Friday, August 27, 2021

Hakikat Bahasa, Mantra, dan Tanggung Jawab

(Tanggapan atas buku Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri)

 
Mahmud Jauhari Ali
http://pustakapujangga.com/2011/10/the-truth-of-language-mantra-and-responsibility/
 
Apakah yang terbayang di benak Anda ketika membaca judul saya di atas? Wujud bahasakah? Dukun yang sedang membaca mantra? Seorang lelaki yang sedang menunaikan tanggung jawabnya? Atau apa?
 
Hari itu, di sebuah ruang belajar, saya pernah menyimak sebuah pertanyaan singkat, “Apakah bahasa itu?” Mungkin Anda juga pernah mendengarnya. Mungkin juga tidak. Mengenai pertanyaan tersebut, banyak orang menjawabnya dengan kalimat sederhana, “Bahasa ialah alat komunikasi.” Pertanyaannya sekarang adalah, benarkah bahasa itu memang alat komunikasi?
 
Sebelum kita masuk ke wilayah yang lebih jauh menyangkut hakikat bahasa, dan juga menanggapi buku karangan Nurel Javissyarqi yang judulnya saya tuliskan di atas itu, saya katakan terlebih dahulu, bahwa saya bukanlah seorang linguis atau pun sastrawan hebat. Dalam hal ini saya hanyalah seorang penulis yang ingin menuliskan apa yang saya ketahui saja.
 
Baiklah, kembali ke pertanyaan apakah bahasa, sekilas tidak salah jika bahasa diartikan sebagai alat komunikasi. Mengapa? Sebab, fungsi utama bahasa memanglah sebagai alat penyampai pesan dari pembicara kepada penyimak, atau dari penulis kepada pembaca. Namun, apakah argumen itu sudah kuat dalam kajian yang mendalam untuk menjadi landasan dalam pendefinisian bahasa?
 
Saya yakin semuanya akan sepakat bahwa fungsi utama bahasa ialah sebagai alat komunikasi. Akan tetapi, fungsi tidaklah sama dengan batasan atau definisi, bukan? Jadi, jika ditanya apa salah satu fungsi bahasa, jawabannya yang benar ialah alat komunikasi. Dengan demikian, “alat komunikasi” bukanlah definisi bahasa, melainkan salah satu fungsi bahasa saja.
 
Nah sebenarnya pertanyaan apakah bahasa ini menyangkut hakikat bahasa itu sendiri. Ketika kita mendengar kata “bahasa”, yang muncul di dalam otak kita ialah “kata”, “frasa”, “klausa”, “kalimat”, dan seterusnya. Kata dan lainnya itulah bahasa di tiap-tiap tatarannya. Secara mudah, baik kata maupun yang lainnya itu sebenarnya ialah lambang bunyi. Dan, lambang bunyi tersebut merupakan wadah makna yang menghubungkan antara lambang seperti kata dengan rujukannya. Misalnya, kata mata merupakan wadah makna yang berbunyi ‘indra di tubuh makhluk hidup untuk melihat’. Makna ini menghubungkan kata mata dengan rujukannya berupa benda bulat yang melekat di bagian wajah tubuh makhluk hidup untuk melihat.
 
Jadi, ketika kita mendengarkan orang mengucapkan, “Selamat pagi!”, berarti kita mendengarkan orang mengucapkan bahasa. Atau, saat ada seorang anak kecil mengucapkan kata “Enak.”, dia telah mengucapkan bahasa, yakni bahasa Indonesia.
 
Jika kita cermati dengan saksama,“Selamat pagi!” dan “Enak.”, semuanya memiliki aturan atau bersistem. Perhatikan saja, “Selamat pagi!” tidak diucapkan dengan pagi selamat dan “Enak.” tidak diucapkan kane, anek, neak, atau kena. Ini membuktikan bahwa bahasa itu bersistem dan sistem itu berlaku secara konvensional oleh suatu kelompok manusia atau masyarakat bahasa. Sebut saja salah satu kelompok manusia yang saya maksud itu ialah warga Indonesia. Saya, Anda, dan lainnya termasuk di dalam kelompok manusia itu yang sepakat secara konvensional atas bahasa Indonesia, baik kata dan lainnya.
 
Dengan demikian, kiranya sudah dapat kita tangkap apakah bahasa yang sejatinya merupakan hakikat bahasa itu sendiri, yakni sistem lambang bunyi yang arbitrer (mana suka) dan secara konvensional digunakan untuk kepentingan manusia, seperti berkomunikasi, bekerja sama, dan membangun bangsa dalam suatu masyarakat bahasa.
 
Dalam kaitannya dengan masyarakat bahasa ini, dikenal istilah kreativitas linguistik. Contoh nyata dari kreativitas itu ialah, huruf-huruf latin yang jumlahnya tak sampai seratus buah, bisa dibuat kata, kalimat, paragraf, dan lainnya yang tak terhingga jumlahnya. Buku-buku berhuruf latin yang jumlahnya sangat banyak di dunia ini pun, sejatinya juga dibentuk dari huruf-huruf dengan jumlah yang tak terlalu banyak itu. Bayangkan saja, seorang penyair memanfaatkan huruf latin untuk dibentuk menjadi kata, larik, bait, hingga menjadi banyak puisi yang terhimpun dalam buku antologi puisi. Begitupun nenek moyang kita dulu, dari huruf-huruf, mereka membuat banyak mantra. Ya, mantra yang memiliki makna dan maksud untuk ditujukan kepada roh dan lainnya.
 
Tentunya agar bisa membuat karya semacam puisi mutahkhir atau pun mantra, dibutuhkan kompetensi bahasa termasuk mengerti makna dari kata yang digunakan pembuatnya untuk menghasilkan karya bermutu.
 
Nah, menghubungkan perihal bahasa di atas itu dengan buku Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri karangan Nurel Javissyarqi (terbitan Pustaka Pujangga, Mei, 2011), menurut saya sangat menarik. Sejauh mana kemenarikan itu? Silakan ikuti bahasan saya berikut ini.
 
Kata-Kata harus Bebas dari Pengertian
 
Dalam buku Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan SCB, Nurel Javissyarqi terkesan langsung menghubungkannya dengan mantra. Hal ini sesuai dengan SCB dalam kata-katanya yang ingin mengembalikan kata kepada mantra. Menurut SCB, mantra tak bermakna sebagai bagian dari pemikiranya untuk melepaskan kata dari pengertian. Dan, pada buku itu terlihat jelas Nurel menolak penyataan SCB bahwa kata harus bebas dari pengertian tersebut.
 
Nurel beropini bahwa mantra itu sendiri mengandung makna agung untuk ditujukan kepada roh dan lainnya. Dengan kata lain, mantra tanpa makna tidak akan mujarab. Lalu apakah persoalannya sekarang sudah tuntas sampai di situ? Ternyata tidak. Sebab, muncul pertanyaan baru, apakah benar mantra tanpa makna seperti kata SCB? Ataukah memang memiliki makna seperti yang dikatakan Nurel?
 
Untuk menjawab dua pertanyaan pilihan itu tentu kita selayaknya kembali kepada apa sebenarnya hakikat bahasa. Kata, sesuai dengan ilmu linguistik yang saya paparkan di atas, merupakan wadah makna. Tentunya, makna, maksud, dan pengertian tidak bisa dilepaskan dari kata itu sendiri. Mengapa?
 
Sebab, kata tanpa makna, maksud, atau pengetian, menjadikan kata itu kosong. Serupa dengan kaleng bekas wadah kue kering yang sudah habis kita makan. Misalnya kata pintu, jika dilepaskan dari maknanya, kata itu tidak akan berfungsi apa-apa. Itu sama saja dengan wujud-wujud seperti lopi, meka, juha, dan lainnya yang tanpa makna dan tanpa fungsi apa-apa. Coba renungkan, apakah lopi, meka, juha bisa kita gunakan untuk meyampaikan pesan? Tidak bukan? Sebaliknya, jika makna, maksud, atau pengertian yang dilepaskan dari kata, semuanya itu akan kehilangan wadahnya. Dan, ujung-ujungnya akan dicari wadah atau kata lain untuk mewadahi makna yang dilepaskan dari kata awalnya.
 
Wadah makna itu sangat penting sebagai penamaan dalam komunikasi. Sebagai gambaran singkat, dulu orang belum bisa membuat komputer sehingga orang-orang tidak mengenal kata computer. Kemudian dengan kegigihan orang, terciptalah benda baru yang bisa digunakan untuk mengetik, mendesain gambar dan sebagainya. Untuk mewadahi atau menamai ciptaan baru manusia itu, dicarilah dan dipilihlah secara artbirter (mana suka) dengan nama computer. Pertanyaannya, apa jadinya jika kata dan makna dipisahkan satu sama lainnya?
 
Nah, selain kata, sebenarnya sesuatu di luar lingual atau nonverbal pun memiliki makna. Tidak percaya? Perhatikan ilustrasi berikut.
 
Siang itu Fajar membujuk Hena makan di warung sederhana di ujung kampus. Fajar sudah berusaha keras membuat pacarnya yang super elit itu mau mengikuti kehendaknya. Tapi sayang, Hena diam saja. Beberapa waktu Hena masih diam dan tak lama kemudian Fajar menyerah. Ya, dia berhenti membujuk pacar kesayangannya yang cantik itu. Mereka pun akhirnya makan siang seperti biasanya di rumah makan yang mewah dengan harga selangit.
 
Dari ilustrasi itu kita bisa mengetahui makna dari diamnya Hena, yakni ‘tidak mau makan di warung makan sederhana di ujung kampus mereka’. Dengan diam itu, Fajar menyerah dalam bujuk rayunya. Diam termasuk nonverbal, tapi memiliki makna. Apalagi dengan bahasa verbal? Tentu memiliki makna, bukan.
 
Melihat fakta emperis dan pembahasan di atas, jelaslah bahwa kata tidak bisa dilepaskan dari makna, maksud, dan pengertian. Dengan kata lain, kata yang merupakan lambang selalu akan menjadi wadah dari makna, maksud, dan pengertian yang menghubungkan dengan rujukannya, baik benda maupun konsep. Jika demikian, kata-kata dalam mantra pun sebenarnya memiliki makna. Perhatikanlah mantra berikut ini.
 
Bahasa Arab dan Banjar ……Bahasa Indonesia
 
Bismilahirrahmanirahim…….Dengan nama Allah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Kecuali pandira ini bagarak…Kecuali bendera ini bergerak
Maka maling kawa bagarak……Maka pencuri bisa bergerak
Barakat La ilahaillah………Berkat tiada Tuhan malainkan Allah
Muhammadarasulullah………..Muhammad adalah utusan Allah
 
Tak ada satu kata pun yang tak bermakna dalam mantra di atas bukan? Dan, pembuatnya mampu membuat mantra itu dengan ditunjang kompetensi bahasanya termasuk dalam hal makna dari kata-kata yang digunakannya itu. Kalau pun ada kata-kata yang hanya bunyi saja di dalam mantra, itu mengandung maksud tertentu yang dimengerti oleh si pembuatnya untuk ditujukan kepada roh dan lainnya. Dan, pembuat mantra harus memiliki komptensi bahasa dulu baru bisa membuat mantra.
 
Intinya, antara kata dan makna tidak bisa dilepaskan. Dan, makna itu sangatlah penting. Karena itulah, ada ilmu semantik yang membahas soal makna dan wadahnya. Untuk kata-kata yang terkesan hanya bunyi tanpa makna dalam mantra, dikaji khusus dalam semantik maksud.
 
Kata Pertama adalah Mantra
 
Di bagian terdahulu dari tulisan ini sudah saya katakan bahwa dalam masyarakat bahasa ada istilah kreativitas linguistik. Seorang penyair misalnya, memanfaatkan huruf latin untuk dibentuk menjadi kata, larik, bait, hingga menjadi banyak puisi. Begitupun nenek moyang kita dulu, dari huruf-huruf, mereka membuat banyak mantra. Tentunya agar bisa membuat karya semacam puisi mutakhir atau pun mantra, dibutuhkan kompetensi bahasa termasuk mengerti makna dari kata yang dia gunakan untuk membuat karya bermutu.
 
Jadi, nenek moyang kita membuat mantra dengan berdasarkan kompetensi bahasa. Di sini jelas, sebelum membuat mantra, nenek moyang kita sudah mengenal kata dan mengetahui maknanya. Bisa dikatakan, sebelum mantra diciptakan, terlebih dahulu harus ada kata dengan kandungan maknanya. Atau dengan kata lain, kata dan makna lebih dahulu ada sebelum adanya mantra. Dengan demikian, tentunya tidak mungkin yang belakangan diciptakan—mantra—menjadi awal dari yang sebelumnya telah ada (kata dan makna).
 
Nah inilah yang dipersoalkan oleh Nurel dalam bukunya yang berkover warna dominan merah itu. Secara terang-terangan, Nurel menolak pernyataan SCB bahwa kata pertama ialah mantra. Saya pun secara objektif tidak sependapat dengan pernyataan SCB tersebut. Mengapa? Karena, sudah jelas bahwa mantra itu diciptakan setelah ada kata. Jadi, kata pertama bukanlah mantra. Kalau benar penyataan SCB itu bahwa kata pertama ialah mantra, lalu misalnya di dunia ini kata yang pertama ialah makan, apakah kata makan itu mantra? Tentunya kata makan bukanlah mantra. Melainkan, kata makan bisa menjadi kata untuk membuat mantra.
 
Penyair Tidak Bisa Dimintai Pertanggungjawabannya
 
Siapakah penyair itu?
Apakah dia wali Tuhan di bumi? Rasul yang membawa wahyu? Atau Tuhan itu sendiri?
 
Ada yang mengatakan bahwa penyair disebut juga sastrawan. Nah, kata sastrawan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan lema yang tergolong nomina dengan beberapa makna di dalamnya. Makna-makna itu adalah ’ahli sastra’, ’pujangga’, ’pengarang prosa dan puisi’, ’(orang) pandai-pandai’, dan ’cerdik cendekia’.
 
Batasan itu secara umum memasukkan penyair ke dalam golongan sastrawan. Dan, setinggi apapun penyair hingga dia dimasukkan dalam kaum sastrawan, tidak serta merta membuatnya bebas dari tanggung jawab. Penyair tetaplah manusia. Dia tak bisa menjelma malaikat atau lainnya. Semua manusia, termasuk penyair akan mempertanggungjawabkan segala amalnya. Jika salah, dia dihukum dan jika benar dia akan mendapatkan ganjaran yang baik. Jangankan kata dalam bentuk puisi tertulis atau diujarkan di atas panggung, bisikan hati penyair yang belum menjelma kata-kata dan perbuatan lainnya pun dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Tuhan kelak.
 
Dalam tataran manusia saja, perkataan siapa pun selalu menimbulkan efek. Bisa negatif, bisa pula perkataan kita berdampak positif bagi orang lain. Jika berdampak negatif, bukan hanya di akhirat kita mempertanggungjawabkannya, tetapi di dunia kita juga harus mempertanggungjawabkan perkataan itu. Bahkan, bisa jadi pertanggung jawabannya dengan kehilangan nyawa atau kematian.
 
Sehubungan dengan dunia puisi, SCB menyatakan penyair tidak bisa dimintai pertanggungjawabannya. Dan, pernyataannya itu ditolak oleh Nurel Javvisyarqi. Menurut Nurel, penyair tidak bisa disamakan dengan Tuhan. Saya pun secara objektif dan sesuai penjelasan di atas itu, menolak pernyataan SCB tersebut.
 
Berkaitan dengan efek, pernyataan SCB itu dapat menimbulkan kebebasan tingkat tinggi. Bayangkan saja, jika penyair tidak dimintai pertanggungjawabannya, tentu penyair akan sesukanya menggunakan kata. Kata-kata yang tak patut dikatakan semisal yang porno, kotor, dan lainnya pun akan menjadi halal dikatakan oleh penyair. Sebab, penyair tidak mempertanggungjawabkan kata-katanya. Ini kekebasan yang sangat tidak diharapkan. Apabila hal ini dikaitkan dengan Licentia peotica dalam sastra pun, kurang sejalan. Licentia poetica pun yang ideal memiliki batasan agar tidak melampaui batas kewajaran, termasuk memperhatikan aspek tanggung jawab dalam berkarya.
 
Penyair yang baik, selayaknya memperhatikan setiap kata yang digunakannya untuk membuat puisi sebelum dipublikasikan ke tengah masyarakat. Ini penting untuk menghindarkan tafsiran-tafsiran yang tidak diharapkan.
 
Nah, ketiga hal di atas itulah yang menurut saya merupakan inti dari buku Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri karangan Nurel Javissyarqi, sang pengelana dari bencah Tanah Jawa itu. Dan, hanya inilah secuil tulisan yang dapat saya sampaikan. Sejatinya kebenaran hanya milik Tuhan dan jika ada yang tak sejalan dengan pemikiran saya di atas, itu hal wajar. Salam takzim dari saya di Tanah Borneo!

Kalimantan Selatan, 8 Juni 2011 http://sastra-indonesia.com/2011/06/hakikat-bahasa-mantra-dan-tanggung-jawab/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar