Friday, July 30, 2021

MEMETIK METAFOR MENULIS EKA BUDIANTA

Sutejo
Ponorogo Pos
 
Sungguh saya terbelalak dengan metafor menulis yang diungkapkan Eka Budianta! Tulisan itu seperti bom, cinta. Sebuah sisi lain pengalaman menulis yang menggetarkan. Bagaimana tidak? Bom dan cinta seperti dua hal yang jauh tetapi didekatkan dalam satu makna. Bom simbol teror yang membuat orang ngeri. Tetapi bom dalam konteks pandangan Eka Budianto tentu menyaran pada bagaimana tulisan mampu melemparkan teror mental. Jargon ini sebangun dengan apa yang diungkapkan Putu Wijaya. Karena karya sastranya sering dikenal dengan sastra teror. Sedangkan cinta, mengingatkan ruh hakikat tertinggi hubungan antarmanusia atau dengan khaliq adalah cinta, mahabbah. Cinta yang meluap, kata Abdul Hadi, akan alir dalam beragam bentuk yang menggerakkan.
 
“Mengajar menulis memerlukan lebih dari merangkai kata-kata!” tulis Eka Budianta dalam pengantar bukunya yang berjudul Senyum untuk Calon Penulis (Alvabeta, 2005). Implisit ungkapan ini adalah kita perlu bermain, bertamasya, berempati, bermeditasi, dst. Sebab, ketika kita menulis (mengarang) kita juga berimajinasi, berbagi pengalaman, berangan-angan, berkomunikasi. Bukankah kita dengan berpikir, berimajinasi, berenung hakikatnya belajar mengarang itu sendiri?
 
Dia menuturkan pengalamannya mengikuti lokakarya mengarang yang diselenggarakan oleh sebuah perusahaan Australia. Uniknya, selama dua hari sama sekali tidak diajari merangkai kalimat. Tetapi hanya dilatih untuk bertanya dan menjawab! Sampai-sampai seorang yang sangat terpelajar kecewa kemudian meninggalkan latihan, “Saya ingin tahu bagaimana memilih topik, menyusun kalimat, dan alinea. Bukan berkhayal dan memecahkan persoalan yang mengada-ada begini.”
 
Belajar dari kasus “manusia sok terpelajar” ini adalah bukankah awal dari semua tulisan adalah imajinasi. Latihan imajinasi ini penting. Einstein bahkan mengatakan imajinasi itu lebih penting dari ilmu pengetahuan. Masalahnya adalah realita sosial masyarakat alergi dengan ini. Untuk itu, meletakkan kebiasaan imajinasi secara tepat dan bermanfaat adalah pintu bidang apa pun yang menarik untuk dipahami.
 
Di sinilah, maka yang terpenting modal penulis adalah: berpikir, berkhayal, berimajinasi, berempati, berenung, bertamasya, berpetualang, berselancar, bermeditasi, berandai-andai. Apa yang akan ditulis jika serangkai alat itu tidak terpunyai?
 
Dalam banyak kasus imajinasi adalah ikhwal utama yang mendorong seseorang terpanting dream kehidupannya. Tanpa imajinasi kehidupan akan kerontang seperti hutan di musim kemarau. Karena itu, jika imajinasi seseorang subur maka ibaratnya seperti hutan yang rimbun. Hutan rimbun akan memberikan ruang kehidupan akan segala satwa. Metafor satwa itu dengan sendirinya adalah orok-orok (ide) kepenulisan cemerlang.
 
Imajinasi yang benar akan teriringi oleh keyakinan mendalam. Sebuah basis penting dalam merengkuh ekspresi batin. Imajinasi dan keyakinan inilah kemudian yang memberikan motivasi tersendiri sehingga melahirkan tulisan (wujud ekspresi) yang seringkali serupa teror. Belajar dari bahasa teror Putu Wijaya, dalam akuannya, dia menulis alir saja. Yang terpenting baginya adalah imajinasi itu sendiri. Imajinasi yang bagaimana? Melompat. Karena itu, drama dan novel Putu Wijaya, sebagian pembaca akan menilai terpotong-potong. Tetapi, itu sesungguhnya ibarat musaik estetik yang kelindan dalam lompatan komunikasi.
 
Di sinilah, jika dasar utama kepenulisan adalah cinta, maka imajinasi yang terbangun adalah gerak cinta yang meluap pada realita. Cinta secara umum seringkali berkaitan dengan (a) cinta sesama manusia, (b) cinta lawan jenis, (c) cinta tanah air, dan (d) cinta keilahian. Dengan begitu cinta dalam konteks ini akan alirkan keberlibatan emosi, keterlibatan emosi akan membangun humanitas, dan humanitas akan lahirkan keharmonisan. Tulisan-tulisan yang bermakna paling tidak penting bermuara pada hal demikian.
 
Untuk itu, jika Anda ingin berkarya tentunya pemahaman akan makna cinta ini menjadi yang pertama untuk disematkan di dalam sanubari. Kenakalan pikir yang melahirkan teror-teror itu akan menjadi fondasi dan dinding bangunan. Sedangkan imajinasi akan menjadi atap dan langit bangunan itu sehingga memberikan keyamanan. Sebuah metafor unik yang dalam pandangan antropologis mengingatkan akan pentingnya kontekstualitas budaya di mana tulisan itu ber-sanad.
 
Mungkinkah kita yang baru memasuki pintu kepenulisan mampu melakukannya? Sangat mungkin. Bukankah cinta dan imajinasi adalah kodrat yang melekat? Persoalannya barangkali bagaimana menyemai dan menyuburkan keduanya di taman-taman kehidupan dan bagaimana merawatnya menjadi tumbuhan indah yang menghidupi?
 
Karena itu, latihan imajinasi sebagaimana dialami Eka Budianta ketika mengikuti pelatihan kepenulisan di Australia menarik untuk dikondisikan dalam praksis kehidupan kita. Mengapa? Untuk menyuburkan imajinasi sehingga berbuah cinta yang meneror. Bagaimana? Jika Anda kesulitan memahami ungkapan-ungkapan metaforik Eka Budianta ini barangkali menarik membaca tulisan serupa tentang ruh cinta dalam pengalaman Abdul Hadi di bagian kedua.
Ia akan menjadi jangkar dan jaring emosi yang menggerakkan!
***

http://sastra-indonesia.com/2008/12/memetik-metafor-menulis-eka-budianta/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar