Saturday, June 5, 2021

Ketakutan Sastrawan di Mata Taufik Ikram Jamil

Priska
jurnalnasional.com
 
Dalam ranah sastrawan Melayu, terselip salah satu nama Taufik Ikram Jamil. Figur yang sangat giat mengangkat kebudayaan Melayu mulai dari mendirikan Yayasan Membaca hingga mendirikan dan mengetuai Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR).
 
Taufik, demikian dia biasa disapa, sempat “melenceng” menjadi wartawan pada 1983. Namun pada 2002, kecintaannya pada dunia kesenian Melayu mengembalikan Taufik pada jalan yang telah membentuk darah dan dagingnya.
 
Ini terbukti dengan diangkatnya menjadi Ketua Umum Dewan Kesenian Riau pada periode 2002-2007. Dan seperti dilansir dari website Dunia Melayu Se-Dunia, ketika mendirikan AKMR, pria bersahaja itu menghibahkan uang pribadinya sebesar Rp 2,5 Juta kepada yayasan tersebut.
 
Proses yang cepat berhasil direngut Taufik karena baru tiga tahun berdiri, akademi tersebut telah memiliki aset lebih dari Rp 1.5 Miliar dengan 120 mahasiswa. Lalu bagaimana Taufik mengisi hari-harinya saat ini. Dan mengapa sudah lama tidak menghasilkan karya baru. Berikut 9 pertanyaan untuk dirinya.
 
Apa kegiatan Anda sekarang?
 
(Sebelum menjawab pertanyaan, Taufik terlihat tertegun dan berpikir sejenak) Aku sedang sibuk dengan diriku sendiri. Karena sudah satu setengah tahun ini aku tidak menulis, baru menulis lagi ketika diminta untuk menjadi pembicara dalam Pekan Presiden Penyair.
 
Itu juga bentuknya makalah, membahas mengenai keberadaan sastra Melayu saat ini. Sedikit sedih memang, diusia saat ini banyak karya yang belum aku hasilkan. Terlalu banyak waktu terbuang sia-sia. Banyak dosa, bahkan kalau dihitung satu hari saja bisa sampai ribuan dosa.
 
Kalau begitu berapa lama rencananya perenungan itu akan berlangsung ?
 
Aku tidak tahu apakah ini proses merenung atau bukan. Hahaha. Dan berapa lama waktunya, itu juga masih belum jelas. Makanya ketika ada teman dekat yang menyarankan untuk menulis buku sebagai peralihan, aku justru bilang, tidak ada yang bisa aku tulis.
 
Karena aku sibuk dengan diri sendiri. Tapi sekarang ini, keinginan untuk menulis lagi mulai timbul. Hanya saja prosesnya saat ini berbeda dengan dulu, ketika masih muda. Saat ini, sebelum menulis aku bertanya pada diriku sendiri apakah tulisan ini bermanfaat bagi orang lain atau tidak. Kalau dulu, yang aku kejar dan pertanyakan hanya kepuasan diri. Jadi sekarang sedang mempersiapkan diri untuk menulis yang bermanfaat bagi orang lain.
 
Apa yang paling ditakutkan dari seorang sastrawan ?
 
Ketika kita tidak punya ide untuk melakukan sesuatu dan merenungkannya sebagai proses penghasilan karya. Bahkan membayangkannya saja saya sudah menyeramkan. Karena ketika kita tidak bisa lagi mengkritiki sekitar atau tidak memiliki kegelisahan-kegelisahan, maka itu artinya sudah sangat bahaya. Pasti akan sangat menderita sekali jika seorang sastrawan harus merasakan itu.
 
Jika kita memutar waktu ke belakang sejenak, apa yang menyebabkan Anda kembali memilih menjadi sastrawan ?
 
Itu memang tidak disengaja. Karena dari kecil sudah akrab dengan lingkungan kesenian. Mulai dari kakek saya, meskipun terpencil dan susah, sudah dibiasakan untuk membaca karya sastra. Bapak ku juga seorang penulis, di Majalah Waktu Medan. Ibuku seorang penari.
 
Jadi sepertinya lingkungan ini membuat saya akan selalu kembali menggeluti dunia kesenian, termasuk menjadi sastrawan. Dan sampai saat ini saya belum pernah menemukan kepuasan menjadi sastrawan.
 
Memang definisi kepuasan menjadi sastrawan seperti apa ?
 
Aku rasa, tidak ada satu pun sastrawan yang merasa puas dengan apa yang telah dihasilkannya. Karena ketika mereka telah puas, berarti maka habislah dia. Kalau aku ini, baru koma-lah. Hahaha.
 
Makanya ketika aku bilang aku sibuk dengan diri sendiri, aku sedang menjaga bagaimana caranya agar tidak menjadi titik. Karena apa yang aku lakukan nantinya, janganlah mengecewakan orang lain. Walaupun saat ini banyak yang dicemaskan, tapi tidak mau terlalu terburu-buru juga beraksi. Agar semuanya maksimal dan mendatangkan faedah bagi banyak orang.
 
Lalu mengapa dulu terpikirkan untuk menjadi wartawan ?
 
Dengan menjadi wartawan, ada ideologi yang hendak aku perjuangkan. Harus selalu menyuarakan apa yang diinginkan oleh rakyat. Waktu itu, aku dapat dua tawaran pekerjaan. Pertama, sebagai dosen Universitas Riau dan wartawan. Tapi jauh sebelum tawaran itu datang, dari mahasiswa banyak tulisanku yang sudah dimuat berbagai media.
 
Saat itu saya hanya berpikir, kalau orang Riau itu banyak yang jadi dosen tapi belum ada yang jadi wartawan. Hanya saja, tidak semua hal yang aku lihat di lapangan bisa dijadikan bahan tulisan. Jadi pada dunia wartawan, ada imajinasi yang tidak tersalurkan. Makanya saya kembali ke dunia asal.
 
Dari tiga orang anak Anda, apakah ada yang menunjukkan keinginan untuk menjadi sastrawan ?
 
Pada dasarnya aku dan istri tidak pernah memaksakan mereka harus jadi apa. Karena buat kami, semua jenis pekerjaan itu baik. Hanya saja dari dua orang yang sudah bersekolah, belakangan ini nilai Bahasa Indonesia mereka selalu baik. Walaupun mereka dua tahun lalu suka fisika, sekarang ini seperti ada pergeseran. Ya bagus saja untuk modal menjadi penulis, hahahaha.
 
Lalu apa obsesi yang belum tercapai hingga saat ini ?
 
Menjadi pujangga. Karena dari kecil, cita-citaku ingin jadi pujangga. Tapi memang berat menjadi pujangga. Seorang pujangga bukan hanya menggeluti sastra saja, dia juga harus bisa mengekspresikan diri dalam berbagai kegiatan seni. Dan karena pujangga adalah panutan, maka apa yang dikatakan haruslah sesuai dengan yang dilakukan. Maka buat saya menjadi pujangga itu juga sebuah anugerah.
 
Apa yang membuat Anda tertarik untuk menjadi pujangga ?
 
Karena pada hakikatnya, menjadi pujangga tidak hanya melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk diri sendiri tapi juga buat orang lain. Jadi memang bukan sebuah profesi tapi juga suatu karakter diri yang matang. Dan aku pernah membaca sebuah hadis, bahwa lelaki yang bahagia adalah lelaki yang dia tidak terkenal, tidak membebani anak dan istrinya.
 
Dimana semua itu disempurnakan dengan dapat melakukan ibadah sebanyak-banyaknya. Tapi tidak terkenal bukan berarti dia tidak berkarya, karena pada intinya tujuan dari kita berkarya bukan untuk dikenal.
***
 
http://sastra-indonesia.com/2009/11/ketakutan-sastrawan-di-mata-taufik-ikram-jamil/

Taufik Ikram Jamil, sastrawan kelahiran Teluk Belitung, Bengkalis, Riau, 19 September 1963. Namanya dikenal luas melalui karya-karyanya berupa naskah drama, novel, dan cerita pendek yang dipublikasikan di berbagai media massa. Taufik merupakan salah satu penerima Anugerah Sagang, 1997. Pendidikan dasar dan menengahnya ditempuh di Bengkalis. Kuliah di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Riau, lulus 1987. Dia juga menekuni profesi sebagai wartawan di harian Kompas, 1988. Taufik merupakan pendiri Yayasan Membaca Pusaka Riau yang bergerak di bidang kesenian, kebudayaan, dan penerbitan, 1999. Tahun 2002, dia berhenti dari harian Kompas untuk mencurahkan pikiran dan ide-ide kreatif demi kemajuan seni. Di tahun itu juga, mendirikan dan mengetuai Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) di Pekanbaru, satu-satunya akademi kesenian di Sumatra. Kiprahnya di dunia seni kian mantap ketika diangkat menjadi Ketua Umum Dewan Kesenian Riau (DKR) periode 2002-2007. Dalam dunia kesusasteraan, Taufik banyak menghasilkan karya yang telah dimuat dalam berbagai media cetak seperti Riau Pos, Kompas, Berita Buana, Republika, Suara Pembaruan, Kartini, Horison, Kalam dan Ulumul Qur’an. Kumpulan puisinya yang pertama diterbitkan Tersebab Haku Melayu, kemudian menyusul kumpulan cerita pendek Sandiwara Hang Tuah, Membaca Hang Jebat, dan roman Gelombang Sunyi.

No comments:

Post a Comment

A. Anzieb A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Rifqi Hidayat A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.J. Susmana A.S. Laksana A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Hopid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Acep Zamzam Noor Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sunyoto Agus Wibowo Agusri Junaidi Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Muchlish Amrin Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat Ali Audah Alim Bakhtiar Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Ana Mustamin Andhika Mappasomba Andi Achdian Andrenaline Katarsis Anjrah Lelono Broto Anton Wahyudi Anwar Holid Aprinus Salam Arafat Nur Ardy Kresna Crenata Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Wibowo Arman A.Z. Arsyad Indradi Aryadi Mellas Aryo Bhawono Asap Studio Asarpin Asep Rahmat Hidayat Asep Sambodja Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Kempling Bambang Soebendo Banjir Bandang Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Gibran Ramadhan D. Zawawi Imron D.N. Aidit Daisy Priyanti Dandy Bayu Bramasta Daniel Dhakidae Dareen Tatour Dea Anugrah Dedy Sufriadi Dedy Tri Riyadi Deni Ahmad Fajar Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desti Fatin Fauziyyah Dewi Sartika Dhanu Priyo Prabowo Dharmadi Diah Budiana Dian Hartati Didin Tulus Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Pranoto Echa Panrita Lopi Eddi Koben Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Faizin Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erlina P. Lestari Erwin Dariyanto Esai Esti Ambirati Evi Idawati Evi Sefiani F. Daus AR F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fandy Hutari Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Faza Bina Al-Alim Felix K. Nesi Ferdian Ananda Majni Fian Firatmaja Gampang Prawoto Gema Erika Nugroho Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Maryanto Gus Noy H.B. Jassin Hairus Salim Hamka Hamsad Rangkuti Hari Murti Haris Firdaus Harry Aveling Hasan Aspahani Hasif Amini HE. Benyamine Hendri Yetus Siswono Herman Syahara Hermien Y. Kleden Holy Adib Huda S Noor Hudan Hidayat Hudan Nur Humam S Chudori Husni Hamisi I G.G. Maha Adi Iberamsyah Barbary Ida Fitri Idealisa Masyrafina Idrus Ignas Kleden Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilham Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indria Pamuhapsari Indrian Koto Irfan Sholeh Fauzi Isbedy Stiawan Z.S. J.J. Kusni Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jansen H. Sinamo Joni Ariadinata K.H. Bisri Syansuri K.H. M. Najib Muhammad Kahfi Ananda Giatama Kahfie Nazaruddin Kho Ping Hoo Kika Dhersy Putri Kitab Para Malaikat Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kuswinarto L.K. Ara Lagu Laksmi Shitaresmi Lan Fang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Leo Tolstoy Leon Agusta Lesbumi Yogyakarta Lily Yulianti Farid Linda Christanty Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah Luwu Utara M. Aan Mansyur M. Faizi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M.D. Atmaja M’Shoe Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majene Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mamasa Mamuju Mardi Luhung Marhalim Zaini Maroeli Simbolon Martin Aleida Masamba Mashuri Media KAMA_PO Melani Budianta Mihar Harahap Misbahus Surur Mochtar Lubis Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Afifi Mohammad Yamin Much. Khoiri Muhammad Fauzi Muhammad Muhibbuddin Muhammad Ridwan Muhammad Subarkah Muhammad Walidin Muhammad Yasir Muhyiddin Mukhsin Amar Munawir Aziz Musa Ismail Mustamin Almandary N Teguh Prasetyo Nadine Gordimer Nara Ahirullah Nelson Alwi Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nugroho Sukmanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Asyhadie Nurul Komariyah Ocehan Onghokham Otto Sukatno CR Pamela Allen Pameran Parakitri T. Simbolon Pelukis Pendidikan Penggalangan Dana Peta Provinsi Sulawesi Barat Polewali Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Salafiyah Karossa Pramoedya Ananta Toer Pramuka Prasetyo Agung Pringadi AS Pringgo HR Priska Prosa Pudyo Saptono Puisi Puput Amiranti N Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Raedu Basha Ragdi F. Daye Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Riadi Ngasiran Rian Harahap Ribut Wijoto Rida K Liamsi Riki Fernando Rofiqi Hasan Ronny Agustinus Rozi Kembara Rusydi Zamzami Rx King Motor S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Saini K.M. Sajak Salman Rusydie Anwar Salman S Yoga Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sapto Hoedojo Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Seni Rupa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirajudin Siswoyo Sitok Srengenge Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Sosiawan Leak Sukitman Sulawesi Selatan Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suriali Andi Kustomo Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syamsudin Noer Moenadi Syihabuddin Qalyubi Syu’bah Asa Tari Bamba Manurung Tari Bulu Londong Tari Ma’Bundu Tari Mappande Banua Tari Patuddu Tari Salabose Daeng Poralle Tari Sayyang Pattuqduq Tari Toerang Batu Tata Chacha Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teddi Muhtadin Teguh Setiawan Pinang Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Tenni Purwanti Tito Sianipar Tjahjono Widijanto Toeti Heraty Tosiani Tri Wahono Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy UU Hamidy Uwell's King Shop Uwell's Setiawan W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wan Anwar Wawancara Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Wicaksono Adi Wilson Nadeak Wisata Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yopie Setia Umbara Yosephine Maryati Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yurnaldi Zamakhsyari Abrar