Friday, June 4, 2021

Sastra Indonesia: “Krisis”

Alunk Estohank *
riaupos.co
 
Apa yang dikhawatirkan A.S Dharta dalam pidatonya pada simposium Fakultas Sastra, Jakarta, Januari 1956 tentang krisis yang melanda bangsa ini memang benar-benar terjadi pada saat ini. A.S Dharta mengatakan bahwa bangsa ini tengah mengalami krisis, baik itu krisis kepeminpinan, krisis ekonomi, krisis kemanusiaan, krisis ini, itu dan sebagainya. Bahkan juga tentang kesusastraan ada yang mengatakan tengah mengalami krisis.
 
Memang krisis dalam dunia sastra dewasa ini seringkali kita dengar, baik itu krisis penulis, krisis kritikus dan krisis kualitas. Semua itu tidak dapat kita pungkiri, krisis kesusastraan yang tengah melanda negeri ini memang tak lepas dari pengaruh perkembangan sastra itu sendiri. Di mana karya sastra berkembang dengan begitu pesatnya, sehingga karya sastra bukan lagi sabagai karya yang fenomental namun lebih kepada pasar, uang dan popularitas belaka. Apabila membincangkan popularitas maka yang terbentang adalah hamparan orientsi keuntungan dan indikasi kepentingan.
 
Perbincangan krisis ini biasanya berbarengan dengan apa yang kita kenal sebagai “kesadaran sejarah”. Di mana sejarah kesusastraan kita memang mempunyai sejarah yang bagus, dulu kita mengenal Pramoedya Ananta Toer yang fenomenal dengan tetraloginya, ada HB Jassin yang merelakan seluruh hidupnya hanya untuk sastra. Sekarang apa yang mesti kita kenang dari sastra Indonesia selain sebagai “krisis”.
 
Baiklah kita tinggalkan sejenak tentang “krisis” kesusastraan bangsa ini, marilah kita beranjak pada apa itu ‘kesadaran sejarah’. kesadaran sejarah dalam hal ini adalah bagaimana kita mengingat dan mempertautkan dengan masa sekarang, bahwa sebenarnya kita mempunyai sejarah yang bagus di ranah kesusastraan. Namun kemudian saya teringat perkataan Nirwan Dewanto: masih perlukah sejarah sastra? Pernyataan yang begitu ngeri menghantam ingatan saya. Sastra memang memiliki sejarah yang baik, sejarah nasionalisme, sejarah perjuangan, sejarah menemukan jatidiri dan sejarah-sejarah lainnya, baik semenjak balai pustaka atau sebelumnya hingga lahirlah angkatan demi angkatan, bukankah itu sejarah baik dari kesusastraan Indonesia?
 
Iya, itu sejarah baik. Dan sejarah itu pada pentas mutakhir ini sudah mulai mengkhawatirkan. Kekhwatiran-kekhawatiran itu muncul dari sikap tersendiri sastrawan mutakhir menyikapi kesusastraan itu sendiri. Sepertinya para sastrawan kita sudah mulai mengalihkan jalur murni sastra ke jalur diam-diam bisnis. Jembatan sastra ke jalur bisnis sudah mulai nampak saat percepatan akses dan teknolgi berkembang massif dan tak terkontrol. Kemajuan di bidang inilah kemudian oleh pihak tertentu di manfaatkan sebagai kecelakaan bertindak.
 
Tak jarang kita saksikan setiap tahunnya berapa buku yang terbit, berapa puisi yang terantologi, berapa karya sastra yang dibaca, tapi adakah yang berkesan untuk kita kenang? Kalau Nirwan Dewanto mengatakan: saya mengenang buku sastra yang terbit karena menghargai tanah kelahiran saya. Sebenarnya secara tidak langsung Nirwan ingin mengatakan tak ada yang patut dikenang untuk terbitan buku kesusastraan mutakhir kita.
 
Kesusastraan mutakhir saya kira memiliki orientasi aktual, tentunya orientasi orang-orang bermodal. Yaitu sistem kapitalisme dalam kesusastraan yang kini bukan omong belaka dan tulisan esai di media, tapi sudah benar nyata. Sekarang boleh kita simak realitasnya, penerbit buku sudah ada di mana-mana dan berlomba-lomba menerbitkan buku meskipun tidak bermutu.
 
Kemudian kenapa ada pernyataan “Negeri ini krisis kritikus sastra”. Alasannya saya kira cukup sederhana, karena tak ada karya sastra yang pantas kita baca dan dibicarakan. Karya sastra sekarang begitu mentah, tak ada dorongan magic atau setimulasi untuk menggelisahkan pembaca.
 
Lain perkara lagi jika kita sanding bandingkan karya sastra sekarang dengan zaman dulu: zaman Chairil Anwar, Rendra, Wiji Thukul yang memiliki suntikan besar terhadap perkembangan dan semangat bangsa.
 
Maka tak pelak lagi kalau sastra modern menjadi biang keladi atas segala “krisis” dalam dunia kesusastraan. Sastra modern didaulat telah mencemarkan nama baik kesusastraan dan mengubah paham yang ada dalam dunia sastra yang awalnya mempunyai spirit kebangsaan dan kemanusiaan menjadi hiburan tanpa isi. Hal ini menjadi racun paling ganas dalam dunia kesusastraan, di mana anak-anak muda saat ini hanya memiliki paham kalau sastra hanya berkisar pada persoalan cinta dan tetek bengik hiburan saja.
 
Di sinilah kita menemukan titik terang tentang apa yang kita sebut sebagai “krisis”. Oleh karena itu mari kita renungkan kembali meski sejenak: untuk apa karya sastra jika tidak memiliki pengaruh terhadap masyarakat luas? Setidaknya ada alasan yang lebih rasional selain melulu popularitas. Dititik ini, membaca teks sastra tidak hanya sebatas menikmati, tapi juga menyingkap makna tersembunyi hingga dapat dimengerti, dihayati, diinterpretasi sebagaimana juga ungkap Damhuri Muhammad.
 
Maka sebagai pembaca karya sastra saya tetap menempatkan diri sebagai penikmat, bukan kritikus dan bukan pula sastrawan. Barangkali saya salah dan mungkin juga benar berharap banyak tentang kesusastraan negeri ini, tidak sekedar mengejar uang dan popularisasi saja. Setidaknya harapan itu adalah keseriusan pihak tertentu dalam melihat perkembangan kesusastraan saat ini yang tengah mengalami “krisis”.
***

*) Alunk Estohank, esais tinggal di Yogyakarta. http://sastra-indonesia.com/2017/09/sastra-indonesia-krisis/

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar