Wednesday, June 16, 2021

Sosialisme dari Tepi Sungai Elbe

Ignas Kleden *
Kompas, 6 Juli 1996
 
HARI itu tanggal 23 Juni 1996, dua hari setelah awal musim panas yang di Eropa selalu dimulai pada 21 Juni. Suhu masih pada 10 hingga 12 derajat Celsius, meski pun dalam keadaan normal suhu biasanya sudah di atas 30 derajat C. Setelah melewatkan seminggu konferensi European Collogium on Indonesian and Malay Studies ke-10 yang amat padat-acara di Universitas Humboldt, Berlin, (17 – 22 Juni 1996), para peserta membuat acara sendiri untuk mengisi waktu senggang mereka, sebelum kembali ke tanah air masing-masing: Australia, Inggris, Italia, Rusia, Belanda, Malaysia, Jerman, Swis dan Indonesia.
 
Beberapa peserta dari Indonesia, Prof. Usman Pelly dari USU Medan, Dr. Sjafri Sairin dari UGM Yogya bersama Prof. Sartono Kartodirdjo yang baru saja mendapat DR. HC. dari Universitas Humboldt dalam konferensi tersebut, pergi ke Praha/Cekoslovakia sementara Prof. Taufik Abdullah dari LIPI dan saya ingin melihat keadaan di bekas Jerman Timur.
 
Tanggal 22 Juni kami ke kota Leipzig yang sejak lama menjadi pusat ilmu pengetahuan (Universitas Leipzig berdiri pada 1409), pusat perbukuan dan juga pusat perdagangan. Di luar kota Leipzig ada monumen besar yang diberi nama Voelkerschlachtdenkmal (tugu peringatan pembantaian bangsa-bangsa) untuk mengenang dikalahkannya Napoleon di daerah Sachsen. Hari berikutnya 23 Juni setelah meninjau kota Dresden yang indah permai yang menjadi pusat turisme juga sebelum ke Jerman bersatu, duduklah kami di sebuah restoran di tengah kota, di tepi sungai Elbe untuk makan siang.
 
Di depan kami seorang dosen Universitas Humboldt dan istrinya guru kimia di sebuah gimnasium. Mereka jugalah yang mentraktir makan siang itu. Saya pikir, harus ada sebuah pembicaraan yang menarik untuk membalas undangan makan siang itu. Maka hati-hati dan dengan semua kesopanan yang mungkin, saya bertanya: “Setelah 44 tahun berada di bawah regim sosialis, dapatkah anda sekarang berkata bahwa dalam sosialisme ada juga hal-hal yang baik?“.
 
“Tentu saja ada banyak hal baik dan patut dipertahankan dari masyarakat sosialis” kata guru kimia tersebut dengan mantap dan mata agak berapi-api. “Sebutkan salah satunya” saya membalas ringan. “Yang paling penting ialah bahwa dalam masyarakat sosialis manusia yang menjadi nomor satu, sedangkan dalam masyarakat kapitalis modallah yang menjadi nomor satu”, dia menyambung tanpa banyak pikir.
 
“Bagaimana anda membuktikan kebenaran pernyataan tersebut?” saya mengejar dengan sopan.
 
“Orang-orang seperti kami, yang tidak termasuk dalam pimpinan partai, rata-rata mempunyai penghasilan antara 700 sampai 1.000 DM (Jerman Timur). Tetapi kami semua mempunyai rumah, semua bisa makan di restoran, semua bisa nonton opera, semua bisa pergi berlibur dan semua bisa mendapat mobil. Masalahnya, untuk semuanya kami harus antre. Untuk dapat membeli mobil “Trabant” seorang harus menunggu 10 tahun. Demikian pun untuk dapat memiliki rumah, bahkan untuk makan di restoran pun kami harus selalu antre”.
 
Saya melihat ke luar jendela ke tempat parkir. Mobil “Trabant” buatan Jerman Timur hanya satu dua berdiri di tempat parkir, tampak anakronis di antara Mercedes Jerman (Barat), Peugeot Perancis, atau Honda Jepang.
 
“Kalau masyarakat sosialis begitu baiknya, mengapa orang-orang di Timur mau meninggalkannya dan bersatu dengan Jerman Barat?” saya bertanya dengan sedikit cemas.
 
“Ini salah paham umum yang ada pada orang-orang luar. Saya tidak mempermasalahkan anda kalau berpikir demikian juga. Tetapi baiklah anda ketahui, tak pernah terpikir pada kami untuk meninggalkan masyarakat sosialis. Yang kami inginkan adalah kebebasan yang se-dikit lebih banyak, misalnya agar kami juga dapat pergi ke mana saja pada masa liburan, seperti halnya orang-orang di Barat. Yang tidak kami ketahui dan sadari pada waktu itu adalah bahwa orang tidak bisa mengambil separuh-separuh. Mengambil kebebasan Barat tanpa mengambil keadaan tanpa-persamaan di Barat adalah tidak mungkin. Itu suatu ilusi yang menipu, tetapi semuanya sudah lewat, dan sekarang kami harus menyesuaikan diri dengan keadaan baru” dia menenggak anggur merah untuk membasahi kembali kerongkongannya yang rada kering karena kalimat panjang tersebut.
 
“Tetapi mengapa tembok pemisah di kota Berlin diruntuh-kan? Bukankah itu pertanda nyata bahwa orang mau bersatu kembali dengan masyarakat ka-pitalis?” pertanyaan itu sekadar untuk melanjutkan pembicaraan.
 
“Sama sekali tidak! Bahwa tembok pemisah diruntuhkan, es ist einfach so gekommen (terjadi begitu saja), dan tak seorang pun merencanakan atau menduga sebelumnya. Banyak contoh dalam sejarah dunia yang menunjukkan bahwa ada berbagai peristiwa besar yang terjadi di luar dugaan dan perhitungan dan kemudian harus kita terima begitu saja. Runtuhnya tembok pemisah di Berlin begitu juga. Dan akibatnya kami sekarang harus bersatu kembali dengan Jerman bahagian Barat, dan perlahan-lahan harus menyesuaikan diri kembali dengan pola-pola masyarakat kapitalis. Kami sudah menerima bahwa sosialisme, sekali pun tidak jelek, sudah merupakan masa lampau yang tidak perlu ditangisi lagi”, suaranya selesai di sana dan saya ragu apakah pembicaraan masih patut diteruskan.
 
Namun, diskusi sudah berlangsung dan saya tak mau kepalang basah. Maka: “Di Barat sering terdengar omongan bahwa sulit sekali orang-orang di Timur melepaskan diri dari mentalitas lama dan menyesuaikan diri dengan etos kerja baru dalam alam konkurensi dan kompetisi. Apakah benar demikian?”
 
Bagaikan kena sengatan dia menyambar: “Itulah dongeng yang berkembang di Barat. Dikiranya kami orang-orang di Timur adalah semacam manusia purba atau makhluk langka yang harus diselamatkan dan dikasihani. Tentu saja kami juga bekerja, dan kami tahu kami bekerja untuk apa. Kami tidak menimbun kekayaan dan menciptakan jurang kaya-miskin yang begitu mendalam ada di Barat. Yang kami tuju adalah persamaan dan ketenangan. Saya seorang guru gimnasium dan mengajar kimia. Sekarang setelah Jerman bersatu, bisa saya katakan bahwa tingkat pengetahuan kimia rata-rata di gimnasium Barat sangat rendah dibandingkan dengan di gimnasium di Timur. Demikian juga dengan rata-rata pengetahuan umum. Ini ada sebabnya. Anak-anak kami di Timur mempunyai lebih banyak waktu untuk membaca, belajar dan melakukan sport. Tidak terlalu banyak godaan untuk hal yang bukan-bukan. Apalagi harga buku di Timur, seperti anda ketahui, sangat murah dan terjangkau oleh semua orang”.
 
“Tetapi ekonomi stagnan dan tidak mengalami pertumbuhan” saya menyelang kalimatnya yang panjang.
 
“Betul, tetapi untuk apa pertumbuhan ekonomi yang tinggi kalau dengan itu juga bertumbuh kejahatan, pencurian dan kriminalitas? Dulu sebelum Jerman bersatu, kami bisa keluar malam dengan tenang untuk nonton opera tanpa rasa takut. Tetapi sekarang orang harus berpikir dua kali untuk masih di luar rumah setelah pukul 10.00 malam. Di Barat pengangguran sekarang mengancam dengan sangat serius. Dan akibatnya, muncul dan berkembang berbagai penyakit sosial yang di Timur sebelumnya tidak ada”.
 
Tanpa ragu saya bertanya lagi: “Di Barat ada keluhan bahwa orang-orang di Timur mengimpikan kemakmuran yang sama dengan Barat tetapi enggan untuk bekerja sama kerasnya dengan orang-orang di Barat“?
 
Sekali lagi dia menenggak anggur merah lalu: “Itu juga dongeng yang lain. Anda tahu, bahwa perbedaan kemakmuran di Timur dan Barat memang besar. Pada mulanya kami juga tidak mempunyai ilusi bahwa ada persamaan dalam kemakmuran dalam beberapa tahun. Kami siap untuk hidup lebih sederhana pada tahun-tahun permulaan persatuan-kembali Jerman, dan kami juga bersedia bekerja keras untuk itu. Tetapi siapa yang memulai menimbulkan harapan yang bukan-bukan? Pada pemilu yang lalu adalah Kanselir Helmut Kohl yang mengumbar janji bahwa hanya dalam waktu singkat kemakmuran dan tingkat pendapatan di Barat dan Timur akan sama. Kota-kota di Timur akan mekar seperti kembang di taman, katanya. Tentu saja janji itu diberikan supaya dia mendapat dukungan suara di Timur, sementara kami masih terlalu bodoh untuk mempertimbangkan mana janji yang mungkin terlaksana dan mana yang tidak. Sekarang ini, setelah Kohl menang pemilu, dengan dukungan suara dari Timur, pendapatan saya sebagai guru di gimnasium hanya 70 persen dari pendapatan seorang guru setingkat di Barat. Seorang profesor setingkat C3 mempunyai pendapatan 80 persen dari yang diperoleh rekannya di Barat. Di Berlin perbedaan itu lebih kecil, tetapi makin ke Timur perbedaan makin besar. Anda tentu sudah mendengar juga bahwa anggaran untuk pendidikan dipotong besar-besaran, dan untuk pertama kalinya dalam sejarah pendidikan Jerman, pemerintah mau memungut uang sekolah. Ditargetkan setiap semester seorang mahasiswa harus membayar 1.000 DM uang kuliah. Percobaan pertama hendak dilakukan di Berlin, dan sebagai pancingan mula-mula akan hanya dipungut 100 DM untuk tiap semester. Mahasiswa tentu saja sudah mencium gelagat itu, dan sekarang ini tiap hari ada demonstrasi di Berlin menentang rencana itu. Kapitalisme itu baik, tetapi harga yang harus dibayarnya adalah manusia, dan itu harga yang terlalu mahal.”
 
“Bolehkah saya mengajukan sebuah pertanyaan terakhir?” saya sendiri merasa sudah tidak enak bahwa makan siang gratis itu harus diselingi dengan perdebatan seperti itu. “Aber bitte schoen (tentu saja, silakan)” “Ini suatu pengandaian saja. Kalau anda diberi kesempatan untuk kembali ke masyarakat sosialis setelah beberapa tahun mengenyam kehidupan dalam sistem kapitalis, yang manakah yang anda pilih?”
 
Diam sebentar, menarik napas, lalu berkata dengan tenang: “Saya termasuk orang yang tidak berandai-andai dengan sejarah. Sejarah berjalan, membawa perkembangan baru dan kita harus siap menghadapinya secara realistis. Tidak ada jalan kembali. Tidak ada pilihan lain. Tetapi kita dapat belajar sesuatu dari sejarah. Dan sejauh ini ada satu pelajaran yang ingin saya kemukakan kepada anda. Masyarakat sosialis itu baik selama tidak ada sistem lain yang menjadi saingan atau musuhnya. Orang-orang di Timur sebetulnya puas dengan kehidupan mereka, kalau saja tidak ada sistem kapitalis yang menggoda mereka dengan kemakmuran dan kebebasan. Dan itu sebabnya masyarakat sosialis cenderung menjadi masyarakat tertutup, juga dengan maksud melindungi para warganya dari godaan yang tidak perlu.”
 
“Sebaliknya, masyarakat kapitalis itu baik selama ada sistem lain yang menjadi musuh atau saingannya. Perbaikan nasib buruh, pemerataan pendapatan secara relatif di Barat, sistem asuransi kesehatan, jaminan hari tua, uang pengangguran, dan berbagai jaminan lain, tidak akan lahir di Barat kalau tidak ada tekanan dari sistem sosialis. Tanpa tekanan dari sistem sosialis, maka kapitalisme hanya akan menjadi sangat kasar, buas, dan memangsa manusia. Jadi kesimpulannya: sistem kapitalis itu baik kalau selalu diancam oleh sistem lain, sedangkan sistem sosialis itu baik kalau tidak diancam oleh sistem lain.”
 
“Kesulitan terbesar di Barat saat ini ialah bahwa kapitalisme bisa berkembang tanpa saingan dan kontrol setelah sistem sosialis runtuh. Sementara ini belum terlalu kelihatan bahayanya. Orang-orang Barat mulai melakukan investasi di Timur, dan anda lihat bahwa di mana-mana di Timur mulai ada shopping center baru, plazza baru dan semacamnya. Rakyat tentu senang dengan semua ini, bagaikan gula-gula yang dibagi setelah kemenangan dalam suatu pertandingan sepak bola. Namun demikian, tidak ada yang gratis di dunia ini. Pada satu saat kita harus kembali membayar harganya dan harga itu mungkin terlalu mahal untuk seluruh peradaban“.
 
Tiba-tiba saya kehilangan nafsu untuk bertanya lebih lanjut. Sungai Elbe yang tenang tiba-tiba berubah jadi banjir dahsat dalam pandangan saya.
***

*) Ignas Kleden, Sosiolog. Dilahirkan di Larantuka, Flores, Nusa Tenggara Timur, 19 Mei 1948. Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Ilmu Filsafat dan Teologi, Seminari Tinggi Katolik St. Paulus, Ledalero, Maumere, Flores (1966 1974). Gelar Filsafat Politik (MA Phil) diraihnya pada Hochschule Fuer Philosophie, Munich, Jerman (1979–1982). http://sastra-indonesia.com/2021/06/sosialisme-dari-tepi-sungai-elbe/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar