Sunday, July 25, 2021

Puisi Menjadi Media Ekspresi Pengalaman Religius

Abdul Wachid B.S. *
badanbahasa.kemdikbud.go.id
 
Di dalam tasawuf, yang dimaksudkan dengan cinta (mahabbah) adalah cinta mutlak kepada Allah. Menurut Ibnu ‘Arabi (via Affifi, 1989: 238), basis timbulnya cinta itu disebabkan oleh keindahan. Di samping itu, “Islam sendiri benar-benar menganggap aspek ketuhanan sebagai keindahan dan gambaran ini dijadikan tumpuan istimewa dalam tasawuf, yang secara alami berasal dan mengandung inti (haqaa’iq) ajaran Islam,” demikian ungkap Seyyed Hossein Nasr (via Hadi W.M., 2001: 10).
 
Sementara itu, tentang cinta kepada Allah, Al-Ghazali (Terj. tidak dicantumkan, 1994: 510—545) merumuskan lima sebab yang menimbulkannya, yaitu (1) orang yang mengenal dirinya dan Allah dengan ma’rifah yang benar pasti akan mencintai Allah; (2) orang yang mencintai orang yang berbuat baik kepadanya mengerti bahwa orang berbuat baik karena Allah; (3) kecintaan terhadap seluruh makhluk adalah sebab Allah pun mencintai seluruh makhluk; (4) kecintaan terhadap setiap keindahan adalah sebab keindahan itu sendiri, bukan sebab keuntungan lain dan di balik itu ada keindahan Allah; serta (5) cinta timbul sebab saling menyesuaikan dan jika dilihat secara batiniah, manusia menjadi baik sebab menyesuaikan dengan sifat Allah.
 
Pada sebab keempat yang disebutkan itu, pandangan Al-Ghazali bertemu dengan pandangan Ibnu ‘Arabi bahwa semua cinta itu disebabkan oleh keindahan. Pada konteks keindahan pula, semua pengalaman spiritualitas digerakkan dan diekspresikan. Hal itu senada dengan hadis, “Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan” (H.R. Muslim, Shahih 2 Muslim, jilid I, hal. 52). Karena itu, para sufi yang bergerak menuju Yang Mahaindah (al-Jamal), baik dalam perjalanan spiritualitas dari maqam ke maqam maupun mengungkap pengalaman religiositasnya melalui keadaan mental (hal), masuk ke pengalaman keindahan Yang Mahaindah sekaligus tergerak mengungkapkan pengalamannya itu melalui ungkapan bahasa yang mampu mewadahinya.
 
Al-Qur’an itu sendiri sebagai sumber utama dari seluruh moralitas dalam Islam (tak terkecuali tasawuf) ditulis dengan ungkapan  bahasa yang mahaindah serta kaya simbol dan imajinasi. Hal itu menurut Anniemarie Schimmel (via Hadi W.M., 1985: vii), yang kemudian menggerakkan pencinta Al-Qur’an untuk melakukan berbagai tafsir puitis, bahkan menulis puisi. Gagasan keagamaan tertentu, yang membangun teologi Islam yang sentral sifatnya serta citraan tertentu dari Al-Qur’an dan Hadis, dengan mudah bisa dialihkan menjadi simbol yang benar-benar puitis, sebagaimana dilakukan oleh para sufi-penyair, seperti Rabi’ah al-Adawiyah dan Jalaluddin Rumi. Kedua sufi-penyair tersebut memang mengembangkan maqamat cinta sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah Sang Kekasih.
 
Selanjutnya, puisi dan ungkapan-ungkapan puitis dijadikan media ekspresi dari perjalanan spiritualitas, bahkan menjadi bagian dari ritus peribadatannya. Dengan dilengkapi musik dan tari, puisi dijadikan sarana doa dan puji-pujian di dalam sama’, yakni sejenis konser musik kerohanian yang disertai zikir, tari-tarian, serta pembacaan dan penciptaan puisi. Hal seperti yang terdapat dalam Tarekat Maulawiyah yang dikembangkan oleh Jalaluddin Rumi sampai hari ini masih dilestarikan di Konya, Turki. Kegiatan serupa itu telah ditradisikan oleh para sufi sejak abad ke-10 atau mungkin satu abad sebelumnya. Menurut Abdul Hadi W.M. (2001: 65), upacara sama’ dan penciptaan puisi sufistik dapat dilihat dalam riwayat hidup Abu Sa’id al-Khair (976--1049), yang mulanya tertarik menulis puisi untuk mengungkapkan pengalaman kerohaniannya setelah mendengar penyanyi membacakan puisi cinta Ilahi di sebuah upacara sama’.
 
Sebagai media ekspresi pengalaman religius, puisi memiliki beberapa keuntungan. Sebagaimana mistisisme, puisi memang terutama bertalian dengan pengalaman batin manusia yang terdalam. Seperti halnya puisi, pengalaman mistik itu sangat personal, unik, sekaligus universal. Bahkan, dapat dinyatakan bahwa pengalaman mistik itu selalu mengandung kualitas puitis dan demikian pula sebaliknya, pengalaman puitis atau estetis yang dalam juga memiliki kualitas mistis. Oleh sebab itu, melalui puisi yang berhasil, kepersonalan, keunikan, dan keuniversalan dapat terpelihara dengan baik.
 
Mengapa pengalaman mistis itu mengandung pengalaman puitis sehingga menuntut pengungkapannya melalui puisi agar bisa dibahasakan?
 
.... Pengalaman religius demikian--meminjam pengertian Ludwig Wittgenstein—dalam kenyataannya tak pernah bisa ditunjuk secara langsung sebab bukan pengalaman inderawi. Sementara itu, bahasa mempunyai keterbatasan hanya dapat mengungkap apa yang menjadi realitas inderawi. Karenanya, ada realitas yang dapat disentuh dengan bahasa, dan ada yang tidak (the unutterable).  Meskipun begitu, ada yang disebut bahasa religius, yang punya logika tersendiri, seperti pernah diungkapkan Peter L. Berger. Bahasa religius bersifat analogi, sebagian sama dan sebagian berbeda dengan bahasa dan situasi manusia sehari-hari.
 
Di samping itu, pengalaman religius menurut Ludwig Wittgenstein bersifat konatif, yakni pengalaman yang dialami secara langsung antara subjek dan objek, berlangsung dalam taraf tak sadar, dan karenanya berlangsung tanpa bahasa. Tetapi, saat subjek membahasakan pengalaman religiusnya, maka aspek konatif itu masuk ke aspek reflektif, yakni pengalaman religius yang telah terabstraksikan ke pola inderawi. Perpindahan ini dalam bahasa religius berlangsung dengan jalan analogi. (Wachid B.S., 2002: 172).
 
Pengalaman religius yang dibahasakan dengan jalan analogi itu diungkapkan melalui bahasa puisi. Oleh sebab itu, sepanjang sejarah mistisisme, banyak sufi besar, bahkan juga filsuf, menuliskan pengalaman mistiknya melalui puisi.
 
Tanpa melebih-lebihkan, perpaduan antara pengalaman batin yang empiris dan sejarah, (hal itu semua) sangat mungkin diekspresikan dengan kompleks dan sempurna melalui puisi, apalagi jika seorang sufi ingin menyajikan pengalaman mistiknya secara memesona dan bertahan terhadap hempasan zaman. Para sufi dengan ajaran yang dapat melampaui zamannya itu menyadari potensi bahasa puisi, terutama mereka yang memang dikaruniai bakat sebagai penyair, seperti Rabi’ah Al-Adawiyah, Abu Sa’id, Dzun Nun, Sana’i, Anshari, al-Hallaj, Ibnu ‘Arabi, Ibnu Faried, Fariduddin Attar, Rumi, dan Hafiz, Jami’. Sementara itu, di Nusantara ada Hamzah Fansuri, Syamsuddin As-Sumatrani, Nuruddin Ar-Raniri, Abdurrauf Singkel, dan beberapa lainnya.
 
Walaupun susastra, khususnya puisi, menjadi media ekspresi intelektualitas mereka, bahkan menjadi bagian penting ritus peribadatan, para sufi yang menulis puisi itu tidak berniat menjadi penyair. Para sufi menulis puisi dengan didasarkan pada alasan kerohanian, penyampaian hikmah, dan pencarian keberkahan hidup. Sebagaimana kata Imam Al-Ghazali (via Hadi W.M., 2001: 10), sebagai pencinta keindahan sejati para sufi yakin bahwa karya seni yang bermutu tinggi dapat membangunkan cinta yang telah tidur di dalam hati, baik cinta yang bersifat duniawi dan inderawi maupun cinta yang bersifat ketuhanan dan kerohanian.
 
Sementara itu, sampai pada zaman modern seperti halnya di Indonesia, substansi pemikiran tasawuf juga terus diungkapkan sebagai keyakinan atau sekadar wacana yang tidak secara mendalam dipraktikkan dalam kehidupan penyairnya. Boleh jadi, hal itu sebatas keterpesonaan terhadap paham pemikiran tasawuf atau ketertarikan terhadap estetika puisi yang ditulis para sufi pada zaman lampau sehingga dijadikan rujukan untuk karya para penyair modern itu sendiri. Dengan begitu, fenomena tersebut menjadi tren sebagaimana pada era 1970—1980-an dengan munculnya kecenderungan sufistis dalam perpuisan Indonesia (lihat tiga jilid antologi Buku Puisi Indonesia, 1987, yang diterbitkan Dewan Kesenian Jakarta). Sekalipun begitu, tetap ada yang menempatkan tasawuf tidak hanya sebagai estetika, tetapi juga sebagai etika dalam karya sastranya, bahkan mungkin dalam perilaku kesehariannya. Para penyair yang demikian, puisinya dapat digolongkan sebagai puisi sufisme. Sementara itu, penyair yang hanya menempatkan tasawuf sebatas sebagai estetika bahasa puisinya dapat digolongkan sebagai puisi sufistis, puisi yang terpengaruh estetika bahasa puisi para sufi.
 
Kecenderungan pertama tersebut tampak dalam puisi yang ditulis oleh Sanusi Pane dan Amir Hamzah (angkatan Pujangga Baru 1930--1940-an); Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi W.M., Taufiq Ismail, Jamil Suherman, dan Kuntowijoyo (periode 1960-an); Emha Ainun Nadjib, D. Zawawi Imron, Hamid Jabbar (periode 1970-an); serta K.H.A. Mustofa Bisri, Ahmadun Y. Herfanda, Ajamuddin Tifani, Acep Zamzam Noor, Mathori A Elwa (periode 1980-an). Kecenderungan kedua tersebut tampak dalam puisi yang ditulis oleh Soni Farid Maulana, Ahmad Syubbanuddin Alwy, Hamdy Salad, Abidah el-Khalieqy, Otto Soekatno Cr, dan lain-lain.
 
Oleh karena itu, di dalam konsep yang berkenaan dengan sufi, tasawuf, dan maqamat cinta, ekspresi puisi menjadi penting untuk dilakukan agar identifikasi terhadap perpuisian sufisme atau pun perpuisian yang mendapat pengaruh darinya (puisi sufistis) menjadi dan dimiliki di dalamnya.
***

*) Abdul Wachid B.S., seorang penyair dan dosen negeri di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto. http://sastra-indonesia.com/2021/07/puisi-menjadi-media-ekspresi-pengalaman-religius/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar