Monday, June 21, 2021

Tinggalkan Bumi Manusia

Gunawan Budi Susanto
suaramerdeka.com, 01 Mei 2006
 
INNA lillahi wa inna ilaihi rajiun. Pramoedya Ananta Toer tak pernah menyerah di bawah kepongahan dan kebebalan (kekuasaan) manusia. Namun kini, mau tak mau, dia harus menyerah di bawah kuasa ilahi.
 
Ya, Minggu (30/4) kemarin pukul 08.30, dia mengembuskan napas terakhir dalam rengkuhan keluarga tercinta. Kini Pram telah pergi, meninggalkan bumi manusia.
 
Sebelumnya, pada saat kritis Pram sempat menceletuk bahwa kaum muda harus melahirkan pemimpin. Dia memang senantiasa menumpukan harapan akan perubahan ke arah kehidupan (berbangsa dan bernegara) yang jauh lebih baik pada kaum muda. Dia sudah kehilangan kepercayaan kepada generasi tua, termasuk generasi seangkatannya.
 
Menurut penilaian dia, mereka tak mampu mengelola negara ini menjadi lebih beradab dan bermartabat. Cuma kaum mudalah, ujar dia pada berbagai kesempatan, yang harus ambil peranan: merebut kesempatan dan menjadi pemimpin di segenap sektor kehidupan.
 
Pramoedya Ananta Toer dilahirkan di Jetis, Blora, 6 Februari 1925. Dia anak sulung sulung M Toer, aktivis politik dan sosial terkemuka di kota kecil itu. Sang ayah pernah menjadi Kepala Sekolah Institoet Boedi Oetomo, menggantikan dokter Soetomo yang pindah ke Surabaya.
 
Pramoedya telah menelurkan ratusan tulisan, baik fiksi maupun nonfiksi, baik karya asli maupun terjemahan. Karya paling monumental adalah tetralogi Buru, Bumi Manusia, Jejak Langkah, Anak Semua Bangsa, dan Rumah Kaca. Itulah sebagian karya yang dia tulis di pengasingan, di Pulau Buru, berbelas tahun pada masa pemerintahan Soeharto.
 
Dia dikenal sebagai sosok kontroversial, baik sebagai pengarang maupun aktivis kebudayaan. Dia senantiasa memperjuangkan kebebasan (kreatif). Namun justru karena itulah dia kerap tertelikung di balik jeruji penjara. Pada masa kolonial, dia dipenjara karena keberpihakannya pada kemerdekaan bangsa ini. Tahun 1961, pemerintahan Soekarno memenjara dia akibat menulis buku Hoakiau di Indonesia – wujud keberpihakan pada kebenaran sejarah dan keadilan bagi kelompok minoritas.
 
Sebagai pemuncak, pada masa Orde Baru, Pram harus “menikmati” belasan tahun hidup di berbagai penjara karena peranannya sebagai eksponen Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dianggap onderbouw Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada 13 Oktober 1965-Juli 1969 dia mendekam di Penjara Salemba, Jakarta. Kemudian dipindah ke Nusakambangan (sampai 16 Agustus 1969), Pulau Buru (sampai 12 November 1979), serta Penjara Magelang dan Banyumanik, Semarang (sampai Desember 1979).
 
Pulang dari pengasingan bukan berarti Pram bebas dari penistaan. Rumahnya terampas serta koleksi buku dan naskahnya dibakar. Dia juga mengalami pembunuhan karakter. Stigma sebagai eksponen komunis, yang tak pernah dibuktikan lewat pengadilan yang adil, jujur, dan terbuka, terus-menerus membayangi kehidupan Pram dan seluruh keluarganya.
 
Dia ada dan terus berkarya. Namun terus-menerus ditiadakan. Buku-bukunya dilarang beredar. Bahkan para pemuda, antara lain Bonar Tigor Naipospos dan Isti Nugroho di Yogyakarta, yang sekadar membaca dan mendiskusikan karyanya pada paro kedua 1980-an harus meringkuk di penjara. Berkali ulang penulis novel Koroepsi (1954) itu diunggulkan untuk menerima hadiah Nobel kesusastraan. Namun konon karena lobi pemerintahan Soeharto, suami Maemunah Thamrin, kemenakan pahlawan nasional Mohamad Husni Thamrin, itu tak pernah memperoleh anugerah tersebut.
 
Akan tetapi berbagai hadiah dan penghargaan lain telah lebih dari cukup mengukuhkan peran pria perokok berat yang dinobatkan sebagai orang paling berpengaruh oleh majalah Time itu. Dia menerima antara lain anugerah Freedom to Write Award dari PEN American Center (1988), The Fund for Free Expression, AS (1989), Wertheim Award, Belanda (1995), Ramon Magsaysay Award, Filipina (1995), Partai Demokratik Rakyat Award (1996), Unesco Madanjeet Singh Prize (1996), doctor of humane letters dari University of Michigan, Madison, AS (1999), Chanceller’s Distinguished Honor Award dari University of California, Berkeley, AS (1999), Chevalier de l’Ordre des Art et des Letters dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Prancis (1999), New York Foundation for the Art Award, AS (2000), Fukuoka Cultural Grand Prize, Jepang (2000), dan Centenario Pablo Neruda, Cile (2004).
 
Pengumuman Yayasan Magsaysay, 19 Juli 1995, yang hendak memberikan penghargaan bidang sastra dan jurnalistik kepada Pramoedya memunculkan kehebohan. Pada 29 Juli 1995, 26 orang antara lain Mochtar Lubis, Rendra, dan Taufiq Ismail mempertanyakan pemberian hadiah itu. Mereka berpendapat Pram tak layak memperoleh penghargaan karena bertanggung jawab atas pengekangan kebebasan kreatif dan berpendapat pada masa paling gelap dalam sejarah kreativitas di negeri ini (1959-1965).
 
Mochtar Lubis bahkan bersikap lebih keras. Dia mengembalikan uang hadiah uang dari lembaga itu dengan mencicil – hadiah sama yang dia peroleh jauh sebelum Pram. Pemerintah juga menghambat kepergian Pram ke Filipina untuk menerima penghargaan. Akhirnya Maemunah Thamrin-lah yang datang ke negeri yang lebih bisa menghargai prestasi dan sumbangan Pram terhadap kemanusiaan itu ketimbang di negeri sendiri.
 
Sikap Mochtar Lubis dan kawan-kawan direspons kaum muda, antara lain Ariel Heryanto, Sitok Srengenge, Sutanto (Mendut), Sosiawan Leak, dan Tan Lioe Ie, dengan mengumumkan “Pernyataan Kaum Muda untuk Kebudayaan”. Dalam pernyataan sikap yang ditandatangani 26 pemuda dari berbagai kota di Indonesia itu, mereka menilai sikap Mochtar Lubis dan kawan-kawan merupakan pewarisan dendam masa lalu dan pengobaran kembali prasangka politik. Bagi mereka, langkah itu jelas menghambat demokratisasi yang bertumpu pada kejujuran, keadilan, sikap kritis, serta kedewasaan sikap dan nurani.
 
Kontroversi sosok penerjemah Mother karya masterpiece Maxim Gorki menjadi Ibunda (1958) itu tampak pula, misalnya, dari kesediaan dia memenuhi permintaan Gus Dur datang ke Istana Negara pada hari-hari awal sang kiai itu menjadi presiden. Saat itu Gus Dur bertanya soal visi kemaritiman karena tahu betapa mendalam dan visioner pandangan Pram mengenai perkara itu. Banyak orang heran, namun tak menyadari bahwa visi itu telah tertuang secara menarik dan dramatis dalam novel Arus Balik (1995).
 
Namun, beberapa waktu kemudian, dia memboyakkan Gus Dur yang meminta maaf, baik sebagai pemimpin NU maupun pemimpin bangsa ini, atas keterlibatan jamaah NU dalam pembunuhan massal pasca-G30S 1965. Bagi Pram, rekonsiliasi bangsa ini hanya mungkin jika seluruh komponen mau mengakui secara jujur apa yang telah terjadi. Dan, kemudian mengubah keadaan menjadi lebih baik melalui pembangunan sistem hukum yang berkeadilan. Itu, menurut pendapat dia, tidak mungkin tercapai cuma lewat omongan. Namun harus diwujudkan dalam tindakan nyata.
 
Lihatlah pula, betapapun dicegah beredar di negeri sendiri, karya-karya Pram tak terhalangi untuk diterjemahkan ke dalam lebih dari 40 bahasa di dunia. Karya-karya itu bakal tetap hidup, meski Pram sendiri telah pergi, sekali lagi, meninggalkan bumi manusia menuju ke keabadian.
 
Ya, dia meninggalkan bumi manusia, tempat selama ini dia nyaris senantiasa disalahpahami. Namun dia juga meninggalkan Bumi Manusia, karya yang akan senantiasa dibaca dan dibaca lagi oleh orang-orang di berbagai belahan bumi ini. Itulah karya kemanusiaan yang abadi. Karya-karya, yang menurut penilaian The Washington Post Book Review, muncul dari seorang master, seseorang yang berkecerdasan brilian dalam menata jejaring motivasi, karakter, dan emosi. Selamat, Pram, selamat jalan!
***

http://sastra-indonesia.com/2010/11/tinggalkan-bumi-manusia/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar