Monday, June 21, 2021

Seputar Kontroversi Penghargaan Sastra

Riki Fernando
Padang Ekspres, 24 Sep 2017
 
Apalah arti karya seni tanpa apresiasi? Begitu juga karya sastra. Sebagai hasil proses kreatif yang lahir untuk menunjukkan “sesuatu”–baik dari segi tampilan maupun dari segi isi–karya sastra adalah media komunikasi penulis dengan pembaca.
 
Kritikus sastra Indonesia asal Belanda, Prof. A. Teeuw, mengungkapkan bahwa karya sastra baru memiliki makna setelah melalui proses pembacaan. Makna yang diberikan pembaca kemudian menjadi nilai. Nilai kemudian menjadi citra, dan citra otomatis mendatangkan respon.
 
Jika negatif, karya bersangkutan akan ditinggalkan (dan terlupakan perlahan-lahan). Sebaliknya, jika positif, karya bersangkutan akan memperoleh penghargaan sebagai bentuk “perekomendasian” (sehingga dibaca banyak orang dari waktu ke waktu).
 
Proses penilian penghargaan sastrawan melibatkan keseluruhan penghargaan yang dicapai karya-karya yang pernah ditulisnya. Secara umum, bisa juga diartikan sebagai penghargaan bagi usaha sungguh-sungguhnya dalam dunia tulis-menulis.
 
Jika seorang sastrawan telah dianugerahi suatu penghargaan, berarti bisa dikatakan bahwa apa saja karya yang pernah diciptakannya dianjurkan bagi siapa saja yang berminat membaca karya sastra. Begitulah upaya sejumlah lembaga yang bergiat di bidang literasi–untuk menyaring pilihan-pilihan yang terbaik.
 
Namun, penghargaan terhadap sastrawan pada kenyataannya tak jarang pula menuai kontroversi yang kemudian memunculkan sebuah pertanyaan: apa makna penghargaan sastra yang sesungguhnya?
 
Ada kalanya penghargaan terhadap sastrawan mendapat reaksi tak puas dari sejumlah pihak, karena sastrawan yang menerimanya dinilai tidak layak. Pada 1995, tersiar kabar bahwa Yayasan Ramon Magsaysay akan menganugerahi Hadiah Magsaysay (kategori sastra) kepada Pramoedya Ananta Toer. Sontak sejumlah reaksi berdatangan dari sejumlah sastrawan Indonesia.
 
Tercatat, setidaknya ada 26 nama yang menjadi penanda tangan sebuah surat guna merespon negatif keputusan Yasasan Ramon Magsaysay tersebut. Beberapa di antaranya: H.B. Jassin, Mochtar Lubis, Asrul Sani, Taufiq Ismail, dan W.S. Rendra. Ya, pemberian Hadiah Magsaysay pada Pramoedya dinilai mengganggu nama baik almarhum Presiden Ramon Magsaysay, sebab penulis Tetralogi Buru tersebut sebelumnya dianggap bertanggung jawab atas penindasan terhadap kebebasan berekspresi pada masa kejayaan Lekra.
 
Sebagaimana komentar sastrawan kawakan Filipina, Frankie Sionil Jose, “Seandainya Ramon Magsaysay masih hidup hari ini, saya yakin dia akan mengutuk Yayasan yang membawa-bawa namanya untuk memberikan hadiah 1995 kepada Pramoedya Ananta Toer.”
 
Reaksi yang lebih radikal muncul dari Mochtar Lubis, selaku peraih hadiah yang sama pada 1958. Terang saja bahwa penganugerahan Hadiah Magsaysay kepada Pramoedya membuatnya begitu kecewa. Bahkan, penulis kelahiran Padang tersebut kemudian sempat menyatakan bahwa dia akan mengembalikan Hadiah Magsaysay miliknya jika Pramoedya tetap diberikan penghargaan yang sangat bergengsi di kawasan Asia itu.
 
Kasus yang lebih heboh kemudian terjadi di Inggris Raya pada 2007. Saat itu Ratu Elizabeth II menganugerahkan gelar kebangsawanan Inggris kepada penulis kontroversial Salman Rushdie atas sejumlah karya tulis yang telah dihasilkannya selama bertahun-tahun.
Berita tersebut tentu saja segera menyulut konflik diplomatik antara negara-negara (berpenduduk mayoritas pemeluk) Islam dan Kerajaan Inggris. Bagaimana tidak, Salman Rushdie yang menerbitkan buku The Satanic Verses pada 1988 dianggap telah menghina agama Islam dan menjadi musuh Islam yang segera dijatuhi fatwa hukuman mati oleh Pemimpin Agung Iran, Ayatollah Khomeini, sehingga pemberian penghargaan kepadanya sama saja menghina umat Islam.
 
Jika sebelumnya penghargaan terhadap sastrawan mendapat reaksi keras dari pihak pengamat (yang merasa tidak puas), selanjutnya ada pula penghargaan terhadap sastrawan yang mendapat reaksi tegas dari pihak penerimanya sendiri.
 
Pada 1926, Sinclair Lewis menolak Hadiah Pulitzer untuk novelnya Arrowsmith. Hadiah Pulitzer merupakan penghargaan paling prestisius dalam dunia tulis-menulis di Amerika Serikat. Lewis yang dikenal kritis terhadap negara Paman Sam menyatakan, “Setiap paksaan diletakkan kepada penulis agar dia menjadi penulis yang aman, sopan, patuh, dan steril. Sebagai bentuk protes, saya menolak pemilihan Institut Nasional Seni dan Sastra beberapa tahun yang lalu, dan sekarang saya harus menolak Hadiah Pulitzer.” Karena alasan idealisme, Lewis menolak untuk “dijinakkan”.
 
Sikap yang mirip juga dilakukan Jean-Paul Sartre pada 1964. Saat itu penulis asal Prancis tersebut membuat gaduh seantero dunia lewat sikapnya menolak penghargaan (kategori sastra) paling bergengsi di planet bumi, yaitu Nobel! Saat itu, fenomena tersebut merupakan yang pertama sepanjang sejarah penghargaan Nobel.
 
Ketika sejumlah orang heran dan sebagian orang menilai sikap Sartre sebagai arogan, filsuf eksistensialisme tersebut dengan tegas menyatakan, “… seorang penulis sejati harus menolak sesuatu yang bisa membuatnya berubah menjadi sosok yang mendukung suatu institusi.” Karena idealisme yang dipegangnya dengan teguh, Sartre benar-benar ingin netral dalam berekspresi. Dia tak ingin mengemukakan gagasannya sebagai bagian dari pihak tertentu.
 
Masih mengenai kontroversi Hadiah Nobel, pernyataan yang bersahaja (tapi tak kalah dahsyat) juga pernah diungkapkan penulis masyhur Rusia, Leo Tolstoy, ketika menanggapi kenapa Hadiah Nobel tak diberikan kepadanya pada 1901. Tolstoy berkata, “Saya sangat senang mengetahui bahwa Hadiah Nobel tidak dianugerahkan kepada saya. Ini menghilangkan masalah besar bagi saya perihal bagaimana menggunakan uang itu. Saya yakin bahwa uang itu hanya membawa kejahatan.”
 
Ya, penghargaan sastra bukanlah satu-satunya alat pelegitimasi kehebatan seorang sastrawan. Tolstoy akan tetap dinilai sebagai penulis besar meski dia tak pernah mendapat Hadiah Nobel. Selama karya-karyanya memiliki pembaca, siapa saja akan tahu bahwa Tolstoy adalah penulis hebat. Begitu juga Sartre. Dia “tak perlu” dianugerahi satu pun penghargaan untuk mendapat pengakuan sebagai penulis hebat. Siapa saja yang membaca karya-karyanya tahu bahwa dia penulis hebat. Bahkan, mungkin teramat hebat karena dia juga benar-benar memiliki idealisme luar biasa, sehingga nekat menolak Hadiah Nobel!
 
Ya, bukankah penghargaan sejati bagi seorang sastrawan sederhana saja, yaitu saat karya(-karya)nya bisa bermanfaat bagi (para) pembaca? Dan bukankah dewan juri yang sesungguhnya adalah para pembaca yang senantiasa dilahirkan sang waktu entah sampai kapan?
***

http://sastra-indonesia.com/2021/06/seputar-kontroversi-penghargaan-sastra/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar