Thursday, July 29, 2021

Dicari: Pengamat Sastra yang “Banal” !

Menelaah Sastra Kontemporer Kita
 
Sihar Ramses Simatupang
sinarharapan.co.id
 
Siapakah pengamat yang menggali nama pengarang di luar kubu Humanisme Universal, di luar nama Goenawan Mohammad, Taufiq Ismail, Wiratmo Soekito, Gerson Poyk atau HB Jassin “termasuk Chairil Anwar” Siapakah yang menggali kekuatan sastra, tentu selain nama Pramoedya Ananta Toer, Agam Wispi atau Utuy Tatang Sontani di kubu Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)? Sudah banyak!
 
Yang belum banyak adalah pengamat yang menimang karya pengarang di luar kubu di atas, pada zaman itu. Karya dan biografi pengarang berkualitas lainnya yang berada dalam keanggotaan Lesbumi atau LKN misalnya, atau bahkan yang berasal dari pihak independen alias pengarang yang tak berpartai – tentu selain nama Iwan Simatupang!
 
Dalam kriteria semacam itu, tak ada juga yang memungut nama penyair yang ikut merekonstruksi pantun modern Indonesia selain Amir Hamzah atau penyair kontemporer Sitor Situmorang yang sebagian pengamat menganggap puisinya bernuansa pantun kontemporer. Siapa juga yang mempertanyakan kemodernan dan kecanggihan struktur puisi penyair selain Chairil Anwar?
 
Pertanyaan yang umum adalah, masihkah ada pengamat yang banal, berpikir rekonstruktif apalagi dekonstruktif terhadap tatanan yang mapan selama ini? Rata-rata berusaha nyaman dalam kemapanan sejarah mainstream, semua cenderung konvensional.
 
Mereka tak berani menggali atau menafsir sejarah baru, atau sejarah yang tertinggal. Mungkin karena tak mau lelah, sulit untuk berkonsentrasi, ingin menghemat biaya penelitian seminimal mungkin, atau terbentur dana akademis. Tak ada lagi “ajip-ajip” lain, yang melakukan tindakan seperti Ajip Rosidi, meyakinkan publik tentang periodisasi sastra, lalu menggugat sejarah versi Jassin yang membagi sejarah sastra berdasarkan angkatan 1928,1945,1966 dst. Pengamat sekarang nyaris tak ada yang menolak kategori atau sistem referensi di atas. Misalnya dengan membuat sejarah sastra per tahun, per wilayah di Indonesia – termasuk sastrawan yang eksil dan merantau, atau kategori usia (mengapa tidak?).
 
Itu belum terjadi. Yang dilakukan pengamat adalah selalu berada di jalur aman, membaca, menilai karya sastrawan yang mapan di jalur sejarah. Pengamat sekarang tak mengambil risiko, tak menguji kekuatan pengamatannya dari hasil pembelajaran akademis bertahun-tahun, malah “menjilat” sejarah beku, dengan cara (lagi-lagi) menulis, membahas karya sastrawan tua yang karyanya sudah dibahas puluhan bahkan ratusan pengamat lain lewat ribuan tulisan.
 
Tradisi akademisi (sastra) yang dulunya kuat dengan pemaparan sistematika, objektivitas dan metode, pada akhirnya semakin “memenara gading”, sehingga menjadi bumerang buat dinamika sastra.
 
Hal itu semata karena ketidakjujuran konsep, polarisasi kelompok sehingga makin terasa usaha “pilih kasih” terhadap setiap amatan teks. Hasilnya, sejarah dan analisis sastra kemudian cenderung tak berani membongkar wilayah baru gagasan, kepengarangan, apalagi konsep dan perubahan yang terus berkembang di segala zaman.
 
Minimnya Peran Akademisi
 
Pandangan post modernisme berupa the other, liyan, di Indonesia yang seharusnya membuka kotak pandora sejarah sastra, malahan merelatifkan setiap pengarang, teks dan konsepnya. Hal itu terjadi dalam kesusastraan. Yang mengemuka bukan lagi pada gagasan (yang begitu banyak bermunculan), justru perhatian publik lebih tercurah kepada siapa yang berbicara.
 
Pertaruhan selanjutnya adalah gagasan yang cenderung diterima publik justru adalah jaringan, media massa bahkan propaganda. Memasuki pola ini, maka yang akan terbaca kemudian adalah perbincangan teks-teks karya sastra yang dangkal dan di permukaan saja. Buku yang disarankan media, televisi, atau penerbitlah yang dibaca. Fungsi akademisi dan fungsi sastrawi para pengamat kemudian tergantikan oleh tawaran konseptor yang bermotif sensasi, politisasi dan industri. Kita butuh karya seperti Mashuri, Tusiran Suseno, Calvin Michel Sidjaja, Junaedi Setiyono, Yonathan Rahardjo, Anindita Siswanto Thayf, dibahas karyanya, bukan dengan hanya menyodorkan namanya belaka.
 
Di fase semacam ini, sulit untuk menentukan kualitas, karena pengamat yang seharusnya menguji kualitas teks secara estetis, etis, dan logis, tergantikan para medioker dan “konseptor tak tulus” tadi. Maka, pembaca (atau yang belum membaca dan setengah membaca pun) menjadi tersesatkan oleh informasi-informasi “picisan”!
 
Publik pun dipermainkan oleh euforia yang silih berganti, dari “kulit” sebuah teks, ke “kulit” teks yang lain. Di tataran ini, sulit untuk menentukan kekuatan teks “Laskar Pelangi” Andrea Hirata, “Rahasia Meede, Harta Karun VOC” Es Ito, “Mahasati” Qaris Tajudin, “Bilangan Fu” Ayu Utami, misalnya, kecuali mengujinya dalam perjalanan kurun waktu dan radius jangkau para pembacanya. Selama apa teks bertahan dan sebesar apa komunitas yang menggemarinya. Apalagi, bila gemuruh pembicaraan tak lagi mengarah kepada soal teks secara mendalam, namun hanya mengarah pada kemasan alias hanya di permukaan. Persoalan waktu dan ruang ini setidaknya telah dilewati oleh Katrologi “Bumi Manusia” Pramoedya Ananta Toer, “Burung-burung Manyar” YB Mangunwijaya, atau Trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk” Ahmad Tohari.
 
Nama-nama penulis kontemporer yang disebutkan di atas bukan tak mungkin muncul, bertahan bahkan menguat di perjalanan sejarah. Karena itu, diperlukan pengamatan teks atas estetika, etika dan logika yang lebih teliti, bukan euforia yang sekadar menyertakan biografi pengarang, latar komunitas pengarang, ataupun politik si pengarang (dengan kawan-kawannya) saja. Bila pun fenomena terakhir ini dilakukan, niscaya karya sastra itu akan lumpuh dan mati dengan sendirinya. Kenyataannya, beberapa (buku) karya sastra yang belakangan digenjot lewat publikasi sensasional pun kemudian harus bertekuk lutut oleh debu di rak buku atau berakhir dengan desah kekecewaan si pembaca yang tangannya kemudian menumpuk buku di lemari terbawah dalam perpustakaan pribadinya.
 
Hanya pengamat sastra yang menyediakan waktu, pikiran, tenaga dan dana, yang dapat menyelamatkan situasi ini. Mereka, tentu terbendung oleh kekuasaan media massa, penerbitan, sewa ruang diskusi, atau mahalnya biaya pulsa internet demi melempar opini di situs ataupun milis. Namun, pengamat tetap harus bicara! Akademikus harus keluar dari tembok kampusnya dan bersuara! Tatkala sensasi semakin kotor, analisislah yang membersihkannya.
***

http://sastra-indonesia.com/2009/01/dicari-pengamat-sastra-yang-banal/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar