Sunday, July 4, 2021

Pandemi Kebudayaan

Gema Erika Nugroho *
alif.id, 03 Juli 2021
 
Bukannya kehidupan
tidak mau memberi
Tapi engkau tidak sungguh-
sungguh mencari
 
Saya awali tulisan ini dengan sebuah kutipan dalam buku Kulya dalam Relung Filsafat (2005) yang ditulis oleh Nurel Javissyarqi. Buku kecil ini bagi saya bukan hanya sekadar rekaman kegelisahan penulisnya menyikapi yang tampak dan tak tampak di luar atau bahkan di dalam diri penulisnya, tetapi juga berisi perasan filsafat dan hikmah yang membentang mulai dari halaman pembuka hingga penutup, yang seolah mengajak pembaca untuk hening mengkhidmati kehidupan.
 
Ada perspektif unik yang bersenyawa dengan untaian kata dan kalimat sehingga menjelma lautan makna-makna yang sangat menggoda untuk diselami. Inilah alasannya kenapa saya berani menaruh buku ini berjejeran dengan buku-buku legendaris dunia di bagian atas rak-rak kehidupan saya.
 
Dalam jagat kesusastraan negeri ini, Nurel Javissyarqi mungkin termasuk salah satu penulis yang unik: bagaimana cara dia mengungkapkan ide-idenya dalam bentuk tulisan, kadang seperti lagu instrumental weightless atau Clair de Luna yang membuat kita mudah terlelap, kadang seperti long hook-nya Muhammad Ali dalam ring tinju, kadang sangat praktis dan mudah dibaca, kadang gelap sehingga membuat pembaca mengerutkan alisnya.
 
Dan yang lebih unik lagi: penulis asal Lamongan ini memiliki keberanian dalam mengkritik siapa saja. Buku Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia yang ditulisnya adalah contoh nyata bagaimana ia begitu kritis dan tidak takut mengungkapkan apa yang mesti dia ungkapkan.
 
Nurel Javissyarqi dan tulisan-tulisannya adalah kemerdekaan. Ia adalah sejenis pengarang yang menikmati kebebasannya. Ia tidak menulis untuk mengemis pada penguasa. Ia menari-nari dengan kebebasannya. Tak tergiur oleh isme-isme yang kelihatannya “gagah” sebagai sebuah konsep-konsep namun “pucat” begitu kehidupan menagih kontribusinya yang konkret.
 
Saya hanya membayangkan Nurel Javissyarqi terkekeh-kekeh di tengah penulis-penulis yang menyandang “nama besar” namun begitu patuh pada konsep-konsep atau isme-isme yang diberhalakan. Pemberhalaan ini sesungguhnya adalah musuh bagi setiap insan yang memiliki hati dan pikiran.
***
 
Kini dunia seolah sesak oleh manusia-manusia yang bersimpuh di depan “maha-isme”, dan di waktu yang bersamaan kritisismenya tumpul. Begitu mudahnya “percaya” dan mengamini konsep-konsep yang sesungguhnya tak dipahaminya itu.
 
Saya kemudian mencari keyword yang kira-kira pas di balik meledaknya konsep-konsep besar atau paham-paham yang—semakin dibedah di ruang-ruang akademis—justru semakin gelap dan membingungkan itu. Akhirnya saya menemukan titik terang bahwa di balik isme-isme itu ada sebuah proses pencarian tentang jati diri manusia dan kehidupannya. Mereka mencari, mencari, dan terus mencari..  Bukannya kehidupan/ tidak mau memberi/ Tapi engkau tidak sungguh-sungguh mencari.
 
Pencarian itulah—dengan kultur dan cara pandang masing-masing individu yang berbeda—menghasilkan solusi-solusi tentang problem kehidupan, mulai dari yang abstrak, rumit, praktis, lebay, dan ngawur. Apakah hasil pencarian itu objektif atau subjektif, benar atau salah, indah atau jelek, manfaat atau madarat, mengagumkan atau membosankan, itu urusan lain. Dalam istilah akademik, untuk sampai pada penilaian-penilaian semacam itu dibutuhkan perdebatan panjang. Sebab semua masih dalam batas perkiraan: Tidakkah kebenaran dan kesalahan/ berangkat dari perkiraan, lalu tidak terbantahkan.. tulis Nurel Javissyarqi.    
 
Merasa “paling keren” memang tak terhindarkan dalam setiap kajian, riset, observasi atau penelitian. Wajar. Apalagi isme-isme yang telah menginspirasi dunia kampus sehingga lahir berton-ton makalah, skripsi, tesis, dan disertasi dari setiap generasi. Terasa paling keren, apalagi, ketika isme-isme itu telah mendarah daging menjadi ideologi dan mazhab. Tambah keren lagi ketika satu sama lain saling sikat untuk menabalkan eksistensinya masing-masing.
***
 
Apa yang hari ini sudah terlampau kita anggap keren sehingga kita seolah-olah merasa kurang keren karenanya, apalagi merasa paling keren sejagat raya, mungkin ada baiknya kita pertanyakan kembali: isme apakah gerangan yang membuat hati dan pikiran kita mudah kagum? Mudah kagum pada sesuatu yang “hanya kelihatannya” sehingga memengaruhi pikiran dan tindakan kita adalah pandemi kebudayaan yang jauh lebih berbahaya daripada pandemi covid-19.
 
Pandemi inilah yang membuat psikologi seseorang kadang merasa minder ketika dihadapkan dengan segala hal yang berbau Barat. Seorang teman mengaku lebih percaya diri menukil tokoh-tokoh Barat dalam setiap diskusi. Bahkan ada yang tugas skripsinya sedikit terbengkalai karena begitu idealisnya mencari referensi dari literatur-literatur Barat.
 
Bukan maksud saya memandang dengan mata penuh curiga terhadap Barat dengan peradabannya yang modern. Tidak. Saya hanya memberikan suatu perspektif bahwa setiap produk pemikiran manusia, secanggih apa pun ia menjelma konsep dan teori, tetaplah akan menabrak keterbatasannya sendiri. Termasuk dalam konteks ini adalah peradaban modern yang selalu dipuja dan dibangga-banggakan.
 
Mahatma Gandhi berkali-kali mengkritik peradaban modern yang disebutnya justru sebagai biang kerusakan “Bagi Gandhi,” tulis Bikhu Parekh dalam Gandhi: A Very Short Introduction (1997), “setiap peradaban diilhami dan diberi energi oleh konsepsi manusia yang berbeda. Jika konsepsi itu salah, maka ia akan merusak seluruh peradaban dan menjadikannya kekuatan jahat.”
 
Dalam konteks ini, Gandhi menyoroti peradaban modern. Menurutnya, sebagaimana diuraikan Bikhu Parekh, meskipun peradaban modern memiliki banyak prestasi, namun pada dasarnya cacat ia agresif, imperialis, kejam, eksploitatif, brutal, tidak bahagia, gelisah, dan tanpa arah dan tujuan.
 
Kenapa Gandhi sampai pada kesimpulan seperti itu? Dalam pandangan Gandhi, peradaban modern mengabaikan jiwa, mengutamakan tubuh, salah memahami sifat dan batasan nalar, salah memahami dan melanggar keseimbangan batin serta hierarki sifat manusia.
 
Pada akhirnya, dalam hidup ini, yang tampaknya berisi bisa saja kosong; yang kelihatannya sempurna ternyata berlumur lemah. Ribuan teori, konsep, dan isme-isme akan terus lahir seiring zaman bergulir. Namun, tugas kita sebagai manusia tentu bukan men-download begitu saja, apalagi sampai memberhalakannya. Sebab kata Gandhi, “Jika engkau menginginkan sesuatu yang sangat penting dilakukan, engkau tidak boleh hanya memuaskan nalar, engkau juga harus menggerakkan hati. Daya tarik nalar lebih cenderung ke kepala, tetapi penetrasi hati datang dari penderitaan.”
***
 
*) Penulis adalah pembaca dan penikmat seni.
https://alif.id/read/gen/pandemi-kebudayaan-b238703p/
http://sastra-indonesia.com/2021/07/pandemi-kebudayaan/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar