Ignas Kleden **
Kompas, 04 Agu 2007
Upaya dan perjuangan Sutardji Calzoum Bachri menerobos makna kata,
menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapat
dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara
besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang
lebih otentik melalui puisi.
Dalam sebuah esainya Sutardji menulis “puisi adalah alibi kata-kata.”
Dengan ungkapan itu dimaksudkan bahwa kata-kata dalam puisi diberi kesempatan
menghindar dari tanggung jawab terhadap makna, yang dalam pemakaian bahasa
sehari-hari dilekatkan pada sebuah kata sebagai tanggungan kata tersebut.
Sebuah kata, dalam pemikiran Sutardji, diberi beban makna oleh berbagai
kekuatan, yang dalam proses selanjutnya tidak mau bertanggung jawab lagi
tentang makna yang mereka berikan dan memindahkan tanggung jawab tersebut pada
kata yang telah diasosiasikan dengan makna tertentu.
Adapun kekuatan-kekuatan yang dianggap menindas kebebasan kata-kata dengan
memberinya beban makna bisa berasal dari dalam bahasa, seperti semantik atau
sintaksis, tetapi dapat pula berasal dari lingkungan luar bahasa, seperti
konvensi sosial, kekuasaan politik, atau norma-norma moral.
Mengikuti Sutardji, pemaknaan kata-kata adalah sebuah bentuk penindasan dan
kolonisasi, dan dalam hubungan itu puisi dapat berperan sebagai kekuatan
pembebas, yang membuat kata-kata kembali merdeka dari penjajahan makna.
Proposisi-proposisi tentang pemikirannya ini kemudian dirumuskannya dalam
sebuah manifesto yang dikenal sebagai Kredo Puisi.
Menilik isinya, kredo Sutardji yang terkenal itu (dalam O Amuk Kapak: Tiga
Kumpulan Sajak, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta 1981) pada dasarnya lebih
berisikan kredo penyair karena di sana ditegaskan peran penyair dalam
pembebasan kata-kata dari penjajahan makna: Dalam puisi saya, saya bebaskan
kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan
lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan
dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.
Bagi saya, pemikiran-pemikiran dalam Kredo Puisi menjadi menarik bukan
dalam kedudukannya sebagai suatu teori tentang puisi, tetapi terutama sebagai
rencana kerja seorang penyair. Kredo itu membuat kita terkesan dan mungkin
terkejut, bukan karena argumen-argumen yang diajukannya mengenai sense dan
nonsense, tetapi dia menjadi menarik sebagai suatu program, suatu desain, dan
bahkan suatu tekad.
Harga dan nilai kredo tersebut tidak selayaknya diukur berdasarkan
konsistensi dalil-dalilnya, tetapi terutama berdasarkan pertanyaan: apakah
penyairnya sanggup mewujudkan apa yang telah dia deklarasikan.
Mantra
Sutardji mengatakan bahwa bagi dia menulis puisi “adalah mengembalikan kata
pada mantra.” Mengembalikan kata kepada mantra adalah mengeluarkan kata dari
konvensi makna dan membiarkannya menemukan kekuatannya sendiri.
Kita dapat bertanya: kalau kata dikembalikan kepada mantra, ke mana
gerangan hendak dikembalikan kalimat dalam bahasa? Jawaban atas pertanyaan ini
diberikan oleh panyairnya 24 tahun kemudian—setelah Kredo Puisi 1973—dalam esai
“Pantun” yang diumumkan Kompas Minggu (14 Desember dan 21 Desember 1997).
Di situ pemikiran Sutardji bahwa kata pada dasarnya tak ada hubungan
intrinsik dengan maknanya—suatu pandangan yang kemudian semakin dipertegas oleh
teoretisi post-modernis—diteruskannya dengan pandangan lain bahwa sampiran
dalam pantun tak ada hubungan intrinsik apa pun dengan isi pantun.
Di sini Sutardji secara frontal menolak pemikiran beberapa peneliti pantun
dari Barat, yang berasumsi bahwa ada suatu hubungan intrinsik yang tidak selalu
kita ketahui antara bagian sampiran dan bagian isi dalam pantun. Adalah menarik
bahwa perlawanan yang dilancarkannya tidak dilakukan dengan berteori, tetapi
dilaksanakan dalam praktik, yaitu praktiknya sebagai seorang penyair.
Cara yang ditempuhnya ialah mengambil satu dua pantun dan mengubah sampiran
pantun itu dengan bunyi-bunyi yang tidak ada maknanya secara leksikal, tetapi
tetap mempertahankan persyaratan formal pantun berupa jumlah baris dalam satu
bait, jumlah suku kata dalam satu baris kalimat, dan persamaan bunyi pada akhir
kalimat. Ternyata bahwa setelah sampiran diubah ke dalam bunyi-bunyi yang tanpa
makna, pantun itu tetap utuh dan masih dapat dinikmati juga.
Pulau pandan jauh di tengah
di balik pulau angsa dua
hancur badan dikandung tanah
budi baik dikenang juga
Oleh Sutardji dua kalimat sampiran dalam pantun ini diubah dengan
bunyi-bunyi yang tak ada maknanya dalam kode leksikal sebagai berikut:
Cacau landan taktak zizangah
tuta kadu pagara mua
hancur badan dikandung tanah
budi baik dikenang jua
Atau sebuah pantun lainnya:
Kalau ada sumur di ladang
bolehlah saya menumpang mandi
kalau ada umurku panjang
bolehlah kita bertemu lagi
Oleh Sutardji dua kalimat sampiran itu diubah dengan bunyi-bunyi tanpa
makna sebagai berikut:
Zuku zangga tukali tangtang
zegeze geze papali podi
kalau ada umurku panjang
bolehlah kita bertemu lagi
Dengan cara ini Sutardji membuktikan bahwa sampiran sama sekali tidak dan
tidak perlu berhubungan dengan isi pantun dalam kandungan pesannya. Kita tahu,
keterangan umum tentang sampiran biasanya dihubungkan dengan alasan fonetik dan
alasan estetik. Sampiran diharuskan terdiri atas jumlah suku kata tertentu
dalam tiap baris, dengan suku kata terakhir yang harus mengandung persamaan
bunyi dengan suku kata terakhir dari bagian isi yang menjadi pasangannya.
Rima pada pantun mengikuti formula ab/ab, yang berarti akhir baris pertama
harus mempunyai kesamaan bunyi dengan akhir baris ketiga, sedangkan akhir baris
kedua mempunyai rima dengan akhir baris keempat. Di sini hubungan sampiran dan
isi hanyalah hubungan formal menyangkut struktur pantun, tetapi tidak ada hubungan
substansial antara keduanya.
Menerobos batas bahasa
Meski demikian, Sutardji maju selangkah lagi dan menyatakan bahwa sampiran,
justru karena tak mengandung makna tertentu, memperlihatkan the other side of
language atau sisi lain dari bahasa, karena makna dalam isi pantun
diperhadapkan dengan sampiran yang tanpa makna tertentu. Dengan demikian,
pantun menjelma menjadi dialektik antara sense dan nonsense, atau kontestasi
antara makna dan tanpa-makna.
Rupa-rupanya keadaan tanpa makna itu tetap dibutuhkan dalam bahasa umumnya
dan dalam puisi khususnya, karena dia menjadi kontras yang membuat makna
semakin tampak seperti halnya cahaya lampu hanya menjadi nyata dalam gelap dan
tidak tampak di bawah sinar matahari.
Dengan demikian, kalau mantra adalah sisi lain dari makna dalam kata, maka
sampiran pada pantun adalah sisi lain dari makna dalam kalimat. Pada mantra
fonem-fonem yang digabungkan tidak menghasilkan makna, dan atas cara itu
membawa orang keluar dari dunia kata-kata yang bermuatan makna yang telah
dibakukan.
Pada sampiran kata-kata yang membentuk kalimat dalam sampiran memang
mempunyai makna kalau diambil satu persatu secara terpisah, tetapi dalam
keseluruhan pantun, menjadi kehilangan makna karena tak ada pertautan pesan
dengan bagian isi pantun.
Menarik untuk disimak bahwa penerobosan yang dilakukan Sutardji terhadap
makna membawa dia kepada percobaan lain untuk menerobos batas-batas bahasa.
Penerobosan terhadap batas-batas bahasa ini dilakukan dengan melakukan
penyimpangan dari semantik dan penyimpangan dari sintaksis. Semantik menunjuk
hubungan antara bahasa dan suatu obyek di luar bahasa, sedangkan sintaksis
menunjuk hubungan internal antara unsur-unsur bahasa itu sendiri.
Penerobosan terhadap semantik dilakukan dengan memakai fonem-fonem atau
bunyi-bunyi bahasa yang tidak ada maknanya secara leksikal. Meski demikian,
penyairnya sadar juga bahwa hanya dengan bunyi-bunyi tanpa makna itu tidak
mungkin lahir sebuah puisi dalam arti yang kita kenal. Maka, dalam beberapa
sajaknya Sutardji menerapkan teknik menyusun pantun dalam bentuk yang lebih
diperluas.
Jumlah baris dalam bait jauh lebih bebas dan tidak hanya terbatas pada
empat baris, jumlah suku kata juga dibuat tanpa mengikuti pakem pantun, dan
rima juga tidak harus mengikuti formula ab/ab.
Akan tetapi, yang dipertahankan dari unsur pantun adalah kontras antara
sampiran dan isi, kontestasi antara makna dan tanpa makna. Dengan demikian,
fonem-fonem yang tanpa makna itu seakan-akan menjadi sampiran dalam sajak-sajak
Sutardji, tetapi isi sajaknya masih selalu dimunculkan dalam kata-kata dengan
makna yang kita kenal.
Contoh paling tipikal dari kecenderungan ini dapat kita amati dalam
beberapa baris sajak berikut ini.
hai Kau dengar manteraku
kau dengar kucing memanggilMu
izukalizu
mapakazaba itazatali
tutulita
papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu
tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco
zukuzangga zegezegeze zukuzangga zege
zegeze zukuzangga zegezegeze zukuzang
ga zegezegeze zukuzangga zegezegeze zu
ku zangga zegezegeze aahh….!
nama nama kalian bebas
carilah tuhan semaumu
Dalam sajak ini dua kalimat pertama “Kau dengar manteraku/Kau dengar kucing
memanggilMu” adalah seruan kepada sesuatu yang rupa-rupanya mengatasi semua
kategori manusia termasuk bahasa, mungkin sesuatu yang tak terbatas, yang
kudus, atau yang ilahi, yang dicoba didekati dengan memanggilNya dengan
berbagai nama yang tidak kita kenal dalam kode leksikal bahasa Indonesia.
Kode leksikal
Nama dan kode-kode yang digunakan penyairnya adalah bunyi-bunyi seperti
mapakazaba, itazatali, tutulita, dan seterusnya. Betapa pun gelapnya kode
tersebut, dalam berbagai pengulangan dapat kita rasakan intensitas suatu hasrat
yang tak terucapkan dengan bahasa, yaitu bunyi-bunyi seperti zukuzangga
zegezegeze zukuzangga zegezegeze zukuzangga zegezegeze, tetapi rupanya
seruan-seruan magis itu tak sanggup juga mendekatkan wujud yang tak terbatas
atau yang kudus itu kepada penyair, yang akhirnya berkata dengan pasrah, dan
mungkin dengan putus harapan: “nama nama kalian bebas/carilah tuhan semaumu.”
Perjuangan dengan yang tak terbatas, yang ilahi, atau yang kudus dapat kita
amati dengan lebih jelas dalam sajaknya yang berjudul Shang Hai. Teknik yang
diterapkan penyair di sini adalah menerjemahkan kata-kata dalam kode leksikal
ke dalam tanda-tanda non-leksikal.
Semantik diterjemahkan menjadi semiotik sebagaimana dikatakan oleh Emile
Benveniste. Meski demikian, penggunaan kode-kode non-leksikal itu disusun dalam
suatu struktur yang dengan mudah membuat kita menerjemahkannya kembali ke dalam
kata-kata biasa dalam kode leksikal. Hubungan di antara signifier (tanda
non-leksikal) dan the signified (kode leksikal) tidak dibuat eksplisit, tetapi
memberi kemungkinan bagi pembaca untuk menemukannya.
Ping di atas pong
pong di atas ping
ping ping bilang pong
pong pong bilang ping
mau pong? bilang ping
mau mau bilang pong
mau ping? bilang pong
mau mau bilang ping
ya pong ya ping
ya ping ya pong
tak ya pong tak ya ping
ya tak ping ya tak pong
kutakpunya ping
kutakpunya pong
pinggir ping kumau pong
tak tak bilang ping
pinggir pong kumau ping
tak tak bilang pong
sembilu jarakMu merancap nyaring
Ada tiga cara membaca sajak ini. Cara pertama adalah cara semiotik yang
melihat semua bunyi bahasa dalam sajak itu sebagai tanda dan hubungan antar
tanda. Cara yang kedua adalah cara semantik yaitu melihat hubungan kode
leksikal dengan makna.
Cara yang ketiga adalah cara hermeneutik yaitu melihat hubungan antara kode
bahasa dengan makna, dan hubungan makna dengan konteks kebudayaan yang luas.
Cara ketiga inilah yang akan saya gunakan dalam membaca sajak Shang Hai.
Dibaca dengan cara hermeneutis maka sajak itu dapat menunjukkan suatu
perjuangan eksistensial untuk memihak makna atau tanpa makna, persaingan antara
percaya dan rasa sia-sia, tukar-menukar antara benci dan rindu, atau pingpong
antara ada dan tiada.
Ping di atas pong
pong di atas ping
ping ping bilang pong
pong pong bilang ping
mau pong? bilang ping
mau mau bilang pong
mau ping? bilang pong
mau mau bilang ping
ya pong ya ping
ya ping ya pong
Ada sesuatu yang intens dan tegang dalam larik-larik tersebut yang kita tak
tahu sepenuhnya apa. Akan tetapi, untuk keperluan penafsiran, kita secara
eksperimental dapat mengganti fonem ping dan pong dengan kata-kata yang ada
dalam kode leksikal bahasa Indonesia. Sebagai contoh gantilah fonem ping dengan
kata-kata seperti: ada, percaya, rindu, dan dekat, dan gantilah fonem pong
dengan kata-kata seperti: tiada, sia-sia, benci atau jauh maka akan terasa
ketegangan itu.
Dengan peralihan ke dalam kode leksikal, maka larik-larik di atas akan
berbunyi:
Ada di atas tiada
tiada di atas ada
ada ada bilang tiada
tiada tiada bilang ada
mau tiada? bilang ada
mau mau bilang tiada
mau ada? bilang tiada
mau mau bilang ada
ya tiada ya ada
ya ada ya tiada
Atau kalau kita menggantinya dengan kode leksikal lainnya, maka kita dapati
larik-larik berikut:
Rindu di atas benci
benci di atas rindu
rindu rindu bilang benci
benci benci bilang rindu
mau benci? bilang rindu
mau mau bilang benci
mau rindu? bilang benci
mau mau bilang rindu
ya benci ya rindu
ya rindu ya benci
Sajak ini termasuk sajak Sutardji yang paling mempesona saya karena hanya
dengan dua fonem yang tak ada maknanya secara leksikal kita diberi ruang yang
lapang untuk membangun makna tentang dialektik yang keras di antara dua jenis
energi yang diberi nama “ping” dan “pong.”
Makna baru
Dialektik ini rupanya tak menghasilkan suatu sintesa yang memuaskan,
sehingga akhirnya meledak dalam kalimat terakhir sajak yang berbunyi sembilu
jarakMu merancap nyaring. Anda tahu “merancap” adalah bunyi senjata tajam yang
sedang diasah. Maka, jarak dengan yang tak terbatas telah menjadi sembilu yang
terus diasah dengan denting bunyi yang nyaring.
Namun, di sinilah Sutardji berhadapan dengan kontradiksinya sendiri: usaha
untuk keluar dari makna akan membawa kita kepada makna baru, seperti yang
terjadi pada setiap metafor. Penghancuran makna mengharuskan kita untuk
melakukan penciptaan makna, sementara dekonstruksi makna akan membawa kita
kepada rekonstruksi makna.
Bunyi-bunyi yang tak ada dalam kamus pada akhirnya harus diterjemahkan
kembali dengan kata-kata dalam kode leksikal, sebagaimana mantra diterjemahkan
menjadi doa, dan mistik diterjemahkan menjadi lirik. Sebagai contoh sajak
Sutardji Shang Hai yang baru kita uraikan dapat dengan mudah diterjemahkan ke
dalam sajak Sapardi Djoko Damono berjudul Sonet: X. Sajak ini dimulai dengan
pertanyaan:
Siapa menggores di langit biru
siapa meretas di awan lalu
siapa mengkristal di kabut itu
siapa mengertap di bunga layu
Dan ditutup dengan pertanyaan:
siapa tiba-tiba menyibak cadarku
siapa meledak dalam diriku
: siapa Aku
Setelah bertanya dan mengaduh dengan berbagai pertanyaan yang serba
gelisah, muncul juga jawaban berupa suara dalam diri orang yang bertanya: siapa
Aku, siapa Aku yang menggema dalam dirimu? Demikian pun, kesimpulan Sutardji
yang terungkap dalam kalimat sembilu jarakMu merancap nyaring dengan mudah
mengingatkan kita akan rindu dendam dan mungkin juga frustrasi Amir Hamzah
dalam sajaknya “PadaMu jua,” yang baik saya kutipkan beberapa baitnya sebagai
perbandingan:
Satu kekasihku
aku manusia
rindu rasa
rindu rupa
Di mana Engkau
rupa tiada
suara sayup
hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
engkau ganas
mangsa aku dalam cakarmu
bertukar tangkap dengan lepas
Permainan antara rindu rupa dan rupa tiada, dan pergantian tangkap dengan
lepas pada Amir Hamzah kurang lebih paralel dengan sembilu jarakMu merancap
nyaring pada Sutardji, yang menyatakan kegelisahan dan rasa penasaran ini
dengan lebih jelas dalam sebuah sajaknya yang lain:
Kuharap isiNya kudapat remahNya
kulahap hariNya kurasa resahNya
kusangat inginNya kujumpa ogahNya
kumau Dianya kutemu jejakNya.
Daya pukau
Kalau yang tak terbatas itu dihayati juga sebagai yang kudus, maka
pengalaman dengan yang kudus itu, menurut penyelidikan fenomenolog agama,
Rudolf Otto, dihayati sebagai perjumpaan dengan mysterium tremendum et
fascinans: misteri yang menyebarkan rasa gentar dan memancarkan daya pukau.
Orang tertangkap dalam daya pukau, tetapi terlepas kembali dalam rasa
gentar, bertukar tangkap dengan lepas seperti dikatakan Amir Hamzah. Pada
beberapa penyair Indonesia daya pukau itu terasa lebih menonjol dan penyair
melantunkan sukacita akan kepenuhan pengalaman itu. Chairil Anwar dalam
pembukaan sajak Doa berkata:
Tuhanku
dalam termangu
aku masih menyebut namaMu
yang dapat kita bandingkan dengan beberapa kalimat dalam sajak Rabindranath
Tagore:
I will utter your name, sitting alone among
the shadows of my silent thoughts
I will utter it without words, I will utter it without purpose
Chairil menutup sajaknya dengan stanza berikut:
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
Larik-larik itu terdengar bagaikan parafrase pengalaman penyair Inggris,
William Blake ketika berkata dalam sajaknya:
Hold infinity in the palm of your hand
and eternity in an hour
Sutardji jelas mengalami keterpukauan itu, tetapi berkali-kali merasa bahwa
yang dekat tetaplah jauh, yang nampak tetap tersembunyi, daya pukau tetaplah
menyebar rasa gentar. Ambivalensi tanggapan dan suasana hati ini dapat
ditemukan secara intens dalam berbagai sajaknya tetapi muncul dalam nada rendah
yang amat simpatik dalam sajak yang berikut ini:
Siapa dapat meneduh rusuh
dalam hatiku dalam hatimu
siapa dapat membalut luluh
yang padamu yang padaku
siapa dapat turunkan sauh
dalam hatiku dalam hatimu
siapa dapat membasuh lusuh
apa kautahu apa kautahu?
Pelanggaran kategori
Kalau semantik diterobos melalui mantra, maka sintaksis diterobos melalui
categorial transgression atau pelanggaran batas kategori sebagaimana
dimaksudkan oleh Paul Ricoeur. Pelanggaran batas kategori ini dilakukan oleh
Sutardji dengan beberapa cara, direncanakan ataupun tidak. Di beberapa tempat
jelas-jelas dia memakai kata benda dalam fungsi sebagai kata sifat.
Yang paling mawar
yang paling duri
yang paling sayap
yang paling bumi
yang paling pisau
Ada dua hal terlihat dalam contoh ini. Di satu pihak kata benda digunakan
sebagai kata sifat, sementara di lain pihak kata benda dapat diberi bentuk
superlatif. Kita dapat bertanya mengapa gerangan penyairnya mengatakan “yang
paling mawar” dan bukan “yang paling harum,” “yang paling duri” dan bukannya
“yang paling tajam,” atau “yang paling sayap” dan bukannya “yang paling bebas?”
Salah satu jawaban yang mungkin ialah ajektif harum, tajam, dan bebas dalam
perasaan penyair sudah mengalami devaluasi arti yang terlalu parah akibat
tekanan konvensi sosial atau hipokrisi moral, sehingga dia mengambil substantif
sebagai gantinya. Sementara itu, dia ingin memastikan bahwa kalau ada bau harum
yang terbit dalam perasaannya, maka itu adalah harum mawar dan bukan harum
parfum misalnya. Di sini pelanggaran kategori diterapkan untuk mengejar presisi
dan kepenuhan makna yang dituju.
Penyimpangan lainnya dilakukan dengan menyamakan dalam fungsi atributif
yang sejajar kata-kata dari berbagai jenis kata yang berbeda. Larik-larik
berikut ini dapat memberi ilustrasi:
Siapa sungai yang paling derai siapa langit yang paling rumit
siapa laut yang paling larut siapa tanah yang paling pijak siapa
burung yang paling sayap siapa ayah yang paling tunggal
siapa tahu yang paling tidak siapa Kau yang paling aku kalau
tak aku yang paling rindu?
Atau larik-larik lainnya:
Yang mana sungai selain derai yang mana gantung selain sambung
yang mana nama selain mana yang mana gairah selain resah yang
mana tahu selain waktu yang mana tanah selain tunggu
Dalam bait yang dikutip pertama kita bertemu dengan jenis-jenis kata
sebagai berikut: derai adalah kata benda, rumit kata sifat, larut kata sifat,
pijak kata kerja, sayap kata benda, tunggal kata sifat, tidak kata keterangan,
aku kata ganti dan rindu kata kerja. Semua kata-kata ini diberi bentuk
superlatif dengan bantuan kata keterangan “paling,” sementara menurut tata
bahasa, superlatif hanya dikenakan pada kata sifat.
Dalam bait lainnya kita melihat pasangan kata-kata dalam kedudukan sebagai
predikatif, tetapi tidak selalu simetris berdasarkan jenis katanya. Sungai dan
derai memang simetris karena keduanya kata benda, juga gantung dan sambung
adalah simetris karena keduanya kata kerja.
Akan tetapi, gairah dan resah tidak simetris karena gairah adalah kata
benda sementara resah kata sifat. Juga tahu dan waktu tidak simetris karena
tahu adalah kata kerja sedangkan waktu kata benda. Atas cara yang sama tanah
dan tunggu juga tidak simetris, karena tanah adalah kata benda dan tunggu kata
kerja.
Dekonstruksi bahasa
Suatu percobaan Sutardji lainnya yang patut dicatat ialah usahanya
mendistorsikan kata-kata dalam kode leksikal dengan makna yang jelas ke
bentuk-bentuk kata yang keluar dari kode leksikal sehingga tidak mempunyai
makna lagi. Frase seperti “sepisau luka sepisau duri” dapat kita pahami melalui
kode leksikal. Akan tetapi, oleh Sutardji perkataan “sepisau” dipelesetkan
menjadi “sepisaupa sepisaupi” yang sudah sulit dipahami dengan menggunakan
kamus.
Sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi
sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupi
sepikul diri keranjang duri
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya kedalam nyanyi
Pelanggaran kategori terhadap jenis kata yang sangat sering dilakukan dan
distorsi bentuk kata yang kadang-kadang dilakukan, sangat mungkin telah
digerakkan oleh motif pribadi penyair untuk menerobos batas bahasa sehari-hari.
Sekalipun demikian, di banyak tempat penerobosan kategori dan distorsi bentuk
kata ini dilakukan untuk meningkatkan efek fonetik melalui pengerahan aliterasi
dan asonansi secara maksimal.
Dalam perasaan saya, semenjak Amir Hamzah hanya sedikit sekali penyair kita
yang sanggup memainkan bunyi bahasa dalam aliterasi dan asonansi secara kuat
dan efektif. Sutardji jelas salah satu dari yang sedikit itu, dan salah satu
yang paling berhasil dalam memainkan bunyi bahasa.
Untuk mengambil sebuah contoh saja:
Rasa dari segala risau sepi dari segala nabi tanya dari segala
nyata sebab dari segala abad sungsang dari segala sampai duri
dari segala rindu luka dari segala laku igau dari segala risau
kubu dari segala buku resah dari segala rasa rusuh dari segala
guruh sia dari segala saya duka dari segala daku Ina dari segala
Anu puteri pesonaku!
datang Kau padaku!
Kalau gairahnya untuk bunyi bahasa menyebabkan dia menerobos
kategori-kategori jenis kata, maka kesukaannya pada visualisasi sajak dalam
tipografi yang unik menyebabkan dia sering mempersetankan aturan-aturan ejaan
yang berlaku. Sutardji menulis kata berulang tanpa pernah menggunakan tanda
sambung (-) dan pengulangan itu pun bisa dilakukan lebih dari dua kali. Dengan
ringan saja dia menulis “kakekkakek,” “bocahbocah,” atau “terkekehkekeh.” Atau
“minumminum,” “senyumsenyum,” “jingkrakjingkrak” dan “nyanyinyanyi.”
Jadi rupa-rupanya, dalam pandangan Sutardji, yang harus diterobos bukan
saja makna kata-kata yang dibakukan dalam kamus, tetapi juga bentuk fisik
kata-kata yang dibakukan dalam ejaan. Penyair seakan mencium bau kolonisasi
dalam sistem ejaan. Karena, seperti halnya makna kata-kata, sangat mungkin pula
bentuk kata yang diatur dalam ejaan telah dipaksakan oleh kepentingan politik,
kebutuhan pasar, serta kecenderungan-kecenderungan tertentu, yang tidak selalu
menguntungkan pemakaian bahasa secara efektif.
Begitulah, catatan-catatan ini mudah-mudahan memperlihatkan sekadarnya
bahwa jauh-jauh hari sebelum diskusi tentang teori-teori post-modernis marak di
Indonesia semenjak 1990-an, Sutardji sebagai penyair telah menyadari, kalau
bahasa tak lain tak bukan hanyalah suatu konstruksi sosial. Karena bahasa
adalah konstruksi, dia dapat juga dinegasikan melalui dekonstruksi.
Upaya dan perjuangan Sutardji untuk menerobos makna kata, menerobos jenis
kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapatlah dipandang
sebagai percobaan untuk melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara
besar-besaran, dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang
lebih otentik melalui puisi.
Atau, untuk memakai kata-kata Sutardji sendiri, puisi adalah ibarat “senyap
dalam sungai tenggelam dalam mimpi” tetapi dekonstruksi melalui puisi adalah
ibarat “cuka dalam nadi luka dalam diri.”
***
*) Esai ini berasal dari Pidato Kebudayaan yang disampaikan pada Malam
Puncak Pekan Presiden Penyair di TIM, Jakarta 19 Juli 2007, untuk menghormati
penyair Sutardji Calzoum Bachri 66 tahun. Dalam penerbitan ini seluruh catatan
kaki dihilangkan.
**) Ignas Kleden, Sosiolog, Penulis Buku Sastra Indonesia dalam Enam
Pertanyaan, Grafiti, Jakarta, 2004.
Sumber: Bentara, Kompas, Sabtu 04 Agustus 2007. http://sastra-indonesia.com/2011/09/puisi-dan-dekonstruksi-perihal-sutardji-calzoum-bachri/
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Rifqi Hidayat
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Hopid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Acep Zamzam Noor
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agusri Junaidi
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Andhika Mappasomba
Andi Achdian
Andrenaline Katarsis
Anjrah Lelono Broto
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Aprinus Salam
Arafat Nur
Ardy Kresna Crenata
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Wibowo
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Aryadi Mellas
Aryo Bhawono
Asap Studio
Asarpin
Asep Rahmat Hidayat
Asep Sambodja
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
B Kunto Wibisono
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Kempling
Bambang Soebendo
Banjir Bandang
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Boy Mihaballo
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Gibran Ramadhan
D. Zawawi Imron
D.N. Aidit
Daisy Priyanti
Dandy Bayu Bramasta
Daniel Dhakidae
Dareen Tatour
Dea Anugrah
Dedy Sufriadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Ahmad Fajar
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Desti Fatin Fauziyyah
Dewi Sartika
Dhanu Priyo Prabowo
Dharmadi
Diah Budiana
Dian Hartati
Didin Tulus
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Pranoto
Echa Panrita Lopi
Eddi Koben
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Faizin
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Erlina P. Lestari
Erwin Dariyanto
Esai
Esti Ambirati
Evi Idawati
Evi Sefiani
F. Daus AR
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fandy Hutari
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Faza Bina Al-Alim
Felix K. Nesi
Ferdian Ananda Majni
Fian Firatmaja
Gampang Prawoto
Gema Erika Nugroho
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gombloh
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Maryanto
Gus Noy
H.B. Jassin
Hairus Salim
Hamka
Hamsad Rangkuti
Hari Murti
Haris Firdaus
Harry Aveling
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HE. Benyamine
Hendri Yetus Siswono
Herman Syahara
Hermien Y. Kleden
Holy Adib
Huda S Noor
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Humam S Chudori
Husni Hamisi
I G.G. Maha Adi
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
Idealisa Masyrafina
Idrus
Ignas Kleden
Ikarisma Kusmalina
Ike Ayuwandari
Ilham
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Irfan Sholeh Fauzi
Isbedy Stiawan Z.S.
J.J. Kusni
Jadid Al Farisy
Jajang R Kawentar
Jakob Oetama
Jalaluddin Rakhmat
Jansen H. Sinamo
Joni Ariadinata
K.H. Bisri Syansuri
K.H. M. Najib Muhammad
Kahfi Ananda Giatama
Kahfie Nazaruddin
Kho Ping Hoo
Kika Dhersy Putri
Kitab Para Malaikat
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kuswinarto
L.K. Ara
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Leon Agusta
Lesbumi Yogyakarta
Lily Yulianti Farid
Linda Christanty
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
Luwu Utara
M. Aan Mansyur
M. Faizi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M.D. Atmaja
M’Shoe
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majene
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mamasa
Mamuju
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maroeli Simbolon
Martin Aleida
Masamba
Mashuri
Media KAMA_PO
Melani Budianta
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Mochtar Lubis
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Afifi
Mohammad Yamin
Much. Khoiri
Muhammad Fauzi
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Ridwan
Muhammad Subarkah
Muhammad Walidin
Muhammad Yasir
Muhyiddin
Mukhsin Amar
Munawir Aziz
Musa Ismail
Mustamin Almandary
N Teguh Prasetyo
Nadine Gordimer
Nara Ahirullah
Nelson Alwi
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nugroho Sukmanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Asyhadie
Nurul Komariyah
Ocehan
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pamela Allen
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pelukis
Pendidikan
Penggalangan Dana
Peta Provinsi Sulawesi Barat
Polewali
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Salafiyah Karossa
Pramoedya Ananta Toer
Pramuka
Prasetyo Agung
Pringadi AS
Pringgo HR
Priska
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puput Amiranti N
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Ragdi F. Daye
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ratnani Latifah
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Riadi Ngasiran
Rian Harahap
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Riki Fernando
Rofiqi Hasan
Ronny Agustinus
Rozi Kembara
Rusydi Zamzami
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Saini K.M.
Sajak
Salman Rusydie Anwar
Salman S Yoga
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Sapto Hoedojo
Sasti Gotama
Sastra
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Seni Rupa
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sirajudin
Siswoyo
Sitok Srengenge
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sonia
Sosiawan Leak
Sukitman
Sulawesi Selatan
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suriali Andi Kustomo
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Syamsudin Noer Moenadi
Syihabuddin Qalyubi
Syu’bah Asa
Tari Bamba Manurung
Tari Bulu Londong
Tari Ma’Bundu
Tari Mappande Banua
Tari Patuddu
Tari Salabose Daeng Poralle
Tari Sayyang Pattuqduq
Tari Toerang Batu
Tata Chacha
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater
Teddi Muhtadin
Teguh Setiawan Pinang
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Tenni Purwanti
Tito Sianipar
Tjahjono Widijanto
Toeti Heraty
Tosiani
Tri Wahono
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
UU Hamidy
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wan Anwar
Wawancara
Wayan Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono
Wicaksono Adi
Wilson Nadeak
Wisata
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yopie Setia Umbara
Yosephine Maryati
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yurnaldi
Zamakhsyari Abrar
No comments:
Post a Comment