tetapi, dari sekian permainan yang kerap dihelat, barangkali masih jarang yang memperhatikan bagaimana perasaan rumput dan bola di lapangan, juga bagaimana pikiran gawang dan benda-benda di stadion. Kalaulah ada yang mengajak kita merenungkan hal yang renik itu, mungkin cuma sedikit. Dan yang sedikit itu, termasuk penyair Hasan Aspahani (HA). Ya, di saat banyak peminat sepak bola biasa menikmati permainan lewat cerdasnya gocekan bola pemain, juga segala keindahan yang terpampang di sana.
 
Aspahani malah mengomentari benda-benda mati yang berserakan di lapangan. Seolah ia menahbiskan dirinya sebagai penyambung lidah benda-benda tak bernyawa itu. Lalu menghidupkan sebuah adegan di lapangan kata-kata, tak kalah meriah dari yang terhidang di lapangan bola. Sangat jadi, ini upaya Aspahani untuk mengintegrasikan tema-tema yang alpa digarap dan dieksperimentasi penyair-penyair lain. Lagi pula, benda-benda itu memang jarang ada yang mau mengomentari, apalagi menyelami keluh-kesahnya.
 
Dalam sajak Malaikat Penjaga Gawang, misalnya, sehabis pertandingan, si kulit bundar tertidur pulas dan bermimpi protes pada malaikat penjaga gawang: “Kenapa engkau halangi aku menyentuh jaring-jaring gawang itu? Kenapa setiap kali aku ada di dalam tenteram tanganmu, kau tendang lagi aku ke tengah-tengah lapangan untuk diperebutkan?”. Seperti seorang anak kecil, sang bola berkeluh, menandas-lunaskan segala yang dirasakan. Karena sejujurnya, ia ingin tenteram pulas di jala, tak ingin diperebutkan lagi. Sudah malas dikejar-kejar sekian puluh pemain, tiap kali pertandingan digelar. Tapi sungguh malang nasib sang bola, sia-sia ia bertanya dan berusaha membela diri karena keluhannya tak pernah dapat jawaban “karena” atau “sebab”.
 
Pada sebuah pertandingan penutup (final), seharusnya tak ada kata imbang karena yang diharapkan masing-masing tim adalah kemenangan. Kemenangan di sini dalam arti siapa yang paling banyak memasukkan bola ke gawang lawan, bukan pada tingginya ball possession, kebagusan strategi atau unggulnya kapasitas pemain. Yang juga tidak seperti pertandingan penyisihan yang sah-sah saja terjadi imbang (tanpa gol atau gol yang dihasilkan sama). Maka, jika dalam pertandingan tak terdapat gol, bagaimana mau digelar sebuah pertandingan final. Tapi, inilah yang terjadi dengan ?Pertandingan Penghabisan? versi Hasan Aspahani. Dengan atraktif, satire dan menohok, Aspahani memain-mainkan bola liar kata-katanya: Tuhan, Engkau tidak usah nonton, kan? Memang sebaiknya sejenak kami Engkau tinggalkan. Jangan pernah lagi Engkau main tangan, bikin gol ke gawang salah satu dari kami, doa seorang kapten sebuah kesebelasan. Seolah kesebelasan satu tak mau menyakiti kesebelasan lawan, dengan jalan membuat gol. Setelah perpanjangan waktu, disertai ceceran kartu kuning dan merah yang mengganjar tackle-tackle kotor para pemain, gol pun tetap tak terjadi. Dan, doa kapten tim itu sungguh-sungguh dikabulkan Tuhan.
 
Perhelatan sepak bola di zaman modern ini, tentu bukan sebuah permainan biasa tetapi sudah menjelma sebagai ritus yang menerabas sekat-sekat wacana dan tradisi, dengan segala peranti kepentingan yang terselip di dalamnya. Membaur pekat di dalam maupun di luar lapangan, dari yang unik hingga soal mistik, dari yang renik hingga yang klenik, bahkan dari yang fantastis hingga yang erotis. Menyatu dalam helat permainan bersama riuh tempik-sorak penonton. Dan, lamat-lamat, penonton pun sering main spekulasi sendiri. Serasa kepala mereka dipenuhi rumus-rumus probabilitas. Dan seperangkat probabilitas itu bukankah sangat karib dengan mental penjudi? Inilah yang diulas dengan kemasan ironik dalam salah satu sajak Aspahani. Di mana tiap datang event Piala Dunia, selalu tak bisa lepas dari kepentingan di luar lapangan: semarak perjudian. “Saya yang berjudi nyawa di lapangan, mereka enak saja adu nasib di meja perjudian,” keluh seorang pemain bola dalam Lengking Peluit yang Lama Tak Ia Perhatikan (hlm 48).
 
Dalam dunia sajak, kata Goenawan Mohamad, riwayat kata dan tubuh adalah dua entitas terbatas yang dibujuk oleh sesuatu yang tak berhingga. Dalam sajak-sajak Aspahani, riwayat dua entitas itu seakan terwakili sekaligus oleh hadirnya buku antologi sajak Telimpuh (Koekoesan, 2009) ini, khususnya pada tema Malaikat Penjaga Gawang. Setidaknya, di sini, persamaan antara bola dan sastra, adalah sama-sama ingin memperlihatkan setangkup keindahan. Jika yang pertama berusaha memamerkan keindahan lewat utak-atik benda berkulit bundar hingga sedap dipandang mata. Maka yang lain, adalah upaya memainkan kata-kata dengan balutan keindahan bahasa, agar pembaca tercerahkan: katarsis.
 
Melalui sajak dialog maupun monolog, Aspahani berusaha menghidupkan benda-benda mati di lapangan. Ia seolah tengah mengamalkan laku dan prinsip meditasi “kemudian”. Sajak “kemudian” bagi Aspahani adalah sajak yang terus-menerus menawarkan pembaruan dan kebaruan kata-kata. Tapi tetap dibimbing dialog-dialog yang cerdas. Dalam sajak Setelah Sebuah Gol umpamanya, bagaimana monolog bola itu mampu ia bangun secara ambigu tetapi juga menyiratkan pertanyaan eksistensial sehingga pembaca seperti digelitik untuk mempertanyakan apa kepentingan penonton dalam permainan sepak bola yang ia tonton.
 
Sebagaimana kredo “tetapi” yang diteguhinya, dalam sajak Solilokui Sang Bola Kaki, Aspahani seperti ingin menunjukkan sepenggal “tetapi” itu. “Tetapi” adalah penghubung dua kalimat atau frasa yang bertentangan. “Kenapa semua tentara tidak dilatih menjadi pemain sepak bola saja?… Mungkin dunia akan lebih damai, kalau/wajib militer diganti wajib main bola? Dan suara-suara tembakan pun berganti/menjadi riuh penonton di lapangan sepak bola?… Bukankah dengan demikian, tak ada orang biasa/yang terluka? Atau bahkan jadi korban sia-sia? (hlm 56). Membaca penggalan sajak ini, kita seolah-olah digiring untuk merenungi kata-kata Aspahani berikut: “Bila dunia menampakkan A, maka penyair harus menemukan dan menghadirkan B dalam atau dengan sajak-sajaknya”. Dalam sajak-sajak yang khusus bertema sepak bola ini, Aspahani seperti tak henti membuat kejutan-kejutan baru, ia terus berlari mengejar bola kata-katanya, untuk kemudian melunaskan setiap ciptaan dalam situasi estetiknya sendiri.

*) Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim. http://sastra-indonesia.com/2010/07/saat-sastrawan-jadi-komentator-lapangan/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar